Jumat, 19 Juli 2013

Hakim Batalkan Peralihan Status Pekerja SCTV

Perkara perselisihan PHK yang diajukan manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) kandas di PHI Jakarta. Pasalnya, majelis menolak seluruh gugatan PHK yang diajukan manajemen selaku penggugat terhadap 40 pekerjanya yangmenolak di-outsourcing. Sekali pun dalam persidangan, penggugat menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon, majelis melihat Agus Suhanda dkk menolaknya dan menginginkan untuk tetap bekerja.

Anggota majelis hakim Saut C Manalusaat membacakan pertimbangan putusan mengatakan, penggugat beralasan pengalihan ke perusahan outsourcing dilakukan agar perusahaan fokus pada bisnis inti, yaitu bidang pertelevisian. Sementara, penggugat menilai Agus Suhanda dkk mengerjakan pekerjaan penunjang seperti sopir dan petugas keamanan. Oleh karenanya, sebagaimana berkas yang diajukan di persidangan, Saut mengatakan, penggugat mengalihkan Agus Suhanda dkk ke sebuah perusahaan outsourcing bernama PT ISS Indonesia.

Ketika melaksanakan pengalihan itu penggugat merasa sudah sesuai dengan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto Permenakertrans Outsourcing. Sebelum menjalankan pengalihan itu, Saut menyebut, penggugat mengaku sudah melakukan sosialisasi kepada para pekerja. Penggugat juga memberi beberapa tawaran kepada pekerja yang hendak dialihkan. Namun, mengingat Agus Suhanda dkk tetap menolak dialihkan, penggugat melakukan PHK.

Saut menjelaskan, tergugat mendalilkan Agus Suhanda dkk merupakan pekerja tetap karena masa kerja mereka berkisar 9-20 tahun. Oleh karenanya, tergugat beralasan pengalihan itu tidak punya dasar hukum dan bertentangan dengan pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Selain itu para tergugat berpendirian mengacu pasal 170 UU Ketenagakerjaan, penggugat wajib mempekerjakan kembali Agus Suhanda dkk.

Atas perkara itu, Saut melanjutkan, majelis hakim berpendirian bahwa pokok perkara bermuara pada pertanyaan, yaitu apakah penggugat memiliki alasan yang cukup dan valid dalam melakukan PHK sebagaimana dimaksud pasal 152 UU Ketenagakerjaan? Mengacu ketentuan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto pasal 17 Permenakertrans Outsourcing, pengusaha atau penggugat diberikan hak oleh UU untuk mengalihkan sebagaian pekerjaannya, yakni menyerahkan pekerjaan penunjang kepada perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerjaan.

Tak ketinggalan dalam pendiriannya, majelis mempertanyakan apabila pengalihan itu dilakukan kepada pekerjaan yang menjadi bagian dari organisasi perusahaan apakah serta merta mengakibatkan PHK kepada pekerjanya? Saut juga menjelaskan dalam putusan, majelis hakim mengakui PHK yang dilakukan penggugat hingga ke PHI telah memenuhi ketentuan yang diatur UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI, namun, lagi-lagi majelis menekankan apakah pengalihan itu secara serta merta mengakibatkan PHK.

“Sekalipun dalam persidangan para tergugat tidak mengajukan tuntutan pembatalan pengalihan pekerjaan (pembatalan outsourcing) yang dilakukan penggugat, majelis berpendirian pengalihan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tidak serta merta mengakibatkan PHK terhadap pekerja,” kata Saut membacakan putusan di ruang sidang I PHI Jakarta, Rabu (18/7).

Masih membacakan putusan, majelis berpendirian setiap PHK harus memiliki alasan yang valid sebagaimana pasal 152 UU Ketenagakerjaan. Tapi selama persidangan, Saut mengatakan penggugat tidak menjelaskan hal itu lebih dalam sehingga pengalihan itu seolah langsung disertai dengan PHK.

Dari fakta yang diperoleh dalam persidangan, Saut mengatakan, pengalihan itu dilakukan penggugat kepada PT ISS setelah didahului presentasi dari PT ISS kepada penggugat. Kemudian, meskipun penggugat telah mengalihkan pekerjaan itu kepada PT ISS, namun pekerjaan tersebut masih ada dan masih berlangsung di tempat yang sama, serta masih dikerjakan oleh para tergugat yang telah dialihkan status kerjanya kepada PT ISS. Begitu pula dengan peralatan kerja yang digunakan, majelis melihat masih menggunakan peralatan yang dimiliki oleh penggugat.

Peralatan itu, menurut majelis, sama seperti peralatan yang digunakan para pekerja sebelum dialihkan ke PT ISS. Berdasarkan fakta-fakta itu majelis menilai, penggugat tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada para pekerjanya, begitu pula dengan dampak ketika mereka dialihkan. “Setelah pengalihan dilakukan ternyata pekerjaan tersebut masih terintegrasi dalam organisasi perusahaan penggugat. Dan peralatan kerjanya terutama untuk supir adalah peralatan utama yang dimiliki penggugat, bukan PT ISS,” urainya.

Atas dasar itu, terkait pengalihan para pekerja ke PT ISS, majelis berpedoman pada semangat pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus berupaya jangan terjadi PHK. Sekalipun PHK harus diputuskan, apalagi sifatnya massal, majelis mengacu Surat Edaran Menakertrans No.907 tahun 2004 tentang Pencegahan PHK Massal. PHK itu, menurut majelis, juga harus mempertimbangkan masa depan pekerja.

Meskipun penggugat menawarkan kepada para pekerja yang dialihkan untuk bekerja di PT ISS, tapi mengacu perjanjian penyediaan jasa pekerja antara PT ISS dan PT SCTV, majelis menilai, pekerjaan itu sifatnya sementara waktu. Selain adanya kekhawatiran jaminan keberlangsungan kerja, majelis melihat ada kecemasan jaminan sosial yang diperoleh para pekerja akan ikut berkurang pula. Oleh karena itu sebelum melakukan PHK, majelis mengingatkan, penggugat harus memperhatikan berbagai hal tersebut.

Majelis juga menegaskan, sebelum memutus hubungan pekerja, harus diperhatikan berat atau ringan dampaknya bagi pekerja dan pengusaha. Pasalnya, dalam banyak kasus tindakan pengusaha yang tetap mempekerjakan para pekerjanya, berdampak kecil bagi lancarnya operasional perusahaan. Sedangkan PHK terhadap para pekerja, tak jarang mengakibatkan ketidakpastian pendapatan dan berujung pada kemiskinan bagi pekerja beserta keluarganya.

Tanpa mencegah arah bisnis penggugat, majelis berpendapat, langkah-langkah untuk mencegah PHK yang dilakukan penggugat tidak berlandaskan alasan hukum yang memadai. “Karena alasan PHK terhadap para pekerja belum memiliki alasan yang valid, maka majelis hakim berpendirian menolak tuntutan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan PHK terhadap tergugat tidak pernah putus dan tetap berlangsung,” tutur Saut.

“Menghukum tergugat rekonvensi untuk segera mempekerjakan penggugat rekonvensi pada pekerjaan dan jabatan semula serta memulihkan hak-hak yang selama ini diperoleh para penggugat rekonvensi,” tutur hakim ketua Amin Ismanto membacakan amar putusan.


Dissenting Opinion
Putusan perkara ini diwarnai dengan perbedaan pendapat alias dissenting opinion. Anggota majelis hakim Sinufa Zebua berpendapat bahwa seharusnya pengadilan memutuskan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dengan alasan bahwa hubungan keduanya sudah tak harmonis lagi.

Zebua berani berpendapat seperti itu karena berdasarkan fakta persidangan terlihat rasa saling curiga antara penggugat dan tergugat. Ia khawatir hubungan kerja tak akan efektif lagi ketika para tergugat dipekerjakan kembali.

“Hubungan antara penggugat dengan para tergugat harus diputus berdasarkan putusan PHI dengan memberikan uang pesangon/kompensasi sesuai UU yang berlaku,” tegas Zinufa membacakan dissenting opinion.

Usai mengikuti sidang itu, salah satu kuasa hukum tergugat dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan pekerja cukup puas dengan putusan itu. Pasalnya, sebagian tuntutan, yaitu mempekerjakan kembali, dikabulkan majelis. Untuk langkah selanjutnya, Fauzi mengaku akan melihat dalam waktu 14 hari ke depan apakah pihak manajemen SCTV akan melakukan kasasi atau tidak. Jika dalam jangka waktu itu kasasi tidak kunjung diajukan maka pekerja mengajukan eksekusi.

“Tapi yang pasti kami senang atas putusan majelis hakim. Menurut kami putusan itu benar, bahwa gugatan PHK yang diajukan penggugat tidak punya dasar,” tukas Fauzi.

Soal adanya perbedaan pendapat dari salah satu anggota majelis, Fauzi berpendapat, hal itu tidak menjadi amar putusan. Sehingga tidak merisaukan bagi para pekerja karena putusannya, mereka dipekerjakan kembali. Bagi Fauzi, perbedaan pendapat itu sebagai salah satu kebebasan yang dimiliki hakim dalam bermusyawarah untuk memutus sebuah perkara. Tak ketinggalan, Fauzi berharap putusan itu berdampak positif terhadap pekerja lain yang statusnya outsourcing. “Apalagi pasca diterbitkan Permenakertrans Outsourcing, tidak sedikit pekerja outsourcing yang di-PHK,” urainya.

Sedangkan salah satu kuasa hukum penggugat, Elizabeth Ritonga, menolak berkomentar ketika ditanya pendapatnya terkait putusan itu.[HUKUM ONLINE]

Senin, 24 Juni 2013

Musuh Terbesar Forum Pemred

kita orang timur sejak kecil diajarkan nasihat padi merunduk, makin berisi makin merunduk. saya kira bukan hanya pada orang timur. peradaban manusia, sebagaimana kita baca di berbagai kisah-kisah dongeng bahkan di kitab suci, penuh dengan orang-orang yang melakoni ilmu padi merunduk, makin berisi makin merunduk.

salah satu komentar menarik budayawan sujiwo tejo, atas forum pemred yang terkenal itu, ialah menyangkut sesuatu tentang padi merunduk ini. sujiwo tejo menganggap, filosofi padi merunduk itu agak berkebalikan dengan forum pemred, yang semakin berisi semakin tegak.

ini membawa saya pada kesimpulan bahwa berita mundurnya wahyu muryadi sebagai ketua forum pemred tak bisa tidak, harus dikaitkan juga dengan ilmu padi merunduk. suara kritik atas forum yang high profile itu sejauh ini  –setidaknya bagi saya — lebih merugikan ketimbang menguntungkan terhadap citra pers  (apalagi citra pemred) kendati konon sudah menelan biaya miliaran rupiah sumbangan dari berbagai sponsor.

menariknya, wahyu muryadi mundur dari forum pemred bukan karena kritik publik. wahyu muryadi mundur dari forum pemred justru karena dinamika internal majalah tempo. mereka tidak rela forum yang konon dibiayai oleh pengusaha besar dan perusahaan besar itu menciderai independensi tempo.

di sini kita menemukan titik sambungnya dengan ilmu padi merunduk. sebetulnya salah satu kritik atas forum pemred tersebut yang tidak diucapkan tetapi sangat meluas di kalangan wartawan, ialah sikap ekskusifitas forum itu. dari namanya saja, forum pemred, ‘paguyuban’ itu sudah meninggalkan ilmu padi. seolah para pemred itu bukan wartawan. seolah ada profesi baru: pemred. seolah mereka bisa mewakili dirinya sendiri. padahal dalam kasus wahyu muryadi jelas sudah, tanpa orang-orang di newsroom itu, seorang pemred tidak ada apa-apanya.

hal seperti ini sangat sensitif di dunia kewartawanan. pemimpin redaksi bukan ceo. hubungan pemred dengan para wartawan lain lebih banyak dibangun dalam suasana kolegial. jika sang pemred menulis sebuah berita, lalu ia menugaskan reporternya mewawancarai narasumber untuk berita itu, lalu wawancara tersebut dikutip, tak ada hubungan atasan bawahan laagi ketika karya itu menjadi berita. nama pemred dan nama reporternya harus ditulis sejajar atau setidaknya harus ada penanda bahwa sang reporter turut dalam menulis berita itu sebagai kolega, bukan hubungan atasan bawahan. ini salah satu contoh bagaimana hubungan kolegial itu berlangsung.

kita tidak lagi hidup di zaman orde baru, di zaman siupp, dimana untuk menjadi pemred seseorang harus mendapat approval dari persatuan wartawan indonesia (pwi) dan lebih berat lagi, harus disetujui oleh departemen penerangan. kita sudah lama meninggalkan itu.

dari pembicaraan dengan sejuamlah reporter di lapangan, saya menangkap kesan mereka tidak menyangka, betapa pemred-pemred itu telah begitu jumawanya mengeksklusifkan diri pada sebuah forum yang disebut pertemuan puncak, pada detik-detik menjelang RAPBN-P dibicarakan di parlemen dan menjelang tahun pemilu. terbukti pula bahwa kisah-kisah miring yang ada pada forum pemred itu, justru diungkap oleh pers sendiri, oleh para reporter di lapangan.

itu sebabnya lawan berat yang dihadapi forum pemred bukan publik –meskipun publik sangat penting didengar– melainkan adalah para kolega-kolega mereka di newsroom, seperti yang terjadi di majalah tempo itu. makin jumawa mereka yang berada di forum pemred itu mengukuhkan eksistensinya, makin berat ia berhadapan dengan kolega-koleganya newsroom kantornya.

namun, bukan itu yang terberat. Musuh paling berat dari Forum Pemred itu adalah rasa puas diri menduduki jabatan tertinggi, sehingga menganggap dirinya terpisah dari profesi yang membesarkan dirinya, yaitu dunia kewartawanan.

rosihan anwar, b.m diah, mochtar lubis adalah beberapa wartawan yang sering-sering disebut bila membicarakan perkembangan pers di tanah air. tidak banyak yang mengenal mereka sebagai pemred. mereka lebih dikenang dan diapresiasi sebagai wartawan. dan saya kira itulah bagian dari penjelmaan ilmu padi yang makin berisi makin merunduk.

sebab pada akhirnya, jabatan pemred itu bersifat sementara. jika pemilik modal tidak menyukainya, selesai sudah nasibnya sebagai pemred. ada pun wartawan, tidak. sepanjang hayat, bila dia mau mencurahkan tenaga dan waktunya melaporkan berita, entah sebagai pegawai tetap, entah sebagai stringer, entah sebagai sukarelawan, ia adalah wartawan.[Intan Lidya Lumban Toruan]

Oleh-oleh Forum Pempred dari Meong sampai Cibiran Sinis

“Meong” adalah oleh-oleh yang cukup menghebohkan dalam pertemuan forum para pemimpin redaksi (pempred) media massa yang berlanggsung di Bali 13-14 Juni 2013 yang lalu. Meong terselip dalam kantong cindramata yang diberikan oleh panitia kepada ratusan pempred yang datang pada pertemuan tersebut. Dengan cepat si Meong menghiasai berita-berita di media cetak dan elektronik menggalahkan berita soal maksud dan tujuan pertemuan tersebut yang sebenarnya tidak kalah kontroversialnya. Maklum saja, karena pertemuan tersebut digelar menjelang pemilu 2014, Digelar dengan segudang kemewahan, disponsori oleh BUMN, perusahaan swasta dan para pengusaha

Kembali ke Meong. Buntut oleh-oleh meong mungkin tidak sampai pada saat acara berlangsung saja, tapi bisa jadi berlanjut sampai para peserta kembali kehabitatnya. Segudang pertanyaan curiga dari keluarga dan istri-istri para pemred itu mungkin sudah menanti kedatangan mereka. Bagaimana tidak, pastilah dipertanyakan karena Meong didapatkan suami-suami mereka ketika mereka berada di lokasi wisata nan elok nun jauh disana.
 
Pemberian Meong seolah-oleh memfasilitasi para pempred untuk bercinta dengan aman bersama wanita yang bukan pasangan hidupnya. Itulah kontroversi Meong. Merek kondom buatan salah satu BUMN negeri ini yang menjadi salah satu sponsor pertemuan tersebut. Maksudnya mungkin kampanye, daripada pakai kondom buatan perusahaan PMA lebih baik pakai buatan BUMN.

Cibiran sinis dari berbagai kalangan juga tidak ada habisnya selama pertemuan berlangsung. Bahkan buntutnya masih menjadi perbincangan sinis di media jejaring sosial sampai sekarang. Bagaimana tidak, media merupakan sarana yang efektif menjelang 2014 dan sangat rentan dimamfaatkan sebesar-besarnya untuk hajat hidup politikus dan partai politik. Apalagi para pemimpin media langsung yang berkumpul disana, jadi lobby secara langsung maupun tidak langsung bisa saja terjadi memuluskan kerjasama resmi atau kolong meja antara pihak yang berkepentingan terhadap media dengan pemimpin redaksinya.

Memang sebagian besar yang berkumpul disana adalah pemimpin media massa yang medianya sudah punya kavling untuk partai dan politikus yang menjadi pemegang saham mayoritas. Tapi tetap saja ada  kecurigaan publik dan pelaku media lainnya terhadap lobby kolong meja. Bagaimanapun pemred memiliki kuasa redaksi untuk mengatur pengisi slot-slot berita dengan konten-konten yang memiliki kepentingan.
 
Pertemuan ini juga dianggap tidak etis karena berlangsung full fasilitas mewah dan mahal. Publik mempertanyakan dimana sensitifias para pemimpin media terhadap kondisi masyarakat yang sedang ketar ketir menghadapi dampak rencana pemerintah menaikan harga BBM dan berbagai kesulitan hidup lainnya. Mengutip berita Kontan Online, Kamis 13 Juni 2013, peserta forum pemred mendapatkan tiket pesawat pulang-pergi dari tempat asal, hotel bintang selama tiga hari, dan makan gratis. Saat registrasi di Bali Nusa Dua Convention Hall, peserta mendapatkan bingkisan selain ID card sebagai peserta forum. Bingkisan itu berisi antara lain satu kilogram gula pasir, sebotol minyak angin, makanan ringan kacang goreng, dan satu bungkus kondom.
 Belum lagi soal kode etik profesi sebagai jurnalis yang juga dipertanyaakan berbagai kalangan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan prihatin terhadap pertemuan Forum Pemred Indonesia pada 13-14 Juni 2013 di Nusa Dua Bali. AJI memandang, memasuki tahun politik atau setahun menjelang Pemilu 2014, pertemuan ratusan pemred media se-Indonesia bisa menimbulkan spekulasi politik yang tidak perlu,” demikian siaran pers berisi Pernyataan Sikap AJI Indonesia Tentang Forum Pemred yang dikeluarkan AJI Indoensia di Jakarta, Kamis (13/6).
 
Secara organisasi, AJI menerima sejumlah keluhan dari berbagai kalangan media terkait sepak terjang Forum Pemred. Para pemimpin redaksi media yang berusaha menjaga independensi ruang redaksi mengeluhkan adanya upaya menggunakan forum pemred untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Forum ini dihadiri  juga pimpinan perusahaan, pejabat negara, dan pemilik media yang berkecimpung dalam politik, sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, dan sejumlah pengusaha nasional.

AJI mengingatkan, Forum Pemred berpotensi keluar dari jalur profesionalisme dan etika jurnalistik, dua hal yang seharusnya dibangun dalam era pers bebas dan demokrasi saat ini. Di tengah berbagai masalah, seperti masih banyaknya wartawan digaji di bawah standar upah layak, tiadanya jaminan perlindungan profesi, rendahnya kualitas dan etika wartawan, serta ancaman kekerasan yang menghantui pekerja pers setiap saat, AJI mempertanyakan relevansi pertemuan Forum Pemred di Hotel mewah di Bali.

Anggota Dewan Pers Nezar Patria menyatakan bahwa lembaganya sedang mengkaji masukan dari sejumlah organisasi wartawan terkait penyelenggaraan Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bali. Terutama yang soal unsur yang menyinggung kode etik.

Belakang Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Wahyu Muryadi menyatakan mundur sebagai Ketua Forum Pemimpin Redaksi.Kepala Pemberitaan Korporat Tempo, Toriq Hadad, mengatakanTempo membentuk Dewan Etik pasca kasus ini. Dewan akan menyelidiki kemungkinan pelanggaran etika oleh Wahyu akibat kegiatannya dalam Forum Pemred. Wahyu menyatakan siap menghadapi pemeriksaan Dewan Etik.
 
Hasil pertemuan forum pempred juga dinilai belum mampu memperjuangkan nasib para jurnalis. Terutama soal upah dan kesejahteraan para jurnalis. Padahal, tanpa upah layak, mustahil jurnalis bisa bekerja secara profesional dan memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas. Upah rendah dari perusahaan media membuat jurnalis mudah tergoda suap atau sogokan pihak luar. Akibat upah rendah, tidak sedikit jurnalis harus mencari pekerjaan lain dan pemasukan tambahan dengan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Ketua Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Jojo Raharjo, sebagian besar perusahaan media di Jakarta mempekerjakan koresponden atau kontributor/stringer tanpa kontrak, atau dengan kontrak jangka pendek, tanpa memberi kejelasan status dan upah layak. Seringkali, kontrak hanya berbentuk ‘ucapan’/lisan antara pemberi dan penerima pekerjaan. Banyak perusahaan media mapan mempraktekkan eksploitasi perburuhan sambil menabrak Undang Undang Tenaga Kerja, tidak memenuhi standar upah layak dan kesejahteraan jurnalis, termasuk mengabaikan hak-hak dasar koresponden atau kontributor. Jikapun ada kontrak kerja pada umumnya bersifat sepihak dan hanya menguntungkan perusahaan.

