Kamis, 17 Januari 2013

Pekerja Media Rawan Dikriminalisasi (2)



Saya akan melanjutkan pembahasan aksi-aksi kriminalisasi terhadap pekerja media [baca: Pekerja Media Rawan Dikriminalisasi (1)] terkait penerapan konsep flexibility labor market dan strategi komodifikasi media di berbagai media. Tulisan ini saya susun berdasarkan hasil diskusi dengan seorang pekerja media dan penelitian yang saya lakukan di stasiun SCTV beberapa waktu lalu. Persisnya, di lingkungan Divisi Pemberitaan atau Liputan 6. Poin terpenting dari kedua pendekatan itu, ketika konsep flexibility labor market dan strategi komodifikasi media diimplementasikan, maka media pun memperlakukan para pekerja secara semena-mena!


Menurutnya, selama lima tahun terakhir, media tempatnya bekerja memberlakukan apa yang disebut key perpormance indicator (KPI) tanpa tedeng aling-aling. Media itu memaksakan menilai kinerja para pekerjanya dengan standar “kuantitatif” namun diterapkan dengan operasionalisasi variabel yang tidak jelas. Artinya, acuan dan kriteria atau penilaian kinerja itu disusun secara mana suka oleh pihak atasan.

Pada setiap akhir tahun, sistem penilaian itu mengharuskan setiap karyawan, termasuk kalangan jurnalis televisi, untuk mencatatkan kinerja dengan kriteria tertentu dan memberikan skor penilaian atas kinerja itu. Pada tahap berikutnya, produser atau atasan langsung setiap jurnalis televisi itu akan memberikan respon atas kinerja itu dan memberikan skor. Pemberian skor secara “kuantitatif” itu tidak dibarengi dengan penentuan operasionalisasi variabel yang lazim dilakukan dalam penilaian secara kuantitatif. Pada fase ini, like and dislike pun menjadi acuan utama penorehan skor.

Tidak berhenti sampai di situ, lembar penilaian yang dilakukan secara online itu akan bergulir ke atasan yang lebih tinggi dan terus di bawah kendali HRD. Pada puncaknya, pimpinan tertinggi di departemen dan divisi bersama HRD akan memutuskan skor akhir. Campur tangan HRD dalam penentuan skor akhir atas kinerja seorang jurnalis televisi sangat besar. Dan jajaran pimpinan di Divisi Pemberitaan pun menjadi kehilangan independensi dalam memutuskan performa seorang jurnalis televisi.

Bagi saya, peristiwa penentuan skor atau penilaian seorang jurnalis televisi ini menjadi bagian penting untuk menelusuri pengaruh eksternal atau struktur organisasi terhadap lembaga pers di lingkungan stasiun televisi. Ini menjadi penting, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap iklim komunikasi organisasi, budaya organisasi, juga etos kerja. Selain itu, sesungguhnya hal ini bukan hanya membangun demotivasi dan penurunan etos kerja bagi kalangan jurnalis televisi di stasiun televisi yang bersangkutan, tetapi hal itu juga menandai adanya peristiwa dehumanisasi seperti disinggung Karl Marx.

Bahkan, atas nama penghematan dan upaya memberikan kesempatan kepada tenaga-tenaga outsourcing, para petinggi Divisi Pemberitaan dan Divisi HRD menjadi sangat “sinergis” dalam penyingkiran para jurnalis televisi. Termasuk, jurnalis televisi yang tergolong senior dan memiliki kompetensi yang di atas rata-rata. Para petinggi kedua divisi itu tak segan-segan mengonstruksi sederet kesalahan dan menjadikannya sanksi, agar jurnalis televisi yang bersangkutan tidak nyaman, tersinggung, dan keluar.

“Persoalan absen, entah tidak pernah absen, datang terlambat atau pulang lebih cepat, serta segala bentuk disiplin seperti pegawai kantoran tiba-tiba juga diberlakukan bagi jurnalis televisi yang dibidik. Padahal, situasi ketidakdisiplinan dalam tanda kutip itu relatif terjadi di Divisi Pemberitaan. Artinya, hal itu bukan menjadi persoalan besar, karena kami terbiasa bekerja dengan hitungan jam yang tidak pasti dan melebihi ekspetasi pegawai kantoran,” jelas seorang produser “bermasalah” di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Tidak sampai di situ, bidikan-bidikan kesalahan itu juga bisa mengarah pada hasil pekerjaan, yang sebetulnya tidak memiliki standar dan blue print. Ia bisa dianggap bermasalah, ketika atasannya menilai salah. Dalam kondisi itu, diskusi-diskusi atau pembahasan soal-soal kreatif menjadi sangat mahal. Kecerdasan sang jurnalis televisi dengan segala argumennya justru bisa dianggap masalah dan menjadi bukti keberadaannya yang berseberangan. Putusan-putasan diskriminatif atas dasar like and dislike memang menjadi sangat bermekaran.

“Cerita bullying pada acara Hitam Putih (Trans7) yang dikawal Deddy Corbuzier mengingatkan pada aksi ‘bullying’ jajaran pimpinan terhadap kami dalam bingkai like and dislike. Jurnalis televisi yang dianggap bermasalah bakal dilabeli dan dipancang stigma negatif secara kompak, demi mendeaktulisasi sejarah kinerja, prestasi, dan kompetensinya. Bahkan, pola pendzaliman itu mendapatkan restu dan dilegalisasi atas nama final appraisal,” jelas seorang produser.

Dan, ketika sang jurnalis televisi memilih bertahan dengan mengalah atas putusan diskriminatif itu, maka ia harus bersiap-siap dimutasi ke posisi yang tidak nyaman dan sangat mengabaikan kompetensinya. Dalam konteks tersebut, Departemen Litbang atau Departemen Website pun dijadikan tempat penampungan bagi para jurnalis televisi “bermasalah” itu. Pada masa dulu, dalam suasana media cetak, seorang jurnalis “bermasalah” biasanya akan dimutasikan ke litbang atau percetakan. Fokus kondisi yang ingin dibangun adalah ketidaknyamanan dan deaktualisasi.

“Pemberian sanksi semacam Surat Peringatan tidak selalu karena sederet kesalahan, tapi lebih didasarkan pada persoalan like and dislike,” jelas produser “bermasalah” itu. “Parahnya, para petinggi lain di Divisi Pemberitaan itu pun bisa mengamini laporan atasan yang bersangkutan dan bersepakat, untuk menyerahkan sebuah kasus ke Divisi HRD. Dan jangan berharap Divisi HRD akan menjadi mediator atau menjernihkan konflik atasan-bawahan, tapi mereka akan segera menerbitkan Surat Peringatan dengan suka cita. Bahkan, mereka juga tanpa ragu-ragu menantang untuk menyelesaikannya lewat pengadilan.”

Padahal, lanjutnya, ketika pekerja yang dibidik dan diposisikan bersalah itu menantang balik untuk menyelesaikan masalah menurut undang-undang, staf HRD itu akan terkencing-kencing. Lantas, ia pun mengumbar penawaran berbungkus kompensasi, dan lagi-lagi, merujuk pada undang-undang yang sesungguhnya memang sangat tidak berpihak kepada para pekerja dalam pengaturan pemberian pesangon.

“Lagi pula, undang-undang itu dikondisikan untuk orang bersalah dan dengan pemberian hak yang sangat mengntungkan pengusaha. Karena itu, undang-undang dijadikan acuan sekadar untuk memerangkap pada pemberian pesangon seminim mungkin. Bahkan, kalau perlu, gratis!” jelas seorang produser.

Poin akhir dari pengondisian itu adalah penawaran pensiun dini atau paket kesepakatan bersama, dengan jumlah angka kompensasi yang di jauh dari harapan. Atau, bagi jurnalis televisi yang tidak bisa bersabar dan emosional, ia akan memenuhi harapan stasiun televisi itu, yakni mengundurkan diri dengan suka rela dan bahkan tanpa menuntut banyak pesangon. Dengan begitu, stasiun televisi itu pun sukses menyingkirkan sang jurnalis televisi, sekaligus tanpa harus “berkonflik” dan mengeluarkan banyak uang. Dan setelah itu, stasiun televisi itu akan merekrut pekerja baru dengan gaji yang lebih murah dan dengan status kontrak. Sebuah desain program penghematan yang jitu dan sangat mengakomodir strategi komodifikasi.

Pada bagian ini, para pengelola media, termasuk juga kalangan jurnalis televise yang memililiki jabatan strategis, sangat berperan dalam mengabaikan sejarah kinerja dan prestasi, latar belakang pendidikan, keunggulan kompetensi, bahkan ide-ide kreatif. Suasana yang mempersaingkan pekerja senior dan junior, bahkan pekerja outsourcing, dalam satu jenis pekerjaan dengan kriteria kinerja yang lebih mendahulukan kuantitas dibandingkan kualitas, sangat terasa. Di balik itu, sudah pasti “agenda setting” penghematan yang berujung pada rasionalisasi dan pemberdayaan pekerja-pekerja outsourcing secara besar-besaran senantiasa mengintai.[NAYUNDA LARASATI]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar