Selasa, 25 Desember 2012

SP SCTV Pertanyakan PHK Sepihak Terhadap Jurnalis Liputan 6


Pengurus Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) akan mempertanyakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan manajemen SCTV terhadap seorang jurnalis Liputan 6. Demikian ditegaskan oleh Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda di Jakarta, Senin (24/12).

"SCTV kembali memperlihatkan arogansi dan kesewenang-wenangannya dengan mengirimkan surat PHK, bahkan tanpa melalui prosedur yang semestinya," tegas Agus. "PHK hanya bisa dilakukan setelah dilakukan perundingan secara bipatrit, tripatrit, dan peradilan di PHI."

Sejauh ini, Agus menjelaskan, tim advokasi SP SCTV bersama LBH Aspek Indonesia telah menyiapkan berbagai bahan untuk menghadapi perundingan dengan pihak manajemen SCTV. "SCTV terlalu gegabah, padahal kasus dengan 40 karyawan yang dipaksa beralih status menjadi karyawan outsourcing belum selesai dan tengah bersiap-siap memasuki PHI," katanya.

PHK yang dilakukan terhadap jurnalis Liputan 6 itu, tambah Agus, belum memiliki ketetapan hukum. "Lucunya, SCTV telah menghentikan pembayaran upah dan tidak memberikan pesangon sepeser pun," tegas Agus. 

Menurut Agus, tindakan yang dilakukan pihak manajemen SCTV membuktikan tiga praktik klasik, yakni diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK. Bahkan, katanya, kali ini hal itu dilengkapi menjadi PHK secara sepihak dan tanpa pesangon sepeser pun.

Di tempat terpisah Sekjen DPP Aspek Indonesia Sabda Pranawa Djati menyayangkan tindakan semena-mena manajemen SCTV terhadap karyawannya. "Ini membuktikan, HRD SCTV memang jorok dan kasar, serta sama sekali tidak mencitrakan sebagai media yang bermartabat," tegasnya.

Karena itu, tambah Sabda, DPP  Indonesia akan memberikan dukungan penuh kepada setiap anggota SP SCTV yang bersengketa dengan manajemen SCTV. "Bahkan, kalau perlu, kita kembali menggelar aksi massa di Senayan City!" katanya.

Sumber:


Senin, 17 Desember 2012

Serikat Pekerja Media, Kekerasan Simbolik, dan Prospek Masa Depan


Perkembangan industri media dan teknologi informasi di Indonesia saat ini sangat pesat. Industri media kita sudah memasuki era konvergensi media dan digitalisasi. Meski demikian, tetaplah bahwa unsur terpenting dalam industri media adalah manusia, yaitu pekerja medianya. Pekerja di industri media dituntut memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, yang dinamis dan selalu berubah cepat. Jika pekerja media mengabaikan atau tidak tanggap dengan tuntutan lingkungan, dinamika perubahan ini akan menggilas mereka.

Agar pekerja media bisa bertahan menghadapi berbagai tantangan lingkungan, mereka harus kompak dan bersatu. Untuk itu, mereka membutuhkan wadah perjuangan bersama, yakni serikat pekerja media, atau lebih spesifik lagi: serikat jurnalis.

Serikat jurnalis bukanlah sesuatu yang bersifat eksternal bagi kerja jurnalis, tetapi justru menjadi bagian penting dari kerja jurnalis itu sendiri. Serikat (union) secara sederhana bermakna “bersama-sama” atau sekumpulan orang yang bekerjasama, dengan kesadaran bahwa lewat berkumpul bersama itu mereka akan jadi lebih kuat ketimbang sendiri-sendiri.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan: “Serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”

Serikat pekerja media bukan sekadar penting bagi peningkatan kesejahteraan, tetapi juga penting bagi kebebasan pers. Pertama, karena jurnalisme yang kuat dan bebas tidak akan terwujud, manakala para jurnalisnya sendiri hidup dalam keadaan tidak sejahtera dan ketakutan.

Kedua, karena hanya melalui serikat pekerja media yang independen, para jurnalis akan memiliki penyuara yang bisa bicara untuk kepentingan mereka. Sedangkan, penyuara itu sendiri tidak tergantung pada pemerintah atau pun majikan yang mempekerjakan mereka.

Ketiga, karena hanya melalui serikat pekerja media, para jurnalis dapat mengembangkan rasa aman. Yakni, suatu perasaan bahwa mereka memiliki perlindungan yang nyata bagi semua rekan sekerjanya.

Secara singkat, keberadaan serikat pekerja jurnalis berkaitan dengan satu hal: rasa hormat. Yaitu, rasa hormat terhadap diri sendiri sebagai individu, rasa hormat terhadap profesi dan kerja jurnalisme yang dilakukan, serta rasa hormat dari publik, pemerintah, dan pihak majikan.

Pertumbuhan yang Lamban dan Sentralistik

Serikat pekerja media di Indonesia mulai berkembang sejak runtuhnya rezim Orde Baru, yang represif terhadap aspirasi pekerja dan sering membungkam kebebasan pers. Karena merupakan fenomena baru, data tentangnya masih langka. Sebagian besar data dalam tulisan ini berasal dari hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan ACILS (American Center for International Labor Solidarity) tahun 2005-2006.

Sejak 1980-an, sebenarnya Majalah Tempo sudah membentuk serikat pekerja, tetapi tidak banyak diikuti media lain. Sebagian besar serikat pekerja media berdiri pasca 1998, setelah tumbangnya rezim Soeharto. Mereka memanfaatkan iklim kebebasan berserikat yang mulai muncul. Tahun 2006, di seluruh Indonesia tercatat ada 28 serikat pekerja media, dan 20 di antaranya berdiri pasca 1998.

Sedangkan, menurut data yang dimiliki Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) dan AJI, pada September 2012 tercatat ada 34 serikat pekerja media. Komposisinya sebagai berikut: 23 di media cetak, 5 di media televisi, 2 di media radio, 2 di media online, dan 2 di kantor berita (Lembaga Kantor Berita Nasional Antara dan Kantor Berita Radio 68H).

Jadi, memang ada pertumbuhan serikat pekerja media dari segi kuantitas. Tetapi jika dalam enam tahun hanya bertambah enam serikat pekerja (bila dirata-rata, berarti tiap tahun hanya bertambah satu serikat), bisa dibilang belum ada peningkatan yang signifikan.

Dari 2006 sampai 2012, mayoritas serikat pekerja media tetap didominasi oleh serikat pekerja yang berbasis di media cetak. Maraknya industri media televisi, radio berita, dan munculnya banyak media online, ternyata tidak diikuti pendirian serikat pekerja media di tempat masing-masing.

Pertumbuhan serikat pekerja media juga sangat sentralistik dan hanya berpusat di Pulau Jawa. Pada 2006, tercatat hanya di Makassar dan Medan, dua kota di luar Pulau Jawa, yang mempunyai serikat pekerja media. Pada 2012, serikat pekerja media sudah berdiri di Aceh, Medan, Pontianak, Palu, Lampung, dan Bali. Berarti, ada perluasan wilayah tempat domisili serikat pekerja media.

Tetapi, dari 34 serikat pekerja media itu, 23 serikat pekerja atau 68 persennya berbasis di Jawa. Hal ini barangkali karena Pulau Jawa, dengan kepadatan dan jumlah penduduknya yang sekitar 60 persen dari total penduduk Indonesia, memang merupakan pusat bisnis media massa. Maka masuk akal, jika mayoritas serikat pekerja media juga berada di pulau Jawa, mengikuti keberadaan kantor medianya.

Pembentukan serikat pekerja media tampaknya tidak punya korelasi langsung dengan buruknya kondisi wartawan. Buktinya, sebagian besar serikat pekerja justru berbasis di Jakarta, dan dari media yang sudah mapan pula, yang berarti kesejahteraan wartawannya relatif lebih baik. Seperti, serikat pekerja media di Harian Kompas, Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Tabloid Kontan, Majalah Tempo, Media Online detik.com, ANTV, dan SCTV.

Sementara pada media di luar Jawa, yang hidupnya tidak mapan, justru sedikit serikat pekerja. Padahal, justru di sana terdapat banyak masalah ketenagakerjaan, berkaitan dengan gaji dan fasilitas wartawan yang minim.

Pendirian serikat pekerja media tampaknya lebih terkait dengan kesadaran dari para wartawan sendiri. Karyawan media di Jakarta relatif mempunyai kesadaran lebih tinggi untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka, melalui organisasi serikat pekerja.

Cara Menghambat Serikat Pekerja Media

Mengapa pertumbuhan serikat pekerja media begitu lamban? Ada beberapa alasan. Pertama, ada persepsi keliru bahwa orang yang mendirikan media dianggap mempunyai idealisme dan tujuan luhur, jauh dari pertimbangan bisnis ekonomis. Media disebut-sebut sebagai pilar keempat pendukung demokrasi. Sehingga, ketika ada usulan membentuk serikat pekerja, seringkali tidak mendapat tanggapan positif.

Padahal kenyataannya, para pemilik media (umumnya mereka yang tidak punya latar belakang sebagai wartawan) lebih berorientasi profit. Media miliknya diperlakukan sama dengan bisnis lain, sehingga kelayakannya hanya diukur dari nilai ekonomi: rating, tiras, dan pendapatan iklan yang masuk.

Kedua, banyak wartawan dininabobokkan atau terkecoh dengan konsep atau kebanggaan palsu "kaum profesional", yang dianggap berstatus lebih tinggi daripada pekerja kasar (pekerja kerah biru), seperti buruh pabrik, pekerja bangunan, kuli, tukang, sopir angkot, dan sebagainya. Serikat pekerja dianggap bukan jatah untuk "kaum profesional", tetapi hanya cocok untuk para pekerja kasar. Akibatnya, ajakan untuk bergabung di serikat pekerja media dipandang akan menurunkan status kebanggaan mereka sebagai "kaum profesional".

Ketiga, adanya ketidaksukaan dan hambatan dari pemilik media terhadap usaha-usaha untuk mendirikan serikat pekerja. Hambatan itu seringkali tidak bersifat terang-terangan, karena bisa memancing gugatan. Pemilik media tahu, mendirikan serikat pekerja adalah hak pekerja yang dijamin undang-undang. Maka pemilik media melakukan berbagai bentuk “kekerasan simbolik” yang secara tersirat bisa dimengerti oleh para pekerja bahwa keberadaan serikat pekerja itu sebenarnya tidak disukai.

Kekerasan simbolik bukanlah bentuk kekerasan yang vulgar dan nyata terlihat, tetapi ia dikemas sedemikian halus sehingga seolah-olah itu adalah hal yang wajar dan alamiah. Bahkan dalam banyak kasus, korban kekerasan simbolik ikut berpartisipasi dalam mewujudkan terjadinya kekerasan tersebut, tanpa ia sadari.

Kekerasan simbolik itu, misalnya, menciptakan konflik di antara sesama pekerja media, melalui perlakuan pilih kasih yang tidak berdasarkan prestasi kerja. Pekerja media yang loyal, patuh, dan mengikuti saja semua kemauan pemilik media, akan dipromosikan dan diperlakukan lebih baik, dari segi posisi jabatan, gaji, bonus, kesempatan bertugas ke luar negeri, dan lain-lain. Sedangkan, pekerja media yang mendukung pembentukan serikat pekerja biasanya diperlakukan lebih buruk, tidak diberi posisi jabatan yang strategis, serta kariernya dihambat. Maka muncul suasana ketidakpercayaan dan saling curiga di antara sesama pekerja.

Bentuk lain kekerasan simbolik itu adalah mengembangkan opini di lingkungan perusahaan bahwa keberadaan serikat pekerja justru akan merusak kinerja perusahaan, menciptakan konflik yang tidak perlu antara pimpinan dan bawahan, serta merusak "hubungan baik yang bersifat kekeluargaan" antara pemilik media dan karyawan.

Para pendukung serikat pekerja digambarkan sebagai orang radikal yang tidak produktif, yang menentang pemilik media untuk kepentingan pribadi. Mereka dipandang sebagai orang yang keberadaannya bisa membahayakan kelangsungan hidup perusahaan, dan dengan demikian mengancam nasib para pekerja lain yang "baik-baik." Pengembangan opini negatif semacam ini membuat para pendukung serikat pekerja jadi terkucil, dan menyulitkan mereka dalam menggalang dukungan.

Karena berbagai faktor itulah, banyak serikat pekerja media yang baru berdiri sesudah timbulnya masalah dalam perusahaan. Ketika perusahaan media sedang sehat, gaji sedang tinggi, karyawan tidak tergerak untuk mendirikan serikat pekerja. Tetapi ketika ada tanda-tanda perusahaan sedang menuju kebangkrutan, atau ada rencana restrukturisasi yang diikuti oleh pemecatan besar-besaran, karyawan baru sadar akan posisinya yang lemah dan tergerak untuk mendirikan serikat pekerja.

Fokus Garapan Serikat Pekerja Media

Paling tidak, ada tiga fokus garapan yang dikerjakan oleh serikat pekerja media. Pertama, serikat pekerja yang hanya mengurusi soal kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Misalnya, soal biaya pengobatan karyawan yang sakit, biaya yang mau menikah, arisan, kredit rumah atau sepeda motor, dan sebagainya. Namun kalau terjadi konflik antara pekerja dengan perusahaan, serikat pekerja media tidak ikut campur. Penyelesaian konflik diserahkan kepada aturan perusahaan yang berlaku. Serikat pekerja semacam ini bisa berbentuk koperasi dan hanya mengurusi kesejahteraan karyawan.

Kedua, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada hubungan antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Fokusnya pada hubungan karyawan dengan perusahaan, karena di perusahaan media itu sudah ada koperasi karyawan yang mengurusi soal kesejahteraan. Serikat pekerja ini tidak mengurusi soal arisan atau kredit sepeda motor, tetapi akan bergerak kalau ada pemecatan, jika ada anggota yang tidak digaji secara layak, atau ada ketidakpuasan terhadap kondisi kerja, atau berbagai hal yang menyangkut hubungan antara karyawan dan perusahaan.

Serikat pekerja model ini berfungsi sebagai mediator antara kedua belah pihak, serta menjembatani masalah yang timbul antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Ada kalanya, selain fokus menggarap bidang ini, serikat pekerja juga melakukan kegiatan pelatihan dan pendidikan jurnalistik untuk wartawan.

Ketiga, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada isu-isu strategis perusahaan. Ini berlaku di perusahaan media yang karyawannya juga memiliki saham (kolektif) di perusahaan. Landasan berpikirnya, karena karyawan ikut memiliki saham seharusnya karyawan juga ikut menentukan keputusan-keputusan strategis yang diambil perusahaan.

Serikat pekerja tidak cukup hanya mengurusi karyawan, tetapi juga ikut duduk dengan direksi lain untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Dengan kata lain, serikat pekerja ikut bermain dalam tataran politis di perusahaan, termasuk menyetujui atau tidak menyetujui pimpinan suatu perusahaan. Contoh seperti ini pernah terjadi pada serikat pekerja media di Kantor Berita Antara.
Berdasarkan pengamatan sekilas, penulis melihat serikat pekerja media masih memiliki potensi yang besar untuk digarap dan dikembangkan. Hal ini bisa dilakukan jika serikat pekerja media tidak mengungkung diri dalam cangkang terbatas sektor media, tetapi menjalin kerjasama, koordinasi, dan aliansi dengan serikat pekerja di sektor-sektor non-media.

Untuk menuju hal ini, para aktivis serikat pekerja media harus mampu membuang "kebanggaan palsu" dan keterkungkungan sebagai "kaum profesional", yang telah memencilkan mereka dari gerakan buruh yang lebih luas dan lebih besar. "Kebanggaan palsu" semacam itu memang disosialisasikan, bahkan didorong oleh pemilik media atau pihak-pihak, yang memang sejak awal tidak ingin melihat perkembangan dan kemajuan serikat pekerja media.

Hanya dengan cara membebaskan diri dari keterkungkungan sektoral, dan menempatkan diri sebagai bagian dari gerakan buruh yang lebih besar, serikat pekerja media akan memiliki posisi tawar yang lebih besar di hadapan pemilik media. Sehingga, dengan demikian, serikat pekerja media juga bisa memperjuangkan independensi redaksi, serta pemberian durasi dan ruang di media bagi konten-konten yang mencerdaskan dan mendidik, yang selama ini sering dikalahkan oleh konten-konten "sampah", yang dilandasi oleh orientasi profit ekonomi semata-mata.

Keberadaan serikat pekerja media tetap dibutuhkan, bahkan mungkin kebutuhan itu lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena industri media di dunia dan di Indonesia sedang menjalani masa peralihan yang besar. Seperti terlihat dari munculnya jenis-jenis media baru, konvergensi media, digitalisasi, dan sebagainya. Dinamika perubahan ini menimbulkan ketidakpastian pada nasib pekerja media, dan sudah menjadi tugas serikat pekerja media untuk memperjuangkannya. Merdeka![Satrio Arismunandar]

Kamis, 13 Desember 2012

SP SCTV Dukung Buruh Telkomsel


Serikat Pekerja (SP) SCTV kembali menunjukkan solidaritasnya terhadap sesama buruh dengan ikut melakukan aksi unjuk rasa di halaman kantor Telkomsel di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (12/12). Aksi kali ini dimaksudkan, untuk mendukung para buruh PT Telkomsel (Sepaham) yang menuntut hak normatifnya.
Selain para pengurus dan anggota SP SCTV, aksi tersebut juga dihadiri para pengurus Aspek Indonesia, LBH Aspek Indonesia, dan perwakilan dari sejumlah serikat pekerja yang berafiliasi kepada Aspek Indonesia.

Sumber:

Kamis, 06 Desember 2012

Luviana: Jurnalis Harus Sadar Bahwa Mereka Adalah Kelas Buruh

Sejak diangkat sebagai asisten produserlah, kegelisahan Luviana bermula. Kala itu medio 2007. Jurnalis Metro TV ini melihat kebrobrokan yang terjadi pada manajemen redaksi merugikan dirinya dan pekerja lainnya. Dimulai dari penilaian sistem kerja yang tidak objektif, manajemen redaksi yang berantakan, pelarangan adanya serikat pekerja, tidak membudayanya sistem evaluasi yang baik, pertimbangan pemberian gaji yang tidak adil, hingga rendahnya kesejahteraan karyawan. Tak hanya itu, Luviana juga mengkritik pemberitaan yang tidak sensitif gender.

Alih-alih direspons positif, perjuangannya malah berbuah pahit: Luviana diminta mundur dari pekerjaannya pada 31 Januari 2012. Disodori surat pengunduran diri dan uang pesangon, Luviana menolak menandatanganinya. Alasannya: manajemen tidak bisa menyebutkan kesalahan yang diperbuatnya.
 
Hari ini, sudah hampir sepuluh bulan ibu dari Savana Candid Nusantara ini, melakukan upaya advokasi agar bisa dipekerjakan kembali. Dengan didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, yang kemudian bersama dengan puluhan organisasi membentuk Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi) dan Aliansi Sovi (Solidaritas Perempuan untuk Luviana), Luviana telah menggelar serangkaian upaya seperti melaporkan kasusnya ke Komnas HAM, Komisi IX DPR RI, Polda Metro Jaya, hingga ke Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Luviana juga sudah menemui Surya Paloh di kantor Nasdem, yang menjanjikannya agar dipekerjakan kembali. Tapi janji tinggallah janji, karena pada 27 Juni 2012, surat PHK justru dilayangkan kepada Luviana.

Pada 18 November 2012 yang lalu, selama seminggu Luviana dan kawan-kawan menggelar aksi diam di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, sambil mengkampanyekan stop menonton Metro TV pada 25 November 2012, tepat pada hari jadi perusahaan televisi tersebut. Kepada Indah Wulandari dan Roy Thaniago dari Remotivi, alumnus Jurnalistik Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini menyempatkan diri untuk membagikan kisah perjuangannya di kantor Remotivi. Permintaan off the record, terutama yang menyangkut nama orang, dimohon Luviana di beberapa bagian wawancara santai sehabis maghrib ini.
 
Sejak kapan Anda bekerja di Metro TV?
2002. Posisi pertama kali sebagai reporter, lalu naik menjadi asisten produser. Setelah itu jadi asisten produser selamanya.
 
Bagaimana kriteria seorang reporter dapat diangkat menjadi asisten produser?
Tidak ada kriteria apa pun. Itu yang kami protes.
 
Berapa lama Anda menjadi asisten produser?
Dari 2007 hingga saya disuruh mundur pada 2012. Kami justru mempertanyakan hal itu, karena penilaian kerja dan jenjang karir nggak pernah ada. Ketika kami mempertanyakannya, itu dianggap menentang.
 
Apa yang sebenarnya Anda perjuangkan?
Bekerja kembali.
 
Konteks lebih luasnya?
Reformasi manajemen: memperbaiki sistem manajemen yang buruk, teman-teman mendapatkan penilaian yang fair, hak, fasilitas, tunjangan gaji, kesejahteraan, sistem evaluasi, dan bebas untuk bicara. Tujuan kami selanjutnya adalah membuat serikat pekerja. Selama ini, banyak teman yang menganggap Surya Paloh adalah tokoh yang selalu mengagungkan demokrasi, tetapi ternyata dari pengalaman ini, jauh sekali yang dari yang dibayangkan.
 
Selama ini tidak pernah ada serikat pekerja di Metro TV?
Nggak pernah ada. Berdasarkan pengalaman teman-teman di Media Group, yaitu Media Indonesia, Lampung Post, juga Metro TV, keinginan untuk membuat serikat pekerja selalu gagal.
 
Apakah hal yang sama terjadi di perusahaan TV lain?
Sebenarnya serikat pekerja yang paling genuine itu di (majalah) Tempo. Serikat pekerja mereka berdiri pada 1978. (Serikat pekerja media) lainnya, (kelahirannya) harus penuh perjuangan. Kalau di televisi, sepertinya RCTI sudah ada. Indosiar dan SCTV juga penuh perjuangan untuk mendirikannya.
 
Sejauh mana keterlibatan organisasi yang selama ini mendampingi upaya advokasi Anda?
Perannya besar sekali. Apalagi teman-teman buruh. Mereka membuat saya tidak merasa sendirian. Jadi, kalau terjadi sesuatu, ada banyak orang yang mendukung. Ada banyak orang yang melihat. Semua mendukung dengan caranya sendiri-sendiri, termasuk yang mendukung melalui Twitter dan Facebook. Banyak teman di Metro TV mendukung namun sulit kondisinya karena mereka berada di dalam. Untuk koordinasi, kami selalu melakukan rapat secara rutin. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta sebagai motornya.
 
Apa sebenarnya hak-hak jurnalis secara khusus?
Jurnalis itu tidak dikhususkan. Mereka masuk dalam Undang-Undang Tenaga Kerja. Jadi, hak mereka sama dengan hak buruh. Termasuk dalam hal gaji dan yang lainnya.
 
Bagaimana tingkat kesejahteraan jurnalis televisi kita?
Sebenarnya AJI sudah mengeluarkan Upah Layak Jurnalis setiap tahunnya. Upah ini diperuntukkan secara personal, belum termasuk tunjangan untuk yang sudah berumah tangga. Dari beli odol, pembalut, sabun, semua dihitung. Tapi itu sudah tidak relevan dengan gaji teman-teman. Tidak pernah relevan. Upah Layak terakhir itu Rp 5,2 juta dan ini untuk jurnalis lajang. Dan gaji saya dari Metro TV sebesar Rp 5,2 juta per bulan. Belakangan naik Rp 300 ribu. (Jadi totalnya) Rp 5,5 juta selama 10 tahun (bekerja) untuk saya yang sudah berumah tangga.
 
Apakah hal ini terjadi pada stasiun televisi lain?
Saya ambil data dari survei Upah Layak Jurnalis AJI tahun 2012: dari stasiun televisi milik konglomerat media nasional, misalnya, bahkan hanya diberikan upah tidak sampai Rp 3 juta per bulan. Bahkan pernah terjadi PHK besar-besaran di Indosiar hingga 148 orang atas alasan efisiensi. ANTV pun begitu. Kalau di SCTV, para karyawan tetap dijadikan outsourcing. Mereka pun mengadu ke Komnas HAM dan KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia).

Lantas, bagaimana peran regulasi dalam melindungi hak-hak jurnalis?
Undang-Undang Tenaga Kerja tidak pernah spesifik menyebutkan hak jurnalis.
 
Perlukah adanya pembedaan antara jurnalis dan pekerja lainnya?
Tidak. Yang saya perjuangkan bukan jurnalis, tapi semuanya. Hak-hak pekerja.
 
Apa konsekuensi pembedaan tersebut?
Saya tidak setuju pembedaan. Jurnalis itu kan tidak istimewa.
 
Soal Undang-Undang Tenaga Kerja yang sekarang?
Ada beberapa hal yang harus direvisi dalam undang-undang ini. Misalnya, durasi jam kerja, jam kerja malam untuk perempuan, perlu diadakannya ruangan untuk menyusui, dan sebagainya. Sebenarnya sudah diatur, tapi terkadang tidak relevan lagi. Di Indonesia ini, pengusahanya cuek, pemerintahnya membiarkan. Semestinya banyak yang harus disidak (inspeksi mendadak) pemerintah. Outsourcing, misalnya.
 
Banyak pekerja perusahaan media lain yang memiliki kasus serupa dengan Anda, namun tidak semua dari mereka berani terbuka.
Nah, ini yang menurut saya agak ganjil. Jurnalis itu kan orang yang paling gagah di depan, orang yang tahu informasi paling pertama dan mengabarkannya. Mereka bisa menuliskan segala macam hal, dari ekonomi-moneter hingga pelanggaran HAM. Tapi ketika ada persoalan riil di depannya, temannya di-PHK misalnya, mereka nggak ngapa-ngapain. Itu yang kemudian membuyarkan pikiran saya yang menganggap bahwa teman-teman jurnalis pintar. Mereka jadi orang paling berani ketika menulis berita, tapi (menjadi) orang paling takut menghadapi kenyataannya (sendiri). Seperti para laki-laki yang mengaku feminis. Mereka banyak bicara soal keadilan perempuan di panggung dan orasi politik, tapi di rumah, mereka melakukan kekerasan terhadap anak dan istrinya. Saya kini mengalami degradasi (motivasi) untuk bekerja kembali sebagai jurnalis atau tidak. Persoalannya personal. Bayangkan, saya sudah sepuluh tahun di Metro TV dan dikuyo-kuyo, disia-siakan begitu saja. Tidak dianggap manusia. Diusir satpam, tidak digaji. “Ah, biarin aja. Luvi? Ah, kecil,” begitu kata manajemen Metro TV.
 
Apakah profil jurnalis “pendiam” seperti demikan sudah mengakar lama?
Menurut penelitian AJI begitu. Ini sudah lama. Hal itu juga (yang merupakan) salah satu faktor mengapa serikat pekerja media itu susah berdiri. Penelitian AJI menyebutkan, ada problem kelas yang belum tuntas. (Luviana kemudian mengambil dan membacakan buku terbitannya) Nih, “Selama ini mayoritas jurnalis masih mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok profesional. Mereka merasa enggan untuk dikelompokkan sebagai bagian (dari) kelas buruh. Latar belakang pendidikan yang tinggi, kemudian akses dalam kerja-kerja jurnalistik, penampilan yang keren dan mentereng, adalah beberapa faktor yang membuat jurnalis makin membenamkan diri sebagai kelas white collar.”
 
Rata-rata latar belakang ekonomi mereka?
Rata-rata jurnalis adalah kelas menengah terpelajar. Teman-teman wartawan dalam sebuah diskusi dengan para aktivis buruh pernah mengidentifikasi, bahwa di perusahaan TV Indonesia ada banyak “kelas”. Jurnalis masuk kelas ksatria, dan presenter televisi biasanya masuk kelas brahmana atau kelas tertinggi, karena umumnya mereka gajinya paling tinggi dan mendapatkan akses paling mudah ke manajemen.
 
Bagaimana mereka bernegosiasi dengan keadaan: tergolong kelas menengah, namun gaji yang mereka terima tidak sepadan?
Biasanya yang membedakan dengan para buruh di pabrik adalah soal kesadaran. Kesadaran buruh di pabrik adalah kesadaran kelas, dan bergerak bersama untuk memperbaiki keadaan. Kesadaran ini yang rata-rata belum dipunyai oleh para jurnalis. Pertama soal brand: yang penting bekerja di Metro TV. Yang kedua, “Nanti kalau sudah di Metro TV, kamu laku di mana-mana. Kamu bisa meningkatkan kelasmu.”
 
Sebelum dipecat, saya bicara dengan teman-teman, kalau mau negosiasi dan bergerak, inilah saat yang tepat, karena banyak (kasus) yang bermunculan. Tidak perlu takut tidak dapat pekerjaan. Pasti dapat kok, karena banyak orang yang membutuhkan. Saya bilang, kita ini berbeda dengan buruh pabrik yang tersia-siakan hidupnya. Hari ini mereka dipecat seribu orang, besok manajemen bisa mendapatkan seribu orang lagi, karena tidak diperlukan keahlian tertentu. (Kalau jurnalis) situasinya mudah, namun jadi sulit. Kalau buruh pabrik ini memang situasinya sudah sulit.
Tapi tak semua jurnalis begitu. Saya merasa beruntung bertemu dan mendapatkan kawan-kawan seperti di AJI atau di oganisasi lain. Dengan berbagai cara mereka mendorong saya untuk bergerak dan melawan. Mereka juga tidak pernah lelah untuk mendampingi. Bahkan tak hanya memperjuangkan soal kesejahteraan dan serikat pekerja, namun juga soal kebebasan pers dan kebebasan mendapatkan informasi.
 
Bagaimana pemberitaan media lain tentang kasus Anda?
Ya, ditutupi. Hal itu juga apa yang disebut AJI sebagai “solidaritas hitam” di kalangan pengusaha (media).
 
Kalau ada yang menyiarkan?
Jarang disiarkan. Seperti ada beberapa televisi yang beberapa kali meliput kasus saya namun tidak pernah ditayangkan.
 
Walaupun mereka kompetitornya?
Iya, hampir semuanya begitu. Maka AJI menyebutkan ini sebagai “solidaritas hitam”. Jika ada jurnalis berkasus dalam soal tenaga kerja, maka ia juga harus siap jika tidak ada liputan (mengenai dirinya) dari media lain. Saya sangat beruntung berkasus di jaman setelah lahirnya new media. Ada sejumlah media online baru dan media sosial yang membantu mengkampanyekan kasus ini. Jika ini terjadi dulu sebelum ada new media, pasti para jurnalis membutuhkan perjuangan panjang untuk melakukan kampanye kasus PHK yang dialaminya.
 
Pendapat Anda soal konten tayangan di Metro TV dan TV lainnya?
Jurnalisme itu seharusnya bekerja untuk warga, untuk hak-hak warga masyarakat. Tapi selama ini para jurnalis TV selalu dicekoki bahwa kita bekerja untuk pemirsa dan atas nama rating-share. Ini yang keliru dan kemudian menjadi pertanyaan banyak orang tentang arti jurnalisme itu sendiri—walau TV berita memang memiliki idealisme dan konsep yang sedikit berbeda. Beberapa kali saya juga mengkritik tayangan bias gender atau tayangan advertorial berbasis talkshow. Jurnalisme tak hanya berkutat di ruang redaksi, namun sudah merambah ke newstainment. Banyak artis yang kemudian menjadi narasumber talkshow politik, misalnya. Ini kan tidak beralasan karena mereka bukan pengamat politik atau orang yang sedang terjun di kancah politik. Jadi, komentator bukanlah orang yang berpengalaman di bidangnya untuk memenuhi perubahan dan hak-hak warga, namun selebritas (yang dipilih) untuk kepentingan pasar. Ini yang kemudian dipertanyakan banyak para pengamat media. Ini juga menjadi keresahan para jurnalis lainnya.
 
Apakah para pekerja TV sadar akan kualitas tayangan yang demikian?
Sadar. Mereka mengerti kalau hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan, tapi harus berkompromi dengan keinginan manajemen dan keinginan pasar. Misalnya ada kampanye partai yang seharusnya nggak boleh diputar, teman-teman sadar ini. Tapi karena ini diwajibkan, maka mau tak mau memang harus ditayangkan. Jika saja kesadaran ini menjadi kekuatan untuk bergerak bersama, maka para jurnalis bisa menolak ini secara bersama-sama. Tapi kondisinya masih seperti ini, manajemen sangat menyetir ruang redaksi, sehingga sangat sulit menegakkan independensi ruang redaksi. Ini juga sebagai upaya yang kemudian dilakukan manajemen untuk melemahkan posisi jurnalis di media.

Sejauh mana kepentingan pemilik media berpengaruh sampai ke ruang redaksi?
Walaupun tidak semuanya begitu, namun kecenderungannya (ke arah demikian) sudah menjadi tren. Pemilik media masuk ke ruang-ruang redaksi. Inilah titik awal matinya independensi ruang redaksi. Jurnalisme tidak lagi bekerja untuk warga dan hak-hak warga, namun untuk kepentingan pemiliknya.
 
Biasanya dititipkannya lewat apa? Mekanismenya bagaimana?
Biasanya dititipkan lewat berita, iklan, atau talkshow. Mekanismenya terkadang melalui rapat redaksi, namun lebih banyak diwajibkan dan harus langsung tayang tanpa melalui mekanisme rapat redaksi.
 
Jadi lewat salah satu orang saja sudah cukup ya?
Biasanya begitu. Istilahnya: wajib tayang.
 
Apa ancaman dan tantangan jurnalis masa kini di tengah industri yang semakin kapitalis, ditambah dengan kepentingan-kepentingan politik praktis lainnya?
Banyak banget, tapi kecil-kecil. Pertama, jurnalis harus sadar bahwa mereka adalah kelas buruh. Setelah sadar, mereka harus membangun serikat pekerja. Di situlah proses demokrasi tertinggi, yaitu ketika teman-teman buruh tergabung dalam serikat pekerja, bebas bicara, dan memiliki PKB (Perjanjian Kerja Bersama). PKB kan dibuat oleh buruh dan manajemen, mengkompromikan peraturan perusahaan. Yang kedua, independensi ruang redaksi. (Sekarang ini) semuanya terdiri dari, kalau bukan iklan, ya partai politik. Tapi itu mimpi semua, ya? Independensi itu mimpi. Susah. Tapi jurnalis harus sadar bahwa posisi mereka adalah buruh yang dipekerjakan sebagai boneka. Yang ketiga soal konten. Itu (semua) kan pasti mempengaruhi konten. Tidak ada independensi redaksi, independensi soal konten (juga) pasti nggak ada.
 
Sumber: Remotivi

Senin, 03 Desember 2012

SP SCTV Ikut Aksi Luviana di Kantor Metro TV


Serikat Pekerja SCTV mendukung aksi Luviana, karyawan Metro TV yang di-PHK secara pihak oleh manajamen Metro TV, di depan kantor Metro TV di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu (1/12). Puluhan karyawan SCTV mengenakan seragam SCTV versi Piala Dunia membawa berbagai atribut aksi dan menuntut agar Luviana dipekerjakan kembali.

"Kali ini kami bukan hanya mengimbau agar tidak menonton Metro TV tapi juga matikan kanal SCTV, karena media itu juga berbuat semena-mena terhadap karyawannnya," teriak Sudirman, Koordinator Departemen Advokasi SP SCTV yang didaulat melakukan orasi. 
Pernyataan Sudirman terkait kebijakan manajemen SCTV yang memaksa alih status dari karyawan tetap menjadi karyawan outsourcing, serta skorsing secara sepihak terhadap 40 karyawannya. Para anggota SP SCTV itu juga bertekad akan terus mendukung aksi Luviana dan karyawan media lain yang diperlakukan semena-mena oleh perusahaannya.

Sumber:

Sabtu, 24 November 2012

Luviana Pun 'Merayakan' HUT Metro TV






 
Hari ulang tahun ke-12 stasiun Metro TV juga dimeriahkan para demostran yang membela jurnalis Metro TV, Luviana, yang di-PHK secara sepihak oleh pihak manajemen Metro TV. Mereka berkumpul sejak pukul 13.00 Wib di halaman kantor Metro TV di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, sambil berorasi dan mengundang kehadiran tokoh Partai Nasional Demokrat Surayo Palloh dan jajaran pimpinan Metro TV.
 
Seperti biasa tokoh-tokoh penting dalam pemecatan Luviana itu lebih asyik di ruangan dan membiarkan para demonstran meneriakkan aspirasinya. Bahkan para tenaga outsourcing dan korban-korban penzaliman di televisi itu pun sama sekali tidak tertarik mendukung aksi.
 
"Luviana sudah tidak menerima gaji selama lima bulan ini. Dan ini adalah ulah tokoh Nasdem yang bermimpi menjadi Presiden RI pada 2014 nanti. Jangan pilih Partai Nasdem, jangan pilih Suryo Palloh kalau mencalonkan jadi presiden, dan jangan tonton Metro TV!" teriak para aktivis.
 
Selama aksi, para demontran membentang spanduk dan banner berisikan ajakan untuk tidak menonton televisi. Mereka juga sepakat akan menghadirkan massa yang lebih banyak lagi pada aksi mendatang.
 
 

Kamis, 22 November 2012

Karyawan SCTV Demo Bareng Buruh


Setelah diskorsing manajemen SCTV, para staf GA yang tergabung dalam Serikat Pekerja SCTV dan berafiliasi pada Aspek Indonesia terus bergerak dan mendukung gerakan-gerakan buruh. Mereka selalu mengenakan seragam SCTV versi Piala Dunia sebagai identitas paling nyata bahwa mereka merupakan karyawan SCTV.

Saat ini, mereka masih menjalani skorsing karena menolak dioutsourcing secara paksa oleh pihak manajemen SCTV. Mereka juga terus mengikuti proses mediasi yang dilakukan antara kuasa hukum mereka dari LBH Aspek Indonesia dan kuasa hukum EMTK, perusahaan induk SCTV.

Berdemo bersama para buruh adalah agenda rutin yang dilakukan oleh para karyawan tersebut sambil menyuarakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan para juragan televisi berlogo jeruk itu. Hidup buruh!

Top Rangking Media Bengis

Media Bengis mencatat "prestasi" empat media televisi sebagai media terbengis saat ini, yakni:

1. SCTV, dengan rekor berhasil mengoutsourcing sekitar 150 buruhnya, bersiap-siap menghadapi gugatan 40 buruhnya, dan terus memburu ratusan buruh lainnya untuk di-PHK dengan berbagai alasan dan modus. Targetnya, tahun 2013 nanti hanya memiliki 500 buruh.

2. INDOSIAR, dengan rekor berhasil mempesiundinikan ratusan buruhnya pasca diakusisi EMTK, boss besar SCTV dan O'Channel, dan akan terus memburu ratusan buruh lainnya untuk di-PHK dengan berbagai alasan dan modus. Targetnya, menyamai sang kakak, SCTV, agar sama-sama ramping dan bisa didobeljobkan.

3. TRANSTV, dengan rekor berhasil memutus kontrak puluhan buruh kontraknya atas nama assesment. Saban bulan, sekitar 30 buruh mundur atau dimundurkan. Targetnya, akan semakin ramping dan terus bisa menggenjot buruh-buruh muda dan murah.

4. METROTV, dengan rekor mem-PHK secara sepihak buruh yang menidirikan serikat pekerja dan membangun teror-teros khusus terhadap buruh yang tidak sejalan.


Rabu, 21 November 2012

Dukung Luviana Atas Kebengisan Metro TV




 
Sebagai bentuk protes atas pelanggaran HAM dan pelanggaran UU Ketenagakerjaan yang dilakukan Metro TV, Aliansi Metro dan Aliansi Sovi memberikan dukungan kepada Luviana untuk melakukan aksi diam. Kami juga mengajak masyarakat umum untuk ikut bergabung dalam aksi: "Stop Nonton Metro TV Sehari Pada 25 November 2012". 
 
Kampanye stop nonton Metro TV ini di jalankan selama seminggu dari 20 November 2012 sampai 25 November 2012. Mereka menyerukan stop menonton Metro TV pada 25 November karena pada hari itu Metro TV merayakan ulang tahun ke-12. 


Sabtu, 17 November 2012

Jangan Tonton Metro TV!

“Aksi Diam Luviana Dan Kampanye Stop Tonton Metro TV Dalam Sehari”

Kepada Yth

Rekan-rekan Jurnalis

Salam Hormat,

Sudah sepuluh bulan kasus ketenagakerjaan menimpa Luviana (jurnalis perempuan Metro tv). Luviana diminta mundur kemudian di-PHK sepihak setelah mendirikan organisasi yang merupakan cikal bakal berdirinya Serikat Pekerja di Metro TV. Luviana bersama sejumlah karyawan Metro TV mempertanyakan kesejahteraan dan memperbaiki manajemen Metro TV, dan mengenalkan tayangan tanpa bias gender.

Luviana bersama Aliansi Metro (Melawan Topeng Restorasi) dan Aliansi Sovi (Solidaritas Perempuan for Luviana) telah bertemu pemilik Metro TV, Surya Paloh pada tanggal 5 Juni 2012. Surya Paloh berjanji untuk mempekerjakan Luviana, namun ternyata politisi ini ingkar janji. Luviana justru di PHK secara sepihak pasca pertemuan dengan Surya Paloh. Dan hampir 5 bulan ini ia tidak mendapatkan upah. Metro TV tak hanya melanggar HAM karena melarang kebebasan berserikat, bersuara dan berekspresi, namun juga telah melanggar UU Ketenagakerjaan 13/2003 karena tidak membayar upah buruhnya sebelum proses sengketa perburuhan ini bersifat tetap (inkrach).

Sebagai bentuk protes atas pelanggaran HAM dan pelanggaran UU Ketenagakerjaan yang dilakukan Metro TV, Aliansi Metro dan Aliansi Sovi memberikan dukungan kepada Luviana untuk melakukan aksi diam. Kami juga mengajak masyarakat umum untuk ikut bergabung dalam aksi: "Stop Nonton Metro TV Sehari PAda 25 November 2012". Kampanye stop nonton Metro TV ini kami jalankan selama seminggu dari tanggal 18 November 2012 sampai Minggu, 25 November 2012. Kami menyerukan stop menonton Metro TV pada 25 November karena pada hari itu Metro TV merayakan ulang tahun ke-12. 

Seruan untuk menghentikan menonton Metro TV PAda 25 November akan diawali dengan Aksi Diam Luviana yang akan dilakukan pada : 

Hari/ Tgl : Minggu, 18 November 2012
Waktu : Jam 10.00 wib
Tempat : Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Agenda : 
1. Aksi diam Luviana
2. Kampanye Aliansi: Stop Nonton Metro TV Sehari 25 November 2012

Terimakasih untuk solidaritas dan kehadiran peliputan dari kawan-kawan media.

Jakarta, 16 November 2012

Hormat kami,

Kustiah (Koordinator Aliansi METRO)

CP :
1. Kustiah : 081705656542. 
2. Adhitya Himawan : 0813150615023. 
3. Poltak A. Sinaga : 081287670938 


Aliansi Metro (Melawan Topeng Restorasi) :
Kontras, FPPI-Front Perjuangan Pemuda Indonesia, INFID, Salud, Komunitas Kedai Kopi Bhinneka, Migrant Care,Kapal Perempuan, PBHI Jakarta, AJI Jakarta, AJI Indonesia, Jurnal Perempuan, Inspirasi Indonesia, FMKJ-Forum Masyarakat Kota Jakarta, Aliansi Petani Indonesia, Somasi -solidaritas Mahasiswa Untuk Demokrasi, LBH Pers, Central Board of National Union Confederation (DPP Konfederasi Serikat Nasional), LBH Jakarta, AMAN- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Federasi Serikat Pekerja Media Independen, Sekar Indosiar, FKI KSPSI Bekasi, Serikat Pekerja KBR 68H, KASBI, SRMI, FSNN-Federasi Serikat Nelayan Nusantara, SPSI, Barisan Perempuan Indonesia, SMI Jakarta, LPM Media Kampus, FPBJ Forum Perjuangan Buruh Jakarta, SBTPI Serikat Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia, Poros Wartawan Jakarta (PWJ), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Perempuan Mahardhika, Repdem, Paguyuban anti Penggusuran Jakarta (Pawang), Forum Alumni Mahasiswa Atmajaya Yogyakarta, Sekber Buruh, LBH Apik, Jala PRT, GMI, SOMASI, UKI, FMKJ, Jejaring Jakarta (Jejak) dan Aliansi

Selasa, 06 November 2012

Tahan Gaji Luviana, Dirut Metro TV Dilaporkan ke Polda Metro Jaya

Jakarta, Seruu.com - Kasus Luviana, Asisten Produser Metro TV, yang dipecat secara sepihak oleh perusahaan setelah mengkritik mekanisme pembagian bonus prestasi di kantornya memasuki babak baru. Luviana melaporkan Direktur Utama Metro TV Adrianto Machribie ke Polda Metro Jaya atas tuduhan penggelapan gaji, Selasa (06/11/2012).

Menurut Luviana, gajinya sudah tidak dibayar sejak 27 Juni 2012 akibat perselisihan tersebut. Dia menyesalkan penghentian gaji ini. "Belum ada ada putusan berkekuatan hukum tetap. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja, gaji enggak boleh ditahan," kata dia di kantor Sentra Pelayanan Kepolisian Polda Metro Jaya, Selasa 6 November 2012.

Dalam laporan bernomor LP/3833/XI/2012/PMJ/Dit Reskrimsus, Adrianto disebut melanggar Pasal 93 junto Pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ancaman pidananya minimal satu tahun, maksimal 4 tahun.Kuasa hukum Luviana dari LBH Pers, Sholeh Ali, mengatakan, seharusnya gaji Luvi masih dibayarkan oleh Metro TV. Berdasar UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, kasus Luviana dengan Metro TV harus dibawa dulu ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Setelah ada keputusan dari PHI, baru eksekusi dilakukan, termasuk soal gaji.Masalahnya, kata dia, kasus Luviana dengan Metro TV kini belum diputuskan secara hukum. Bahkan, belum diajukan ke PHI. "Perusahaan seharusnya masih tetap menjalankan kewajiban membayar upahnya sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap," ujarnya.

Sholeh menyebutkan harusnya Metro TV , sebagai pihak yang ingin memutus hubungan kerjalah, yang membawa kasus ini ke PHI. "Kepentingan dia lebih besar," ujarnya.

Luviana belum berniat menuntut Metro TV ke PHI. Dia ingin menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Bahkan, dia masih menyimpan asa untuk kembali bekerja di Metro TV. "Aku mau bekerja kembali," kata Luviana, yang sudah bekerja selama 10 tahun di perusahaan televisi milik Surya Paloh itu.

Sebelumnya, Luviana di-nonjob-kan sejak Februari 2012. Dia dianggap melakukan kesalahan berat, di antaranya, dituduh memprovokasi pekerja lain hingga ingin membentuk serikat pekerja.

Setelah pertemuan tripartit antara Dinas Tenaga Kerja, Metro TV, dan Luviana, Dinas Tenaga Kerja justru merekomendasikan kepada Metro TV untuk memecat Luviana. Dia dinilai bersalah karena berusaha mereformasi manajemen, mengajak pekerja lain pertanyakan kesejahteraan alias menghasut, dan mencemarkan nama baik Metro TV karena menceritakan kasusnya di Hari Perempuan Internasional 8 Maret lalu.[tmp]

Senin, 05 November 2012

Komnas HAM soal PHK Luviana: Pihak Metro TV Terancam 4 Tahun Penjara

JARINGNEWS, Jaringnews.com - Kasus Luviana, wartawan Metro TV yang mulanya di-nonjob-kan dan
akhirnya di-PHK (pemutusan hubungan kerja) sepihak, masih terus berlanjut. Kali ini Komnas HAM memanggil kedua belah pihak, yakni manajemen Metro TV dan pihak Luviana menindaklanjuti laporan yang masuk ke Komnas HAM beberapa waktu lalu.

Komnas HAM dalam hal ini mengedepankan penegakan HAM disamping norma dan aturan hukum yang ada. Komnas HAM menilai, PHK Luviana belum merupakan kesepakatan bersama dan melanggar aturan Hukum serta mengabaikan perspektif HAM.

"PHK Luviana diduga berindikasi terjadi pelanggaran hak-haknya sebagai karyawan, misalnya terkait upayanya dalam mendirikan serikat pekerja. Disuruhnya Luviana mengundurkan diri tanpa alasan, juga terkait gaji yang tidak dibayarkan yang merupakan haknya. Ini adalah pidana penggelapan uang dan ancamannya 4 tahun penjara," ujar Komisioner Komnas HAM Jhoni Nelson Simanjuntak saat proses mediasi di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta, Rabu (5/9).

Menangapi hal ini, Bonaparte Situmorang, kuasa hukum Metro TV mengatakan, pihaknya telah melakukan prosedur yang benar terkait PHK terhadap Luviana, mulai dari mengajukan Luviana mundur, kemudian dipindahtugaskan, lalu di-nonjob-kan hingga akhirnya di-PHK. Dia mengatakan, pihaknya melakukan PHK kepada Luviana berdasarkan anjuran dari Disnaker Jakarta Barat melalui perundingan tripartit.

"Ada aturan main, dan kami sudah melakukan itu. dan itu juga merupakan anjuran dari Disnaker, dan manajemen tidak pernah menyalahkan Luviana untuk mendirikan serikat pekerja dan terkait gaji, jika semua karyawan melakukan hal itu setiap orang di-PHK di Gaji, bangkrut dong Metro TV?" tanya dia.

Namun, Maruli, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) sekaligus salah satu pendamping Luviana, membantah klaim pihak Metro TV. Kata dia, ada dua persoalan yang dihadapi Luviana. Pertama, diskriminasi yang dialami Luviana di Metro TV. Luviana ingin mendirikan serikat pekerja dan menuntut kesejahteraan, yang membuat manajemen gerah dan akhirnya mem-PHK-kan Luviana.

Kedua, sesuai mekanisme hukum, PHK tidak sah/batal demi hukum apabila tidak ada putusan dari lembaga peradilan dan semua prosedur yang dilakukan Metro TV salah. Dalam hal ini, kata dia, prosedur Metro TV tidak sah dan gagal demi hukum karena tidak mengikuti Undang-undang Ketenagakerjaan.

Terkait gaji, sambung dia, sebelum ada keputusan yang inkraht, yaitu hingga tingkat kasasi dalam proses peradilan ataupun terjadinya kesepakatan sebelum dibawanya kepengadilan, maka perusahaan harus membayar gaji dari karyawan yang di PHK, dan kadaluarsanya setahun.

"Jika Metro TV hingga saat ini belum membayarkan gaji kepada Luviana sejak di PHK 27 Juni lalu, merupakan perbuatan penggelapan yang dilakukan oleh manajemen Metro dan ini merupakan perbuatan pidana seperti yang diatur dalam pasal 93 ayat 2 huruf F junto Pasal 186 UU no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP no. 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah dengan ancaman pidana 4 tahun dan denda 400 juta," papar Maruli.

Dalam kesempatan ini, Umar, koordinator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengingatkan agar penanganan kasus ini dilakukan secara hati-hati. Pasalnya, sudah banyak kasus yang sama pernah terjadi.

"Perusahaan harus melakukan haknya membayarkan Upah Luvi selama proses PHK berlangsung, karena kalau tidak maka akan menjadi preseden buruk bagi perusahaan Metro TV, dalam waktu dekat kami akan adukan penggelapan upah buruh yang dilakukan manajemen Metro TV kepada Kepolisian," ujar dia.

Sekedar diketahui, sejak di-PHK  tanggal 27 Juni 2012 tanpa adanya keputusan yang inkraht sesuai amanat Undang-undang Ketenagakerjaan, Luviana tidak lagi menerima upah. Untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, Luviana mengaku dibantu oleh teman-temannya yang peduli.(Nvl / Nky)

Selasa, 16 Oktober 2012

Luviana, Korban Kesewenangan Pemilik Modal Metro TV

Metro TV yang selama ini sangat rajin membombardir pemerintah dengan mengangkat berbagai isu yang dianggap miring, kali ini tersandung oleh masalah internal. Metro TV akan dilaporkan oleh Poros Wartawan Jakarta (PWJ) ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait kasus yang dilakukan terhadap karyawannya.

Luviana, Asisten Produser Metro TV yang juga anggota AJI Jakarta, sudah bekerja kurang lebih 9 tahun namun saat ini di non-jobkan dari redaksi Metro TV. Ia di non-jobkan setelah sebelumnya mendapat perilaku subjektif dari manajemen karena selama 8 bulan menuntut perbaikan kesejahteraan karyawan, merencanakan pembentukan serikat pekerja, menuntut sistem penilaian kerja  yang objektif, dan meminta adanya perbaikan program siaran yang sensitif gender dan HAM.

Luviana saat ini dirotasi ke bagian HRD yang sangat jauh dari bidangnya sebagai seorang jurnalis. “Saya menuntut untuk dipekerjakan kembali di bagian redaksi, meminta Metro TV tidak lagi  melakukan kesewenang-wenangan terhadap karyawan dan memperbaiki sistem manajemen redaksi yg buruk,” tegas Luviana (sumber: dari link ini).

Kasus di atas hanyalah satu kasus yang terangkat ke permukaan. Permasalahan utamanya adalah keterkaitan antara pemilik modal dengan output pemberitaan. Keputusan redaksi seringkali digunakan untuk kepentingan tertentu. Maka, orang yang tidak sejalan dengan arus besar, yaitu keputusan pemilik modal secara otomatis akan disingkirkan.

Sejarah Media Di Bawah Cengkeraman Pengusaha

Salah satu majalah ibu kota edisi 13 Februari 2012 pernah menganalisis mengenai bagaimana sejarah para pengusaha dalam menguasai media. Berikut ini adalah beberapa fakta tersebut.

Surya Paloh menguasai media pertama kali dengan mendirikan Harian Prioritas. Tapi sayang umur Prioritas hanya setahun, karena dibredel oleh pemerintahan saat itu. Penutupan Prioritas tak membuat

Surya mundur dari bisnis pers. Beberapa tahun kemudian ia menggandeng T. Yousli Syah mengelola koran Media Indonesia. Atas persetujuan Yousli sebagai pemilik, Surya memboyong Media Indonesia ke Gedung Prioritas di Jalan Gondangdia Lama, Jakarta Pusat.

Sejak saat itu, banyak pengusaha berbondong-bondong menanamkan uangnya di bisnis ini. Yang paling agresif adalah Hary Tanoesoedibjo. Sejak mengambil alih PT Bimantara Citra Tbk. tahun 2000 lalu, Hary mengusung ambisi ingin menjadi jawara bisnis media penyiaran dan telekomunikasi. Ambisinya menjadi kenyataan. Lewat Media Nusantara Citra (MNC) Group kini memiliki belasan media massa, mulai dari televisi, surat kabar, majalah, radio, hingga media online. Maka tak begitu heran kalau kemudian Hary dijuluki “Raja Multimedia”.

Selain Hary, sederet pengusaha lain menggarap bisnis ini. Ada Aburizal Bakrie melalui Bakrie Group mendirikan tvOne, ANTV, dan Vivanews.com. Kemudian Chairul Tanjung lewat Trans Corporation membangun televisi Trans TV, Trans 7, dan tahun lalu membeli situs detik.com.

Yang tak kalah sengit apa yang dilakukan Lippo Group. Sejak tahun 2000-an kelompok usaha ini sudah mulai mendirikan media online bernama Lippostar.com dan e-commerce Lipposhop.com. Beberapa tahun kemudian kedua media online ini ditutup. Lantas, Lippo mengambil alih koran ekonomi Investor Daily dan mendirikan majalah Investor.

Pada Januari 2011, Globe Media Group yang dimiliki oleh John Riady, anak James T. Riady, CEO Grup Lippo, mengakuisisi media online beritasatu.com. Nama Globe Media Group pun kini berganti menjadi Berita Satu Media Holdings. Tergabung dalam grup media baru ini adalah beberapa media cetak seperti The Jakarta Globe, Globe Asia, The Peak, Investor Daily, Kemang Buzz, Campus Asia, Student Globe, The Straits Times, Investor, Suara Pembaruan, stasiun televisi QTV, dan portal berita beritasatu.com.

Tak mau ketinggalan perusahaan rokok Djarum. Baru-baru ini Djarum membeli situs Kaskus, sebuah forum komunitas terbesar di Indonesia. Atau Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang mendirikan situs pelitaonline.com.

Pendek kata bisnis pers saat ini yang digarap para pengusaha penuh gempita dan warna. Langkah Chairul Tanjung yang membeli portal berita detik.com senilai US$ 60 juta (Rp 521 miliar) membuat pergerakan konglomerasi media Indonesia makin riuh.

Keriuhan tambah seru ketika masyarakat menyaksikan kolaborasi media antara Surya Paloh (Media Indonesia, Metro TV, Lampung Post,dan mediaindonesia.com) dengan Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Group dengan masuknya Hary di Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai Ketua Dewan Pakar.

Model Pengaruh Pemilik Modal Terhadap Media

Teori Framing dan teori Setting Agenda: dua teori komunikasi massa masih sangat relevan untuk menjelaskan bagaimana suatu berita sangat dipengaruhi oleh awak redaksi dan pemilik modal.

Ada empat jenis hubungan kekuatan media dengan sumber-sumber kekuatan termasuk di dalamnya pengusaha atau partai politik tertentu, yang diambil dari buku Fishman, Manufacturing News (1980). Pertama, adalah hubungan antara sumber dari luar media yang berkekuatan besar dengan media yang berkekuatan besar. Dalam situasi ini, jika keduanya bertemu akan mengarahkan kekuatan yang besar terhadap agenda publik. Ini dapat terjadi misalnya dengan pejabat publik yang berkekuatan besar yang memiliki hubungan baik dengan media atau pengusaha besar dengan media seperti telah disebutkan di atas.

Kedua, sumber luar yang berkekuatan besar dengan media yang berkekuatan kecil. Di sini, sumber luar tersebut akan bekerjasama dengan media dan menggunakan media untuk meraih tujuannya sendiri. Hal ini terjadi, misalnya seorang politisi membeli waktu tayang.

Ketiga, sumber luar yang berkekuatan rendah dengan media yang berkekuatan besar. Organisasi media tersebut akan sangat bertanggungjawab terhadap agendanya sendiri. Hal ini terjadi, misalnya ketika
media membatasi sumber-sumber tertentu.

Keempat, adalah situasi dimana baik kekuatan luar maupun media berkekuatan rendah, dan agenda publik mungkin akan ditentukan oleh kejadian-kejadian tersebut, bukan oleh media atau kekuatan tertentu.

Kasus Luviana adalah kasus di mana kekuatan besar dari pengusaha cenderung dominan terhadap media. Maka, siapa saja yang tidak berada di arus besar akan tersingkir dengan sendirinya. Lalu, di manakah independensi media? Independensi media tentunya masih bisa diharapkan dari media-media yang didirikan oleh para jurnalis, bukan oleh para pengusaha kapitalis yang hanya ingin mengeruk keuntungan atau untuk kepentingan tertentu semata.**[harja saputra]

Senin, 08 Oktober 2012

Luviana dan Tanggung Jawab Media di Ruang Publik

Luviana adalah seorang karyawan Metro TV, seorang asisten Produser Metro TV. Luviana dikeluarkan dari Metro TV karena menuntut perbaikan kesejahteraan karyawan, pembentukan serikat pekerja, siaran yang sensitif gender dan HAM. Dua tuntutan Luviana adalah tuntutan internal, sementara dua tuntutan Luviana adalah tuntutan universal, tuntutan sebagai klaim ruang keadilan dalam hukum bisnis modern.

Sebesar apapun modal privat yang dimiliki Metro TV, pada kenyataannya, Metro TV adalah produk jasa yang masuk ke dalam ruang publik, imbal balik benefit mereka adalah kerelaan ruang publik milik masyarakat dimasuki oleh Metro TV. Disini kemudian Metro TV mau tidak mau harus terbuka dalam ranah publik, mau tidak mau juga harus menjadi teladan atas ukuran-ukuran ideal keadilan bagi ruang publik, bila kaidah ini tidak disadari oleh pihak manajemen Metro TV, maka legitimasi sebagai suara ideal yang masuk ke dalam ruang publik bisa hancur dan tidak memiliki basis kepercayaan lagi ditengah masyarakat. Tapi ketika Manajemen Metro TV tetap menolak membuka kasus ini ke tengah masyarakat, maka kita bisa menjadi saksi sebuah adagium “Modal Menjadi Diktator Atas Masyarakat”. Disini berarti

“Negara” yang menjadi diktator atas kerangka “Negara Orde Baru” menjadi transformatif menjadi “Modal sebagai Diktator”.

Banyak kasus yang melibatkan problem internal wartawan yang tidak muncul ke ruang publik seperti kasus Bambang Wisudo di Kompas beberapa tahun lalu. Pertikaian-pertikaian kaum jurnalis adalah cerita yang lazim dalam sejarah perkembangan jurnalisme di Indonesia seperti pertikaian Rosihan Anwar dengan BM Diah, pertikaian Goenawan Muhammad dengan Syu’bah asa, tapi pertikaian itu menjadi tidak sehat ketika kekuasaan menjadi rivaalitas terhadap wartawan seperti pertikaian Rosihan Anwar dengan Ali Murtopo dalam kasus PWI di tahun 1974 atau Pertengkaran GM dengan Harmoko dalam kasus Pembredelan Tempo 1994.

Kasus Luviana harus diperiksa apakah ini pertikaian idealisme wartawan dengan wartawan dalam soal etika, ataukan ini pertikaian antara wartawan yang memperjuangkan idealisme jurnalistik dengan Pemodal. Bila ditemukan yang terakhir dan pihak jurnalis kalah maka ini adalah sinyal bahaya terhadap ruang publik yang sehat.

Sedari sekarang-lah media massa harus jujur di ruang publik, tidak berpihak atas kepentingan politik apapun dan menjadi suara atas kegelisahan masyarakat.bukankah Pram berkata : “‘seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan’.(Anton DH Nugrahanto)

Sabtu, 06 Oktober 2012

Pernyataan Sikap Aliansi METRO: "Pekerjakan Kawan Kami Kembali"



Pernyataan Sikap Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi): "Pekerjakan Kawan Kami Kembali"

Konstitusi menjamin hak setiap warga negara dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Begitu pun dengan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Tapi yang dilakukan manajemen Metro TV terhadap jurnalis perempuannya, Luviana, seperti telah membalikkan tatanan nilai itu. Ia dibebastugaskan lantaran menuntut perbaikan kesejahteraan, manajemen ruang redaksi, serta tengah menggagas berdirinya organisasi pekerja yang mampu memperjuangan aspirasi karyawan di perusahaan televisi milik Surya Paloh, seorang pengusaha yang juga pendiri Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan tengah gencar menggaungkan slogan Restorasi Indonesia itu.

Sudah hampir tiga bulan Luviana dibebastugaskan tanpa alasan yang jelas. Manajemen Metro TV yang semula menyatakan Luviana tidak melakukan kesalahan apa pun, baik secara administratif maupun tugas jurnalistik, kini menganggap Luviana telah melakukan kesalahan karena dianggap telah berupaya mereformasi manajemen, mengajak karyawan Metro TV untuk memprotes manajemen, serta telah melakukan pencemaran nama baik karena menceritakan kepada orang lain tentang kasus kesewenang-wenangan yang ia alami. Tak hanya itu, tatkala dukungan publik kepada Luviana semakin deras mengalir, justru secara kasar Luviana malah dirumahkan oleh pihak manajemen Metro TV, bahkan diusir oleh satpam saat akan masuk ke kantor. Ketika ditanya mengapa mengusir Luviana, para satpam menjawab disuruh oleh manajemen Metro TV. Padahal melakukan pembebastugasan karena memprotes soal kesejahteraan, membentuk organisasi dan memprotes tayangan yang tidak sehat di televisi merupakan praktik-praktik yang banyak dilakukan rezim Orde Baru yang anti-demokrasi. Praktik yang sama dilakukan manajemen Metro TV dengan mengekang kebebasan orang untuk berpendapat dan berkumpul serta merupakan tindakan praktik anti-serikat.

Sedangkan menganggap bahwa apa yang dilakukan Luviana telah melakukan pencemaran nama baik tak lebih sebagai tindakan memberangus kebebasan berekspresi. Tindakan lain yang dilakukan Metro TV adalah mengusir Luviana dari tempat kerjanya, yang merupakan praktik kekerasan dan bias dimasukkan dalam kategori tindak pidana kriminal.

Perlakuan yang dialami Luviana mencerminkan betapa rendahnya penghargaan manajemen Metro TV terhadap pelembagaan nilai-nilai hak asasi manusia. Menjadi sangat ironis mengingat Surya Paloh, selaku pemilik MetroTV, selalu gencar mengkampanyekan perubahan Indonesia yang lebih baik melalui gerakan restorasi! Sementara di saat bersamaan, praktik penindasan, kriminalisasi dan perlakuan sewenang-wenang tumbuh subur di perusahaannya.

Kami dari Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi) telah melakukan sejumlah upaya pengaduan ke berbagai instansi negara. Mulai dari Komnas HAM, Komisi IX DPR RI hingga ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun Manajemen Metro TV tak bereaksi.

Di saat bersamaan, perundingan bipartit antara Luviana dan kuasa hukumnya dengan Metro TV menemui jalan buntu. Perusahaan tetap tidak mau mempekerjakan kembali Luviana di bagian redaksi. Ironisnya ketika masalah ini sedang dibicarakan di perundingan tripartit di Sudinakertrans Jakarta Barat, justru Luviana diusir dari tempat kerjanya oleh satpam.

Melihat kondisi tersebut kami yang tergabung dalam Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi), menyatakan sikap:

1. Mengutuk keras keputusan pembebastugasan Luviana sebagai tindakan ilegal dan melanggar HAM.

2. Mengutuk keras pengusiran yang dilakukan oleh satpam di tempat kerja karena melanggar HAM dan tergolong sebagai tindakan kriminal.

3. Menuntut Metro TV untuk memberikan ruang bagi kebebebasan bersuara dan berekspresi kepada seluruh karyawannya.

4. Menuntut Metro TV untuk tidak menghalangi Luviana yang berinisiatif membentuk Perikat Pekerja Metro TV.

Demikian pernyataan sikap dari Aliansi METRO dalam kasus Luviana dan Metro TV. Kami akan selalu berjuang membela jurnalis yang memperjuangkan kesejahteraan, kebebasan berpendapat, berekspresi dan kebebasan berserikat di industri media.

Hidup jurnalis!
Hidup buruh!
Lawan penindasan!

Jumat, 05 Oktober 2012

AJI Sesalkan 'Anak Singkong' Minta Karyawan Mundur

Kebijakan  PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) milik Trans Corporation dan pengusaha Chairul Tanjung yang meminta mundur para jurnalisnya, mendapat sorotan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). AJI meminta perusahaan media menggunakan parameter yang jelas dalam memutuskan hubungan kerja, permintaan mundur atau pensiun dini terhadap pegawainya.

Perusahaan diminta tidak menggunakan alasan hanya dilihat dari satu kali proses assesment. Menurutnya, kebijakan mendesak mundur karyawan bukan jalan satu-satunya untuk memiliki sumber daya manusia yang lebih berkualitas.

"Harusnya dari proses tersebut, yang dilakukan perusahaan adalah peningkatan sumber daya manusia dengan pelatihan atau training agar kinerja pegawai, bukan langsung diminta mundur," ujar Koordinator Divisi Serikat Kerja AJI Indonesia Jojo Raharjo pada merdeka.com, Jumat (6/7).

Dia mengatakan penilaian terhadap karyawan seharusnya berkala, bukan tiba-tiba dilakukan assesment dan akhirnya diminta mengundurkan diri. "Penelusuran kami, permintaan mundur mendadak dan tidak ada sosialisasi," ujarnya.

Jojo menegaskan dari hasil pendampingan yang dilakukan AJI dengan salah seorang pekerja Trans TV, mereka hanya diberi peringatan lisan tanpa ada parameter penilaian yang detail dan jelas. "Mereka mengira dari assesment akan ada perbaikan leadership, training dan lain-lain," katanya.

Menurutnya, kejadian sejenis ini bukan kali pertama terjadi. Untuk meminimalisir terjadinya kejadian serupa, dia mengingatkan agar pegawai media membuat serikat pekerja sebagai alternatif jika kelak menemui perselisihan ketenagakerjaaan.

"Kesadaran berserikat diantara pekerja media belum tinggi. Kesadaran baru muncul saat ada masalah. Serikat kerja itu penting agar masalah ketenagakerjaan dan lainnya bisa diselesaikan secara dialog internal terlebih dahulu," katanya. Serikat Kerja bisa menjadi jembatan untuk untuk menyelesaikan kasus perselisihan antara karyawan dan perusahaan.

Sebelumnya, PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) milik Trans Corporation dan pengusaha Chairul Tanjung atau biasa dipanggil Anak Singkong seperti tertulis di buku biografinya, meminta puluhan karyawannya untuk pensiun dini. Puluhan karyawan yang diminta mundur tersebut berasal dari divisi pemberitaan atau news.

Informasi yang dihimpun merdeka.com, puluhan karyawan tersebut diminta mengundurkan diri dengan alasan rating dan sales turun. Namun secara kumulatif TV yang fokus pada hiburan keluarga ini masih untung. Karyawan yang diminta turun mulai dari eksekutif produser, produser, asisten produser, reporter sampai pada beberapa koresponden di daerah.

"Nanti akan menyusul kembali setelah adanya penilaian kinerja. Ini hal biasa dalam perusahaan dan setiap tahun juga seperti ini. Tapi tidak jadi bahan berita," ujar Kepala Komunikasi Perusahaan Trans TV, Hadiansyah Lubis saat dihubungi merdeka.com. Rabu (4/5).

Dia mengatakan, perusahaan telah melayangkan surat hasil penilaian pada karyawan dan beberapa orang diminta mundur dengan kompensasi sesuai dengan undang-undang tenaga kerja. "Beberapa menerima tawaran ini. Yang lain masih belum dipanggil baru diberikan surat tawaran," katanya. Assessment akan dilakukan juga pada divisi lain dan kemungkinan akan dilakukan hal sama seperti pada divisi news.(mdk/oer)

Kamis, 04 Oktober 2012

Kisah Hidup Pegawai TransTV yang Menyedihkan

Ketika pertama kali aku main-main ke Trans TV di daerah Mampang, Jakarta Selatan, aku melihat ada sesuatu yang menarik. Saat itu aku duduk di Coffee Bean; (persis di kursi sebelah Julie Estelle yang keliatan suntuk nungguin Moreno yang sedang didapuk menjadi komentator liputan Balap Mobil F1 Trans7) sambil nungguin Prabu Revolusi. Dari kursiku, aku bisa memandang begitu banyak orang berseragam hitam hitam berseliweran di lobi utama Trans Corp. Dan aku melihat adanya kebanggaan di wajah mereka semua mengenakan seragam hitam-hitam itu.Kata salah seorang campers (camera-person) Jelang Sore yang aku kenal, tiap karyawan Trans akan merasa bahwa seragam mereka itulah yang mengikat hati mereka dan membuncahkan kebanggaan mereka menjadi karyawan Trans. Terutama bagi anak-anak baru.
 
"Istilahnya, gak usah pake duit asal kamu pake tu seragam pasti bisa dah dipake buat ngelamar anak orang.." katanya.

Aku sendiri melihat bahwa Trans TV memang memiliki citra yang sangat positif sebagai salah satu perusahaan yang paling dituju oleh lulusan S1 setelah mereka lulus kuliah. Masih ingat kan, program rekrutmen Trans TV bulan Januari 2007 yang masuk rekor MURI karena jumlah pesertanya yang mencapai lebih dari 100.000 pelamar..? Itu saja sudah menunjukkan betapa tinggi citra merek Trans TV di mata masyarakat Indonesia. Dengan demikian, mestinya orang-orang berseragam hitam-hitam yang aku lihat di lobi TransCorp memiliki kebanggaan yang besar bisa lolos seleksi dan bekerja di salah satu perusahaan idaman para pencari kerja. Paling tidak, itulah dugaanku semula..

Namun sejak akhir 2007, aku mendengar kabar bahwa banyak karyawan Trans TV yang sudah dan akan mengundurkan diri dalam waktu dekat. Awal 2007, presenter-presenter handal Trans TV seperti Mohammad Rizky Hidayatullah, Tina Talissa, Afaf Bawazier, Budi Irawan, Hanum Rais, dan lain-lain sudah hengkang ke stasiun TV lain, pada akhir 2007 gelombang eksodus itu mengalir lagi. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Dalam empat bulan hingga Desember 2007, jumlah presenter, reporter, campers, dan karyawan produksi Trans TV yang hengkang mencapai lebih dari 60 orang!! Dan yang hengkang bukanlah orang-orang sembarangan..!! 90% dari mereka yang hengkang adalah mereka yang memiliki dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan kinerja yang luar biasa.
 
Mau contoh?

Ratna Dumila, presenter cantik lulusan Fakultas Hukum UNAIR yang sudah digadang-gadang Chairul Tanjung menjadi ikon Trans TV bersama Prabu Revolusi, secara mendadak hengkang ke TV-One. Tidak hanya Mila, yang juga memutuskan ikut dalam gelombang eksodus itu termasuk juga presenter kesayangan pemirsa Trans TV Githa Nafeeza, Reza Prahadian (wartawan kepresidenan Trans TV), Divi Lukmansyah (Koordinator seluruh presenter Trans TV), Iwan Sudirwan (Kepala Divisi – boss besar seluruh program berita Trans TV), bahkan sampai produser Reportase Investigasi yang menghasilkan liputan-liputan luar biasa tentang tahu berbahan formalin, bakso daging tikus, atau obat-obatan daur ulang. Bayangkan kalau 60 orang dengan kualitas sehebat itu kemudian pindah dalam waktu yang hampir bersamaan..!! Dan gelombang eksodus itu bahkan masih berlanjut sampai Maret 2008, meskipun jumlah yang keluar tidak sebanyak tahun 2007. Tapi, bila ditotal, jumlah mereka yang memutuskan untuk hengkang dari Trans TV sejak tahun 2007 sampai dengan Maret 2008 mencapai hampir 100 orang. Buatku, itu suatu jumlah yang luar biasa..!!!

Kedekatanku dengan beberapa reporter, presenter, dan campers Trans TV memungkinkan aku untuk bertanya-tanya pada mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka semua menyampaikan jawaban yang senada, yaitu bahwa mereka merasa bahwa Trans TV kurang memberikan penghargaan atas apa yang mereka lakukan buat perusahaan. Dedikasi dan loyalitas yang mereka berikan ternyata tidak disambut dengan sepadan oleh perusahaan. Hal ini membuat kebanyakan orang-orang terbaik Trans TV memilih untuk hengkang, meskipun kenyamanan atmosfir kerja di Trans TV masih belum bisa ditandingi oleh stasiun TV lainnya di Indonesia.

Dengan informasi sebatas itu, saat itu aku masih bertanya-tanya. Karena menurutku, biasanya orang-orang media, apalagi yang memiliki kinerja yang bagus, kebanyakan lebih mementingkan kondisi kerja yang kondusif. Kenyamanan lingkungan kerja bagi pekerja profesi, biasanya, jauh lebih penting dibandingkan penghargaan, apalagi penghargaan berupa uang.Jadi, aku merasa bahwa mestinya ada hal lain yang membuat orang-orang terbaik Trans TV hengkang dan mencari pelabuhan baru pada waktu yang hampir bersamaan. Baru pada awal bulan lalu aku menemukan jawabnya. Dari perbincangan dengan beberapa orang teman Trans TV, aku menemukan sesuatu yang sangat menarik. Sekaligus mengherankan. Ternyata di antara Stasiun TV swasta nasional lain di Indonesia, Trans TV adalah stasiun TV yang menawarkan penghasilan PALING RENDAH. Bahkan, standar gaji Trans TV setara dengan standar gaji stasiun TV lokal seperti Banten-TV atau JTV..!!

Ingat, program rekrutmen Trans TV Januari 2007 yang masuk MURI yang tadi sempat aku singgung? Mereka yang direkrut dari program itu menerima take home pay Rp 1.500.000,- plus uang makan Rp 10.000 per hari masuk. Pernah lihat iklan rekrutmen presenter, reporter, dan campers yang dilaksanakan di kampus-kampus di Surabaya (UNAIR), Yogyakarta (UPN), Bandung (UNPAD) pada bulan April 2008? Mereka yang lolos rekrutmen itu akan (masih rencana nih…) menerima take home pay Rp 1.700.000,- plus uang makan Rp 10.000 per hari masuk. Mereka yang memiliki jatah sebagai presenter acara di TV, seperti Prabu Revolusi (Reportase Sore dan Reportase Investigasi), Ryan Wiedaryanto (Reportase Sore dan Reportase Akhir Pekan), atau Sharah Aryo (Jelang Sore) lebih beruntung. Karena mereka juga mendapat honor presenter, yaitu kurang lebih Rp 70.000 untuk sekali tampil.

Aku begitu kagetnya mendengar informasi itu. Terbayang olehku ketika aku ikut proses liputan Jelang Sore di Surabaya dan Bandung yang begitu melelahkan. Dan untuk itu hanya mendapat penghasilan segitu..?? Pantaskah..??? Gak usah bilang pantas atau tidak pantas deh. Cukupkah untuk hidup..??? Uang kos di daerah Mampang berkisar Rp 600.000 sebulan dengan fasilitas minimal dan langganan banjir, buat beli makan malam kurang lebih Rp 15.000 sekali makan di warung sederhana, belum buat beli pulsa HP, buat transpor ojek yang Rp 5000 dari tempat kos ke kantor Trans TV, buat sekedar jajan atau nonton kalo lagi malam mingguan. Berapa yang masih tersisa dan cukup untuk ditabung…???

Bukan cuma itu. Dari informasi itu pula, aku jadi tahu bahwa take home payyang notabene tinggal di Jakarta) ternyata masih lebih rendah dibandingkan take home pay rata-rata PNS dosen Universitas Airlangga..!!!

Aku tak mampu berkata apa-apa. Karena aku jadi langsung tahu, sangat rasional kalau seorang presenter berita Trans TV yang sudah cukup senior dengan take home pay berkisar Rp 2,5 juta sampai 3 juta per bulan langsung memutuskan untuk pindah begitu ditawari oleh TV-One take home pay tiga kali lipatnya. Seorang presenter berita Trans TV dengan gaji sebesar Rp 2,5 – 3 juta sebulan masih punya kewajiban untuk turun ke lapangan melakukan liputan seharian penuh, kembali ke kantor untuk mengedit liputannya sekaligus melakukan VO (Voice Over atau Dubbing), lalu menyiapkan materi liputan besok atau bersiap-siap tampil menyajikan berita, dan baru pulang ke rumah pukul 21 untuk kembali masuk pukul 8 pagi esok harinya. Kebayang gak, gimana kehidupan presenter atau reporter Trans TV yang sudah berkeluarga..? Dengan jam kerja yang begitu panjang, deadline yang begitu ketat, dan penghasilan yang begitu seadanya, apa yang dapat mereka berikan dengan layak untuk istri dan anak mereka..? Seorang karyawan dengan loyalitas dan dedikasi tinggi sekalipun pasti akan terpaksa berpikir rasional dan menerima tawaran lain yang lebih manusiawi. Mungkin saja mereka tidak akan dapat merasakan suasana kerja yang senyaman di Trans TV, tapi aku yakin mereka akan dapat menerimanya (dengan terpaksa) demi tuntutan hidup yang harus mereka penuhi.Aku bisa memahami itu semua kini, mengapa begitu banyak orang-orang hebat Trans TV yang memilih untuk mencari tempat yang baru.

Money is not everything, but sometimes without money everything is nothing..

Sangat manusiawi apabila mereka-mereka yang memiliki kinerja yang bagus dan dedikasi serta loyalitas yang tinggi harus takluk pada kebutuhan yang paling mendasar yaitu uang. Tapi, ada satu hal yang masih menggelitik pikiranku. Aku pernah membaca di majalah SWA pada edisi yang membahas tentang para eksekutif muda dan eksekutif yang diburu oleh headhunters (para pencari, pemburu, dan pembajak tenaga kerja level eksekutif dari perusahaan lain). Di artikel itu, tertulis bahwa dua pucuk pimpinan Trans TV, yaitu Ishadi SK dan Wishnutama adalah dua eksekutif yang menerima take home pay lebih dari Rp 100 juta per bulan. Mengingat struktur organisasi Trans TV yang cenderung flat, ketimpangan ini membuatku kembali bertanya-tanya….   Apa yang sebenarnya terjadi…??