Miris..ditengah kemewahan fasilitas yang para pemimpin redaksi mereka dapatkan dalam pertemuan pemimpin redaksi tersebut, nasib anak buah mereka masih jauh dalam katagori sejahtera.[Zaini Achmad]

Muktar Pakpahan, Siap Jadi Saksi Ahli Kasus Pekerja SCTV

Sore tadi, 27 Mei 2013 bersama-sama dengan kawan-kawan perwakilan Serikat Pekerja SCTV saya datang ke kantor Muktar Pakpahan, S.H di Jl. Bukit Tinggi II, Senen Jakarta Pusat. Maksud kedatangan kami adalah meminta supaya advokat senior yang sering keluar masuk penjara pada masa orde baru ini mau menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus digugat PHKnya 40 Pekerja tetap SCTV oleh PT. SCTV.

Selain Muktar Pakpahan, S.H., 40 Pekerja yang didampingi oleh LBH ASPEK Indonesia ini juga berencana menghadirkan Prof. Payaman Simanjuntak, S.H sebagai saksi ahli. Keduanya dihadirkan untuk memberikan pendapat dan keterangan di depan majelis hakim PHI Jakarta sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Keahlian kedua orang ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Muktar Pakpahan misalnya, telah menulis beberapa karya dalam bentuk buku terkait isu-isu perburuhan. Sementara Prof. Payaman Simanjuntak tidak kalah kepakarannya soal hubungan industrial. Beberapa buku tentang isu perburuhan juga pernah ditulisnya.

Pada persidangan sebelumnya (kamis, 23/5), pihak PT. SCTV melalui kuasa hukumnya, menghadirkan saksi ahli seorang mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ahli yang dihadirkan oleh PT. SCTV dipandang oleh Singgih D. Atmadja, S.H, Direktur ekskutif LBH ASPEK Indonesia sangat menyesatkan. Dan keterangan yang diberikan di muka persidangan pun sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut Singgih, ahli yang dihadirkan oleh pihak PT. SCTV pada persidangan minggu lalu kepakaran dan keahliannya dipertanyakan. Karena yang bersangkutan sebagai ahli, sama sekali tidak pernah membuktikan keahliannya. Keahliaan seseorang itu kan salah satu parameternya adalah buku, sementara saksi ahli yang dihadirkan oleh PT. SCTV belum pernah menulis buku satupun soal perburuhan. Tanyanya tegas.

Singgih menambahkan, ahli yang dihadirkan oleh pihak PT. SCTV selaku penggugat keterangannya sangat membingungkan. Bagaimana mungkin, saksi ahli menyatakan bahwa skorsing dapat dilakukan dengan lisan tanpa surat tertulis. Saksi juga menyatakan bahwa PHK dapat dilakukan berdasarkan Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan. Jelasnya.

Kasus pekerja PT. SCTV berawal dari kebijakan baru perusahaan yang ingin mengalihkan sebagian pekerja pada perusahaan outsorcing (PT. ISS) sebagai pekerja kontrak. Sebagian pekerja menerima kebijakan tersebut, sementara 40 pekerja lainnya menolak. Singkat cerita, para pekerja yang sudah diangkat sebagai Karyawan Tetap yang telah bekerja puluhan tahun, yang menolak untuk dialihkan ini kemudian diskorsing oleh PT. SCTV tanpa ditunjukkan kesalahannya. Bahkan sebagian besar pekerja tidak menerima surat skorsing namun tetap dilarang masuk kerja.

Tidak berhenti diskorsing, seluruh fasilitas bahkan fasilitas kesehatan bagi pekerja dan keluargapun ditutup dan dihentikan. Akibatnya, salah satu anak dari 40 pekerja ini kemudian meninggal dunia dikarenakan tidak mendapatkan pengobatan dan penanganan yang memadai. Hal ini sebelumnya saya tulis juga di Kompasiana dengan judul “Berselisih dengan PT SCTV, Anak Meninggal Dunia”.

Setelah di skorsing, PT. SCTV mengajukan Mediasi ke Sudinakertrans Jakarta Pusat. Anehnya, Sudinakertrans Jakarta Pusat, memanggil para pihak termasuk 40 pekerja SCTV ini, seolah-olah pihak pekerjalah yang mencatatkan perselisihan. Padahal pihak pekerja justru telah mengadukan dilanggarnya hak-hak normatif ketenagakerjaan ke kemenakertrans RI. Akhirnya, dari kementrian mendelegasikan aduan dari pekerja ke pihak sudinakertrans Jakarta pusat untuk kemudian di tindak lanjuti. Bukannya aduan dari pekerja yang ditindaklanjuti, pihak sudinakertrans Jakarta Pusat justru menjatuhkan PHK terhadap pekerja melalui surat Anjuran.

Singkat cerita, pihak SCTV melalui kuasanya, kemudian melayangkan gugatan PHK terhadap 40 Pekerja tetapnya ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri jakarta Pusat. Saat ini, persidangan sudah pada tahap pembuktian. Berlangsung setiap hari Kamis di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta, di Jl. MT. Haryono Kav. 52 Kel. Pancoran Jakarta Selatan.

Jika masyarakat luas ingin tahu langsung, datang saja mengikuti proses persidangan. Karena dalam persidangan yang terbuka untuk umum ini akan terungkap dengan terang benderang, betapa PT. SCTV memaksakan diri degan barbagai cara untuk “menyingkirkan” pekerjanya dengan cara PHK yang diluar prosedur dan aturan yang berlaku.[Ahmad Fauzi Hasbullahi]

Senin, 20 Mei 2013

Redaksi Liputan 6 Makin Diobok-obok

SIANG ITU, seperti biasa, para produser Liputan 6 SCTV mengikuti rapat budgeting, yakni rapat perencanaan untuk program Liputan 6 Petang. Tidak seperti biasanya, kali ini para pejabat Divisi News Center berkumpul lengkap di ruangan (termasuk Wapemred Putut Trihusodo yang biasanya lebih asyik berkumpul di ruang merokok Lantai 7 atau cafe Warung Pojok di salah satu lantai Senayan City).

Rasa keheranan ini tak berlangsung lama karena setelah rapat dibuka tiba-tiba saja Direktur Utama PT Surya Citra Media Tbk (perusahaan induk SCTV dan Indosiar) Sutanto Hartono bersama sejumlah pejabat teras SCTV muncul di ruang rapat. Teka-teka pertama terjawab, ternyata ada pejabat penting yang akan ‘menyelinap’ ke ruang rapat redaksi.

Ada apa?

Tidak seorang pun yang berani bertanya karena mantan Direktur Utama SCTV itu tidak berbeda jauh dengan Dewa bagi sebagian besar dari kami, terutama para pejabat Liputan 6. Lagi pula, apa pula urusannya bertanya ini-itu? Karena nanti, ujung-ujungnya bakal di-HRD-kan atau dibikin tidak nyaman hingga selanjutnya mundur teratur dari kantor mewah SCTV Tower.

Singkat cerita, Sutanto Hartono yang semasa menjabat sebagai Direktur Utama SCTV diposisikan sebagai Ketua Dewan Redaksi itu pun langsung mendapat kesempatan berbicara. Seluruh peserta rapat menyimak dengan seksama. Sebagian dari kami berharap, ada pengumuman bagus menyangkut bonus atau kenaikan gaji yang signifikan.

Bukan apa-apa, sebagian besar dari kami masih kecewa dengan pembagian bonus dan kenaikan gaji per Maret lalu. Selain menyangkut cara penilaian yang aneh dan sangat merugikan, buntut-buntutnya angka-angka yang muncul di ATM pun hanya bikin keresahan di sebagian besar karyawan. Untuk poin ini, saya malas menguraikannya. Biarlah keresahan ini disimpan di hati kami.

Tanpa banyak basa-basi, Sutanto Hartono langsung mengumbar cerita tentang job desk-nya yang baru sambil memperkenalkan nama-nama baru yang menjabat sebagai Dirut SCTV dan Dirut Indosiar. Ada pejabat baru, toh! Misal SCTV, yang sekarang dipimpin oleh Harsiwi Achmad yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Program dan Produksi.

Lantas, apa yang aneh?

Ya, uraiannya makin aneh karena, katanya, ia tetap memegang kendali atas kedua dirut itu. Jelasnya, mereka tak lebih dari direktur seperti posisi terdahulu dan ia akan tetap memegang kendali atas operasionalisasi SCTV plus Indosiar. Artinya, Sutanto Hartono yang terkenal dengan Kebijakan Outsourcing-nya itu sebenarnya merupakan Dirut untuk dua stasiun televisi.

Para pejabat Liputan 6 hanya senyum-senyum. Para produser terdiam tanpa berminat untuk menanggapi, apalagi mengkritisi.

Buat saya, begitu Sutanto Hartono muncul di ruang redaksi merupakan keanehan pertama. Dan ketika ia mengumbar cerita soal kendali penuhnya atas SCTV dan Indosiar menjadi keanehan kedua. Terakhir, ketika saya berpikir tentang posisi kami yang karyawan dan juga jurnalis, tiba-tiba saya harus menghadirkan keanehan ketiga.

Jadi, ruang redaksi kami telah makin diobok-obok?

***

SAYA HANYA terdiam ketika produser sebuah program berita Liputan 6 itu bercerita dengan begitu berapi-api sambil sesekali menghembuskan nafas panjangnya. Kekesalan dan kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.

Saya mengenalnya sebagai jurnalis yang cukup idealis, meski ia tergolong pendiam dan tidak vokal. Saya tahu, di balik sifat pendiam dan tidak vokal itu sebenarnya ia menyimpan kegundahan. “Ya, sekadar cari makan,” jawabnya ketika diminta mempertanggungjawabkan ketidakkritisannya itu.

Saya sangat tahu, kompromi terhadap perut dan masa depan anak-anak para jurnalis itu menjadi alasan kuat untuk menerima seluruh keanehan itu: entah keanehan pertama, keanehan kedua, keanehan ketiga, atau ratusan keanehan lainnya. Karena para jurnalis itu butuh keamanan (bahkan sebagian lagi kenyamanan).

Buat saya, sebagai jurnalis yang pernah berada di lingkungan itu, sikap maklum dan pura-pura memahami dilematis itu juga menjadi keharusan. Karena tidak semua orang bakal memiliki prinsif dan memiliki keberanian untuk menjaganya mati-matian, meski ia telah menjanjikan diri untuk mengabdi kepada dunia jurnalisme.

Namun ketika saya berada di pihak khalayak, maka saya mesti mempertimbangkan sajian-sajian berita yang bakal dihadirkan oleh media dengan sistem manajemen seperti diuraikan di atas. Penelitian-penelitian para akademisi menunjukkan bahwa kesemrawutan isi media sangat berkaitan dengan kesemrawutan lembaga atau organisasi yang mengelola penyajian isi media itu.

Parahnya, kesemrawutan itu memang sengaja diciptakan oleh para pemilik modal melalui tangan-tangan manajerial yang dipilihnya. Jangan heran, tangan-tangan manajerial itu bukan hanya berupa sosok direktur utama atau direktur, tapi juga pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, kepala peliputan, kepala produksi, produser eksekutif, hingga para produser di bawahnya.

Dan, itu merupakan cerita paling anyar tentang kondisi media di tanah air, serta bukan hanya milik SCTV dan Indosiar. Media televisi lain dengan kendali penuh korporasi di atasnya juga senasib.[NAYUNDA LARASATI]

Sabtu, 04 Mei 2013

Pengekangan Hak Berserikat Adalah Pelanggaran HAM

Demosi atau penurunan jabatan dan PHK terhadap pengurus serikat pekerja dalam suatu perusahaan merupakan pelanggaran hak berserikat atau HAM sesuai Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Pendapat itu disampaikan Yoseph Adi Prasetya –biasa disapa Stanley-, Komisioner Komnas HAM Subbidang Pendidikan dan Penyuluhan, saat diperiksa sebagai ahli dalam kasus gugatan PHK wartawan Suara Pembaruan, Budi Laksono, di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Kamis (18/2).

Sebelum diperiksa, kuasa hukum Suara Pembaruan Christma Celi Manafe, sempat keberatan dengan kapasitas Stanley yang merupakan salah satu Komisioner Komnas HAM. Pasalnya, kasus ini murni hubungan industrial dan tak ada kaitannya dengan serikat pekerja. Ia pun mengkhawatirkan jika Stanley diperiksa sebagai ahli, keterangannya tak independen. Meski demikian, majelis hakim yang dipimpin Sapawi tetap memperkenankan Stanley diperiksa dan keberatan itu akan dicatat dalam berita acara sidang.

Stanley lalu mengutip Pasal 28 UU Serikat Pekerja yang menyatakan siapa pun dilarang menghalangi-halangi pekerja membentuk atau tak membentuk, menjadi pengurus atau tak menjadi pengurus dengan cara mem-PHK, intimidasi, demosi. “Termasuk pernyataan atau ungkapan yang berbau antiserikat, misalnya ketika perusahaan tak suka pada salah satu pengurus serikat, intimidasi, ini bentuk pelanggaran HAM,” kata Stanley.

Jika ini terjadi, Komnas HAM dapat merekomendasikan kepada Komisi III DPR untuk memanggil perusahaan yang bersangkutan. Bahkan, dapat dicabut izin usahanya jika dinilai terjadi pelanggaran HAM.

Disinggung soal demosi dari profesi wartawan ke bagian penelitian dan pengembangan (Litbang), Stanley mengaku pernah melakukan penelitian kebebasan berserikat di sejumlah perusahaan media berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas HAM. Diantaranya, kasus di SCTV, Tabloid Bola, Indosiar. Salah satunya, dengan melakukan mediasi antara pimpinan media dan wartawannya yang menjadi pengurus atau anggota serikat pekerja.

“Wartawan yang dimutasi ke bagian Litbang di perusahaan media muncul julukan 'sulit berkembang', jadi seorang wartawan yang dimutasi ke Litbang, karirnya akan mati,” kata mantan jurnalis majalah Jakarta-Jakarta itu menjelaskan. Modus lainnya, wartawan kerap dipindahkan desk liputan yang tak dikuasai. Misalnya, dari wartawan politik dirotasi ke wartawan mode. Pengkondisian ini merupakan bagian dari sikap tak ramah perusahaan terhadap kebebasan berserikat.

Dalam banyak kasus, Stanley mencontohkan, di Kelompok Kompas Gramedia ada beberapa orang yang membuat serikat pekerja, lalu di-PHK. “Proses PHK-nya begitu cepat, saya juga tak tahu kenapa, mungkin karena ada 'dukungan' dari pihak Disnakertrans, sehingga dia kehilangan haknya,” ujarnya menceritakan. Hal ini pernah terjadi di Media Indonesia, RCTI, Kompas untuk kasus PHK Bambang Wisudo yang pernah diproses di PHI Jakarta. Kala itu Stanley pun menjadi saksi ahli. “Ini merupakan tindakan antiserikat,” tegasnya.

Ditanya jika seorang pengurus serikat yang di-PHK dalam proses hukum, Stanley berpendapat kepengurusannya belum gugur sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum. “Sebelum putusan inkracht, dia masih punya hak menjadi pengurus karena kepastian dia masih karyawan atau bukan harus dibuktikan lewat putusan pengadilan.”

Sekedar mengingatkan, awal Desember 2009 lalu manajemen Suara Pembaruan melayangkan gugatan PHK kepada Budi Laksono, Ketua Serikat Pekerja Suara Pembaruan, lantaran dianggap mangkir selama 19 hari kerja pada 5-13 Februari 2009. Sebelumnya, Budi dianggap kerap melalaikan tugasnya hingga akhirnya mendapatkan surat peringatan kesatu (SP-1) hingga SP-3. Sementara Budi berdalih PHK terkait erat pendirian serikat pekerja dimana Budi selaku ketuanya. Itu dibuktikan adanya anjuran Sudinakertrans Jakarta Timur agar perusahaan kembali mempekerjakan Budi. Modusnya, ia pernah didemosi dari wartawan ke bagian Litbang hingga akhirnya di-PHK.

Perusahaan Dihimbau Tidak Beriklan di Tayangan Tak Ramah Anak

Tayangan anak yang mengandung kekerasan masih kerap terlihat di televisi kita. Sinetron Si Biang Kerok Cilik (SCTV), yang mengisahkan kehidupan anak Sekolah Dasar dengan latar sekolah ini adalah salah satunya. Dalam tujuh episode yang diteliti Remotivi (periode 24 Desember 2012-30 Desember 2012), terdapat 49 adegan yang mengandung kekerasan fisik dan 85 kalimat dialog yang mengandung kekerasan verbal (baca: "[Siaran Pers] Izinkan Anak-Anak Tumbuh Tanpa Tayangan Kekerasan").

Dengan banyaknya adegan kekerasan dalam tayangan produksi Screenplay ini, anak-anak—yang mengalami proses belajar sosial saat menontonnya—diajarkan bahwa kekerasan dapat menjadi jalan keluar permasalahan. Menjamurnya adegan perkelahian antarsiswa Sekolah Dasar pun (misalnya, saat tokoh Bije berkelahi dengan Jarot untuk membuktikan siapa yang salah) mereduksi makna kebenaran menjadi persoalan siapa yang kuat dan lemah.

Hal di atas disampaikan Koordinator Advokasi dan Kampanye Remotivi Nurvina Alifa dalam Focus Group Discussion yang bertempat di aula Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, pada 25 April 2013, di mana Remotivi mempublikasikan hasil penelitiannya terhadap Si Biang Kerok Cilik. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Nina Armando turut menyatakan keprihatinannya. Menurutnya, hal ini termasuk dalam pelanggaran perlindungan anak, sehingga tayangan ini harus diperbaiki.

“(Tayangan) pemegang rating tertinggi pasti bermasalah; tayangan yang bermasalah itu pasti ditonton,” ujar perwakilan Screenplay Agus Wijaya menanggapi hal di atas. Hal ini dibantah Direktur Remotivi Roy Thaniago yang menyatakan bahwa televisi sering kali tidak mau bersusah payah untuk berjuang memproduksi tayangan yang berkualitas, dan hanya berdalih atas nama Nielsen. “Yang membentuk selera masyarakat kan media,” ujarnya. Namun, baik Agus maupun perwakilan SCTV Doni Arianto sudah menyatakan kesediaannya untuk terus memperbaiki tayangan ini dari waktu ke waktu.

Tidak hanya SCTV dan Screenplay, menurut Nurvina, Unilever, Wings, dan Indofood—juga perusahaan lain yang beriklan—harus ikut bertanggungjawab atas pelanggaran ini. Ketiga perusahaan ini tercatat paling banyak memasang iklan pada Si Biang Kerok Cilik selama periode pemantauan Remotivi, yang dengan kata lain merupakan penyokong kelangsungan hidup tayangan ini. Seharusnya, lanjut Nurvina, perusahaan-perusahaan mesti mempertimbangkan isi tayangan tempatnya menaruh iklan, bukan hanya melihat rating dan share-nya saja.

Roy pun menyatakan bahwa harus ada komitmen yang kuat dari perusahaan-perusahaan untuk menjaga citranya sebagai perusahaan yang ramah anak dengan tidak beriklan pada tayangan yang tidak ramah anak. Dengan begitu, lanjutnya, tidak ada kesempatan bagi tayangan seperti ini untuk terus disiarkan.

Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Otty H. C. Ubayani Panoedjoe yang hadir saat itu meresponnya, “Namanya juga pengusaha, pasti akan mencari untung dan rating yang tinggi.” Menanggapinya, Nina mengatakan bahwa televisi bersiaran menggunakan frekuensi publik. Tentu, lanjutnya, motif ekonomi tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk merugikan dan melanggar hak anak di televisi. Maka, perusahaan pengiklan sebagai bahan bakar utama sebuah tayangan juga harus berpihak kepada kepentingan publik. “Harus ada mata rantai yang diputus untuk meniadakan tayangan yang tidak ramah terhadap anak: iklan,” tambah Nurvina.

Salah satu perusahaan pemasang iklan terbanyak di Si Biang Kerok Cilik, yakni Unilever, sampai berita ini diturunkan belum bisa dimintai keterangan. “Kami baru bisa memberikan jawaban paling cepat Selasa, ya,” ujar Tanti, staf bagian Media Relations Unilever di ujung telepon. (REMOTIVI/Indah Wulandari)


Jumat, 12 April 2013

Menolak Di-Outsourcing, Puluhan Pekerja SCTV Digugat

Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 40 pekerjanya ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Gara-garanya karena para pekerja tersebut menolak dialihkan status dan hubungan kerjanya ke perusahaan outsourcing.

Persidangan yang saat ini masuk agenda pengajuan bukti itu diketuai hakimAmin Ismanto dengan beranggotakan Zinufa Zebua dan Saut Manalu. Sayangnya, ketika diminta keterangan perihal gugatan itu, kuasa hukum manajemen SCTV Yosef Mado, menolak berkomentar. "Langsung saja ke pimpinan," kata dia kepada hukumonline usai bersidang di PHI Jakarta, Kamis (11/4).

Namun, berdasarkanberkas gugatan, pihak manajemen beralasan pengalihan itu karena perusahaan ingin fokus pada kegiatan inti yaitu bidang pertelevisian. Mengingat jenis pekerjaan Tri Handoko dan 39 rekannya dikategorikan manajemen sebagai pekerjaan penunjang seperti supir dan keamanan, maka pengalihan itu dilakukan. Dalam melaksanakan pengalihan itu, pihak manajemen mengacu pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan yang intinya sebuah perusahaan boleh mengalihkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau dikenal outsourcing.

Tak ketinggalan pihak manajemen pun menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon kepada Tri Handoko dkk. Sayangnya, para pekerja menolak. Untuk menyelesaikan perselisihan itu, kedua pihak sudah menggelar perundingan bipartit dan tripartit, namun tak berbuah hasil yang memuaskan. Alhasil, pihak manajemen melayangkan gugatan PHK kepada Tri Handoko dkk ke PHI Jakarta.

Dalam gugatan itu pihak manajemen memohon sejumlah tuntutan. Di antaranya, meminta majelis memutus hubungan kerja antara SCTV dan Tri Handoko dkk sejak 1 Juni 2012. Serta memerintahkan manajemen untuk memberikan kompensasi kepada Tri Handoko dkk berupa dua kali pesangon yang totalnya mencapai Rp1,6 miliar.

Menanggapi hal itu salah satu kuasa hukum pihak pekerja dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan, para pekerja menolak dialihkan ke perusahaan outsourcing. Menurutnya, Tri Handoko dkk adalah pekerja berstatus tetap dan pihak manajemen dinilai tak punya landasan hukum untuk mengalihkan para pekerja ke perusahaan outsourcing sekalipun memberikan kompensasi berupa dua kali pesangon.

Fauzi berpendapat,sebelum mengajukan PHK, harus ada kejelasan apa yang menjadi dasar diterbitkannya PHK. Misalnya, mengacu pasal 158 UU Ketenagakerjaan, ada kesalahan berat yang dilakukan pekerja seperti melakukan penipuan dan mengedarkan narkotika. Selain itu, ada mekanisme PHK yang harus dilewati. Sayangnya, pihak manajemen dinilaitak punya berbagai dasar tersebut.

Walau dari 40 pekerja terdapat sebagian yang menerima surat skorsing menuju PHK, menurut Fauzi harus ada alasan yang kuat kenapa skorsing dijatuhkan. Lagi-lagi Fauzi tak melihat pihak manajemen punya alasan yang jelas. Dia melihat pihak manajemen melakukan PHK dengan dalih para pekerja menolak perintah atasan karena tak mau dialihkan ke perusahaan outsourcing. Bagi Fauzi penolakan para pekerja itu belum dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan PHK.

Atas dasar itu Fauzi menegaskan para pekerja menolak untuk dialihkan menjadi pekerja outsourcing walau nantinya tetap bekerja di PT SCTV. Serta menginginkan agar bekerja di posisi semula dengan status pekerja tetap sebagaimana surat pengangkatan yang diterima para pekerja di masa awal bekerja. “Surat pengangkatan (pekerja berstatus tetap,-red) itu ada dan para pekerja mau bekerja kembali seperti semula,” katanya.

Fauzi menjelaskan penolakan para pekerja itu bukan tanpa alasan. Pasalnya dalam praktik, tingkat kesejahteraan pekerja outsourcing jauh lebih rendah ketimbang pekerja berstatus tetap. Menurutnya hal itu dialami sebagian pekerja PT SCTV yang menerima untuk dialihkan ke perusahaan outsourcing. Misalnya, terjadi penurunan hak normatif seperti upah, fasilitas dan kesehatan. Bahkan secara umum Fauzi melihat pekerja outsourcing tak mendapat pesangon sebagaimana pekerja tetap ketika di-PHK.

Terpisah, menurut dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Trisakti Yogo Pamungkas, penting untuk dilihat bagaimana status pekerja. Jika si pekerja berstatus tetap maka perjanjian kerja yang ada harus diputus terlebih dulu sebelum dialihkan ke perusahaan lain. Namun, Yogo menegaskan dalam melakukan PHK, harus ada dasar yang jelas kenapa PHK itu dijatuhkan. Misalnya, si pekerja melakukan kesalahan berat. Jika alasan yang jelas itu tidak ada, namun pihak manajemen tetap melakukan PHK, Yogo menilai PHK itu tak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan. “PHK itu tidak boleh dipaksakan,” kata dia kepada hukumonline lewat telepon, Kamis (11/4).

Ketika si pekerja menolak untuk dialihkan ke perusahaan outsourcing, Yogo berpendapat, PHK tak boleh dilakukan. Untuk menyelesaikan persoalan itu harus dilakukan dengan perundingan bipartit dan tripartit. Jika masih ada yang tidak puas dengan hasil itu, maka dapat mengajukan perselisihan ke PHI.[HUKUM ONLINE]

Kamis, 11 April 2013

Cerita Miris dari SCTV Tower

“Kami gak nyangka, kok mereka bisa tega sama kami? Padahal kami semua sudah berteman belasan tahun tapi tiba-tiba seakan lupa. Ketika saya belum menandatangani surat pengunduran diri itu, saya menerima telepon sampai sepuluh kali sehari. Isinya cuma teror agar buru-buru tanda tangan, bahkan pas di ruang HRD, mereka membentak-bentak dan menggebrak-gebrak meja. Horor!”

Dari ruangan lain juga terdengar cerita miris, “Saya sedang dirawat di rumah sakit. Masih terbaring dan jarum infus masih nempel di tangan, terus yang namanya atasan, tega-teganya memaksa meminta saya menandatangani surat pengunduran diri. Tega. Padahal, mereka bisa meminta saya ketika sehat atau sepulangnya dari rumah sakit. Ini memang benar-benar gila!”

“Yang sekarang diangkat jadi pekerja tetap ISS juga gak jelas. Mereka dapat gaji di bawah UMP atau turun dibandingkan gaji lama. Malah, seorang teman yang sudah memasuki usia pensiun, tiba-tiba langsung dikabari untuk mengambil surat PHK. Peristiwanya hari Minggu dan benar-benar mendadak. Orang itu cuma pasrah dan mengelus dada. Pindah dan di-outsourcing jadi pekerja PT ISS itu gak menjamin!”

Kekecewaaan, kemarahan, kegundahan, sakit hati, dendam, dan sumpah serapah, masih berhamburan dari banyak mulut para pekerja tetap SCTV yang dipaksa menerima keputusan PHK dan dialihdayakan menjadi pekerja PT ISS. Sejatinya peristiwa pengalihdayaan itu terjadi pertengahan tahun lalu tapi jejak-jejak kebiadabannya masih tersimpan dan akan terus diingat oleh mereka.

Mereka adalah bagian dari 119 pekerja tetap yang mendapatkan perlakukan diskriminitif, intimidatif, hingga di-PHK, lantas dialihdayakan sebagai pekerja PT ISS. Persisnya, sebagai pekerja outsourcing! Adakah yang keliru dengan kebijakan itu?

“Kebijakan itu tidak salah. Tapi cara-cara yang diterapkan HRD SCTV itu yang biadab. Mereka over acting dan sama sekali tidak berperikemanusiaan. Lagaknya bicara baik-baik tapi isinya tak lebih dari intimidasi-intimidasi. Semua teman-teman yang mendapatkan perlakuan ini merasa sakit hati. Sangat sakit hati. Mereka tidak punya Tuhan!”

Sementara 40 pekerja tetap lainnya yang menolak kebijakan outsourcing itu diskorsing secara sepihak dan hingga sekarang terus bergerilya mencari keadilan. Pekan-pekan terakhir, kasus ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial.

Seperti juga ke-119 pekerja tetap SCTV yang telah di-PHK, mereka juga menyaksikan dengan seksama peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di SCTV Tower, kantor megah yang menjadi pusat kegiatan sebuah stasiun televisi swasta nasional. Termasuk peristiwa merger SCTV-Indosiar, pergantian pucuk pimpinan dengan para perancang kebijakan outsourcing di top management, dan peristiwa-peristiwa susulan yang bakal terjadi di bulan-bulan mendatang (baca: PHK massal atas nama efisiensi).[SP SCTV]

Rabu, 10 April 2013

Bos-bos Baru Induk SCTV Pasca Merger dengan Indosiar

PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) atau Indosiar telah resmi bergabung dengan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) atau SCTV. Secara tidak langsung kedua perusahaan tersebut mengalami beberapa susunan pengurus di tingkat direksi maupun komisaris.

"Semua sudah disetujui 100 persen (perombakan direksi) oleh para investor di Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB)," ujarnya Sekretaris Perusahaan SCMA, Hardijanto Santoso di SCTV Tower, Jakarta, Jumat (5/4).

Adapun susunan komisaris dan direksi SCMA atau SCTV yang baru setelah bergabung dengan Indosiar adalah sebagai berikut:

Komisaris Utama : R. Soeyono
Wakil Komisaris Utama : Suryani Zaini
Komisaris Independen : Glen M Yusuf
Komisaris : Jay Wacher
 
Kemudian untuk susunan Direksi yang baru adalah:
Direktur Utama : Sutanto Hartono
Wakil Direktur Utama : Alvin Sariaatmadja
Direktur tak terafiliasi : Lie Halim dan Grace Wiranata
Direktur Produksi : Harsiwi Achmad

"Direksi ini akan meneruskan kepemimpinan pak Fofo telah ditunjuk Pak Sutanto. Sementara Pak Fofo menjadi komisaris," ucapnya.

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Indosiar Karya Media Tbk atau Indosiar menyetujui penggabungan Perseroan ke dalam PT Surya Citra Media Tbk atau SCTV.

Corporate Secretary & Legal Affairs PT Indosiar Visual Mandiri Ketut Prihadi mengatakan penggabungan ini akan meningkatkan nilai perusahaan dan akan efektif mulai awal Mei nanti."Penggabungan ini merupakan hal yang positif bagi para pemangku kepentingan," katanya di SCTV Tower, Jumat (5/4).

Penggabungan ini terjadi antara induk usaha Indosiar dan induk usaha SCTV. Terkait dengan keanggotaan di Bursa Efek Indonesia, Indosiar dengan kode emiten IDKM akan keluar dari bursa, sedangkan SCTV dengan kode emiten SCMA akan tetap berada terdaftar di BEI.

"By law-nya kita akan lebur sendiri, karena induk sudah lebur. Kita akan keluar dari bursa. Kita efektif ini tanggal 1 Mei," imbuh Ketut.[MERDEKA]

Merger Indosiar-SCTV Tak Ubah Frekuensi

JAKARTA- Pihak manajemen PT Indosiar Karya Media (IDKM) mengemukakan penggabungan (merger) stasiun televisi nasional Indosiar dengan Surya Citra Televisi (SCTV) tidak akan mengubah jaringan frekuensi dan izin penyiaran yang sudah dimiliki kedua stasiun itu.

"Izin penyiaran masing-masing tetap sendiri-sendiri. Soal frekuensi tidak ada masalah. Penggabungan itu telah disepakati dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) IDKM," ujar Sekretaris Perseroan IDKM, Ketut Prihadi di Jakarta, Jumat.

Setelah penggabungan itu, ia menambahkan kedua belah pihak juga tidak akan melakukan perubahan rencana bisnis maupun konten tayangan seiring dengan izin yang telah dimiliki masing-masing stasiun televisi.

"Sampai sekarang tidak ada perubahan karena Indosiar dan SCTV secara konten tayangan memiliki segmen pasar masing-masing," ujar dia.

Prihadi mengatakan penggabungan itu akan efektif mulai 1 Mei 2013, dan diharapkan menciptakan efisiensi dalam operasional. Selain itu, perseroan juga menyatakan sumber daya manusia (SDM) tetap dan tidak ada perubahan.

Dipaparkan, Surya Citra Media akan melakukan penggabungan usaha dengan Indosiar Karya Media dengan mekanisme, Indosiar akan berada di bawah SCTV.

IDKM tercatat membukukan laba bersih perseroan mencapai Rp257 miliar pada 2012 dibanding tahun sebelumnya Rp96,9 miliar. Sementara, pendapatan juga mengalami peningkatan sebesar naik 21% menjadi Rp1,03 triliun pada 2012 dibanding tahun sebelumnya.[INVESTOR DAILY]

Kamis, 07 Maret 2013

Boikot SCTV

Pengurus Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) akan segera mendeklarasikan Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) sebagai protes atas Kebijakan Outsourcing di stasiun televisi nasional tersebut. “Gerakan ini akan dideklarasikan di Bundaran Hotel Indonesia bersamaan dengan momen Car Free Day pada Ahad pekan depan, yang disertai penghimpunan tanda tangan dari masyarakat di kawasan itu,” jelas Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda di Kantor DPP Aspek Indonesia di kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3).

Dikatakan Agus, gerakan tersebut bukan merupakan reaksi atas pendaftaran gugatan pihak SCTV terhadap 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak Kebijakan Outsourcing [baca: Pemilik SCTV Bebal]. “Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) telah kami rancang sejak beberapa minggu yang lalu sebagai upaya menghentikan praktik-praktik busuk ala kapitalis itu dan juga mengarah pada literasi media,” tambahnya.

Di lingkungan SCTV, papar Agus, Kebijakan Outsourcing bukan hanya diterapkan kepada kalangan pengemudi, petugas keamanan, dan pekerja kalangan bawah, tapi juga petugas master control, kamerawan, dan penerjemah. “Kebjakan Outsourcing diterapkan secara terbuka pada pertengahan tahun lalu dan dampaknya bukan main, 119 pekerja tetap di-PHK dan diberdayakan kembali sebagai pekerja outsourcing. Sebanyak 40 pekerja tetap yang menolak kebijakan itu diskorsing secara sepihak dan justru pihak SCTV yang mencatatkan kasus ini ke Sudin dan mendaftarkan gugatan ke PHI,” katanya.

Langkah mencatatkan kasus ke Sudin dan mendaftarkan gugatan ke PHI, tegas Agus, merupakan itikad buruk pihak SCTV yang ingin membenarkan penerapan Kebijakan Outsourcing di SCTV. “Dan bila pengadilan berpihak kepada mereka, maka ini merupakan ancaman terhadap ratusan pekerja tetap SCTV lainnya dan juga akan berdampak terhadap isi media,” ujarnya [baca: Musim PHK Segera Tiba di SCTV-Indosiar].

Agus juga memaparkan bahaya konsep komodifikasi media yang diterapkan secara jelas di stasiun SCTV mencakup isi media, khalayak, dan isi media. “Dalam konsep komodifikasi media, isi media tak lebih dari sampah, khalayak sekadar angka-angka rating, dan pekerja tak lebih dari buruh murah. Lantas apa yang diharapkan dari stasiun televisi yang menerapkan Kebijakan Outsourcing?” tanyanya.

Karena itu, kata Agus, kami bertekad akan memvangun membangun kesadaran masyarakat agar tidak memirsa stasiun SCTV yang berpotensi menayangkan sampah-sampah komunikasi di frekuensi milik publik tersebut. “Pada masa mendatang, bukan tidak mungkin, Gerakan Boikot SCTV (Outsourcing Broadcaster) ini juga akan mengarah kepada stasiun televisi lain. Persisnya, gerakan boikot media televisi yang menerapkan kebijakan outsourcing,” tegasnya.[KOMPASIANA]

Musim PHK Segera Tiba di SCTV-Indosiar

Musim pemutusan hubungan kerja (PHK) segera tiba di lingkungan Senayan City (tempat SCTV dan Indosiar berkantor, red) menyusul penggabungan alias merger antara PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) dan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM). Demikian dikatakan Ketua Umum Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) Agus Suhanda di sela Kongres II Federasi Serikat Pekerja Media Independen di Jakarta, Sabtu (23/2).

“Meski dalam berbagai berita disebutkan bahwa manajemen SCMA dan IDKM  berkomitmen tidak melakukan PHK, kenyataannya dalam keterangan tertulis di BEJ disebutkan, perseroan akan memperhatikan ketentuan UU Tenaga Kerja yang berlaku, termasuk apabila terdapat tenaga kerja yang tidak bersedia untuk melanjutkan hubungan ketenagakerjaanya maka sesuai Pasal 163 ayat 1 dari UU Tenaga Kerja, Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja di mana pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan UU Tenaga Kerja,” jelas Agus [baca: Dimerger, SCTV-Indosiar Komit Tak PHK Karyawan].

Artinya, tambah Agus, mereka telah menyiapkan formulasi khusus untuk mem-PHK para pekerjanya, bahkan dengan pesangon yang terbilang murah. “Seperti biasa, SCTV dan Indosiar akan menggunakan jurus PHK dengan biaya semurah-murahnya,” tegasnya.

Karena itu, kata Agus, kami juga bersiap-siap melakukan pendampingan dan advokasi terhadap anggota SP SCTV yang terancam PHK. “Kami berupaya agar anggota kami mendapatkan hak-haknya, tanpa mendapatkan intimidasi dan perlakukan sewenang-wenang pihak HRD,” ujarnya.

Di sisi lain, proses merger itu dan alasan efisiensi tak membuat pemilik SCTV Raden Eddy Kusnadi Sariaatmadja tergeser dari posisi orang kaya di Indonesia versi majalah Forbes. Seperti dikutip dari Forbes, nilai kekayaan Eddy per November 2012 mencapai US$ 730 juta atau sekitar Rp 6,9 triliun.

Kekayaan Eddy meningkat dua kali lipat setelah sukses mengakuisisi Indosiar dari Grup Salim di 2011 dengan nilai pembelian Indosiar oleh EMTK mencapai Rp 2,03 triliun. Pria berumur 59 tahun itu menggeser Aburizal Bakrie selaku pemilik group media Viva Group dari jajaran 40 orang terkaya di Indonesia versi Forbes [baca: SCTV-Indosiar Merger, Pemilik Elang Mahkota Masuk 40 Orang Terkaya Indonesia].[KOMPASIANA]

Penghentian Sementara “Inbox” SCTV

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberhentikan sementara program acara “Inbox” SCTV selama 1 (satu) hari penayangan terkait pelanggaran pada tayangan 7 Januari 2013 pukul 07.07 WIB. Demikian dikatakan Koordinator bidang Isi Siaran, Nina Mutmainnah, di dampingi Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto, pada saat pertemuan dengan SCTV, Selasa, 5 Maret 2013.

Penghentian sementara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 79 ayat (3) Standar Program Siaran dan hasil Rapat Pleno Komisioner KPI Pusat tentang pemutusan sanksi administratif program pada tanggal 27 Februari 2013.

Nina menambahkan waktu pelaksanaan sanksi bisa dilaksanakan SCTV antara tanggal 6 – 20 Maret 2013. “SCTV wajib melaporkan ke KPI kapan pelaksanaan sanksi tersebut akan dilaksanakan di antara tanggal tersebut,” katanya kepada wakil SCTV yang dihadiri langsung Corporate Secretary, Hardjianto.

Sementara itu, Ezki Suyanto mempersilahkan SCTV membuat surat hak jawab jika keberatan dengan keputusan ini. “Jika ada keberatan dari SCTV, kami tunggu suratnya. Nanti akan kami bahas dalam rapat pleno dengan argumen di luar waktu klarifikasi. Ini berlaku untuk semua lembaga penyiaran,” tegasnya.

Terkait dengan keputusan tersebut, pihak SCTV menyatakan akan segera menyampaikannya ke manajemen.

Dalam surat sanski penghentian yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto disebutkan pelanggaran yang dilakukan “Inbox” yakni ada ditampilkannya adegan dari para host yang melecehkan seorang perempuan lanjut usia sehingga ibu tersebut menjadi bahan olok-olok. Pada saat perempuan tersebut dipanggil para host untuk naik ke atas panggung, Andhika mengatakan, “Ini cewe Brazil? Yang begini di lampu merah Gaplek banyak!” Selanjutnya Narji berkata kepada ibu tersebut, “Maaf ini Ibu, yang terbalik topinya apa mukanya?” Gading berkata, “Ini sih bukan Brazil… Brantakan!”

Selain adegan tersebut, ditampilkan adegan Andhika yang memperlihatkan gambar pada sebuah buku sambil mengatakan kepada host lainnya bahwa ibu yang menjadi bahan olok-olok tersebut masuk ke dalam buku sejarah. Kemudian sambil melihat gambar pada buku tersebut, host wanita berkata, “Ini Pithecanthropus ya pak?” dan Gading berkata, “Pak, ini sih peninggalan budaya Majapahit Pak!” Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan kepada orang dan masyarakat tertentu, perlindungan anak dan remaja, serta norma kesopanan.

KPI Pusat memutuskan bahwa tindakan penayangan adegan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012 Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (1) huruf c serta Standar Program Siaran Pasal 9, Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf c.

Program ini telah mendapatkan surat teguran tertulis pertama No. 443/K/KPI/07/12 tertanggal 20 Juli 2012 dan surat teguran tertulis kedua No. 486/K/KPI/08/12 tertanggal 3 Agustus 2012. KPI Pusat juga telah melaksanakan tahap klarifikasi pada tanggal 23 Januari 2013.

Selain sanksi tersebut, KPI meminta SCTV untuk tidak membuat program penganti sejenis yang ditayangkan pada waktu yang sama atau waktu berbeda pada saat pelaksanaan pelaksanaan sanksi administratif penghentian sementara. Ditegaskan, KPI akan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan sanksi administratif tersebut.

Sabtu, 23 Februari 2013

Dimerger, SCTV-Indosiar Komit Tak PHK Karyawan


JAKARTA - Penggabungan induk usaha stasiun televisi SCTV, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), dengan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM), induk usaha Indosiar tidak akan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap keryawannya.

"Manajemen SCMA dan IDKM tidak bermaksud untuk melakukan pemutusan hubungan kerja sebagai akibat dari penggabungan," ungkap perseroan dalam keterangan tertulisnya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (21/2/2013).

Perseroan mengaku akan memperhatikan ketentuan UU Tenaga Kerja yang berlaku, termasuk apabila terdapat tenaga kerja yang tidak bersedia untuk melanjutkan hubungan ketenagakerjaanya maka sesuai Pasal 163 ayat 1 dari UU Tenaga Kerja, Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja di mana pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan UU Tenaga Kerja.

"Mengingat pada saat ini IDKM sudah tidak lagi memiliki karyawan, maka penggabungan ini tidak akan memiliki dampak terhadap karyawan IDKM," jelas dia.

Dia melanjutkan, gaji dan tunjangan yang diterima para pegawai setelah penggabungan akan tetap sama dengan nilai gaji dan tunjangan yang diterima para pegawai sebelum penggabungan.[OKEZONE]

SCTV-Indosiar Merger, Pemilik Elang Mahkota Masuk 40 Orang Terkaya Indonesia


Stasiun televisi SCTV dan Indosiar bakal segera digabung atau dimerger. Nantinya SCTV dan Indosiar akan berada di bawah PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), yang selama ini menjadi induk usaha dari SCTV.

“Peningkatan sinergi dan efisiensi Perusahaan Hasil Penggabungan tersebut juga diharapkan dapat diperoleh dari perampingan operasional dan penghapusan duplikasi kegiatan operasional yang sebelumnya harus dijalankan oleh dua perusahaan yang terpisah,” kata manajemen SCMA dalam keterangan tertulis, Kamis (21/2/2013)

Dalam keterangan tersebut disebutkan, Elang Mahkota memiliki 74,66 persen saham di SCMA. Adapun SCMA pemilik 99 persen saham di SCTV. Selain itu, Elang Mahkota juga memiliki 74 persen saham di IDKM. Adapun IDKM diketahui pemilik 99 persen saham di Indosiar.

Paska merger, Elang Mahkota akan memilki saham 74,46 persen saham di SCMA. Adapun SCMA pemilik langsung 99,9 persen saham di SCTV dan 99,9 persen saham di Indosiar.

“SCMA akan menjadi perusahaan hasil penggabungan. Meski demikian, proses pengambilan keputusan dan koordinasi kegiatan usaha di level anak usaha tetap di SCTV dan Indosiar,” tulis keterangan tersebut.

PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) selaku pemilik stasiun televisi PT Surya Citra Televisi Indonesia (SCTV) berhasil membeli PT Indosiar Visual Mandiri pada 2011 lalu. Akibat akuisisi ini, pemilik Elang Mahkota masuk menjadi 40 orang terkaya Indonesia.

Adalah Eddy Kusnadi Sariaatmadja selaku pendiri Elang Mahkota yang berhasil masuk jajaran 40 orang terkaya di Indonesia. Pria berumur 59 tahun ini menggeser Aburizal Bakrie selaku pemilik group media Viva Group dari jajaran 40 orang terkaya di Indonesia versi Forbes.

Seperti dikutip dari Forbes, Kamis (21/2/2013), nilai kekayaan Eddy per November 2012 mencapai US$ 730 juta atau sekitar Rp 6,9 triliun. Kekayaan Eddy meningkat dua kali lipat setelah sukses mengakuisisi Indosiar dari Grup Salim di 2011 dengan nilai pembelian Indosiar oleh EMTK mencapai Rp 2,03 triliun.[BisMan]

Pemilik SCTV dan Indosiar Meraup Untung Besar


JAKARTA. PT Elang Mahkota Teknologi Tbk menjual sebagian kecil kepemilikan sahamnya di dua anak usaha, yakni PT Surya Citra Media Tbk dan PT Indosiar Karya Media Tbk. Elang Mahkota menjual sebanyak 97,5 juta saham atau 5% saham Surya Citra dan 121,5 juta saham setara 6% saham Indosiar, pada Kamis (26/7) lalu. Pembelinya adalah profesional dan investor institusional.

Harga jual saham Surya Citra, pemilik stasiun televisi SCTV, adalah Rp 10.000 per saham, atau terdiskon 7,4% dari harga penutupan perdagangan saham di bursa sebelumnya di posisi Rp 10.800 per saham. Adalah saham IDKM dilego di harga Rp 5.880 per saham, atau diskon 2% dari harga penutupan perdagangan sebelumnya di posisi Rp 6.000 per saham. Perseroan kemarin telah melakukan crossing saham melalui Bursa Efek Indonesia dengan estimasi penyelesaian pada 1 Agustus 2012.

CLSA Singapore Ptd Ltd (CLSA) bertindak sebagai koordinator global tunggal untuk penjualan saham tersebut. Adapun pihak yang bertindak sebagai joint book runner untuk penjualan adalah CLSA, Credit Suisse (Singapore) Limited dan Deutsche Bank AG cabang Hongkong.

Direktur Legal dan Corporate Secretary Elang Mahkota, Titi Maria Rusli, mengemukakan, perseroan memperoleh pendapatan kotor senilai Rp 1,69 triliun dari penjualan saham tersebut. "Dana hasil penjualan saham akan digunakan untuk keperluan umum dan pengembangan usaha perseroan," ujar dia, dalam keterbukaan informasi ke otoritas Bursa Efek Indonesia, Jumat (27/7).

Tapi manajemen tidak menyebutkan secara mendetail pengembangan usaha tersebut. Komisaris Elang Mahkota, Fofo Sariaatmaja, tak merespons panggilan dan pesan singkat KONTAN, hingga Jumat malam.

Elang Mahkota jelas meraih untung besar dari aksi penjualan saham di dua anak usaha itu. Untuk penjualan Indosiar, misalnya, perseroan diperkirakan meraup untung senilai Rp 598,99 miliar. Sebab, Elang Mahkota mengakuisisi saham Indosiar di harga Rp 950 per saham, pada tahun lalu. 

Begitupun dengan penjualan saham Surya Citra, Elang Mahkota diperkirakan meraih untung minimal Rp 448,89 miliar. Kesimpulan ini mengasumsikan harga rata-rata saham Surya Citra pada tahun lalu di posisi Rp 5.396 per saham.

Pasca transaksi jual beli, pergerakan saham Surya Citra (SCMA) dan Indosiar (IDKM) di Bursa Efek Indonesia langsung merosot. Harga saham SCMA kemarin terpangkas 3,24% menjadi Rp 10.450 per saham, atau mendekati harga penjualan yang dipatok Elang Mahkota. Harga saham IDKM juga anjlok 6,67% menjadi Rp 5.600 per saham. Posisi tersebut di bawah harga penjualan oleh Elang Mahkota di Rp 5.880 per saham.

Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan penurunan harga saham kedua perusahaan media ini hanya bersifat sementara akibat penjualan saham oleh indusknya. "Penurunan tersebut karena menyesuaikan harga penjualan," ujar dia.

Prospek saham di sektor media masih menarik. Satrio memprediksi sektor riil yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia masih banyak memasang iklan di media massa sehingga kinerja emiten berpotensi meningkat. "Saya merekomendasikan beli SCMA dan IDKM apabila price to earning ratio (PER) di bawah 18 kali atau 20 kali karena masih murah," ujar dia.

Berdasarkan data Bloomberg, kemarin, estimasi PER SCMA dan IDKM hingga akhir tahun ini adalah 21,02 kali dan 35,57 kali.[KONTAN]

SCTV-INDOSIAR: Rasio Merger 1:0,481


JAKARTA--Proses penggabungan alias merger antara PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) dan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) dilakukan dengan rasio penukaran 1:0,481.

Dalam aksi merger yang mana IDKM akan melebur ke dalam SCMA ini, setiap 1 lembar saham Indosiar akan ditukar menjadi 0,481 saham SCMA.

Dalam proposal merger yang disampaikan kepada investor hari ini, Kamis (21/2/2013), disebutkan rasio tersebut didasarkan pada nilai harga saham sebesar Rp2.171 per saham untuk SCMA dan Rp1.044 per saham untuk IDKM.

Penilaian tersebut didasarkan pada harga penutupan pada 18 Februari 2013 sebesar Rp2.250 per saham untuk SCMA dan Rp1.082 per saham untuk IDKM yang mana harga untuk IDKM tercatat premium 9,3% dari harga penutupan sebesar Rp990 per saham.

Pascamerger, saham SCMA akan tetap tercatat di Bursa Efek Indonesia sedangkan saham IDKM akan delisting secara sukarela.

Pemegang saham SCMA dan IDKM saat ini akan memiliki sebesar 67% dan masing-masing 33% dari entitas gabungan.

Baik manajemen SCMA maupun IDKM berharap proses merger ini bisa rampung dalam dasar nilai buku yang bebas pajak.

Pascamerger ini, kapitalisasi pasar SCMA akan naik menjadi Rp32,89 triliun dari sebelumnya hanya Rp21,94 triliun dengan memerhitungkan tambahan kapitalisasi pasar dari IDKM sebesar Rp10,03 triliun.

"Pascamerger, SCMA akan menjadi 35 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI," tulis proposal itu.

Selain peningkatan kapitalisasi pasar, aksi merger juga akan meningkatkan free floating share SCMA sebagai holding company yakni sebanyak 3,73 juga saham free float.

Dari sisi pangsa pasar, kombinasi antara SCTV dan Indosiar akan mengukuhkan penguasaan penonton SCMA sebesar 25,2% untuk all time, 24,3% untuk prime time, dan 25,7% untuk non prime time.

Sementara itu, total pendapatan SCMA pascamerger juga akan naik menjadi Rp3,27 triliun sepanjang 2012 dengan laba bersih sebesar Rp1,17 triliun.

Dalam prospektus rencana merger yang dipublikasikan, Selasa (19/2), menyebutkan proses merger ditargetkan rampung pada 1 Mei 2013.

Kedua perseroan menyatakan telah mengantongi restu dari masing-masing dewan direksi pada 15 Februari 2013.

Sementara itu, tanggal efektif dari Otoritas Jasa Keuangan ditargetkan dapat dikantongi pada 20 Maret 2013.

Selanjutnya, kedua perseroan akan menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) guna meminta restu pemegang saham pada 5 April 2013.

Skema penggabungan yang dilakukan adalah Indosiar akan melebur ke dalam Surya Citra dengan nama PT Surya Citra Media Tbk.

Akibatnya, Indosiar akan melakukan delisting perdagangan sahamnya di Bursa Efek Indonesia yang diperkirakan terlaksana pada 6 mei 2013.

Dengan merger ini, diharapkan dapat meningkatkan sinergi dan efisiensi perusahaan akibat perampingan operasional dan penghapusan duplikasi kegiatan operasional yang sebelumnya harus dijalankan oleh dua perusahaan terpisah.

Selain itu, merger juga diharapkan dapat membantu memudahkan investor pasar modal yang akan berinvestasi pada kegiatan media televisi.

"Sehingga dengan hanya membeli saham pada satu perusahaan terbuka, investor telah secara tidak langsung dapat berinvestasi di SCTV dan Indosiar di bidang penyiaran swasta," tulis manajemen kedua perseroan.

Berdasarkan catatan Bisnis, penggabungan kedua entitas stasion televisi swasta nasional itu dilakukan seiring akuisisi atas Indosiar yang telah dilakukan oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek) selaku pemegang saham pengendali SCTV pada awal 2011.[BISNIS]

Inilah Mekanisme Peleburan SCTV dan Indosiar

JAKARTA, KOMPAS.com -   PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) akan melakukan merger dengan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM). Mekanismenya, Indosiar akan berada di bawah SCTV.

Dalam dokumen yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Corporate Secretary SCMA Hardijanto Saroso menjelaskan, mekanisme yang dipakai adalah setiap satu pemegang saham Indosiar akan ditukar dengan 0,481 saham SCTV.

Rasio itu diambil setelah ada penilaian independen berdasarkan valuasi saham terakhir kedua perseroan. Terakhir, harga valuasi saham SCTV sebesar Rp 2.171 per saham dan Rp 1.044 per saham untuk Indosiar.

Berdasarkan penutupan pada 18 Februari 2013, saham SCTV (SCMA) ditutup di level Rp 2.250 per saham dan Indosiar (IDKM) sebesar Rp 1.082 per saham. Nilai ini juga mewakili harga premium 9,3 persen pemegang saham Indosiar yang relatif dekat dengan penutupan harga di level Rp 990 per saham.

Nantinya, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) masih akan menjadi perusahaan terbuka di BEI setelah merger. Sementara Indosiar nantinya akan delisting. Nantinya juga pemegang saham SCMA dan IDKM akan memiliki masing-masing 67 persen dan 33 persen saham setelah dimerger.

Setelah merger, kapitalisasi saham SCMA akan menjadi Rp 32.898 triliun dengan nilai perusahan mencapai Rp 32,359 triliun. Nilai ini berdasarkan penutupan harga pasar pada 18 Februari 2013 dengan harga saham SCMA sebesar Rp 2.250 per saham.

Sementara susunan pemegang sahamnya nanti akan menjadi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) akan menggenggam SCMA sebesar 74,46 persen.

Sebanyak 25,54 persen dipegang publik. Sedangkan SCMA nantinya akan membawahi SCTV sebesar 99,99 persen dan PT Indosiar Visual Mandiri sebesar 99,99 persen. Proses ini akan efektif pada 1 Mei mendatang.

Informasi saja, IDKM dan SCMA merupakan anak usaha PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Berdasarkan laporan keuangan per September 2012, kepemilikan EMTK di SCMA mencapai 74,68 persen, sementara kepemilikan saham pada IDKM mencapai 74,08 persen.[KOMPAS]

Dalam Rangka Efisiensi, SCTV dan Indosiar Dimerger


Jakarta - PT  Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) pemegang mayoritas saham PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), pemegang brand  stasiun televisi SCTV dan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM), pemegang brand televisi Indosiar melakukan penggabungan usaha (merger).

"Dalam rangka efisiensi, penggabungan usaha dilakukan karena Surya Citra dan Indosiar memiliki pemegang saham pengendali yang sama yakni Elang Mahkota," demikian tertulis keterangan perseroan yang dipublikasikan, Rabu (20/2).

Dalam keterangan tersebut disebutkan, Elang Mahkota memiliki 74,66 persen saham di SCMA. Adapun SCMA pemilik 99 persen saham di SCTV. Selain itu, Elang Mahkota juga memiliki 74 persen saham di IDKM. Adapun IDKM diketahui pemilik 99 persen saham di Indosiar.

Paska merger, Elang Mahkota akan memilki saham 74,46 persen saham di SCMA. Adapun SCMA pemilik langsung 99,9 persen saham di SCTV dan 99,9 persen saham di Indosiar.
"SCMA akan menjadi perusahaan hasil penggabungan. Meski demikian, proses pengambilan keputusan dan koordinasi kegiatan usaha di level anak usaha tetap di SCTV dan Indosiar," tulis keterangan tersebut.

Dalam transaksi merger tersebut, setiap satu saham IDKM ditukar dengan 0,481 saham SCMA. Selanjutnya, para pemegang saham IDKM akan memegang maksimal 33 persen modal saham ditempatkan dan disetor pada perusahaan hasil merger. Sementara pemegang saham SCMA akan memegang maksimal 66 persen modal saham ditepatian dan disetor pada perusahaan hasil merger.

Manajemen SCMA dan IDKM menilai, diperlukan sinergi dan efisiensi dalam menyikapi pesatnya perkembangan industrian penyiaran swasta. Efisiensi hasil merger tersebut diharapkan dapat diperoleh melalui perampingan operasional dan penghapusan aktifitas yang dianggap duplikasi pada SCTV dan Indosiar. 

Penggabungan hasil merger ini diharapkan efektif pada 1 Mei 2012. Terhitung sejak itu, para pemegang saham IDKM akan dikonversi menjadi saham SCMA sebagai perusahaan hasil merger.[BERITA SATU]

Kamis, 14 Februari 2013

Harga Jual ANTV Rp 5 Triliun Asal Semua SDM-nya di-PHK


Berita tersebut nyaring terdengar di kalangan petinggi televisi di tanah air. ANTV akan dijual oleh Group Bakrie dan beberapa pengusaha, terutama pengusaha yang ingin jadi Raja Media siap mengambil ANTV. Harap maklum, saat ini Group Bakrie lagi butuh duit, kabarnya pun mereka sudah ingin meninggalkan bisnis media. Tentang angka Rp 5 triliun tersebut adalah harga yang ditawar oleh bos PT Elang Mahkota Komputer (Emkom) yang tak lain pemilik SCTV, Fofo Sariaatmadja [baca: The Three Musketeers Sariaatmadja]. Mungkin buat Group Bakrie tidak masalah, tetapi syarat lain yang diajukan Fofo cukup berat, yakni memecat semua SDM yang ada di ANTV.

“Fofo mau beli ANTV asal ANTV kosong alias nggak beli paket dengan SDM-nya,” ujar rekan saya, salah satu petinggi di salah satu stasiun televisi swasta ini.

Kompasianers, sebenarnya yang mau dijual bukan cuma ANTV tetapi kelompok media yang selama ini di bawah lindungan Group Bakrie. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, bahwa Viva Group, yang terdiri dariVivaNews.co.id, ANTV, dan tvOne akan dilepas [baca: Cabut dari Nasdem Harry Tanoe Beli ANTV?].  Dalam tulisan saya, pembelinya adalah Harry Tanoe. Ternyata kabar lain yang beredar, pengusaha yang paling ngotot membeli Viva Group adalah Fofo.

Sekadar Kompasianers tahu, Fofo adalah orang di balik kesuksesan SCTV. Sejak awal berdiri di jalan Darmo Permai, Surabaya pada 1990 dan cuma siaran terbatas di wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan), pria berusia 44 tahun ini telah mendampingi SCTV hingga berhasil membeli Indosiar dan beberapa televisi lokal lain.

Memang, pada 1990-an, saham keluarga Sariaatmadja melalui PT Abhimata Mediatama hanya 17 persen. Sebelum keluarga Sariaatmadja masuk SCTV pada 2001, pemegang saham SCTV adalah orang-orang yang dikenal dekat dengan Cendana, seperti Sudwikatmono, Peter F. Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Trihatmodjo, hingga Azis Mochtar. Namun, di tahun yang sama, keluarga ini menambah lagi kepemilikan saham hingga menjadi 49,62 persen.

Pada 2002, PT Abhimata meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi 50 persen. Keinginan menguasai SCTV makin tak terbendung. Pada 2005, PT Abhimata menguasai SCTV dengan membeli saham milik Henry Pribadi. Setelah itu, saham PT Indika Multimedia kepunyaan Agus Lasmono, anak pengusaha Sudwikatmono, di SCM juga diakuisisi. Pada 2008, keluarga Sariaatmadja telah menguasai 78,69 persen saham SCM. Sisanya dimiliki The Northern Trust Company 7,9 persen, dan publik 13,41 persen.

Setelah memegang saham mayoritas di SCTV, pada 2004 keluarga Sariaatmadja menggandeng PT Mugi Rekso Abadi (MRA) mendirikan televisi dengan bendera PT Omni Intivisual alias O Channel. Awalnya, kepemilikan saham MRA dan keluarga Sariaatmadja masing-masing 50 persen. Namun, pada awal 2007, MRA melepas seluruh saham miliknya kepada keluarga Sariaatmadja, sehingga 100% saham O Channel dikuasai oleh Sariaatmadja. Terakhir, keluarga ini mengakuisisi Indosiar lewat transaksi tukar guling antara lahan sawit milik keluarga Sariaatmadja dengan Indosiar milik Anthony Salim.

Kompasianers, strategi Fofo untuk membeli ANTV dengan syarat tersebut boleh jadi ia tak ingin terbebani oleh SDM-SDM yang ada saat ini. Ia ingin mengganti SDM ANTV dengan SDM baru, secara ANTV akan ia jadikan sebagai televisi berita sebagaimana Metro TV dan tvOne. Tentu, keinginan Fofo wajar, mengingat SDM yang ada di ANTV saat ini lebih dari 50% sudah bekerja lebih dari 10 tahun (ANTV berdiri pada 1993). Jadi, memang perlu diremajakan.

Jika Group Bakrie setuju dengan tawaran Fofo, nasib ANTV akan seperti SCTV pada paruh November 2009 lalu. Gelombang PHK atau ‘dipaksa’ mengundurkan diri sekitar 500-an karyawan terjadi di SCTV. Sementara ada pula karyawan senior yang ‘dipaksa’ menjadi karyawan kontrakan jika ingin tetap menjadi karyawan SCTV.

Bagi karyawan yang masih produktif dan memiliki jaringan pertemanan di televisi lain, tentu tidak masalah. Mereka cukup percaya diri untuk menerima pesangon jutaan rupiah dan siap bekerja lagi di stasiun televisi lain atau membuka bisnis. Namun, tentu saja banyak karyawan ANTV yang menggandalkan hidupnya dari gaji bulanan di stasiun televisi yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan ini. Jika ini terjadi, akan ada pengangguran-pengangguran baru.[AKANG JAYA]