Jumat, 18 Januari 2013

The Three Musketeers Sariaatmadja


Di usia yang makin senja, Mohamad Soeboeb Sariaatmadja menyaksikan benih yang ditanamnya telah tumbuh menjadi pohon rindang dengan buah yang ranum. Dibesarkan dengan didikan agama yang kuat dan disiplin keras, ke-6 putra-putrinya tumbuh menjadi pribadi yang religius, humble, dan memiliki kepedulian tinggi. Dengan fondasi ini, ketiga putranya – Eddy, Fofo dan Darwin – membangun serta menggelindingkan bisnisnya dari titik nol hingga menggurita. Sementara tiga putri Sariaatmadja – Widya, Lina dan Ida – memilih tidak berkiprah di dunia bisnis. Widya menekuni kariernya sebagai dokter, sedangkan Lina dan Ida mengikuti sang suami yang tinggal di luar negeri. Inilah sosok ketiga pendekar bisnis berdarah Sunda-Palembang.

Eddy Kusnadi Sariaatmadja:
Komandan yang Santun dan Religius



Sebuah perayaan ulang tahun digelar di lantai 18 World Trade Center, Jl. Jend. Sudirman. Di ruang Rinjani Mercantile Club yang penuh dengan aneka bunga warna-warni itu, terlihat Yenny Wahid dan Titik Soeharto di antara para tamu yang duduk mengelilingi meja bundar. Di dinding ruangan perpampang tulisan dalam ukiran bunga, Selamat Ulang Tahun Bapak Eddy Sariaatmadja. Kue ulang tahun berwarna cokelat dan putih dengan tulisan Lonsum dan lilin angka 54 di atasnya, menandai pesta yang sejatinya cukup sederhana meski digelar di sebuah tempat prestisius di Ibu Kota.


Kamis, 23 Agustus lalu, Presiden Direktur PT London Sumatera (Lonsum) itu merayakan ulang tahunnya yang ke-54. Selain putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid dan Soeharto serta kedua adik laki-laki Eddy, tak ada lagi tamu undangan VVIP yang terlihat meramaikan acara pesta tersebut. Selebihnya, ruangan itu dipenuhi jajaran direksi dan para karyawan Lonsum. Yang punya hajat, Eddy, berkemeja batik cokelat dengan semburat hijau tampak sumringah. Senyum tak henti menghiasi wajahnya sembari menyapa hampir semua tamu. Ia berjalan dari meja yang satu ke meja yang lain. “Kita harus terus berusaha di Lonsum ini,” katanya sambil sesekali tangannya menepuk pundak karyawan yang diajaknya mengobrol.

Anak ketiga dari 6 bersaudara putra Mohamad Soeboeb Sariaatmadja ini dikenal sebagai nakhoda kerajaan bisnis Sariaatmadja. Meski ia lebih banyak menggeluti bisnis perkebunan, sejatinya anak laki-laki pertama Sariaatmadja inilah yang memegang kendali jaringan bisnis Sariaatmadja yang meliputi perkebunan, teknologi informasi, dan media (televisi). “Eddy itu pengendalinya, dia itu visioner,” ungkap Letjen (Purn.) Soeyono, Komisaris Surya Citra Media (SCM). Menurut mantan Kepala Staf Umum ABRI (1995-1996) dan mantan Sekjen Departemen Pertahanan (1998-1999) ini, Eddy juga yang banyak bergiat mencari sumber dana dari luar negeri. “Dia pintar mencari dana, dia punya konsep,” imbuh Soeyono yang mengaku sudah mengenal Eddy dan Fofo (adiknya) sejak lama, jauh sebelum ia ikut berkiprah di SCM sebagai komisaris. Ke depan, SCM direncanakan go international. Menurut Soeyono, di SCTV, meski Eddy tidak terlibat secara operasional, dialah yang justru mencanangkan perubahan.

Eddy sendiri mengaku lebih fokus menggarap Lonsum. “Saya lebih fokus mengurus petani, saya tetap di sana,” katanya kepada SWA yang siang itu ikut meramaikan pesta ulang tahun orang nomor satu di Lonsum. Diakui Eddy, pembagian tugas di antara saudara-saudaranya karena melihat kapabilitas masing-masing. “Mengapa saya mengurusi perkebunan karena saya gaptek, gagap teknologi,” ujarnya seraya terbahak.

