Rabu, 16 Januari 2013

Membedah Manuver dan Resep Bisnis Keluarga Sariaatmadja


Gebrakan bisnis keluarga Sariaatmadja -- lewat Grup Emtek -- makin menggila. Setelah mencaplok SCTV, kini mereka siap menguasai Indosiar. Siapa mereka sejatinya? Bagaimana mereka meraksasa dan terus ekspansif?

Liburan Haeny Susilowati (24 tahun) pada Minggu, 26 Agustus 2007, berjalan lebih ceria. Maklum, ia diajak calon suaminya, karyawan PT London Sumatra Plantation Tbk. (Lonsum), mengikuti jalan pagi bersama 6.000-an orang lainnya, dari Gedung SCTV menuju Senayan City. Apalagi, setiba di halaman Senayan City, Susi melihat beragam pentas hiburan sudah disiapkan, dengan mendatangkan artis-artis beken. Sehabis itu, ia ditraktir makan-makan di Urban Kichen. Hanya saja, saat itu Susi sempat bertanya-tanya mengapa yang akan pindah kantor SCTV, tapi banyak sekali karyawan perusahaan lain yang juga diundang, termasuk karyawan Lonsum dan karyawan lain yang memakai seragam bertuliskan “Emtek Group”. Susi penasaran karena selama ini calon suaminya sama sekali tak pernah menyebut-nyebut SCTV, apalagi Grup Emtek. Ia tak tahu bagaimana hubungan antara Grup Emtek, SCTV, dan Lonsum. Hanya saja, rasa penasarannya itu segera buyar bersamaan dengan riuhnya letusan balon sebagai penanda ulang tahun SCTV di pagi itu.

Bagi sebagian besar orang, termasuk kalangan pebisnis sekalipun, Grup Emtek memang bukan nama yang familier -- tak seperti Grup Salim, Bakrie, atau Sinarmas. Sebab itu, kalau banyak orang seperti Susi tak tahu kiprah grup ini, sebenarnya wajar-wajar saja. Padahal, kini Grup yang dikendalikan keluarga Sariaatmadja ini telah menjelma menjadi raksasa bisnis baru di Indonesia yang terus menggebrak, khususnya di bisnis media. 

Kiprah Emtek beberapa tahun terakhir memang menarik disimak. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah manuver bisnisnya. Di bisnis media, tanpa gembar-gembor, keluarga Sariaatmadja memiliki mayoritas saham SCTV. Semua tahu, SCTV adalah satu di antara dua stasiun televisi terbesar (bersama RCTI) di Indonesia yang kinerjanya cukup kinclong. Tahun 2006, aset PT Surya Citra Media Tbk. (SCM, perusahaan yang memayungi SCTV) mencapai Rp 1,82 triliun dengan penjualan bersih Rp 1,2 triliun. Selama dua tahun terakhir keluarga ini telah menguasai 78,69% saham SCTV – stasiun TV yang didirikan kongsi Sudwikatmono, Peter Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Trihatmodjo, dan Azis Mochtar. 

Pada 2001, keluarga Sariaatmadja masuk SCTV melalui PT Abhimata Mediatama, dengan porsi saham hanya 17%. Namun pada Juli 2005 keluarga ini membeli sebanyak 473 juta unit saham sehingga menjadi pemilik mayoritas SCM. Mereka membeli sisa saham PT Citrabumi Sacna milik Henry Pribadi dan PT Indika Multimedia kepunyaan Agus Lasmono -- anak Sudwikatmono. Kini dominasi dan kontrol keluarga Sariaatmadja di SCTV bisa dilihat pada struktur organisasi SCM dengan Fofo Sariaatmadja (anak ke-4 keluarga Sariaatmadja) duduk sebagai dirut dan Eddy Kusnadi Sariaatmadja (anak ke-3) sebagai komisaris.

Bukan hanya di bisnis media. Kiprah bisnis keluarga ini juga tak bisa disepelekan karena ternyata juga mengendalikan (64,4%) salah satu perkebunan besar di Indonesia, PT London Sumatra Plantation Tbk. Lonsum adalah perusahaan perkebunan tertua di Indonesia yang menanam kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan lain-lain, yang awalnya didirikan perusahaan konglomerat asal London. Kini Lonsum menguasai lahan perkebunan seluas 85 ribu hektare -- 63 ribu ha kebun sawit dan 16,5 ribu ha kebun karet. Tahun 2006 perusahaan yang punya total aset Rp 2,98 triliun ini mampu membukukan penjualan bersih Rp 2,1 triliun. 

Toh, gebrakan bisnis keluarga ini yang paling menarik diamati memang di bisnis media. Setelah menguasai mayoritas saham SCTV, mereka baru saja mengakuisisi 100% saham O Channel, dengan mengambil alih dari Grup Mugi Rekso Abadi. Emtek masuk melalui PT Astika Lintas Buana. O Channel merupakan TV lokal dengan positioning sebagai televisi entertaintment -- yang mengarah ke commercial style -- dengan kemajuan cukup signifikan di Jabotabek. 

Berita yang paling hot adalah rencana Emtek mengakuisisi Indosiar, stasiun televisi milik Grup Salim. Jelas ini langkah yang menarik karena Indosiar diketahui sebagai salah satu the big four di bisnis pertelevisian nasional. Intensi mengambil alih Indosiar – meski sampai kini masih dalam proses – menunjukkan bahwa posisi Emtek bukan main-main. Dikabarkan, transaksi itu akan dilakukan dengan pola tukar guling, karena keluarga Sariaatmadja mempersilakan Salim membeli saham keluarga Sariaatmadja di Lonsum. 

Grup Salim sendiri nampaknya sengaja mengundang keluarga Sariaatmadja lantaran berhasil mengelola SCTV. Maklum, meski tahun 2006 Indosiar masih mempertahankan posisinya di empat besar dalam perolehan iklan (data AC Nielsen), secara keseluruhan kinerjanya cenderung turun sehingga butuh suntikan darah segar. Kabarnya, proses transaksi antara kedua grup ini masih dalam pengkajian lebih lanjut dan diperkirakan baru final pada akhir 2007 ini. Kalau betul nanti keluarga Sariaatmadja mengakuisisi mayoritas saham Indosiar, langkah itu akan menguatkan posisinya sebagai salah satu raja bisnis media di Tanah Air. 

Kalau itu terjadi, tentu saja merupakan pencapaian fenomenal buat keluarga tersebut. Kiprah keluarga Sariaatmadja membesarkan bisnis Grup Emtek memang mengejutkan banyak pihak. Tidak banyak yang tahu bagaimana keluarga ini membangun usaha. Tiba-tiba saja mereka sudah mengontrol beberapa unit bisnis yang berskala triliunan rupiah. Dari perkebunan besar beromset triliunan, stasiun TV terkemuka, bisnis teknologi informasi (TI) dengan klien bank-bank besar, dan bahkan kabarnya ikut pula mengembangkan beberapa proyek properti skala besar. Sebenarnya, bagi kalangan pelaku bisnis TI, nama keluarga Sariaatmadja tidak terlalu asing. Maklum, keluarga ini mulai mengembangkan bisnis dari dunia TI dan sampai kini posisinya di bisnis ini masih kuat. 

Sejarah dan perjalanan bisnis Grup Emtek tak lepas dari sosok Eddy Kusnadi Sariaatmadja karena dialah motornya. Eddy, anak ke-3 dari keluarga ini, begitu lulus kuliah dari New South Wales University, Australia, sempat membantu orang tuanya mengelola perusahaan jasa konsultasi perpajakan dan manajemen berskala kecil, bernama PT Eskapindo. Lalu, pada 1982 Eddy sempat ikut melakukan penyertaan saham (33%) di perusahaan transportasi Steady Safe milik Yopie Wijaya. Hubungan Eddy dengan Yopie cukup dekat, karena istri Eddy, Sofi Wijaya, adalah adik Yopie. 

Hanya tiga tahun Eddy bersama Steady Safe karena tahun 1983 ia memutuskan mendirikan PT Elang Mahkota Teknologi yang kelak menjadi kendaraan utama bisnisnya. Di Emtek, Eddy awalnya tidak sendirian, tapi bermitra dengan Piet Yauri. Kala itu, Piet adalah pemilik modal, sementara Eddy yang memiliki keahlian. Emtek mulanya membidangi pembuatan komputer jangkrik dengan merek sendiri yang namanya tidak sempat populer. Emtek baru mendapatkan momentum setelah dipercaya menjadi agen penjualan personal computer merek Compaq. “Ini tidak mudah karena waktu itu Compaq merupakan satu-satunya branded PC yang kompatibel dengan IBM. Emtek dipercaya dari awalnya sole agent menjadi sole distributor untuk Indonesia,” ujar Darwin Wahyu Sariaatmadja, anak ke-5 dari 6 bersaudara keluarga Sariaatmadja yang bertanggung jawab mengomandani bisnis TI dan telekomunikasi. 

Dari situlah, Emtek kemudian menemukan lompatan-lompatan untuk meraih berbagai peluang bisnis. Dari yang awalnya hanya jualan PC lalu melebar ke berbagai bidang bisnis TI, termasuk telekomunikasi. Adapun bisnis penjualan PC-nya tetap bisa berjalan sangat baik hingga awal 1990-an, dan sukses menjadi pemasok ke berbagai institusi pemerintah dan perusahaan swasta skala besar, khususnya industri perminyakan. Dari pundi-pundi bisnis jualan PC inilah keluarga Sariaatmadja konon mendanai pengembangan bisnis Emtek selanjutnya. 

Toh, diakui atau tidak, perkembangan Grup Emtek tak lepas dari kedekatan keluarga Sariaatmadja (khususnya Eddy) dengan Henry Pribadi, pemilik Grup Napan -- dulu merupakan pemilik utama Pan London (yang kemudian menjadi Lonsum) dan SCTV. Selain perkebunan dan stasiun TV, Napan juga punya bisnis petrokimia seperti PT Polypet Karya Persada yang memproduksi bahan baku untuk botol plastik. Dalam beberapa proyek Napan, kabarnya Eddy diajak bergabung dan Eddy sendiri memang punya keahlian, khususnya dibuktikan ketika ia berhasil menubruk peluang bisnis substitusi impor seperti bijih plastik. Jangan heran, Eddy sempat punya saham di 14 perusahaan Grup Napan meski dalam jumlah relatif kecil. 

“Tonggak keberhasilan Eddy, ya dari PT Emtek dan Napan Group itu. Meski sahamnya di Napan kecil-kecil, kalau 10 tahun akhirnya kan besar juga dananya, dan ia bisa melihat peluang-peluang,” demikian komentar Thomas Wibisono, pengamat konglomerasi dari Pusat Data Business Indonesia. Pernyataan Thomas tampaknya tak bisa diabaikan. Pasalnya, aset-aset besar yang kini dimiliki Grup Emtek (keluarga Sariaatmadja) umumnya adalah perusahaan di bawah kendali Napan, seperti Lonsum dan SCTV. 

Sebenarnya, kiprah Grup Emtek di bisnis TI tak surut. Kelompok usaha ini menggarap bisnis TI mulai dari jasa Internet service provider, content provider, application development hingga solusi TI korporat lainnya. Banyak aplikasinya yang disasarkan bagi segmen perbankan. Grup ini juga punya anak usaha yang menyediakan layanan akses Internet dan komunikasi melalui teknologi VSAT, yakni PT Tangara Mitrakom, yang menyasar perbankan yang punya banyak cabang di daerah. 

Emtek pun tampaknya tak mau ketinggalan mencicipi gurihnya bisnis telekomunikasi. Tak mengherankan, pada awal 2004 keluarga Sariaatmadja mendirikan perusahaan distribusi produk starter pack dan pulsa isi ulang dari Indosat (Mentari, Matrix, dll.), melalui bendera PT Sakalaguna Semesta. Di sini Grup Emtek melakukan joint venture dengan perusahaan Singapura yang sudah listed di bursa Negeri Singa, TeleChoice International Ltd. Pasti, omset Sakalaguna cukup besar karena perputaran industri ini kini sedang hot-hot-nya. Masih di bisnis telekomunikasi, melalui PT Abhimata, Emtek juga berbisnis membangun jaringan infrastruktur CDMA dengan pola profit sharing dengan Indosat. Kalau dihitung-hitung, anak usaha Grup Emtek di bisnis telekomunikasi dan TI memang cukup banyak. “Lebih dari 10 perusahaan,” kata Darwin.

Kabar lain yang cukup menarik, beberapa sumber menengarai keluarga ini juga punya penyertaan saham di beberapa proyek investasi keroyokan yang dikelola Grup Agung Podomoro. Antara lain, proyek properti The Peak, CBD Pluit, dan Senayan City. Langkah grup ini yang memindahkan kantor operasional SCTV, O Channel, dan beberapa perusahaan dalam Grup ke Senayan City disebut-sebut sebagai indikasinya. Bayangkan saja, di Senayan City mereka menempati area seluas 17.983 m2. Hanya dua lantai di antara ruang-ruang kantor di Senayan City yang tidak dipesan Grup SCTV. Toh, anggota keluarga Sariaatmadja ataupun kalangan direksi perusahaan Grup Emtek membantah soal kepemilikan keluarga ini di proyek-proyek properti. “Keluarga Sariaatmadja sama sekali tidak ada saham di Senayan City. Juga di proyek lain karena fokusnya bukan di situ,” kata Ade Salustra Widjaja, Direktur Komersial SCTV, berusaha mengklarifikasi.

Sebenarnya, ada isu menarik dari akselerasi bisnis Grup Emtek, yakni soal sumber pendanaan untuk investasi. Beberapa pihak menyangsikan keluarga ini bisa menguasai saham Lonsum ataupun SCTV hanya dengan mengandalkan laba dari bisnis TI. Beberapa sumber menyebutkan, asal dana mereka adalah kalangan investor luar negeri. Ketika membeli mayoritas saham SCTV dari Henry Pribadi tahun 2005 misalnya, dikabarkan Eddy Sariaatmadja didukung Singleton Group, perusahaan besar asal Australia. Singleton Group Ltd. merupakan hasil metamorfosis dari John Singleton Advertising Ltd. (JSA) pada 1996 yang bisnisnya cukup luas, dari jaringan radio, televisi, kehumasan, periklanan, hingga konsultasi operasi bisnis dan manajemen keuangan media. Eddy bisa bermitra dengan perusahaan ini karena John Singleton kabarnya adalah teman kuliah Eddy di New South Wales University.

Pengamat bisnis media Amelia Hezkasary Day yang juga mantan produser SCTV membenarkan sinyalemen itu. “Keluarga Sariaatmadja masuk ke SCTV dengan tiga entitas perusahaan. Di atas tiga entitas itu ada John Singleton,” ujar Amelia, yakin, seraya mengungkapkan keluarga Sariaatmadja masuk SCTV setelah Agus Lasmono memutuskan keluar dari SCTV. Hanya saja, menurutnya, penyertaan Singleton ini sulit dilacak karena keluarga Sariaatmadja sendiri masuk SCTV melalui nama Emtek.

Sayang sekali, ketika ditanya soal sumber pendanaan ini, Sariaatmadja bersaudara hanya tersenyum. Begitu pula, ketika SWA mencoba mengonfirmasi kebenaran apakah taipan media asal Australia Ropert Murdoch juga berada di balik gebrakan Emtek di bisnis media, tak ada jawaban. 

Seorang sumber menyebutkan, di lingkungan keluarga Sariaatmadja, orang yang bertugas dalam hal pencarian dana investasi ke luar negeri tak lain Eddy sendiri. Selain lebih banyak berperan di holding di SCM, “Eddy lebih banyak ke luar negeri mencari sumber dana dari teman-teman investor. Dia pintar dalam mencari dana dan memang punya konsep,” kata seorang petinggi Emtek yang tak mau disebut namanya. 

Jejaring Eddy tampaknya memang cukup luas. Ia dikenal dekat dengan Muhamad Glenn Yusuf, ahli keuangan dan pasar modal yang pernah menjadi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Bahkan, Glenn juga sempat diajak mengelola bisnis Emtek, termasuk duduk sebagai Presdir Lonsum dan menjabat komisaris di PT Surya Citra Media. Apalagi, kini Eddy dan Glenn pun bersama-sama memiliki perusahaan investasi di Singapura, Jasper Investment Ltd. 

Otoritas bursa Singapura tiga bulan lalu mengumumkan bahwa Eddy dan Glenn menguasai 47% saham Jasper Investment Ltd. yang tercatat di bursa Singapura. Dengan menggunakan nominee, kedua orang ini menambah kepemilikan sahamnya di United Overseas Bank Limited. Keduanya mengakuisisi 47% saham Jasper melalui Morton Bay (Holdings) Pte. Ltd, milik Barcelona Assets Inc. Di Barcelona Assets, Glenn merupakan pemegang saham mayoritas, sedangkan Eddy menggunakan kendaraan Citroen Capital Limited. Jasper Investment Ltd. sendiri sebelumnya bernama Econ International Ltd., perusahaan induk investasi. 

Betapapun harus diakui, keluarga ini cukup jeli dalam membangun bisnisnya. Salah satu kasus menarik adalah strateginya di Lonsum. Mereka membeli saham Lonsum dengan harga yang cukup murah karena masuk pada 1997. Dan kini, ketika industri crude palm oil menjadi industri hot, dan hampir semua grup besar ingin memasukinya, wajar bila saham keluarga Sariaatmadja dihargai sekitar Rp 5 triliun oleh Grup IndoAgri milik Salim. 

Di sini berarti ada keputusan pemilihan momentum bisnis yang tentu saja tepat. Bisa dibayangkan berapa capital gain yang dipetik keluarga Sariaatmadja dari transaksi Lonsum ini -- belum lagi keuntungan yang selama ini diperoleh. 

Ke depan, potensi memperoleh capital gain tentu juga akan kembali terbuka jika benar keluarga ini jadi membeli Indosiar. Maklum, kinerja keuangan Indosiar (PT Indosiar Karya Media Tbk.) sedang menurun sehingga tentu bisa dibeli dengan harga saham yang relatif lebih murah. Lihat saja, dalam dua tahun ini keuangan Indosiar rugi. Tahun 2005 mengalami rugi bersih Rp 141,2 miliar, dan membengkak menjadi Rp 297,6 miliar pada 2006. Peningkatan kerugian ini disebabkan pendapatan perusahaan yang semakin menyusut, dari Rp 817,5 miliar pada 2005 menjadi Rp 607,8 miliar pada 2006. Beberapa program andalannya dikabarkan kalah bersaing dengan RCTI, SCTV, dan Trans TV. 

