Rabu, 29 Agustus 2012

Terima Duit dari Mirwan? Tina Talisa Menjawab

TEMPO.CO, Jakarta - Jurnalis dan pembawa berita televisi Indosiar, Tina Talisa, membantah tudingan menerima duit dari kakak ipar yang juga mantan pemimpin Badan Anggaran DPR, Mirwan Amir. Tina disebut menerima beberapa kali kiriman duit dari rekening Mirwan senilai hampir Rp 120 juta dari bulan Mei-Juni 2011.

"Tidak ada transfer dana seperti yang disebutkan dengan total Rp 120 juta pada pertengahan 2011, pun tidak ada transfer dalam jumlah apa pun, kapan pun, ke rekening saya yang mana pun dari MA (Mirwan Amir)," kata Tina saat bertemu Tempo di sebuah kafe di Senayan City, Jakarta Selatan, Rabu, 29 Agustus 2012.

Tina, yang didampingi Pemimpin Redaksi Indosiar Nurjaman Mochtar, menunjukkan bukti beberapa lembar rekam transaksi di empat rekeningnya, Bank Mandiri, BCA, HSBC, dan Bank Mega.

Dalam rekam transaksi itu, terdapat dua transaksi yang sesuai dengan yang disebutkan sumber Tempo. Namun Tina membantah bahwa duit itu berasal dari Mirwan Amir.

Transaksi pertama itu diakui Tina berasal dari perpindahan uang dari satu rekeningnya ke rekening dia yang lain. Kemudian ada transaksi kedua, diakui Tina dari sang suami, Aminur Okta Jaya, untuk biaya pernikahan mereka.

Tina yang mengenakan blazer dan rok sepanjang lutut warna hitam ini mengaku cukup direpotkan dengan berita ini. Sebab, dia harus mondar-mandir ke empat bank tersebut untuk meminta rekam transaksi demi membuktikan bantahan berita yang memojokkan dirinya.

"Saya mulai meminta rekam transaksi ini sejak Senin lalu, tapi baru selesai semua hari ini," kata dia.

Sebab, kata dia, untuk membantah tudingan ini bukan dengan opini, tapi dengan fakta. "Kalau saya berbuih bilang tidak ada tapi tidak pegang datanya, itu hanya opini dan bantahan," kata dia.

Menurut penelusuran Tempo, Mirwan Amir terdeteksi melakukan transfer dengan adik iparnya, Tina Talisa. Jumlah uang Mirwan yang mengalir ke Tina Talisa mencapai Rp 116 juta.

Pertama, pada 19 Mei 2011, Mirwan mentransfer duit Rp 25 juta pada Tina. Kemudian pada 23 Mei, Mirwan kembali mentransfer Rp 10 juta. Pada 3 Juni, Mirwan mentransfer dengan jumlah lebih banyak, Rp 75 juta. Terakhir pada 17 Juni, Mirwan kembali mentransfer Rp 6 juta. Semua transfer duit dari Mirwan pada Tina terjadi sebelum mantan presenter televisi swasta ini resmi dipersunting oleh Okta pada Juli 2011.

Tina Talisa Sudah Menduga Dikaitkan dengan Mirwan

TEMPO.CO, Jakarta -- Pembawa berita televisi, Tina Talisa, sudah menduga bakal dikaitkan dengan kasus dugaan aliran dana korupsi ke mantan pimpinan Badan Anggaran DPR RI Mirwan Amir. Tina menuturkan, mulanya ia menerima sebuah pesan (mention) dari jejaring sosial Twitter ihwal keterkaitannya dengan Mirwan Amir.

Pesan yang dibaca pada Jumat, 24 Agustus lalu itu, kata Tina, tidak secara jelas menyebutkan nama dirinya. "Dia (pemilik akun @billykompas) hanya menuliskan presenter cantik dan bohai," ujar Tina saat ditemui Tempo, Rabu, 29 Agustus 2012, di kawasan Senayan, Jakarta Selatan.

Namun Tina sudah menduga bila pesan tersebut tertuju padanya. Benar saja dugaannya. Esok harinya sebuah media online sudah mengangkat berita tersebut. "Tapi belum ada nama saya dalam berita itu," katanya.

Tina membantah menerima uang dari Mirwan Amir yang merupkan kakak iparnya. Sebelumnya, Tina disebut-sebut telah menerima kiriman uang dari rekening Mirwan senilai hampir Rp 120 juta selama periode Mei-Juni 2011.

Wawancara Tina Talisa: Seperti Tsunami bagi Saya

TEMPO.CO, Jakarta -- Jurnalis dan pembawa berita televisi Indosiar, Tina Talisa, akhirnya angkat bicara soal tudingan menerima aliran duit dari mantan anggota Badan Anggaran DPR yang juga kakak iparnya, Mirwan Amir.

Tina, didampingi Pemimpin Redaksi Indosiar Nurjaman Mochtar, bersedia menemui Tempo di sebuah kafe di Senayan City, Jakarta Selatan, Rabu, 29 Agustus 2012. Mengenakan blazer dan rok hitam selutut, Tina begitu ramah menerima wawancara Tempo.

Bagaimana awal mula tudingan ini?
Saya menduga akan ada berita ini sejak Jumat, 24 Agustus 2012, di Twitter. Saya tak mengikuti isi akun Twitter, tapi saya di-mention. Tidak disebutkan nama, tapi cuma presenter cantik dan bohai. Besoknya, sudah masuk ke berita online. Meski belum ada nama, saya menduga mengarah ke saya.

Apa reaksi Anda setelah mendengar berita itu?
Begitu berita muncul, jujur, seperti bom, seperti tsunami bagi saya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, saya tidak pernah tahu dan tidak terlibat apa-apa, tiba-tiba disebut terima uang dugaan korupsi mantan pimpinan Banggar.

Apa yang Anda lakukan?
Senin, saya putuskan mengecek rekening. Jumlah yang disebut total Rp 120 juta dengan waktu pertengahan 2011, maka saya harus rujuk data keuangan saya tahun lalu. Saya punya rekening di empat bank. Bank Mandiri saya baru buka pada 2011. Lainnya BCA, HSBC, Mega.

Ada transfer yang terpecah senilai total Rp 120 juta itu?
Saya sudah bilang, tidak ada transfer dana dengan total Rp 120 juta pada pertengahan 2011. Pun tidak ada transfer dalam jumlah apa pun, kapan pun, ke rekening saya yang mana pun dari Mirwan Amir. Setelah menikah, kalau saya ditransfer Rp 1 miliar pun, apa salahnya? Kan saya istrinya, dia menafkahi saya dengan uang dari perusahaannya sendiri.

Bagaimana dengan mobil yang dikabarkan dibeli Mirwan atas nama suami Anda, Amrinur Okta Jaya?
Saat saya pertama menikah, suami saya cuma punya satu mobil. Sampai sekarang, dia cuma satu mobil, yang saya pakai juga. Dari rentetan cerita saat beli mobil itu, saya belum menikah, jadi sama sekali tidak tahu.

Suami Anda stres?
Iyalah istrinya dituduh seperti ini. Dia sempat tanya, apa uang yang saya kirim, ya? Emang kenapa kalau uang yang saya kirim kan dari uang saya, bukan uang dari abang.

Selasa, 28 Agustus 2012

Anak Dotcom Pindah Status, Cuy

Setelah karyawan-karyawan Divisi GA SCTV dioutsourcing, sekarang karyawan-karyawan website Liputan 6 SCTV mendapat giliran. Gak main-main, mereka dipindahkan ke perusahaan baru yang kata penggede di dotcom itu masih anak perusahaan Grup EMTK. Artinya, status kepegawaian mereka pun berubah dari karyawan SCTV menjadi karyawan perusahaan baru itu.

Take it or leave it! Itu kata Kepala HRD SCTV pas rapat dengan anak-anak website. Gue gak punya pilihan. Mau gak mau harus ikut. Gue cuma mendapat kompensasi akan dicatatkan masa kerja gue di perusahaan baru. Ada juga karyawan yang beruntung, yang kemarin statusnya outsourcing dijanjikan akan menjadi karyawan tetap di perusahaan baru.

Di struktur perusahaan yang baru itu juga akan membawa dua wartawan senior Liputan 6. Entah bagaimana juga penyesuaian posisi dan gaji yang bakal didapat. Karena,  produser itu justru ditempatkan di bawah koordinasi staf lain yang sebelumnya disinyalir memiliki kualitas dan gaji lebih sedikit.

Penyebaran SDM juga aneh. Latar belakang pendidikan, prestasi dan pengalaman gak diperhitungkan. Di jajaran redaktur, ada anak D-3 dengan pengalaman kewartawanan yang sebentar tapi sejajar dengan produser Liputan 6. Ini kan aneh.

Di perusahaan baru itu, mereka akan menempati kantor di daerah Gondangdia, Jakarta Selatan. Jadi, terpisah dan jauh dari kantor lama. Maklumlah, kita kan bukan orang SCTV lagi. Cuma dibilangnya, bekerja buat SCTV.

Meski banyak cerita-cerita miring yang bikin bulu kuduk merinding, teman-teman tetap bekerja. Gak tahu setengah hati atau pura-pura senang. Yang senang barangkali yang mendapatkan jabatan baru, meski mengorbankan nama besar SCTV.

Kalo kata orang SP SCTV, anak-anak dotcom itu lebih beruntung dibandingkan dirinya yang dipaksa dioutsoucing. Bayangkan nasib yang dialami 150 karyawan yang sudah memakai seragam ISS dan 42 yang menuntut keadilan. Ini lebih halus dan cantik. Padahal sih sama saja nasibnya.

Tapi jauh sebelum keputusan pemindahan status dan segala persoalan dotcom itu terjadi sebenarnya di luar sudah ramai terdengar soal isu outsourcing terhadap karyawan Liputan 6 SCTV, termasuk juga anak-anak dotcom. Kabar miring itu bukan cuma dibahas karyawan-karyawan SCTV tapi juga wartawan-wartawan lain. Jadi, keputusan yang diterimanya sudah bukan barang aneh lagi.

Sudah nasib kita, kalee. Kita seneng-senengin aja. Daripada stres mau lebaran gini? Lagian, gue kan udah pengalaman dipake main kayak gini. Dulu pas gue gabung aja cuma karyawan kontrakan. Setelah diangkat juga lebih ngerasa jadi anak tiri karena gak dapat banyak perhatian kayak orang Liputan 6 lain. Kalo sekarang pindah kandang, ya dibikin asyik aja.

Orang-orang di Liputan 6 juga banyak bergunjing soal isu outsourcing dan pensiun dini. Kabar yang beredar dari lantai 9 SCTV Tower di dekat mall Senayan City, karyawan berusia 45 tahun ke atas bakal kena TO. Jadi mereka bakal siap-siap dipendikan. Karena tidak secara serentak, para boss di Liputan 6 pun bakal main tebang pilih.

Produser senior di tempat itu pernah bilang, Nurjaman dan Merdi Sofansyah itu diundang dari TVONE ke SCTV memang buat membersihkan musuh-musuh lama. Dulu si Nurjaman itu digulingkan teman-teman dan sama si Rossi dibuang ke website. Sekarang dia datang lagi dengan gaji besar buat balas dendam. Merdi itu tukang pukulnya yang baru. Termasuk juga Putut Trihusodo, orang cetak yang juga titipan dari PDI Perjuangan.

Wah, jadi rame Liputan 6. Ternyata kantor itu bukan cuma pinter bikin berita tapi juga mainin nasib karyawannya. Kabarnya, bukan cuma karyawan website yang akan dioutsourcing tapi semua bagian. Atau sedikitnya Liputan 6 itu bakal dijadiin anak perusahaan EMTK mirip anak-anak dotcom.

Targetnya, SCTV Cuma punya 500 karyawan tahun depan nanti.

Tina Talisa Tak Tahu Soal Mobil Baru Mirwan Amir

TEMPO.CO , Jakarta - Tina Talisa, jurnalis dan pembawa berita Televisi Indosiar mengaku tak tahu-menahu soal tudingan tiga mobil mewah yang dibeli kakak iparnya, Mirwan Amir yang diatasnamakan suami Tina, Amrinur Okta Jaya.

"Saya sama sekali tidak tahu," kata Tina dalam pertemuan dengan Tempo di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, Rabu 29 Agustus 2012.

Menurut Sumber Tempo, tiga mobil mewah dengan tipe BMW X3, Mercedes Benz C-200, dan Range Rover itu dibeli dari akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011.

Tina mengatakan ketidak-tahuan dia dikarenakan pembelian ketiga mobil mewah itu terjadi sebelum dia menikah dengan Okta. Tina baru menikah dengan adik Mirwan Amir pada Juli 2011.

"Tidak ada mobil-mobil yang disebutkan itu. Coba tanya Mas Mirwan deh," kata mantan finalis Puteri Indonesia tahun 2003 ini.

Tina mengaku sejak menikah mobil yang dimiliki sang suami cuma satu, yakni Toyota Vellfire. Mobil itu pun masih digunakan hingga sekarang.

Dari penelusuran, Tempo mendapatkan data pembelian mobil oleh Mirwan yang diatasnamakan adik kandungnya, Okta. Pertama pada Januari 2011, Mirwan membeli mobil Range Roover senilai Rp 2,1 Miliar secara cash lewat perusahaan leasing PT Astra Sedayu Finance (ASF).

Kedua, pada Oktober 2010, Mirwan membeli mobil Mercedes C-Class 200 senilai Rp 575 juta di Kiki Auto Galery. Pembelian mobil mewah ini juga lewat perusahaan leasing PT ASF. Ketiga, pada November 2009, Mirwan kembali membeli mobil BMW X3 senilai Rp 570 juta yang ditangani PT Staco Estika Sedayu Finance.

Mirwan: Saya Tak Ada Transaksi dengan Tina Talisa

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Mirwan Amir, membantah pernah berurusan dengan adik iparnya, presenter Indosiar, Tina Talisa, soal keuangan. Termasuk transfer uang sebesar Rp 116 juta kepada Tina Talisa.

"Saya sudah katakan saya tidak pernah berurusan dengan Tina, apalagi ada transaksi," kata Mirwan kepada Tempo melalui pesan singkat, Rabu, 29 Agustus 2012.

Menurut Mirwan, kalau ada orang yang menyebut dirinya ada transaksi keuangan dengan Tina, itu sama sekali tidak benar. "Jadi sangat fitnah yang memberi informasi itu," katanya.

Seperti diketahui, Mirwan disebut-sebut pernah mentransfer uang sebanyak lima kali kepada Tina pada Mei hingga Juni 2011 lalu. Besaran nilai yang ditransfer berbeda-beda. Selain uang, Mirwan juga disebut sempat membeli tiga mobil mewah yang semuanya diatasnamakan Okta, suami Tina.

Transaksi ini diendus PPATK dan laporannya adalah bagian dari 18 laporan temuan yang dikirim PPATK ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sumber Tempo menyebutkan laporan PPATK tersebut di dalamnya terdiri atas transaksi mencurigakan milik sepuluh anggota Badan Anggaran DPR.

Satu nama di antaranya adalah mantan pimpinan Badan Anggaran dari Partai Demokrat, Mirwan Amir. Diduga transaksi mencurigakan pada rekening milik Mirwan tersebut terkait dengan kasus Angelina Sondakh, mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat yang kini tersangkut sejumlah kasus korupsi.

Senin, 27 Agustus 2012

Karyawan Merayakan Pengunduran Diri Kepala HRD SCTV

Selama gue gabung di SCTV selama sepuluh tahun ini belum pernah ngeliat atawa ngedenger kalo karyawan begitu bergembira dan bersuka ria waktu ngebaca surat pengunduran diri Kepala HRD SCTV yang namanya Immanuel Soeiono. Obrolan di kantin, warung, gang-gang, musholla sampe tempat parkir gak lepas dari soal yang satu itu.
 
Mereka bersyukur karna biang kezhaliman sekaligus biang kekacauan nasib puluhan karyawan SCTV sudah dilengserkan. Meski iNoel bilang mundur, karyawan-karyawan tetap yakin kalo dia itu dilengserkan. Mereka juga coba nebak-nebak manggis soal pelengseran itu. Tapi, gue sih punya catatan sendiri:
 
1. iNoel itu jago banget buat ngacak-ngacak pembagian bonus dan pemandegan gaji karyawan. Dia lihai memainkan rumus-rumus pabrik dan mendokrin para menejer karbitan buat patuh ngejalanin rumus-rumusnya. Hasilnya, dua taon ini karyawan makin resah.
 
2. iNoel itu juga jago banget buat urusan ngerancang hukuman buat karyawan-karyawan yang jadi TO. Biar gak kena sasaran, staf-staf carmukan kayak Fauzan Muslim atawa Widodo dijadiin pelor. Gak heran, dua taon ini isu pemaksaan pendi makin rame dan bikin karyawan tuwir pada belingsatan.
 
3. iNoel itu juga dalang dalam pengalihan status 150 orang staf GA dari karyawan tetap SCTV menjadi karyawan outsourcing di bawah ISS. Dia pintar memainkan intimidasi, tekanan-tekanan, ancaman dan menjadikan trio kwek-kwek Widodo, Fauzan dan Joko sebagai pelor. Buntutnya, 45 orang karyawan berontak dan 42 orang diantaranya terus bakal ngelabrak.
 
4. iNoel itu biang yang bikin SCTV gak menghargai Komnas HAM, nyoba nyogok staf Dinas Tenaga Kerja Jakpus, nyoba nyogok pengacara Aspek dan bikin mediasi selalu ketemu jalan buntu.
 
5. iNoel yang jadi biang keladi wafatnya putra salah satu staf GA yang sekarang diskorsing lantaran ikut nolak kebijakan pengalihan status itu. Atas perintahnya, staf HRD menutup semua akses dan asuransi kesehatan karyawan-karywan yang diskorsing.
 
Akhir cerita, mustahil juga ulah iNoel gak diketahui dan direstui pemilik SCTV. Jangan-jangan pengunduran dirinya cuma akal-akalan buat meredam ancaman demo buruh sejabotabek bulan depan? Atau cuma alasan pemilik SCTV buat cuci tangan. Ah, pokoknya ane mau gembira dulu.

Kamis, 16 Agustus 2012

Serikat Pekerja Pers di Indonesia, Masih Perlukah?

Isu serikat pekerja kerap terlupakan di tengah dinamika industri media di Indonesia. Tak banyak wartawan yang punya kesadaran membangun serikat pekerja. Alhasil, isu tentang pembentukan serikat pekerja menjadi isu yang kurang populer di kalangan jurnalis.

Padahal dalam kegiatan jurnalistiknya, para wartawan atau jurnalis kerap membela hak-hak buruh melalui tulisannya. Inilah ironi kehidupan pekerja pers di Indonesia. Di tengah persaingan menggali isu yang paling aktual, dengan jam kerja yang kadang tidak pasti, serta batas waktu (deadline) penulisan berita yang sering membuat stres, para pekerja pers ini justru kurang peduli dengan haknya untuk membangun serikat pekerja di media tempat mereka bekerja.

Dalam penelitiannya pada 2002 lalu, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (selanjutnya disebut AJI Indonesia), menemukan kenyataan hanya ada 28 serikat pekerja pers yang aktif di berbagai perusahaan media di Indonesia. Jumlah ini dinilai sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah media di Indonesia yang saat itu sudah mencapai 1500 perusahaan. Jumlah serikat pekerja pers ini kemudian sempat menyusut pasca rontoknya booming media on line atau dotcom. Seperti dialami oleh serikat pekerja di LippoStar.com dan Kopitime.com. Serikat pekerja pers di kedua media on line tersebut mati dengan sendirinya  seiring tutupnya LippoStar.com dan Kopitime.com.

Kesadaran mendirikan serikat pekerja pers ini, umumnya tumbuh di kalangan wartawan media cetak. Maraknya industri televisi, munculnya banyak situs berita on line dan radio ternyata tidak diikuti oleh pendirian serikat pekerja (Nugroho Dewanto, ed., 2003 : 1). Dari 10 televisi swasta nasional yang ada saat ini, baru  RCTI, Indosiar, ANTV, SCTV, dan MNC TV (dulunya TPI) yang memiliki serikat pekerja pers. Sementara itu, untuk media radio hanya ada 2 serikat pekerja yang eksis yakni di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, serta Smart FM. Eksistensi serikat pekerja di masing-masing media tersebut biasanya dimotori oleh redaksi di bagian pemberitaan. Bahkan untuk media radio, kesadaran mendirikan serikat pekerja ini hanya ada di radio-radio yang mengudarakan siaran berita.

Berdasarkan pengalaman penulis yang  pernah menjadi pekerja pers di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, minimnya jumlah serikat pekerja pers yang bisa eksis dan aktif menjalankan perannya ini bisa dilihat dari dua faktor. Pertama, kurangnya kepedulian dan kesadaran dari para pekerja pers untuk berserikat dalam wadah serikat pekerja pers. Kedua, tidak adanya dukungan dari pemilik media untuk memberi ruang bagi serikat pekerja pers. Kedua faktor ini saling mempengaruhi tumbuh-kembangnya serikat pekerja pers di Indonesia. Hal itu juga berdampak terhadap cara dan pola komunikasi yang ditempuh para pekerja pers untuk bisa mendirikan serikat pekerja pers di tempat kerjanya masing-masing.

Titik tolak gerakan pendirian serikat pekerja pers di Indonesia bisa dirunut dari Deklarasi Sinargalih pada 1994 silam. Dalam deklarasi tersebut, AJI Indonesia mendapat mandat untuk bisa memperjuangkan kebebasan pers dan kesejahteraan jurnalis. Ketua Umum AJI Indonesia periode 2002-2005 Ati Nurbaiti menyatakan, mandat memperjuangkan kesejahteraan jurnalis ini menjadi tantangan tersendiri bagi organisasi yang dipimpinnya. Tantangannya terletak pada upaya menyesuaikan bentuk kampanye di kalangan pekerja pers dengan tuntutan lingkungan media. Untuk itulah AJI Indonesia menyuarakan pentingnya kesadaran membangun wadah perkumpulan pekerja pers yang tidak harus berbentuk serikat resmi yang terdaftar  di Kemenakertrans. Wadah ini diperlukan agar aspirasi dan keluhan para pekerja pers ini mendapatkan saluran yang pas dan jelas. Para pekerja pers juga diarahkan untuk makin jeli terhadap politik hukum perburuhan yang berubah cepat di tengah arus liberalisasi ekonomi. Karenanya, wartawan Indonesia diajak mencari bentuk atau cara-cara paling efektif untuk mengupayakan kesejahteraan bersama (Nugroho Dewanto ed., 2003 : vii).

Upaya para pekerja pers membangun serikat pekerja pers di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Di beberapa media, keinginan sejumlah wartawan untuk mendirikan serikat pekerja bahkan sudah diberangus saat benihnya mulai tumbuh.

Keengganan manajemen perusahaan untuk memberi ruang bagi berdirinya serikat pekerja pers salah satunya terjadi di Indosiar. Sikap manajemen Indosiar yang menolak pembentukan serikat pekerja atau union busting ini mencuat ke publik pada 2008 lalu. Perselisihan ini bermula ketika Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar terbentuk pada April 2008. Manajemen Indosiar kemudian membentuk serikat pekerja tandingan dengan nama yang sama, tetapi beda akronim yaitu Serikat Karyawan atau Sekawan Indosiar. Menurut Ketua Sekar Indosiar Dicky Irawan, pembentukan Sekawan itu dilakukan secara sengaja untuk menggembosi jumlah anggota Sekar. Akibatnya, Sekar dianggap tak memenuhi syarat 50 persen + 1 dalam membuat perjanjian kerja bersama (PKB) dengan manajemen perusahaan. Tidak hanya itu, upaya untuk menghentikan perjuangan Sekar Indosiar ini juga dilakukan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 71 karyawan kontrak yang bergaji di bawah upah minimum provinsi (UMP) pada akhir Januari 2010 lalu. Padahal, para karyawan yang terkena PHK ini rata-rata sudah bekerja sekitar sepuluh tahun di Indosiar dan sebagian tak diikutsertakan program Jamsostek (hukumonline.com., 05/02/2010).

Perselisihan antara Sekar Indosiar dengan manajemen ini rupanya terus berlanjut ke meja hijau. Manajemen PT. Indosiar melakukan Gugatan PHK di Persidangan perselisihan hubungan industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam persidangan tersebut,  Majelis Hakim Persidangan PHI membuat putusan PHK terhadap 22 orang aktivis dan pengurus SEKAR Indosiar.

Upaya hukum yang dilakukan manajemen PT. Indosiar direspon dengan perlawanan hukum. Melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Sekar Indosiar mengajukan Memori Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sekar Indosiar melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan gugatan perdata kepada manajemen PT. Indosiar Visual Mandiri. Gugatan ini diajukan oleh kuasa hukum Sekar Indosiar dari LBH Pers. Manajemen PT. Indosiar digugat karena perbuatan melawan hukum (PMH) yakni bersikap anti berserikat (union busting).  Perbuatan tersebut dinilai melanggar pasal 28 Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan juncto pasal 43. Sekar Indosiar juga menuntut agar pihak Manajemen PT. Indosiar membuat permohonan maaf di Media Massa (baik elektronik televisi, radio, on line dan cetak yang berskala nasional selama satu minggu berturut-turut) dan mengganti kerugian materil dan immateril sebesar Rp 100.026.000.000 (seratus miliar dua puluh enam juta).

Persidangan perkara perdata atas kasus union busting ini menjadi sebuah terobosan hukum yang telah dibuat oleh Majelis Hakim PN Jakarta Barat yang diketuai oleh Jannes Aritonang, S.H. M.H. Dalam putusan sela atas eksepsi dari kuasa hukum manajemen PT. Indosiar Kemalsjah Siregar and Associates, Majelis Hakim menyatakan bahwa PN Jakarta Barat berhak untuk mengadili perkara perbuatan melawan hukum (PMH) anti berserikat yang diajukan oleh para advokat dari LBH Pers.

Hasil studi AJI pada 10 tahun silam atau pada 2002 lalu menyimpulkan serikat pekerja yang telah ada baru sebatas berjuang untuk eksis dan belum dikelola secara profesional. Padahal, sama seperti buruh lain, wartawan rentan terhadap masalah-masalah seperti PHK maupun kesejahteraan yang minim. Apalagi dilihat dari  bermunculannya media baru di era reformasi yang kemudian terpaksa bubar atau tidak dapat menyejahterakan karyawannya. Eksistensi serikat pekerja pers ini juga nyaris terkonsentrasi di pulau Jawa. Padahal, ada banyak perusahaan media lokal yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Tentunya, kondisi ini patut menjadi perhatian bersama bagi pemilik perusahaan media maupun pekerjanya. Hak-hak pekerja pers khususnya soal upah sangat mungkin takkan digubris oleh manajemen ketika diperjuangkan secara individual. Mari menanyakan ulang hal ini kepada pekerja pers: masih perlukah Anda tergabung dalam serikat pekerja pers?

Wildan Hakim, mantan reporter KBR 68H, mahasiswa program S2 manajemen komunikasi Universitas Indonesia.

Selasa, 14 Agustus 2012

Kisah Hidup Pegawai Trans TV yang Menyedihkan

Ketika pertama kali aku main-main ke Trans TV di daerah Mampang, Jakarta Selatan, aku melihat ada sesuatu yang menarik. Saat itu aku duduk di Coffee Bean; (persis di kursi sebelah Julie Estelle yang keliatan suntuk nungguin Moreno yang sedang didapuk menjadi komentator liputan Balap Mobil F1 Trans7) sambil nungguin Prabu Revolusi. Dari kursiku, aku bisa memandang begitu banyak orang berseragam hitam hitam berseliweran di lobi utama Trans Corp. Dan aku melihat adanya kebanggaan di wajah mereka semua mengenakan seragam hitam-hitam itu. Kata salah seorang campers (camera-person) Jelang Sore yang aku kenal, tiap karyawan Trans akan merasa bahwa seragam mereka itulah yang mengikat hati mereka dan membuncahkan kebanggaan mereka menjadi karyawan Trans. Terutama bagi anak-anak baru.
 
"Istilahnya, gak usah pake duit asal kamu pake tu seragam pasti bisa dah dipake buat ngelamar anak orang.." katanya.

Aku sendiri melihat bahwa Trans TV memang memiliki citra yang sangat positif sebagai salah satu perusahaan yang paling dituju oleh lulusan S1 setelah mereka lulus kuliah. Masih ingat kan, program rekrutmen Trans TV bulan Januari 2007 yang masuk rekor MURI karena jumlah pesertanya yang mencapai lebih dari 100.000 pelamar..? Itu saja sudah menunjukkan betapa tinggi citra merek Trans TV di mata masyarakat Indonesia. Dengan demikian, mestinya orang-orang berseragam hitam-hitam yang aku lihat di lobi TransCorp memiliki kebanggaan yang besar bisa lolos seleksi dan bekerja di salah satu perusahaan idaman para pencari kerja. Paling tidak, itulah dugaanku semula..

Namun sejak akhir 2007, aku mendengar kabar bahwa banyak karyawan Trans TV yang sudah dan akan mengundurkan diri dalam waktu dekat. Awal 2007, presenter-presenter handal Trans TV seperti Mohammad Rizky Hidayatullah, Tina Talissa, Afaf Bawazier, Budi Irawan, Hanum Rais, dan lain-lain sudah hengkang ke stasiun TV lain, pada akhir 2007 gelombang eksodus itu mengalir lagi. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Dalam empat bulan hingga Desember 2007, jumlah presenter, reporter, campers, dan karyawan produksi Trans TV yang hengkang mencapai lebih dari 60 orang!! Dan yang hengkang bukanlah orang-orang sembarangan..!! 90% dari mereka yang hengkang adalah mereka yang memiliki dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan kinerja yang luar biasa.
 
Mau contoh?
 
Ratna Dumila, presenter cantik lulusan Fakultas Hukum UNAIR yang sudah digadang-gadang Chairul Tanjung menjadi ikon Trans TV bersama Prabu Revolusi, secara mendadak hengkang ke TV-One. Tidak hanya Mila, yang juga memutuskan ikut dalam gelombang eksodus itu termasuk juga presenter kesayangan pemirsa Trans TV Githa Nafeeza, Reza Prahadian (wartawan kepresidenan Trans TV), Divi Lukmansyah (Koordinator seluruh presenter Trans TV), Iwan Sudirwan (Kepala Divisi – boss besar seluruh program berita Trans TV), bahkan sampai produser Reportase Investigasi yang menghasilkan liputan-liputan luar biasa tentang tahu berbahan formalin, bakso daging tikus, atau obat-obatan daur ulang. Bayangkan kalau 60 orang dengan kualitas sehebat itu kemudian pindah dalam waktu yang hampir bersamaan..!! Dan gelombang eksodus itu bahkan masih berlanjut sampai Maret 2008, meskipun jumlah yang keluar tidak sebanyak tahun 2007. Tapi, bila ditotal, jumlah mereka yang memutuskan untuk hengkang dari Trans TV sejak tahun 2007 sampai dengan Maret 2008
mencapai hampir 100 orang. Buatku, itu suatu jumlah yang luar biasa..!!!

Kedekatanku dengan beberapa reporter, presenter, dan campers Trans TV memungkinkan aku untuk bertanya-tanya pada mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka semua menyampaikan jawaban yang senada, yaitu bahwa mereka merasa bahwa Trans TV kurang memberikan penghargaan atas apa yang mereka lakukan buat perusahaan. Dedikasi dan loyalitas yang mereka berikan ternyata tidak disambut dengan sepadan oleh perusahaan. Hal ini membuat kebanyakan orang-orang terbaik Trans TV memilih untuk hengkang, meskipun kenyamanan atmosfir kerja di Trans TV masih belum bisa ditandingi oleh stasiun TV lainnya di Indonesia.

Dengan informasi sebatas itu, saat itu aku masih bertanya-tanya. Karena menurutku, biasanya orang-orang media, apalagi yang memiliki kinerja yang bagus, kebanyakan lebih mementingkan kondisi kerja yang kondusif. Kenyamanan lingkungan kerja bagi pekerja profesi, biasanya, jauh lebih penting dibandingkan penghargaan, apalagi penghargaan berupa uang. Jadi, aku merasa bahwa mestinya ada hal lain yang membuat orang-orang terbaik Trans TV hengkang dan mencari pelabuhan baru pada waktu yang hampir bersamaan.

Baru pada awal bulan lalu aku menemukan jawabnya. Dari perbincangan dengan beberapa orang teman Trans TV, aku menemukan sesuatu yang sangat menarik. Sekaligus mengherankan. Ternyata di antara Stasiun TV swasta nasional lain di Indonesia, Trans TV adalah stasiun TV yang menawarkan penghasilan PALING RENDAH. Bahkan, standar gaji Trans TV setara dengan standar gaji stasiun TV lokal seperti Banten-TV atau JTV..!!

Ingat, program rekrutmen Trans TV Januari 2007 yang masuk MURI yang tadi sempat aku singgung? Mereka yang direkrut dari program itu menerima take home pay Rp 1.500.000,- plus uang makan Rp 10.000 per hari masuk. Pernah lihat iklan rekrutmen presenter, reporter, dan campers yang dilaksanakan di kampus-kampus di Surabaya (UNAIR), Yogyakarta (UPN), Bandung (UNPAD) pada bulan April 2008? Mereka yang lolos rekrutmen itu akan (masih rencana nih…) menerima take home pay Rp 1.700.000,- plus uang makan Rp 10.000 per hari masuk. Mereka yang memiliki jatah sebagai presenter acara di TV, seperti Prabu Revolusi (Reportase Sore dan Reportase Investigasi), Ryan Wiedaryanto (Reportase Sore dan Reportase Akhir Pekan), atau Sharah Aryo (Jelang Sore) lebih beruntung. Karena mereka juga mendapat honor presenter, yaitu kurang lebih Rp 70.000 untuk sekali tampil.

Aku begitu kagetnya mendengar informasi itu. Terbayang olehku ketika aku ikut proses liputan Jelang Sore di Surabaya dan Bandung yang begitu melelahkan. Dan untuk itu hanya mendapat penghasilan segitu..?? Pantaskah..??? Gak usah bilang pantas atau tidak pantas deh. Cukupkah untuk hidup..??? Uang kos di daerah Mampang berkisar Rp 600.000 sebulan dengan fasilitas minimal dan langganan banjir, buat beli makan malam kurang lebih Rp 15.000  sekali makan di warung sederhana, belum buat beli pulsa HP, buat transpor ojek yang Rp 5000 dari tempat kos ke kantor Trans TV, buat sekedar jajan atau nonton kalo lagi malam mingguan. Berapa yang masih tersisa dan cukup untuk ditabung…???
 
Bukan cuma itu. Dari informasi itu pula, aku jadi tahu bahwa take home payyang notabene tinggal di Jakarta) ternyata masih lebih rendah dibandingkan take home pay rata-rata PNS dosen Universitas Airlangga..!!!

Aku tak mampu berkata apa-apa. Karena aku jadi langsung tahu, sangat rasional kalau seorang presenter berita Trans TV yang sudah cukup senior dengan take home pay berkisar Rp 2,5 juta sampai 3 juta per bulan langsung memutuskan untuk pindah begitu ditawari oleh TV-One take home pay tiga kali lipatnya. Seorang presenter berita Trans TV dengan gaji sebesar Rp 2,5 – 3 juta sebulan masih punya kewajiban untuk turun ke lapangan melakukan liputan seharian penuh, kembali ke kantor untuk mengedit liputannya sekaligus melakukan VO (Voice Over atau Dubbing), lalu menyiapkan materi liputan besok atau bersiap-siap tampil menyajikan berita, dan baru pulang ke rumah pukul 21 untuk kembali masuk pukul 8 pagi esok harinya.

Kebayang gak, gimana kehidupan presenter atau reporter Trans TV yang sudah berkeluarga..? Dengan jam kerja yang begitu panjang, deadline yang begitu ketat, dan penghasilan yang begitu seadanya, apa yang dapat mereka berikan dengan layak untuk istri dan anak mereka..? Seorang karyawan dengan loyalitas dan dedikasi tinggi sekalipun pasti akan terpaksa berpikir rasional dan menerima tawaran lain yang lebih manusiawi. Mungkin saja mereka tidak akan dapat merasakan suasana kerja yang senyaman di Trans TV, tapi aku yakin mereka akan dapat menerimanya (dengan terpaksa) demi tuntutan hidup yang harus mereka penuhi. Aku bisa memahami itu semua kini, mengapa begitu banyak orang-orang hebat Trans TV yang memilih untuk mencari tempat yang baru.

Money is not everything, but sometimes without money everything is nothing..

Sangat manusiawi apabila mereka-mereka yang memiliki kinerja yang bagus dan dedikasi serta loyalitas yang tinggi harus takluk pada kebutuhan yang paling mendasar yaitu uang. Tapi, ada satu hal yang masih menggelitik pikiranku. Aku pernah membaca di majalah SWA pada edisi yang membahas tentang para eksekutif muda dan eksekutif yang diburu oleh headhunters (para pencari, pemburu, dan pembajak tenaga kerja level eksekutif dari perusahaan lain). Di artikel itu, tertulis bahwa dua pucuk pimpinan Trans TV, yaitu Ishadi SK dan Wishnutama adalah dua eksekutif yang menerima take home pay lebih dari Rp 100 juta per bulan. Mengingat struktur organisasi Trans TV yang cenderung flat, ketimpangan ini membuatku kembali bertanya-tanya….

Apa yang sebenarnya terjadi…??

Sumber: Agnes Davonar

Kamis, 09 Agustus 2012

Tahun Ini, 81 Jurnalis Jadi Korban Sengketa Kerja

TEMPO.CO , Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat sepanjang tahun ini saja, sudah 81 pekerja media massa yang menjadi korban perselisihan hubungan industrial di tempat kerja masing-masing. “Kondisi pekerja media rawan menjadi pihak yang kalah, karena jurnalis enggan membentuk serikat pekerja di medianya,” kata Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta, Kustiah, di LBH Jakarta, Sabtu 4 Agustus 2012.

Kustiah mengaku AJI Jakarta selalu berusaha membantu jurnalis yang menjadi korban kebijakan perburuhan perusahaan. Dari semua kasus perburuhan yang terjadi di media, Kustiah mencatat ada sejumlah kasus menonjol. Misalnya saja, kasus 13 wartawan Indonesia Finance Today yang kontrak kerjanya tidak diperpanjang setelah mendirikan serikat pekerja. Juga kasus Luviana, Asisten Produser Metro TV, yang dipecat setelah mengkritik mekanisme pembagian bonus prestasi di kantornya. “Kebetulan AJI Jakarta mendampingi kedua kasus tersebut,” kata Kustiah.

Selain itu, kasus perselisihan hubungan industrial yang juga menonjol di media massa tahun ini adalah pemecatan 2 jurnalis B-Channel, pensiun dini untuk 25 karyawan TransTV, dan perubahan status 40 karyawan SCTV dari karyawan tetap menjadi tenaga alih daya (outsourcing).

Mantan Produser Trans TV, Satrio Arismunandar, yang juga terkena kebijakan pensiun dini di medianya, mengakui saat ini perusahaan media banyak mengabaikan nasib jurnalis. “Profesi jurnalis dianggap gampang diganti, bahkan sekarang tren pengurangan kontrak jurnalis di media-media makin marak,” katanya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal, mengajak jurnalis untuk bersama-sama memperjuangkan haknya. “Jurnalis harus membentuk serikat pekerja di medianya, lalu mendesak manajemen membahas Perjanjian Kerja Bersama,” katanya. Dengan PKB, kata dia, hak jurnalis menjadi lebih terlindungi.


Rabu, 08 Agustus 2012

Perusahaan Media ‘Dilarang’ Mendirikan Serikat Pekerja

“Kasus pemecatan para jurnalis di awal tahun 2012 ini merupakan lonceng kematian bagi para pekerja media di Indonesia. Jumlah pemecatan yang cukup fantastis memberikan tanda bahwa para pekerja media masih dianggap sebelah mata oleh pihak perusahaan media. Dalam beberapa alasan, pihak perusahaan selalu menolak untuk menyelesaikan persoalan dan justru malah mempersilakan pihak pengadilan yang menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan yang dialami pekerja media.”

Itulah pembukaan surat undangan Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jakarta yang ditujukan kepada para Reporter, Redaktur dan Pemimpin Redaksi Media Massadi Jakarta. Akhir pekan ini, AJI bersama Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) mengundang praktisi media untuk mengikuti diskusi tentang ”Mengupas Problematika dan Kasus Ketenagakerjaan Pekerja Media di Indonesia”.

Kompasianers, diskusi sepertinya akan menarik. Sebab, diskusi ini akan mengeksplorasi permasalahan yang menimpa pekerja media di Indonesia belakangan ini. Sebagaimana Anda ketahui, pada pertengahan tahun 2012 ini, telah terjadi berbagai pemecatan telah dilakukan oleh perusahaan media.

Kasus yang menimpa tiga jurnalis dari B Channel merupakan kasus yang datang di awal tahun ini. Lalu kasus yang menimpa Luviana, jurnalis Metro TV. Kasus berikut menimpa 13 jurnalisIndonesia Finance Today (IFT). Konon, pemecatan ke-13 karyawan IFT gara-gara keinginan mereka mendirikan Serikat Pekerja. Saat ini kasus masih disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Karyawan stasiun televisi SCTV juga mengalami kasus soal ketenagakerjaan. Lebih dari seratus karyawan SCTV yang berstatus karyawan tetap, tiba-tiba dialihkan status kepekerjaannya menjadi status outsourcing. Tentu saja, keputusan perusahaan ini mendapatkan tantangan keras dari para karyawan. Tak heran, mereka melaporkan perlakuan manajemen SCTV ke Komnas HAM. Begitu pula di Trans TV. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, pada 2012 ini sekitar 25 jurnalis Trans TV diminta mundur dengan pesangon. Salah seorang yang dminta mundur adalah Satrio Arismunandar, yang akan menjadi narasumber diskusi publik yang digagas AJI ini.

Kompasianers, para pekerja yang dipecat itu tak bisa melawan perusahaan yang memecat mereka. Sebab, perusahaan tempat mereka bekerja tidak memiliki serikat pekerja. AJI memiliki data perusahaan media di Indonesia yang memiliki serikat pekerja hanya sekitar 30, sementara jumlah perusahaan media di Indonesia ini lebih 3000 media. Sungguh ironis bukan? Di satu pihak karyawan media membela citra pemilik, di pihak lain karyawan tidak disokong oleh pemilik untuk berserikat. Dan itulah fakta yang terjadi di Republik ini.

Sumber: Kompasiana

Sabtu, 04 Agustus 2012

Namul Code Chapter One: Beginning of The End

Awalnya, saya paling males ngikutin politik. Termasuk politik stasiun televisi. Waktu Trans corp mulai ngegabungin Trans TV sama TV7 dan sekarang Indosiar, saya cuman bilang, hmmm. Begitu juga waktu SCTV ngegandeng O Channel. Saya hanya manggut-manggut tanpa makna.

Yang membuat saya berubah adalah ketika iseng-iseng buka Undang-undang penyiaran. Mata saya terbelalak. Mulut saya, melongo. Asap rokok ga kekontrol menyemburat begitu saja dari mulut yang terbuka. Dalam hati, saya hanya ngegerendeng: pantesan susah banget jadi karyawan.

Ketika pertama kali duduk di ruangan ini, di benak saya terpatri bahwa SCM adalah perusahaan anak tiri dari induk semang yang bernama SCTV. Ada juga yang ngomong, SCM cuman numpang merek.

Namun patron ini terjungkir bolak-balik waktu Fofo Sariaatmadja naek jadi dirut perusahaan yang katanya segede jadah ini. Belakangan baru saya tau, mantan presdir “perusahaan yang cuman nebeng tenar” itu adalah komisaris utama SCTV. Dan logikanya, mustahil seorang komisaris utama cuman jadi pemimpin perusahaan anak tiri. Jadi yang bener adalah, SCM adalah MNC-nya SCTV kan?

Lantas, apa hubungannya sama UU penyiaran? Nah, pertanyaan ini kayanya buat ngejawab latar belakang afiliasi stasiun TV itu.

Dalam undang-undang yang merupakan inisiatif DPR itu—biasanya kan undang-undang inisiatif pemerintah—stasiun televisi sekarang ga boleh siaran nasional mulai tahun 2007 alias tahun depan. Alasannya: mendorong stasiun televisi daerah supaya lebih maju. Alasan lainnya, tentu pertimbangan ekonomi. Cost siaran nasional sangat mahal, tak sebanding dengan kue iklan yang ada di Indonesia. Nah dengan afiliasi ini, diharapkan ongkos untuk siaran bisa ditekan. Kondisinya mirip kayak Star TV yang cuman jual program ke ANTV atau dulu dijual sama Starvision. Perusahaan yang lebih besar tinggal ngasih lisensi ke TV gandengannya buat nayangin ulang. Jadi ga ada ongkos produksi kan?

Pertimbangan ekonomis lain adalah, buat ngehemat bikin menara pemancar buat relay. Kalo dulu satu stasiun TV di daerah punya satu tiang, sekarang satu tiang bisa dipakai buat banyakan. Bukankah satu tiang ada empat sisi? Maklumlah di negara kita tercinta ini masih pake sistem terrestrial. Ga pake sistem kabel karena infrastrukturnya emang “kabel” (kagak kebeli maksudnya).

Tapi yang bikin gedek, ternyata yang boleh siaran nasional itu…TVRI! Ini yang mungkin anggota Dewan ngerasa kecolongan. Karena awalnya, mereka berhayal yang menjadi stasiun TV nasional itu perusahaan atau stasiun televisi yang emang mumpuni. Ya, idealnya sih kayak BBC di Inggris. Bukannya stasiun TV yang prasarana udah karatan dan mental pekerjanya yang birokrat abis. Karena buat ngelola sebuah stasiun televisi dibutuhin orang-orang yang kreatif bukan mental, Siap pak, akan kami laksanakan! Apalagi nantinya TVRI yang katanya bakal jadi TV publik ini 85% dananya dari APBN dan sisanya dari iklan.

Balik lagi ke masalah afiliasi stasiun TV. Untuk nyiasatin UU nomor 32 tahun 2002 itu, stasiun TV mungkin bakal milih salah satu sistem. Kalo ga sistem berjaringan, ya sistem berlangganan.

Contohnya SCTV. Kemungkinan SCTV bakal kerja sama stasiun TV di daerah kalo ternyata yang dipilih adalah sistem berjaringan. Nah, di sinilah SCM sebagai tulang punggung SCTV unjuk gigi. SCM bakal bikin stasiun2 TV di daerah (buat menuhin unsur 80 persen content lokal) atau minimal menggalang kerja sama dengan stasiun TV daerah terutama buat ngusahain supaya berita Liputan 6 bisa diterima urang Bandung, misalnya. Makanya sekarang ada wacana SCTV bakal jadi stasiun berita.

Terus apa yang didapet STV (salah satu TV lokal di Bandung)? Ya itu tadi, mereka bisa dateng ke library SCTV buat milih program apa yang bisa mereka tayangin di stasiunnya. Lumayan kan, kaga pake duit buat produksi program. Supaya gampangnya, samain aja kaya Jawa Pos dengan koran-koran radarnya.

Nah, kalo pake sistem langganan? Ya tinggal pinter-pinternya SCM promosi. Karena saya yakin, banyak pemirsa di daerah yang ga mau ketinggalan sama berita Liputan 6. apalagi nanti setelah resmi gabung, produksi O Channel lumayan bagus-bagus.

Sejauh ini emang kedengerannya seperti berita bagus. Tapi coba lihat Indosiar. Enam ratus karyawannya dipecat bin PHK karena emang pos-pos yang dulunya tempat mereka berkarya bakal diisi orang-orang Trans yang emang jago di sektor produksi.

Karyawan SCTV juga mungkin nasibnya ga bakalan jauh beda. Karena itu, tahun 2006 ini managemen SCTV nerapin kebijakan zero growth atau ga nerima karyawan baru. Karena ya ngapain nerima karyawan baru kalo toh akhirnya bakal ada perampingan. Dan yang berada di garis depan orang-orang yang bakal tereliminasi yaitu, anak-anak produksi di SCTV.

Nah yang bikin saya melongo adalah, seandainya management SCTV ga mau kehilangan karyawan terbaik mereka waktu di produksi. Istilahnya, selain dibuang sayang, karena ada hubungan personal setelah sekian lama bekerjasama di bawah satu atap Gedung Mitra.

So, akhirnya mereka akan disimpen sampe UU Nomor 32 itu bener-bener dijalanin. Terus mau dikemanain? Bisa aja kan mereka ditaro di bagian website Liputan 6 yang selama ini dijalanin anak-anak outsorching. Karena Fofo yang emang berlatar belakang multimedia ga mungkin ngilangin bagian website. kalo toh selama ini fungsi website Liputan 6 cuman jadi virtual library-nya Liputan 6, tinggal dikasih sentuhan sedikit, saya yakin bakal bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan anak-anak news lainnya.

Entry pointnya bisa dari proyek mercusuar layanan 3 G. Selanjutnya, tinggal tambah bandwith jadi deh website Liputan 6 realtime. Alhasil, orang Indonesia di Belanda bisa nonton siaran SCTV di internet dengan bener-bener real time, bukan semi realtime seperti sekarang ini. Dan Zumi dan kawan-kawan? Yu dadah yu babay karena posisinya bakal diisi anak-anak karyawan SCTV lain. Itulah kenapa makanya selama ini mereka susah banget jadi karyawan. Liat aja akhir Oktober nanti paling perpanjang kontrak. Ini bakal terus berulang karena status ini adalah awal dari suatu akhir kontrak kerjasama outsorching-SCTV.

Sumber: namul.blogspot.com

Kamis, 02 Agustus 2012

Operator Dibalik Pengalihan Status 42 Karyawan SCTV




FAUZAN MUSLIM: Bekas SATPAM yang berhasil menjadi staf HRD berkat kebaikan Kepala Divisi HRD yang dulu. Ambisinya untuk menjadi manajer di Divisi HRD membuatnya gelap mata dan selalu menjadi operator HRD paling handal untuk menyingkirkan orang-orang yang dimaksud. Tidak jelas latar belakang pendidikannya, tapi keberadaannya di Divisi HRD menjadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin stasiun televisi nasional terbesar di Indonesia memberdayakan bekas SATPAM di jajaran penting? Dalam kasus pengalihan karyawan tetap SCTV menjadi staf outsourcing pun ia menjadi operator yang handal untuk mengintimidasi dan mamaksa karyawan agar segera menandatangi risalah. Contoh orang bodoh yang beruntung, tapi tidak tahu diuntung!

YUSUF: Tidak jelas berasal dari pabrik mana dan tiba-tiba masuk ke SCTV bersama kroni Kepala Divisi Keuangan dan Divisi HRD. Kehadirnnya memberikan ancaman tersendiri karena ia termasuk orang yang sangat berkpentingan dan berambisi membersihkan karyawan GA menjadi karyawan outsourcing.

IMMANUEL SOEIONO: Mantan manajer pabrik susu yang berhasil masuk ke jajaran media dan mengepalai Divisi HRD. Dia juga termasuk bagian dari kroni Kepala Divisi Keuangan dan sangat berambisi untuk merampingkan dan membuat program-program aneh. Soal pemberian nilai karyawan, pemberian bonus, kenaikan gaji seluruh karyawan menjadi bagian dari kebijakan-kebijakannya yang sangat cari muka kepada pemilik SCTV. Ia menjadi tink-tank terpenting dalam kegiatan pengalihan  pengalihan karyawan tetap SCTV menjadi staf outsourcing.

WIDODO: Bekas pegawai payroll yang dianugerahi pangkat tinggi menjadi manajer Divisi HRD dan menjadi operator handal dalam  pengalihan karyawan tetap SCTV menjadi staf outsourcing.