Senin, 24 Juni 2013

Musuh Terbesar Forum Pemred

kita orang timur sejak kecil diajarkan nasihat padi merunduk, makin berisi makin merunduk. saya kira bukan hanya pada orang timur. peradaban manusia, sebagaimana kita baca di berbagai kisah-kisah dongeng bahkan di kitab suci, penuh dengan orang-orang yang melakoni ilmu padi merunduk, makin berisi makin merunduk.

salah satu komentar menarik budayawan sujiwo tejo, atas forum pemred yang terkenal itu, ialah menyangkut sesuatu tentang padi merunduk ini. sujiwo tejo menganggap, filosofi padi merunduk itu agak berkebalikan dengan forum pemred, yang semakin berisi semakin tegak.

ini membawa saya pada kesimpulan bahwa berita mundurnya wahyu muryadi sebagai ketua forum pemred tak bisa tidak, harus dikaitkan juga dengan ilmu padi merunduk. suara kritik atas forum yang high profile itu sejauh ini  –setidaknya bagi saya — lebih merugikan ketimbang menguntungkan terhadap citra pers  (apalagi citra pemred) kendati konon sudah menelan biaya miliaran rupiah sumbangan dari berbagai sponsor.

menariknya, wahyu muryadi mundur dari forum pemred bukan karena kritik publik. wahyu muryadi mundur dari forum pemred justru karena dinamika internal majalah tempo. mereka tidak rela forum yang konon dibiayai oleh pengusaha besar dan perusahaan besar itu menciderai independensi tempo.

di sini kita menemukan titik sambungnya dengan ilmu padi merunduk. sebetulnya salah satu kritik atas forum pemred tersebut yang tidak diucapkan tetapi sangat meluas di kalangan wartawan, ialah sikap ekskusifitas forum itu. dari namanya saja, forum pemred, ‘paguyuban’ itu sudah meninggalkan ilmu padi. seolah para pemred itu bukan wartawan. seolah ada profesi baru: pemred. seolah mereka bisa mewakili dirinya sendiri. padahal dalam kasus wahyu muryadi jelas sudah, tanpa orang-orang di newsroom itu, seorang pemred tidak ada apa-apanya.

hal seperti ini sangat sensitif di dunia kewartawanan. pemimpin redaksi bukan ceo. hubungan pemred dengan para wartawan lain lebih banyak dibangun dalam suasana kolegial. jika sang pemred menulis sebuah berita, lalu ia menugaskan reporternya mewawancarai narasumber untuk berita itu, lalu wawancara tersebut dikutip, tak ada hubungan atasan bawahan laagi ketika karya itu menjadi berita. nama pemred dan nama reporternya harus ditulis sejajar atau setidaknya harus ada penanda bahwa sang reporter turut dalam menulis berita itu sebagai kolega, bukan hubungan atasan bawahan. ini salah satu contoh bagaimana hubungan kolegial itu berlangsung.

kita tidak lagi hidup di zaman orde baru, di zaman siupp, dimana untuk menjadi pemred seseorang harus mendapat approval dari persatuan wartawan indonesia (pwi) dan lebih berat lagi, harus disetujui oleh departemen penerangan. kita sudah lama meninggalkan itu.

dari pembicaraan dengan sejuamlah reporter di lapangan, saya menangkap kesan mereka tidak menyangka, betapa pemred-pemred itu telah begitu jumawanya mengeksklusifkan diri pada sebuah forum yang disebut pertemuan puncak, pada detik-detik menjelang RAPBN-P dibicarakan di parlemen dan menjelang tahun pemilu. terbukti pula bahwa kisah-kisah miring yang ada pada forum pemred itu, justru diungkap oleh pers sendiri, oleh para reporter di lapangan.

itu sebabnya lawan berat yang dihadapi forum pemred bukan publik –meskipun publik sangat penting didengar– melainkan adalah para kolega-kolega mereka di newsroom, seperti yang terjadi di majalah tempo itu. makin jumawa mereka yang berada di forum pemred itu mengukuhkan eksistensinya, makin berat ia berhadapan dengan kolega-koleganya newsroom kantornya.

namun, bukan itu yang terberat. Musuh paling berat dari Forum Pemred itu adalah rasa puas diri menduduki jabatan tertinggi, sehingga menganggap dirinya terpisah dari profesi yang membesarkan dirinya, yaitu dunia kewartawanan.

rosihan anwar, b.m diah, mochtar lubis adalah beberapa wartawan yang sering-sering disebut bila membicarakan perkembangan pers di tanah air. tidak banyak yang mengenal mereka sebagai pemred. mereka lebih dikenang dan diapresiasi sebagai wartawan. dan saya kira itulah bagian dari penjelmaan ilmu padi yang makin berisi makin merunduk.

sebab pada akhirnya, jabatan pemred itu bersifat sementara. jika pemilik modal tidak menyukainya, selesai sudah nasibnya sebagai pemred. ada pun wartawan, tidak. sepanjang hayat, bila dia mau mencurahkan tenaga dan waktunya melaporkan berita, entah sebagai pegawai tetap, entah sebagai stringer, entah sebagai sukarelawan, ia adalah wartawan.[Intan Lidya Lumban Toruan]

Oleh-oleh Forum Pempred dari Meong sampai Cibiran Sinis

“Meong” adalah oleh-oleh yang cukup menghebohkan dalam pertemuan forum para pemimpin redaksi (pempred) media massa yang berlanggsung di Bali 13-14 Juni 2013 yang lalu. Meong terselip dalam kantong cindramata yang diberikan oleh panitia kepada ratusan pempred yang datang pada pertemuan tersebut. Dengan cepat si Meong menghiasai berita-berita di media cetak dan elektronik menggalahkan berita soal maksud dan tujuan pertemuan tersebut yang sebenarnya tidak kalah kontroversialnya. Maklum saja, karena pertemuan tersebut digelar menjelang pemilu 2014, Digelar dengan segudang kemewahan, disponsori oleh BUMN, perusahaan swasta dan para pengusaha

Kembali ke Meong. Buntut oleh-oleh meong mungkin tidak sampai pada saat acara berlangsung saja, tapi bisa jadi berlanjut sampai para peserta kembali kehabitatnya. Segudang pertanyaan curiga dari keluarga dan istri-istri para pemred itu mungkin sudah menanti kedatangan mereka. Bagaimana tidak, pastilah dipertanyakan karena Meong didapatkan suami-suami mereka ketika mereka berada di lokasi wisata nan elok nun jauh disana.
 
Pemberian Meong seolah-oleh memfasilitasi para pempred untuk bercinta dengan aman bersama wanita yang bukan pasangan hidupnya. Itulah kontroversi Meong. Merek kondom buatan salah satu BUMN negeri ini yang menjadi salah satu sponsor pertemuan tersebut. Maksudnya mungkin kampanye, daripada pakai kondom buatan perusahaan PMA lebih baik pakai buatan BUMN.

Cibiran sinis dari berbagai kalangan juga tidak ada habisnya selama pertemuan berlangsung. Bahkan buntutnya masih menjadi perbincangan sinis di media jejaring sosial sampai sekarang. Bagaimana tidak, media merupakan sarana yang efektif menjelang 2014 dan sangat rentan dimamfaatkan sebesar-besarnya untuk hajat hidup politikus dan partai politik. Apalagi para pemimpin media langsung yang berkumpul disana, jadi lobby secara langsung maupun tidak langsung bisa saja terjadi memuluskan kerjasama resmi atau kolong meja antara pihak yang berkepentingan terhadap media dengan pemimpin redaksinya.

Memang sebagian besar yang berkumpul disana adalah pemimpin media massa yang medianya sudah punya kavling untuk partai dan politikus yang menjadi pemegang saham mayoritas. Tapi tetap saja ada  kecurigaan publik dan pelaku media lainnya terhadap lobby kolong meja. Bagaimanapun pemred memiliki kuasa redaksi untuk mengatur pengisi slot-slot berita dengan konten-konten yang memiliki kepentingan.
 
Pertemuan ini juga dianggap tidak etis karena berlangsung full fasilitas mewah dan mahal. Publik mempertanyakan dimana sensitifias para pemimpin media terhadap kondisi masyarakat yang sedang ketar ketir menghadapi dampak rencana pemerintah menaikan harga BBM dan berbagai kesulitan hidup lainnya. Mengutip berita Kontan Online, Kamis 13 Juni 2013, peserta forum pemred mendapatkan tiket pesawat pulang-pergi dari tempat asal, hotel bintang selama tiga hari, dan makan gratis. Saat registrasi di Bali Nusa Dua Convention Hall, peserta mendapatkan bingkisan selain ID card sebagai peserta forum. Bingkisan itu berisi antara lain satu kilogram gula pasir, sebotol minyak angin, makanan ringan kacang goreng, dan satu bungkus kondom.
 Belum lagi soal kode etik profesi sebagai jurnalis yang juga dipertanyaakan berbagai kalangan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan prihatin terhadap pertemuan Forum Pemred Indonesia pada 13-14 Juni 2013 di Nusa Dua Bali. AJI memandang, memasuki tahun politik atau setahun menjelang Pemilu 2014, pertemuan ratusan pemred media se-Indonesia bisa menimbulkan spekulasi politik yang tidak perlu,” demikian siaran pers berisi Pernyataan Sikap AJI Indonesia Tentang Forum Pemred yang dikeluarkan AJI Indoensia di Jakarta, Kamis (13/6).
 
Secara organisasi, AJI menerima sejumlah keluhan dari berbagai kalangan media terkait sepak terjang Forum Pemred. Para pemimpin redaksi media yang berusaha menjaga independensi ruang redaksi mengeluhkan adanya upaya menggunakan forum pemred untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Forum ini dihadiri  juga pimpinan perusahaan, pejabat negara, dan pemilik media yang berkecimpung dalam politik, sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, dan sejumlah pengusaha nasional.

AJI mengingatkan, Forum Pemred berpotensi keluar dari jalur profesionalisme dan etika jurnalistik, dua hal yang seharusnya dibangun dalam era pers bebas dan demokrasi saat ini. Di tengah berbagai masalah, seperti masih banyaknya wartawan digaji di bawah standar upah layak, tiadanya jaminan perlindungan profesi, rendahnya kualitas dan etika wartawan, serta ancaman kekerasan yang menghantui pekerja pers setiap saat, AJI mempertanyakan relevansi pertemuan Forum Pemred di Hotel mewah di Bali.

Anggota Dewan Pers Nezar Patria menyatakan bahwa lembaganya sedang mengkaji masukan dari sejumlah organisasi wartawan terkait penyelenggaraan Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bali. Terutama yang soal unsur yang menyinggung kode etik.

Belakang Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Wahyu Muryadi menyatakan mundur sebagai Ketua Forum Pemimpin Redaksi.Kepala Pemberitaan Korporat Tempo, Toriq Hadad, mengatakanTempo membentuk Dewan Etik pasca kasus ini. Dewan akan menyelidiki kemungkinan pelanggaran etika oleh Wahyu akibat kegiatannya dalam Forum Pemred. Wahyu menyatakan siap menghadapi pemeriksaan Dewan Etik.
 
Hasil pertemuan forum pempred juga dinilai belum mampu memperjuangkan nasib para jurnalis. Terutama soal upah dan kesejahteraan para jurnalis. Padahal, tanpa upah layak, mustahil jurnalis bisa bekerja secara profesional dan memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas. Upah rendah dari perusahaan media membuat jurnalis mudah tergoda suap atau sogokan pihak luar. Akibat upah rendah, tidak sedikit jurnalis harus mencari pekerjaan lain dan pemasukan tambahan dengan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Ketua Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Jojo Raharjo, sebagian besar perusahaan media di Jakarta mempekerjakan koresponden atau kontributor/stringer tanpa kontrak, atau dengan kontrak jangka pendek, tanpa memberi kejelasan status dan upah layak. Seringkali, kontrak hanya berbentuk ‘ucapan’/lisan antara pemberi dan penerima pekerjaan. Banyak perusahaan media mapan mempraktekkan eksploitasi perburuhan sambil menabrak Undang Undang Tenaga Kerja, tidak memenuhi standar upah layak dan kesejahteraan jurnalis, termasuk mengabaikan hak-hak dasar koresponden atau kontributor. Jikapun ada kontrak kerja pada umumnya bersifat sepihak dan hanya menguntungkan perusahaan.

Miris..ditengah kemewahan fasilitas yang para pemimpin redaksi mereka dapatkan dalam pertemuan pemimpin redaksi tersebut, nasib anak buah mereka masih jauh dalam katagori sejahtera.[Zaini Achmad]

Muktar Pakpahan, Siap Jadi Saksi Ahli Kasus Pekerja SCTV

Sore tadi, 27 Mei 2013 bersama-sama dengan kawan-kawan perwakilan Serikat Pekerja SCTV saya datang ke kantor Muktar Pakpahan, S.H di Jl. Bukit Tinggi II, Senen Jakarta Pusat. Maksud kedatangan kami adalah meminta supaya advokat senior yang sering keluar masuk penjara pada masa orde baru ini mau menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus digugat PHKnya 40 Pekerja tetap SCTV oleh PT. SCTV.

Selain Muktar Pakpahan, S.H., 40 Pekerja yang didampingi oleh LBH ASPEK Indonesia ini juga berencana menghadirkan Prof. Payaman Simanjuntak, S.H sebagai saksi ahli. Keduanya dihadirkan untuk memberikan pendapat dan keterangan di depan majelis hakim PHI Jakarta sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Keahlian kedua orang ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Muktar Pakpahan misalnya, telah menulis beberapa karya dalam bentuk buku terkait isu-isu perburuhan. Sementara Prof. Payaman Simanjuntak tidak kalah kepakarannya soal hubungan industrial. Beberapa buku tentang isu perburuhan juga pernah ditulisnya.

Pada persidangan sebelumnya (kamis, 23/5), pihak PT. SCTV melalui kuasa hukumnya, menghadirkan saksi ahli seorang mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ahli yang dihadirkan oleh PT. SCTV dipandang oleh Singgih D. Atmadja, S.H, Direktur ekskutif LBH ASPEK Indonesia sangat menyesatkan. Dan keterangan yang diberikan di muka persidangan pun sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut Singgih, ahli yang dihadirkan oleh pihak PT. SCTV pada persidangan minggu lalu kepakaran dan keahliannya dipertanyakan. Karena yang bersangkutan sebagai ahli, sama sekali tidak pernah membuktikan keahliannya. Keahliaan seseorang itu kan salah satu parameternya adalah buku, sementara saksi ahli yang dihadirkan oleh PT. SCTV belum pernah menulis buku satupun soal perburuhan. Tanyanya tegas.

Singgih menambahkan, ahli yang dihadirkan oleh pihak PT. SCTV selaku penggugat keterangannya sangat membingungkan. Bagaimana mungkin, saksi ahli menyatakan bahwa skorsing dapat dilakukan dengan lisan tanpa surat tertulis. Saksi juga menyatakan bahwa PHK dapat dilakukan berdasarkan Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan. Jelasnya.

Kasus pekerja PT. SCTV berawal dari kebijakan baru perusahaan yang ingin mengalihkan sebagian pekerja pada perusahaan outsorcing (PT. ISS) sebagai pekerja kontrak. Sebagian pekerja menerima kebijakan tersebut, sementara 40 pekerja lainnya menolak. Singkat cerita, para pekerja yang sudah diangkat sebagai Karyawan Tetap yang telah bekerja puluhan tahun, yang menolak untuk dialihkan ini kemudian diskorsing oleh PT. SCTV tanpa ditunjukkan kesalahannya. Bahkan sebagian besar pekerja tidak menerima surat skorsing namun tetap dilarang masuk kerja.

Tidak berhenti diskorsing, seluruh fasilitas bahkan fasilitas kesehatan bagi pekerja dan keluargapun ditutup dan dihentikan. Akibatnya, salah satu anak dari 40 pekerja ini kemudian meninggal dunia dikarenakan tidak mendapatkan pengobatan dan penanganan yang memadai. Hal ini sebelumnya saya tulis juga di Kompasiana dengan judul “Berselisih dengan PT SCTV, Anak Meninggal Dunia”.

Setelah di skorsing, PT. SCTV mengajukan Mediasi ke Sudinakertrans Jakarta Pusat. Anehnya, Sudinakertrans Jakarta Pusat, memanggil para pihak termasuk 40 pekerja SCTV ini, seolah-olah pihak pekerjalah yang mencatatkan perselisihan. Padahal pihak pekerja justru telah mengadukan dilanggarnya hak-hak normatif ketenagakerjaan ke kemenakertrans RI. Akhirnya, dari kementrian mendelegasikan aduan dari pekerja ke pihak sudinakertrans Jakarta pusat untuk kemudian di tindak lanjuti. Bukannya aduan dari pekerja yang ditindaklanjuti, pihak sudinakertrans Jakarta Pusat justru menjatuhkan PHK terhadap pekerja melalui surat Anjuran.

Singkat cerita, pihak SCTV melalui kuasanya, kemudian melayangkan gugatan PHK terhadap 40 Pekerja tetapnya ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri jakarta Pusat. Saat ini, persidangan sudah pada tahap pembuktian. Berlangsung setiap hari Kamis di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta, di Jl. MT. Haryono Kav. 52 Kel. Pancoran Jakarta Selatan.

Jika masyarakat luas ingin tahu langsung, datang saja mengikuti proses persidangan. Karena dalam persidangan yang terbuka untuk umum ini akan terungkap dengan terang benderang, betapa PT. SCTV memaksakan diri degan barbagai cara untuk “menyingkirkan” pekerjanya dengan cara PHK yang diluar prosedur dan aturan yang berlaku.[Ahmad Fauzi Hasbullahi]