Memang, khususnya soal Lonsum, beberapa pihak sempat mempertanyakan mengapa keluarga Sariaatmadja berniat menjual sahamnya di Lonsum padahal industri ini tengah hot dan pemain lain justru sedang masuk. “Lho, saya masih di dalam Lonsum kok meski kecil. Saham saya tidak saya lepas. Saya dulu membeli sahamnya juga bersama Grup IndoAgri,” Eddy mengelak. Soal kebijakan tukar guling ini, Eddy melihatnya sebagai langkah aliansi atau menggabungkan kekuatan dengan Salim. “Setelah penggabungan, kami kan bisa cepat berekspansi. Kita lihat saja Malaysia, tiga perusahaan kelapa sawit raksasanya sudah bersatu sehingga kapitalisasi pasarnya luar biasa besar,” tutur Eddy saat ditemui SWA di hari ulang tahunnya di Mercantile Athletic Club beberapa waktu lalu. 

Bila diamati, kejelian strategi grup ini bisa pula dilihat dari caranya menggarap pasar TI. Awalnya (1980-an), mereka giat sebagai distributor PC (hardware). Namun ketika melihat bisnis penjualan hardware tidak terlalu menarik, khususnya setelah berjangkitnya komputer rakitan (jangkrik) yang mendistorsi pasar produk branded, grup ini langsung lebih menekankan bisnisnya ke bisnis solusi TI. “Kami fokus di system solution khususnya banking. Hardware menjadi pelengkap saja,” tutur Darwin. Ia menyebutkan, beberapa solusi yang diberikan pihaknya untuk perbankan antara lain dalam hal treasury system, trade finance, dan switching system (misalnya, untuk ATM). 

Kini divisi TI Emtek juga tengah dalam proses mengakuisisi sebuah perusahaan TI di bidang solusi perbankan milik salah satu grup besar. “Ini untuk melengkapi total solution ke pelanggan karena perusahaan itu menangani payment solution untuk banking, sementara kami punya swicthing system-nya. Nanti kami kombinasikan,” ujar Darwin seraya menjelaskan, hampir semua bank besar di Indonesia menjadi kliennya. Tentu, penggeseran dan strateginya di bisnis TI ini menunjukkan mereka cukup piawai membaca tren bisnis TI yang dinamis. 

Naga-naganya, upaya grup ini menggenjot bisnis TI-telekomunikasi dilakukan secara simultan dengan penetrasinya di bisnis multimedia. Tak mengherankan, mereka agresif menguatkan posisinya di media dengan memiliki SCTV, membeli O Channel, serta dalam proses mengakuisisi Indosiar. Media-media itu akan disinergikan dengan bisnis TI karena keluarga ini meyakini: sekarang dan ke depan dunia telekomunikasi, TI, dan media mengalami konvergensi. “Konvergensi itu tak terelakkan. Ujung-ujungnya ke sana. Anda sudah bisa nonton TV di telepon genggam,” ujar Fofo yang selain menjadi Dirut SCTV juga dirut di beberapa unit bisnis TI Grup Emtek. 

Karena keyakinan akan konvergensi itu pula, sejak 2005 Emtek bermitra dengan Nokia mengembangkan teknologi digital mobile TV di Indonesia. Fofo mengklaim, Grup Emtek merupakan pemain yang pertama kali meluncurkan mobile TV di Indonesia. Pada Januari 2006 mulai dilakukan operasi dan riset gabungan bersama Nokia. “Kami tandatangani pakta kerja sama dengan Nokia, Emtek menjadi founder DBHFA (Digital Broadcasting Handheld for Asia Pasific),” kata Fofo sembari menjelaskan, pihaknya akan mengarahkan bisnis TI dan telekomunikasinya ke level internasional. 

Tentu saja, misi yang dipaparkan Fofo itu masih menjadi tanda tanya karena pelanggan bisnis telekomunikasi di Indonesia memang tidak terlalu cepat dalam mengadopsi teknologi baru, termasuk teknologi 3G yang memungkinkan akses konten hasil konvergensi itu. Kendati demikian, kalau itu sukses, grup ini akan beberapa langkah di depan para pesaingnya.[Sudarmadi

1 komentar: