Senin, 20 Mei 2013

Redaksi Liputan 6 Makin Diobok-obok

SIANG ITU, seperti biasa, para produser Liputan 6 SCTV mengikuti rapat budgeting, yakni rapat perencanaan untuk program Liputan 6 Petang. Tidak seperti biasanya, kali ini para pejabat Divisi News Center berkumpul lengkap di ruangan (termasuk Wapemred Putut Trihusodo yang biasanya lebih asyik berkumpul di ruang merokok Lantai 7 atau cafe Warung Pojok di salah satu lantai Senayan City).

Rasa keheranan ini tak berlangsung lama karena setelah rapat dibuka tiba-tiba saja Direktur Utama PT Surya Citra Media Tbk (perusahaan induk SCTV dan Indosiar) Sutanto Hartono bersama sejumlah pejabat teras SCTV muncul di ruang rapat. Teka-teka pertama terjawab, ternyata ada pejabat penting yang akan ‘menyelinap’ ke ruang rapat redaksi.

Ada apa?

Tidak seorang pun yang berani bertanya karena mantan Direktur Utama SCTV itu tidak berbeda jauh dengan Dewa bagi sebagian besar dari kami, terutama para pejabat Liputan 6. Lagi pula, apa pula urusannya bertanya ini-itu? Karena nanti, ujung-ujungnya bakal di-HRD-kan atau dibikin tidak nyaman hingga selanjutnya mundur teratur dari kantor mewah SCTV Tower.

Singkat cerita, Sutanto Hartono yang semasa menjabat sebagai Direktur Utama SCTV diposisikan sebagai Ketua Dewan Redaksi itu pun langsung mendapat kesempatan berbicara. Seluruh peserta rapat menyimak dengan seksama. Sebagian dari kami berharap, ada pengumuman bagus menyangkut bonus atau kenaikan gaji yang signifikan.

Bukan apa-apa, sebagian besar dari kami masih kecewa dengan pembagian bonus dan kenaikan gaji per Maret lalu. Selain menyangkut cara penilaian yang aneh dan sangat merugikan, buntut-buntutnya angka-angka yang muncul di ATM pun hanya bikin keresahan di sebagian besar karyawan. Untuk poin ini, saya malas menguraikannya. Biarlah keresahan ini disimpan di hati kami.

Tanpa banyak basa-basi, Sutanto Hartono langsung mengumbar cerita tentang job desk-nya yang baru sambil memperkenalkan nama-nama baru yang menjabat sebagai Dirut SCTV dan Dirut Indosiar. Ada pejabat baru, toh! Misal SCTV, yang sekarang dipimpin oleh Harsiwi Achmad yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Program dan Produksi.

Lantas, apa yang aneh?

Ya, uraiannya makin aneh karena, katanya, ia tetap memegang kendali atas kedua dirut itu. Jelasnya, mereka tak lebih dari direktur seperti posisi terdahulu dan ia akan tetap memegang kendali atas operasionalisasi SCTV plus Indosiar. Artinya, Sutanto Hartono yang terkenal dengan Kebijakan Outsourcing-nya itu sebenarnya merupakan Dirut untuk dua stasiun televisi.

Para pejabat Liputan 6 hanya senyum-senyum. Para produser terdiam tanpa berminat untuk menanggapi, apalagi mengkritisi.

Buat saya, begitu Sutanto Hartono muncul di ruang redaksi merupakan keanehan pertama. Dan ketika ia mengumbar cerita soal kendali penuhnya atas SCTV dan Indosiar menjadi keanehan kedua. Terakhir, ketika saya berpikir tentang posisi kami yang karyawan dan juga jurnalis, tiba-tiba saya harus menghadirkan keanehan ketiga.

Jadi, ruang redaksi kami telah makin diobok-obok?

***

SAYA HANYA terdiam ketika produser sebuah program berita Liputan 6 itu bercerita dengan begitu berapi-api sambil sesekali menghembuskan nafas panjangnya. Kekesalan dan kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.

Saya mengenalnya sebagai jurnalis yang cukup idealis, meski ia tergolong pendiam dan tidak vokal. Saya tahu, di balik sifat pendiam dan tidak vokal itu sebenarnya ia menyimpan kegundahan. “Ya, sekadar cari makan,” jawabnya ketika diminta mempertanggungjawabkan ketidakkritisannya itu.

Saya sangat tahu, kompromi terhadap perut dan masa depan anak-anak para jurnalis itu menjadi alasan kuat untuk menerima seluruh keanehan itu: entah keanehan pertama, keanehan kedua, keanehan ketiga, atau ratusan keanehan lainnya. Karena para jurnalis itu butuh keamanan (bahkan sebagian lagi kenyamanan).

Buat saya, sebagai jurnalis yang pernah berada di lingkungan itu, sikap maklum dan pura-pura memahami dilematis itu juga menjadi keharusan. Karena tidak semua orang bakal memiliki prinsif dan memiliki keberanian untuk menjaganya mati-matian, meski ia telah menjanjikan diri untuk mengabdi kepada dunia jurnalisme.

Namun ketika saya berada di pihak khalayak, maka saya mesti mempertimbangkan sajian-sajian berita yang bakal dihadirkan oleh media dengan sistem manajemen seperti diuraikan di atas. Penelitian-penelitian para akademisi menunjukkan bahwa kesemrawutan isi media sangat berkaitan dengan kesemrawutan lembaga atau organisasi yang mengelola penyajian isi media itu.

Parahnya, kesemrawutan itu memang sengaja diciptakan oleh para pemilik modal melalui tangan-tangan manajerial yang dipilihnya. Jangan heran, tangan-tangan manajerial itu bukan hanya berupa sosok direktur utama atau direktur, tapi juga pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, kepala peliputan, kepala produksi, produser eksekutif, hingga para produser di bawahnya.

Dan, itu merupakan cerita paling anyar tentang kondisi media di tanah air, serta bukan hanya milik SCTV dan Indosiar. Media televisi lain dengan kendali penuh korporasi di atasnya juga senasib.[NAYUNDA LARASATI]

Sabtu, 04 Mei 2013

Pengekangan Hak Berserikat Adalah Pelanggaran HAM

Demosi atau penurunan jabatan dan PHK terhadap pengurus serikat pekerja dalam suatu perusahaan merupakan pelanggaran hak berserikat atau HAM sesuai Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Pendapat itu disampaikan Yoseph Adi Prasetya –biasa disapa Stanley-, Komisioner Komnas HAM Subbidang Pendidikan dan Penyuluhan, saat diperiksa sebagai ahli dalam kasus gugatan PHK wartawan Suara Pembaruan, Budi Laksono, di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Kamis (18/2).

Sebelum diperiksa, kuasa hukum Suara Pembaruan Christma Celi Manafe, sempat keberatan dengan kapasitas Stanley yang merupakan salah satu Komisioner Komnas HAM. Pasalnya, kasus ini murni hubungan industrial dan tak ada kaitannya dengan serikat pekerja. Ia pun mengkhawatirkan jika Stanley diperiksa sebagai ahli, keterangannya tak independen. Meski demikian, majelis hakim yang dipimpin Sapawi tetap memperkenankan Stanley diperiksa dan keberatan itu akan dicatat dalam berita acara sidang.

Stanley lalu mengutip Pasal 28 UU Serikat Pekerja yang menyatakan siapa pun dilarang menghalangi-halangi pekerja membentuk atau tak membentuk, menjadi pengurus atau tak menjadi pengurus dengan cara mem-PHK, intimidasi, demosi. “Termasuk pernyataan atau ungkapan yang berbau antiserikat, misalnya ketika perusahaan tak suka pada salah satu pengurus serikat, intimidasi, ini bentuk pelanggaran HAM,” kata Stanley.

Jika ini terjadi, Komnas HAM dapat merekomendasikan kepada Komisi III DPR untuk memanggil perusahaan yang bersangkutan. Bahkan, dapat dicabut izin usahanya jika dinilai terjadi pelanggaran HAM.

Disinggung soal demosi dari profesi wartawan ke bagian penelitian dan pengembangan (Litbang), Stanley mengaku pernah melakukan penelitian kebebasan berserikat di sejumlah perusahaan media berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas HAM. Diantaranya, kasus di SCTV, Tabloid Bola, Indosiar. Salah satunya, dengan melakukan mediasi antara pimpinan media dan wartawannya yang menjadi pengurus atau anggota serikat pekerja.

“Wartawan yang dimutasi ke bagian Litbang di perusahaan media muncul julukan 'sulit berkembang', jadi seorang wartawan yang dimutasi ke Litbang, karirnya akan mati,” kata mantan jurnalis majalah Jakarta-Jakarta itu menjelaskan. Modus lainnya, wartawan kerap dipindahkan desk liputan yang tak dikuasai. Misalnya, dari wartawan politik dirotasi ke wartawan mode. Pengkondisian ini merupakan bagian dari sikap tak ramah perusahaan terhadap kebebasan berserikat.

Dalam banyak kasus, Stanley mencontohkan, di Kelompok Kompas Gramedia ada beberapa orang yang membuat serikat pekerja, lalu di-PHK. “Proses PHK-nya begitu cepat, saya juga tak tahu kenapa, mungkin karena ada 'dukungan' dari pihak Disnakertrans, sehingga dia kehilangan haknya,” ujarnya menceritakan. Hal ini pernah terjadi di Media Indonesia, RCTI, Kompas untuk kasus PHK Bambang Wisudo yang pernah diproses di PHI Jakarta. Kala itu Stanley pun menjadi saksi ahli. “Ini merupakan tindakan antiserikat,” tegasnya.

Ditanya jika seorang pengurus serikat yang di-PHK dalam proses hukum, Stanley berpendapat kepengurusannya belum gugur sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum. “Sebelum putusan inkracht, dia masih punya hak menjadi pengurus karena kepastian dia masih karyawan atau bukan harus dibuktikan lewat putusan pengadilan.”

Sekedar mengingatkan, awal Desember 2009 lalu manajemen Suara Pembaruan melayangkan gugatan PHK kepada Budi Laksono, Ketua Serikat Pekerja Suara Pembaruan, lantaran dianggap mangkir selama 19 hari kerja pada 5-13 Februari 2009. Sebelumnya, Budi dianggap kerap melalaikan tugasnya hingga akhirnya mendapatkan surat peringatan kesatu (SP-1) hingga SP-3. Sementara Budi berdalih PHK terkait erat pendirian serikat pekerja dimana Budi selaku ketuanya. Itu dibuktikan adanya anjuran Sudinakertrans Jakarta Timur agar perusahaan kembali mempekerjakan Budi. Modusnya, ia pernah didemosi dari wartawan ke bagian Litbang hingga akhirnya di-PHK.

Perusahaan Dihimbau Tidak Beriklan di Tayangan Tak Ramah Anak

Tayangan anak yang mengandung kekerasan masih kerap terlihat di televisi kita. Sinetron Si Biang Kerok Cilik (SCTV), yang mengisahkan kehidupan anak Sekolah Dasar dengan latar sekolah ini adalah salah satunya. Dalam tujuh episode yang diteliti Remotivi (periode 24 Desember 2012-30 Desember 2012), terdapat 49 adegan yang mengandung kekerasan fisik dan 85 kalimat dialog yang mengandung kekerasan verbal (baca: "[Siaran Pers] Izinkan Anak-Anak Tumbuh Tanpa Tayangan Kekerasan").

Dengan banyaknya adegan kekerasan dalam tayangan produksi Screenplay ini, anak-anak—yang mengalami proses belajar sosial saat menontonnya—diajarkan bahwa kekerasan dapat menjadi jalan keluar permasalahan. Menjamurnya adegan perkelahian antarsiswa Sekolah Dasar pun (misalnya, saat tokoh Bije berkelahi dengan Jarot untuk membuktikan siapa yang salah) mereduksi makna kebenaran menjadi persoalan siapa yang kuat dan lemah.

Hal di atas disampaikan Koordinator Advokasi dan Kampanye Remotivi Nurvina Alifa dalam Focus Group Discussion yang bertempat di aula Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, pada 25 April 2013, di mana Remotivi mempublikasikan hasil penelitiannya terhadap Si Biang Kerok Cilik. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Nina Armando turut menyatakan keprihatinannya. Menurutnya, hal ini termasuk dalam pelanggaran perlindungan anak, sehingga tayangan ini harus diperbaiki.

“(Tayangan) pemegang rating tertinggi pasti bermasalah; tayangan yang bermasalah itu pasti ditonton,” ujar perwakilan Screenplay Agus Wijaya menanggapi hal di atas. Hal ini dibantah Direktur Remotivi Roy Thaniago yang menyatakan bahwa televisi sering kali tidak mau bersusah payah untuk berjuang memproduksi tayangan yang berkualitas, dan hanya berdalih atas nama Nielsen. “Yang membentuk selera masyarakat kan media,” ujarnya. Namun, baik Agus maupun perwakilan SCTV Doni Arianto sudah menyatakan kesediaannya untuk terus memperbaiki tayangan ini dari waktu ke waktu.

Tidak hanya SCTV dan Screenplay, menurut Nurvina, Unilever, Wings, dan Indofood—juga perusahaan lain yang beriklan—harus ikut bertanggungjawab atas pelanggaran ini. Ketiga perusahaan ini tercatat paling banyak memasang iklan pada Si Biang Kerok Cilik selama periode pemantauan Remotivi, yang dengan kata lain merupakan penyokong kelangsungan hidup tayangan ini. Seharusnya, lanjut Nurvina, perusahaan-perusahaan mesti mempertimbangkan isi tayangan tempatnya menaruh iklan, bukan hanya melihat rating dan share-nya saja.

Roy pun menyatakan bahwa harus ada komitmen yang kuat dari perusahaan-perusahaan untuk menjaga citranya sebagai perusahaan yang ramah anak dengan tidak beriklan pada tayangan yang tidak ramah anak. Dengan begitu, lanjutnya, tidak ada kesempatan bagi tayangan seperti ini untuk terus disiarkan.

Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Otty H. C. Ubayani Panoedjoe yang hadir saat itu meresponnya, “Namanya juga pengusaha, pasti akan mencari untung dan rating yang tinggi.” Menanggapinya, Nina mengatakan bahwa televisi bersiaran menggunakan frekuensi publik. Tentu, lanjutnya, motif ekonomi tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk merugikan dan melanggar hak anak di televisi. Maka, perusahaan pengiklan sebagai bahan bakar utama sebuah tayangan juga harus berpihak kepada kepentingan publik. “Harus ada mata rantai yang diputus untuk meniadakan tayangan yang tidak ramah terhadap anak: iklan,” tambah Nurvina.

Salah satu perusahaan pemasang iklan terbanyak di Si Biang Kerok Cilik, yakni Unilever, sampai berita ini diturunkan belum bisa dimintai keterangan. “Kami baru bisa memberikan jawaban paling cepat Selasa, ya,” ujar Tanti, staf bagian Media Relations Unilever di ujung telepon. (REMOTIVI/Indah Wulandari)