Selain sebagai motor penggerak, Eddy juga yang merintis bisnis keluarga ini. Sebagai anak laki-laki tertua, Eddy yang membuka ladang bisnis dengan mengawali sebagai distributor komputer dan wholesaler pada 1980-an. Ketika itu bendera yang dikibarkan Elang Komputer. Seiring perkembangan bisnis dengan memegang lisensi tunggal komputer merek Compaq di Indonesia, benderanya berubah menjadi PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek). Ketika itu Emtek banyak memasok kebutuhan komputer dan teknologi informasi di sejumlah departemen pemerintah dan perusahaan swasta. Setelah merger Compaq dengan Hewlett-Packard, Emtek tidak lagi menjadi distributor Compaq. Sementara itu, sang ayah, menurut Eddy, sempat membangun perusahaan konsultasi pajak dan manajemen di bawah payung PT Eskapindo. Selain itu, Mohamad Soeboeb Sariaatmadja ini juga pernah menggeluti bisnis properti dan perbankan. “Ayah saya pernah bekerja di Chase Manhattan,” tutur Eddy.

Membesarkan bisnis dalam pandangan Eddy bukan membesarkan kelompok usaha keluarga. “Tapi, bagaimana kami bersama dengan staf di perusahaan bisa menciptakan satu keluarga besar yang saling mengerti dan mengasihi,” papar bapak dua anak ini. Menurutnya, kakak-beradik dalam sebuah entitas bisnis tidaklah penting. “Yang penting bagaimana saya menganggap karyawan saya sebagai sebuah keluarga,” imbuhnya.

Master of Engineering Science dari New South Wales University, Australia ini memang dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian dan perhatian tinggi pada anak buahnya. Seorang sumber SWA yang tak mau diungkap jati dirinya menilai Eddy sebagai sosok manusia setengah malaikat. “Habis, baek banget sih,” katanya. Ia menceritakan, Eddy bisa langsung terbang ke rumah sakit ketika tahu karyawannya ada yang tengah terbaring. “Begitu sampai di kamar rumah sakit, karyawan itu langsung dinasihati supaya bersabar menghadapi cobaan Tuhan, dan karyawan itu kaget ketika mengetahui yang membesuknya adalah pemilik perusahaan,” ia menguraikan.

Menjelang Idul Fitri, Natal, ataupun perayaan agama lainnya, Eddy tak pernah absen mengirimi bingkisan kepada karyawannya di luar insentif khusus yang diberikan perusahaan. Eddy juga menyempatkan menghadiri undangan pesta pernikahan anak buahnya. “Justru kalau pejabat dan selevelnya, dia terkadang malah enggan hadir,” ceritanya.

Di mata Don Bosco Selamun, sosok Eddy memang sangat low profile. “Orangnya lembut, sabar, tapi tetap berpikir jernih tentang bisnis,” katanya. Don Bosco yang sempat bergabung dengan SCTV selama 9 tahun (1996-2004), mengaku cukup dekat dengan keluarga Sariaatmadja. Bahkan, Eddy sudah dianggapnya sebagai kakak. “Beliau adalah kakak bagi saya untuk bimbingan rohani karena banyak nasihatnya yang bagus,” paparnya. Sikap low profile Eddy, juga adik-adiknya, diamini Soeyono. “Mereka low profile, tidak seperti yang lain,” katanya.

Menurut Don Bosco, Eddy memiliki keyakinan yang sangat kuat akan kebesaran Tuhan. Ia senantiasa ingat petuah Eddy bahwa dalam bekerja jangan sampai mengabaikan doa. “Yang saya tahu, Pak Eddy menyeimbangkan antara kerja dan doa,” katanya. Lebih jauh ia mengutarakan, sebagai pribadi Eddy sangat hangat. Eddy juga tipikal pemimpin yang lebih banyak mendengar, menyimak. “Dia itu good listener. Mungkin saya agak subjektif menilainya, tapi saya tidak bisa mengatakan lain. Karena, sepanjang yang saya kenal, beliau ya begitu orangnya,” ungkapnya. Bagi Don Bosco, pribadi dan sikap Eddy seyogyanya menjadi panutan bagi para pelaku bisnis. Pasalnya, tak banyak pemimpin apalagi pemilik perusahaan besar, yang memiliki sikap seperti itu. “Pemilik yang lain kan ingin didengar, kalau ini tidak. Beliau humble,” tambahnya.

Sikap Eddy yang rendah hati dan santun juga diakui seorang sumber SWA. “Dia antarkan lho semua tamunya sampai masuk lift bahkan masuk ke mobil,” ceritanya. Sikap ini secara tak langsung menjadi contoh bagi anak buah dan keluarganya. “Dia orangnya tidak bossy,” timpal Soeyono. Pembawaan Eddy yang ramah itu, menurut sumber SWA, ditularkan kepada kedua anaknya. “Mereka juga santun dan sopan sekali,” sambungnya. Tak hanya itu, Eddy meski dikenal sebagai pekerja keras, ia sangat memerhatikan keluarganya. Saat ulang tahun anak atau istrinya, Eddy meliburkan diri agar bisa menemani orang-orang yang paling dicintainya itu.

“Beliau itu dari dulu baik, tidak pernah mengganggu sejak saya punya jabatan,” kata Soeyono yang juga mantan ajudan Presiden Soeharto. Keluarga Sariaatmadja, tambahnya, bukan tipe orang yang ngaco atau suka cheating. “Kalau melihat orang susah, mereka suka menolong tanpa pamrih,” tukasnya. Soeyono menceritakan setelah dirinya dinonaktifkan dari Kasum, keluarga Sariaatmadja yang membantunya. “Mereka menolong saya.” 

Lebih jauh Soeyono menilai, sebagai pengusaha Eddy mencerminkan pengusaha bersih. Tidak terlibat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Keluarga Sariaatmadja juga tidak pernah memanfaatkan kedekatan atau ikut mencantol ke salah satu penguasa. “Eddy itu pengusaha yang baik, tidak bikin masalah,” ucapnya. Itu semua, lanjutnya, karena didikan orang tuanya. “Mereka dididik sangat agamis,” ujarnya. Keluarga Sariaatmadja juga dipujinya sebagai orang-orang yang menghargai agama lain. “Saya salut pada anak-anak muda itu. Kalau ada kesempatan mendunia, pasti mereka bisa.” 

Kelebihan lain dari Eddy, dinilai Soeyono, adalah kejeliannya merekrut orang-orang kunci. “Dia pintar dalam mengambil orang, head-hunting-nya pintar, dan itu ilmu yang tidak banyak dipelajari,” ungkapnya.

Fofo Sariaatmadja:
Memulai dan Mengakhiri Pekerjaan dengan Doa

Segelas jus jeruk disodorkan lelaki berpostur tinggi ramping itu kepada SWA. “Mau tanya apa lagi? Tapi jangan lama-lama ya, saya mau manggung di SCTV,” ujar Fofo Sariaatmadja. Ia sendiri memilih sebotol Equil. Kafe di lantai dasar World Trade Center di kawasan Sudirman, siang itu tampak lengang. Fofo melanjutkan pembicaraan. “Saya mau main musik di panggung festival band antarkaryawan,” katanya menjelaskan. Direktur Utama SCTV ini menuturkan, dalam rangka ulang tahun ke-17 televisi swasta itu, ada berbagai kompetisi antarkaryawan yang digelar. Mulai dari basket, tenis, boling, futsal, sampai festival band antarkaryawan. “Saya senang musik, suka main musik sendiri, bisa main piano, keyboard, kadang-kadang nyanyi,” ujar Fofo.

Anak keempat keluarga Sariaatmadja ini tak hanya piawai bermain musik. Lewat tangan dinginnya, SCTV menjadi stasiun televisi nomor wahid dari sisi share. Di tengah pertarungan lebih dari 10 stasiun televisi swasta, keberhasilan itu adalah sebuah prestasi gemilang. Terlebih, SCTV ditargetkan bisa go international. “Kami akan go international untuk news-nya,” kata Fofo. Ambisi berkibar di mancanegara karena ia terobsesi membuat news channel, seperti CNN, Fox News, dan CNBC. “Mudah-mudahan bisa tahun ini, kami sudah trial 24 jam news channel,” ungkapnya.

Dalam pandangannya, media elektronik harus siap menembus dunia. Salah satu program andalan SCTV, Liputan 6, tahun ini sudah memasuki usia 11 tahun. Memasuki dasawarsa kedua, lanjutnya, harus ada inovasi baru. “Saya selalu memikirkan bagaimana pengembangan program news, karena saya sangat ingin ini berkembang,” katanya. Dengan kemajuan teknologi, ambisi go international bukanlah impian yang jauh di awang-awang. “Kami harus siap ke era baru, Liputan 6 visi ke depannya untuk mendunia, tidak bisa kami seperti katak dalam tempurung,” ujar Fofo.

Di bawah kendali kelahiran 11 Desember 1963 ini, SCTV memang berlari sangat kencang. Di mata Don Bosco Selamun, Fofo orang yang bertangan dingin dalam menjalankan televisi. Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Liputan 6 ini mengaku awalnya ia termasuk orang yang ragu saat Fofo naik tahta memegang kendali SCTV. “Tapi, apa yang terjadi? Selama 17 tahun SCTV berdiri dengan empat dirut sebelumnya, baru dirut kelima, di bawah Pak Fofo, SCTV menjadi stasiun nomor satu dari segi share,” Don Bosco menjelaskan.

Menurutnya, di industri televisi banyak sekali hal yang disebut dengan unspoken rule. “It is about the taste. Pak Fofo itu tekun sekali dengan detail termasuk taste-nya juga bagus,” ungkapnya. Artinya, keberhasilan SCTV yang tidak punya acara semacam Indonesian Idol, Mamamia, Empat Mata, tetapi dengan tontonan-tontonan yang terseleksi terbukti menghasilkan share tertinggi. “Ini berarti Pak Fofo mempunyai kemampuan bukan hanya teknis untuk mengetahui program, tapi juga tentang selera publik,” paparnya. Atas keberhasilan itu, menurutnya, Fofo sangat layak dinobatkan sebagai CEO of the Year. “Bukan karena saya pernah di SCTV saya bicara seperti ini,” katanya berdalih.

Tak hanya mantan anak buahnya yang memuji kepiawaian Fofo. Di mata Letjen (Purn.) Soeyono yang saat ini menjabat Komisaris Surya Citra Media, Fofo merupakan orang yang tepat memimpin perusahaan media. “Beliau kan ahli TI, jadi orang yang tepat untuk mengelola media karena media banyak menggunakan TI,” kata Soeyono yang juga menilai Fofo memiliki kemampuan dan pengetahuan kuat untuk mengurusi manajemen perusahaan.

Bagi Fofo sendiri, pengembangan bisnis media dan multimedia bergerak dengan apa yang dimiliki. Setelah itu melihat potensi yang ada untuk bisa dikembangkan ke depan dengan pemanfaatan teknologi. “Kami bisa sinergikan media yang satu dengan yang lainnya dengan berbagai sisi. Yang pasti, visinya bukan menjadi The King of Media. Kami konsentrasikan dan kembangkan yang ada sekarang,” papar Fofo yang mengaku tidak berniat terjun ke bisnis media cetak. “Kami tidak mau bersaing melawan SWA, bersaing dengan teman-teman sendiri,” ujarnya berdalih. Sementara masuk ke bidang radio, pihaknya sedang mempertimbangkan.

Dalam pengembangan bisnis media, ia tidak melibatkan konsultan dari luar. “Kami menjadi konsultan sendiri,” tukasnya. Sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan bidang teknologi, Fofo justru melihat bisnis media ke depan akan tergantung pada teknologi. “Apa pun media itu, tidak bisa analog terus. Itulah salah satu manfaat background kami di bidang teknologi untuk kemajuan bisnis ini,” ujar ayah yang dikaruniai empat anak ini. Meski tak memiliki latar belakang pendidikan di bidang media, ia mengaku harus fokus pada visi dan misi yang hendak dikerjakan. “Intinya, be focus where ever we are. Karena dengan fokus kami bisa betul-betul mengoptimalkan kreasi dan kreativitas mencapai yang terbaik di bidang yang kami tekuni,” Fofo menuturkan.

Dalam membangun dan mengelola bisnis, Master of Engineering Science dari Universitas New South Wales, Australia ini selalu bertumpu pada pilar kekeluargaan. “Kami ingin menggalang persatuan, kesatuan dalam grup. Harus saling sayang, saling kenal untuk menyatukan karyawan,” ucapnya. Di mata Fofo, karyawan merupakan bagian dari keluarganya. “Kami ingin mereka bangga karena bekerja di tempat yang baik,” ujarnya. Karena itu ia kerap menggalang berbagai event, seperti outing, olah raga bersama, kompetisi musik, fotografi, dan gerak jalan bareng.

“Saya tahu persis, Pak Fofo memperlakukan karyawannya dengan baik karena dipandang sebagai aset berharga,” ungkap Don Bosco. “Beliau sangat responsif, sangat ringan tangan dalam membantu orang,” tambahnya. Fofo juga memegang baik tali pertemanan. Meski pemilik, sikap Fofo tidak bossy. “Human touch-nya luar biasa,” imbuhnya. Don Bosco menceritakan pengalamannya ketika datang menghadiri SCTV Award. Kebetulan ia datang sendiri tidak dengan sang istri karena undangannya hanya buat satu orang. Mengetahui hal itu, Fofo dengan spontan menawarkan untuk menjemput. “Itulah, beliau mempunyai kekuatan untuk menjaga hubungan yang baik,” tambahnya.

Di mata kolega dan anak buahnya, Fofo memang pribadi yang ramah. Beberapa karyawan O Channel yang sempat ditemui SWA saat ulang tahun O Channel menuturkan bahwa Fofo sangat ramah, bahkan kepada karyawan level bawah. Fofo juga dikenal sebagai pribadi yang humble dan religius. “Beliau membuka pekerjaan hari itu dengan doa, dan menutupnya juga dengan doa,” tutur Don Bosco.

Bagi Fofo sendiri, kepedulian pada karyawan dan sesama adalah sebuah kewajiban. Pasalnya, ia sendiri mengaku sudah diberkati dengan bisnis yang bagus. “Jadi jangan lupa memberkati orang lain. Bisnis media ini titipan Tuhan, harus dijaga dengan baik, dikelola dengan benar, harus juga bisa mempropagandakan sesuatu yang mendidik agar bisa dinilai baik lho di akhirat,” ungkap Fofo yang sedari kecil suka mengutak-atik barang-barang elektronik. Saking hobinya, lemari bajunya penuh dengan barang elektronik. Bahkan, umur 10 tahun ia sudah bisa bikin elektronik sirkuit, amplifier dan video game, padahal ketika itu televisi masih hitam-putih.

Kepedulian pada sesama juga disalurkan dengan membangun TK Semai Benih Bangsa yang bekerja sama dengan Ratna Megawangi. Saat ini sudah ada 17 TK yang dibangun di seluruh Indonesia. Targetnya tahun depan bisa membangun sampai ratusan. “Orang tua selalu menekankan kepada kami untuk jujur, membina dan menjaga hubungan baik dengan semua pihak, serta mempunyai komitmen yang bagus,” Fofo bertutur. Menurutnya, ia dibesarkan oleh orang tua dengan fondasi agama yang kuat. “Ibu sering mendoakan anak-anaknya agar selalu dalam perlindungan Allah,” ujarnya. Tak hanya itu, disiplin keras juga diterapkan sang ayah. “Waktu muda belum mengerti, tapi setelah dewasa baru mengerti mengapa harus disiplin,” tukas penikmat musik dan olah raga ini.

Darwin Wahyu Sariaatmadja:
Selalu Ingat Petuah Orang Tua

Dibandingkan dengan kedua kakak laki-lakinya, Darwin memang kalah supel. Toh, kesan ramah tetap terpancar dari anak kelima dari 6 bersaudara ini. Kelahiran 27 Mei 1965 ini mulai bergabung dengan perusahaan keluarga pada awal 1990-an. “Saya diminta Eddy untuk memperkuat perusahaan, ya why not,” ceritanya. Pada saat bergabung ia mengaku nothing to loose. “Kalau tidak suka, ya bisa pindah ke tempat lain,” ujar Darwin yang menyelesaikan S-1 Electrical Engineering dan S-2 Commerce di Universitas New South Wales, Australia.

Sesuai dengan bidang keahliannya, Darwin pun bergabung di Emtek. Darwin memulai sebagai Manajer Teknik. Baginya, tidak ada masalah ia harus berkarier merangkak dari bawah meski sang CEO adalah kakak kandungnya. “Ini proses belajar,” kata Darwin yang sejak 2005 dipercaya untuk mengendalikan PT Abhimata Persada (AP) sebagai Presiden Direktur. Perusahaan ini dibangun pada 1990-an sebagai anak perusahaan Emtek. Di bawah Emtek terdapat lebih dari 10 anak usaha yang bergerak selain di teknologi informasi (TI), juga telekomunikasi dan media.

Sementara untuk AP fokus pada TI perbankan. “Kami bermain di jasa switching, treasury, trade finance. Klien kami sebagian besar ya bank,” katanya. Untuk switching, tambahnya, hampir semua bank besar menjalin kerja sama dengan pihak AP, sebut saja Bank Mandiri, BCA, Danamon, BNI, dan BTN.

Pria jangkung berkulit putih dengan kumis tipis ini mengaku dalam menjalankan dan mengelola bisnis, ia sangat mengikuti nasihat orang tuanya. Ia mengatakan, orang tuanya kerap mewanti-wanti bahwa dalam mengelola bisnis atau apa pun harus benar-benar tekun, dan berusaha semaksimal mungkin. Dan, karena ia berkecimpung di dunia TI, maka prinsip itu harus ditambah lagi. “Harus up-to-date terhadap informasi dan inovasi juga tak kalah penting,” kata Darwin sambil menjelaskan bahwa inovasi di TI sangat cepat. Karena itu, ia sangat menekankan pentingnya inovasi pada anak buahnya. “Tidak cuma di teknologi tapi juga dalam proses,” imbuh Darwin yang menyelesaikan SMU-nya di Australia. Untuk meng-update pengetahuan, Darwin bisa empat kali dalam setahun melancong ke luar negeri.

Ayah dua anak ini – berusia 10 dan 7 tahun – mengaku dalam menggelindingkan bisnis tidak selalu semulus jalan tol. Pada saat pertama, ia sempat tertipu. “Pada saat menagih, perusahaannya hilang, kantornya kosong melompong,” katanya mengenang. Toh, baginya batu sandungan itu sebagai tantangan, karena ke depan ia menjadi belajar bahwa cross-check itu sangat perlu. “Dapat order itu jangan senang dulu, menagihnya bisa tidak?” imbuh Darwin yang sempat merentas karier di bagian sistem komputer sebuah perusahaan asuransi di Australia.

Menurut Darwin, orang tuanya tidak pernah memaksa anak-anaknya menjadi somebody. “Tapi mereka mengajarkan harus bersungguh-sungguh jika meminta sesuatu agar hasilnya optimal dan bagus, jadi jangan asal-asalan,” paparnya. Orang tuanya kerap memberikan petuah supaya anak-anaknya mempelajari sesuatu secara optimal sehingga berhasil. Diakuinya, sang ayah cukup ketat dan keras mendidik ke-6 putra-putrinya. “Patokannya, rapot tidak boleh ada angka merah,” kata Darwin yang sewaktu SMU sempat kursus mengetik 10 jari atas keinginan sendiri. “Jadi, begitu komputer diperkenalkan, saya tidak canggung lagi,” ujarnya.

Adapun dunia TI digandrunginya sejak SMP. “Zaman dulu kan belum ada komputer, tapi sudah merakit sensor, radio, segala macamlah,” katanya seraya menambahkan bahwa yang pasti, apa pun kegiatan anak-anaknya, orang tua mendukung secara penuh. Semisal, mau mencari barang-barang di Harco, Glodok, orang tua mendukung dengan memberikan fasilitas. “Jadi minat kami dikembangkan, tidak harus menunggu sampai kuliah,” katanya,

Seperti Eddy dan Fofo, selain santun dan humble, Darwin pun terkesan religius. “Dari kecil kami diajarkan untuk selalu dekat dengan Tuhan dan berbakti,” katanya. Darwin menuturkan, orang tuanya mengajarkan pula mereka untuk melaksanakan kegiatan sosial. “Waktu kecil, kami sering diajak berkunjung ke panti asuhan,” tuturnya. Kegiatan ini sampai sekarang masih berlangsung. Bahkan, ada yayasan yang dikelola oleh tim khusus. “Karena kami merasa mendapat berkat dari Tuhan, jadi kami merasa harus mengembalikan,” imbuh penyuka sport ini.[SWAsembada]

3 komentar:

  1. Kagum dengan pribadi mereka berdua ( Eddy dan Fofo) , semoga TUHAN memimpin dan menganugerahkan sukacita di tengah keluarga dan menjadi berkat ke semua orang _/\_

    BalasHapus