Kamis, 17 Januari 2013

Semiotika Pocong dan Keranda Mayat


Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna (Hoed, 2011). Lebih jauh, Benny H. Hoed memaparkan bahwa para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda).

Untuk kebutuhan pembacaan atas peristiwa yang menampilkan aksi, termasuk kasus pemberian hadiah duplikasi pocong dan keranda mayat dalam Aksi Simpatik SP SCTV di SCTV Tower beberapa waktu lalu, saya menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Karena itu, uraian pada bagian ini seluruh mengarah pada model dikotomis penanda-petanda yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis contenu (C)). Jadi, sesuai teori de Saussure, tanda adalah “relasi” (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C.

Dalam kehidupan sosial budaya, jelas Hoed, pemakai tanda tak hanya memaknainya sebagai denotasi, yakni makna yang dikenal secara umum. Oleh Barthes, denotasi disebut sebagai sistem “pertama” atau “primer”. Biasanya pemakai tanda pengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem “kedua” atau “sekunder”. Bila pengembangannya ke arah E menjadi metabahasa. Artinya, pemakai tanda memberikan bentuk berbeda untuk makna yang sama. Misalnya, makna “tempat untuk narapidana dikurung”, selain kata penjara, pemakai tanda juga menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau kurungan.

Sedangkan ketika pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.

Cukup rumit menjelaskan analisis semiotika dalam bahasa yang sangat sederhana karena sejatinya uraian permasalahan tersebut memang membutuhkan halaman panjang. Poin akhir dari seluruh penjelasan adalah adanya pemaknaan secara denotatif dan konotatif. Lantas pada tahap berikutnya, pemaknaan konotatif itu pun menjadi mitos, serta bila telah ajeg ia akan menjadi ideologi. Penjelasan singkat di atas tetap ditampilkan, paling tidak bisa menjadi penegas, uraian tentang kasus yang ditampilkan dalam tulisan ini memiliki pondasi. Artinya, tidak sekadar asal ngejeplak!

Saya akan langsung pada poin pembahasan. 

Dalam aksi dan rekaman video terlihat sejumlah pengunjuk rasa membawa pocong anak kecil dan keranda mayat dalam Aksi Simpatik SP SCTV di SCTV Tower. Seorang pengunjuk rasa mengenakan baju koko hitam dan kopiah hitam membawa duplikasi pocong di atas kedua tangannya. Sorot matanya tajam dan mulutnya terkunci rapat. Ia berjalan tegap di bagian depan. 

Pengunjuk rasa itu mewakili sosok Pak Darmayanto, satu dari 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak di-PHK dan dialihkan menjadi pekerja outsourcing. Sementara duplikasi pocong di tangannya adalah sosok Rangga Ajie Khairul Darma, bocah berusia 3,5 tahun dan putra ketiga Pak Darmayanto. Ia mengidap penyakit kanker darah. Ia sempat dirawat di rumah sakit. Namun, saat masa skorsing berlangsung, pihak HRD SCTV menutup akses asuransi untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pak Darmayanto pun membawa anaknya pulang dan dirawat sekadarnya. 

Persis 12 Agustus 2012, atau dua bulan setelah masa skorsing diberlakukan, Rangga menghembuskan nafas terakhir di pelukan ayahnya, Pak Darmayanto. Tragis!

Secara denotatif, aksi membawa duplikasi pocong oleh pengunjuk rasa berpakaian koko hitam dan kopiah hitam merupakan reacment atau reka ulang atas peristiwa tragis yang dialami oleh Pak Darmayanto, lengkap dengan segala ketegaran dan kepedihannya. Pada aksi unjuk rasa itu, Pak Darmayanto berada di barisan lain seraya terus menghisap rokok untuk membunuh kegundahannya. Narasi dari atas mobil komando tak urung membuatnya menangis lantaran teringat akan duka yang terus dirasakannya.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa para pengunjuk rasa telah mengirimkan pesan denotatif soal peristiwa tragis yang dialami oleh seorang korban skorsing dan regulasi pemberdayaan pekerja outsourcing di SCTV. Pesan ini sangat telanjang dan jelas: peristiwa buruk yang dialami pekerja semasa perusahaan menjatuhkan kebijakannya. Dan kebijakan itu menimbulkan korban jiwa: seorang bocah!

Beranjak kepada pembacaan secara konotatif, maka akan semakin berhamburan pesan yang ingin disampaikan dalam aksi itu. Pakaian hitam dan kopiah hitam yang dikenakan oleh pengunjuk rasa menandakan duka mendalam yang dirasakannya hingga sekarang. Ia terus menggendong sang putra dan ini memberikan pembuktian bahwa ia sangat terpukul hingga tak ikhlas memberikan jasad itu kepada orang lain.

Ia ingin terus mendekapnya hingga ia memasuki liang lahat. Pesan yang ingin dikatakan: bisakah kita merasakan duka Pak Darmayanto, bisakah pihak manajemen SCTV merasakan kesedihan Pak Darmayanto, dan bisakah para pemilik modal SCTV memikirkan ulang penerapan kebijakan outsourcing agar tak membunuh nasib para pekerja tetapnya?

Sedangkan aksi membawa keranda mayat, sesungguhnya juga merupakan reacment atau reka ulang atas wafatnya istri Suyanto, satu dari 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak di-PHK dan dialihkan menjadi pekerja outsourcing. Meski masih dibutuhkan pembuktian soal hubungan sebab-akibat antara peristiwa skorsing dan peristiwa kematian sang pekerja, hal itu tidak bisa menghapuskan kenyataan bahwa peristiwa kematian itu terjadi di tengah masa skorsing.

Ada fakta yang tidak bisa dibantah bahwa peristiwa skorsing yang mengarah pada PHK telah menghancurkan mental para istri dan anak-anak para pekerja. Bayangkanlah bila keresehan itu juga mesti dialami oleh seorang istri yang sakit parah.

Secara denotatif, aksi membawa keranda mayat oleh sejumlah pengunjuk rasa itu merupakan pesan soal peristiwa tragis yang dialami oleh seorang korban skorsing dan regulasi pemberdayaan pekerja outsourcing di SCTV. Pesan ini sangat telanjang dan jelas: peristiwa buruk yang dialami pekerja semasa perusahaan menjatuhkan kebijakannya. Dan kebijakan itu menimbulkan korban jiwa: dari kalangan istri pekerja tetap!

Beranjak kepada pembacaan secara konotatif, maka akan semakin berhamburan pesan yang ingin disampaikan dalam aksi itu. Ekspresi dingin para pembawa keranda mayat menandakan duka mendalam yang dirasakan oleh teman-teman korban. Mereka memberikan pembuktian bahwa mereka juga sangat terpukul dan tak ikhlas mesti ada korban lain setelah kematian Rangga. Pesan yang ingin dikatakan: bisakah kita merasakan duka Pak Suyanto dan teman-temannya, bisakah pihak manajemen SCTV merasakan kesedihan Pak Suyanto dan teman-temannya, dan bisakah para pemilik modal SCTV memikirkan ulang penerapan kebijakan outsourcing agar tak “membunuh” nasib para pekerja tetapnya?

Aksi itu merupakan pesan tentang  sejarah hitam di perusahaan itu. Sebuah catatan tentang kesewenang-wenangan pihak manajemen SCTV terhadap pekerja tetapnya. Pesan itu begitu kuat. Karena itu, para pengunjuk rasa pun makin mempertajamnya dengan sengaja membawa masuk ke areal pusat perbelanjaan Senayan City (bahkan diiiringi kalimat "Inna lillahi wa ina ilaihi rojiun"), guna diserahkan kepada pihak manajemen. 

Parahnyam, sepasukan keamanan gedung mencoba menahannya. Maka, suasana dramatis pun semakin menjadi-jadi. Bila tidak dikendalikan, penghambatan ini bisa menyulut emosi para pengunjuk rasa lain. Syukurlah, perdebatan itu tidak panjang dan memberi peluang pembawa duplikasi pocong dan keranda mayat memasuki areal hingga lobi SCTV Tower. 

Di tempat itu, sempat teerjadi ketegangan lantaran pihak manajemen SCTV bersikeras menolak menerima kedua simbol kesewenang-wenangan perusahaan terhadap para pekerja tetapnya itu. Padahal di tempat itu, di antara para petugas keamanan, juga terlihat Sekretaris Perusahaan Hardijanto Suroso, Wakil Pemimpin Redaksi Liputan 6 Putut Trihusodo, juga Pjs. Kadiv HRD Widodo. Bahkan, duplikasi pocong dan keranda mayat sempat digeletakkan di atas tanah sambil “menyaksikan:” perdebatan antara pengunjuk rasa dan perwakilan manajemen SCTV.

Peristiwa penggeletakan duplikasi pocong dan keranda mayat itu, secara konotatif, makin memperkuat penafsiran bahwa pihak manajemen SCTV memang tidak pernah menghargai simbol-simbol kedukaan, pihak manajemen SCTV memang tidak pernah peka terhadap perasaan para pekerja tetapnya, dan pihak manajemen SCTV memang tidak pernah mempedulikan akibat-akibat atas perbuatanya. Hati para pengelola perusahaan media itu telah membatu dan bebal. Dan ini memperkuat kenyataan soal pembelakuan kebijakan perusahaan yang memang sangat tidak berpihak kepada pekerjanya. Lebih khusus lagi, bila hal ini ditujukan kepada pemilik modal SCTV [baca: The Three Musketers Sariaatmadja] yang selama ini dihgembar-gemborkan santun dan religius, ternyata bohong belaka. Sekadar pencitraan!

Dengan demikian, mitos tentang kerakusan pengusaha-pengusaha kapitalis yang belakangan ini berhamburan ke wilayah media, makin tidak terbantahkan. Kerakusan mereka yang mesti diimplementasikan dalam bentuk efisiensi hingga pemberdayaan pekerja outsourcing secara gila-gilaan memang bukan rumor. Bahkan, para pengelola itu pun tak memperdulikan social cost dan akibat-akibat lain yang dimunculkan akibat ambisi menjalankan strategi yang dijalankan secara arogan itu.  

Inikah ideologi yang dibanggakan oleh kalangan kapitalis?

Pembacaan atas peristiwa Aksi Simpatik SP SCTV dengan penghadiahan duplikasi pocong dan keranda mayat, barangkali, bisa menjadi bahan perenungan soal keberadaan media di Tanah Air. Kali ini, kita tidak menyinggung soal pelanggaran demi pelanggaran terkait penggunaan frekuensi publik, pelibatan modal asing dalam bisnis media itu, transparansi akuisisi atau merger media sejenis, hingga sampah-sampah dalam rupa isi media. Karena, ternyata cara penanganan perusahaan media itu terhadap pekerja tetapnya, memang sangat tidak manusiawi dan sangat memperkokoh citranya sebagai budak kapitalis.[]

1 komentar:

  1. Promo Yang berlaku Di www.BolaTaipan.info :
    HOT PROMO :

    - Bonus Deposit New Member 15%
    - Bonus Deposit Setiap Hari 10%
    - Bonus Cashback Mingguan Sportbook Hingga 15%
    - Bonus Refrensi Seumur Hidup 2,5%
    - Bonus Rollingan Casino 0.8%
    silakan bosku ^_^
    Discount 4D : 66.00% , 3D : 59.5% , 2D : 29.5%
    Kombinasi = 5%
    Shio = 12%
    Colok Angka (1A) = 5%
    Colok Macau (2A) = 15%
    Colok Naga (3A) = 15%
    Colok Jitu = 8%
    jika ada kendala silahkan hubungi ke live chat kami ya bosku ^^
    kami siap membantu bosku 24jam :)
    Salam Hoki bosku ^^
    Silahkan Di Add langsung sosmed bola taipan ya bosku ^^

    WA : +855 81 520 194
    LINE : bolataipan
    Instagram : @bolataipan99
    Twitter : @BolaTaipan
    Fanspage : @BolaTaipan

    Salam Hoki bosku ^^

    BalasHapus