Selasa, 16 Oktober 2012

Luviana, Korban Kesewenangan Pemilik Modal Metro TV

Metro TV yang selama ini sangat rajin membombardir pemerintah dengan mengangkat berbagai isu yang dianggap miring, kali ini tersandung oleh masalah internal. Metro TV akan dilaporkan oleh Poros Wartawan Jakarta (PWJ) ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait kasus yang dilakukan terhadap karyawannya.

Luviana, Asisten Produser Metro TV yang juga anggota AJI Jakarta, sudah bekerja kurang lebih 9 tahun namun saat ini di non-jobkan dari redaksi Metro TV. Ia di non-jobkan setelah sebelumnya mendapat perilaku subjektif dari manajemen karena selama 8 bulan menuntut perbaikan kesejahteraan karyawan, merencanakan pembentukan serikat pekerja, menuntut sistem penilaian kerja  yang objektif, dan meminta adanya perbaikan program siaran yang sensitif gender dan HAM.

Luviana saat ini dirotasi ke bagian HRD yang sangat jauh dari bidangnya sebagai seorang jurnalis. “Saya menuntut untuk dipekerjakan kembali di bagian redaksi, meminta Metro TV tidak lagi  melakukan kesewenang-wenangan terhadap karyawan dan memperbaiki sistem manajemen redaksi yg buruk,” tegas Luviana (sumber: dari link ini).

Kasus di atas hanyalah satu kasus yang terangkat ke permukaan. Permasalahan utamanya adalah keterkaitan antara pemilik modal dengan output pemberitaan. Keputusan redaksi seringkali digunakan untuk kepentingan tertentu. Maka, orang yang tidak sejalan dengan arus besar, yaitu keputusan pemilik modal secara otomatis akan disingkirkan.

Sejarah Media Di Bawah Cengkeraman Pengusaha

Salah satu majalah ibu kota edisi 13 Februari 2012 pernah menganalisis mengenai bagaimana sejarah para pengusaha dalam menguasai media. Berikut ini adalah beberapa fakta tersebut.

Surya Paloh menguasai media pertama kali dengan mendirikan Harian Prioritas. Tapi sayang umur Prioritas hanya setahun, karena dibredel oleh pemerintahan saat itu. Penutupan Prioritas tak membuat

Surya mundur dari bisnis pers. Beberapa tahun kemudian ia menggandeng T. Yousli Syah mengelola koran Media Indonesia. Atas persetujuan Yousli sebagai pemilik, Surya memboyong Media Indonesia ke Gedung Prioritas di Jalan Gondangdia Lama, Jakarta Pusat.

Sejak saat itu, banyak pengusaha berbondong-bondong menanamkan uangnya di bisnis ini. Yang paling agresif adalah Hary Tanoesoedibjo. Sejak mengambil alih PT Bimantara Citra Tbk. tahun 2000 lalu, Hary mengusung ambisi ingin menjadi jawara bisnis media penyiaran dan telekomunikasi. Ambisinya menjadi kenyataan. Lewat Media Nusantara Citra (MNC) Group kini memiliki belasan media massa, mulai dari televisi, surat kabar, majalah, radio, hingga media online. Maka tak begitu heran kalau kemudian Hary dijuluki “Raja Multimedia”.

Selain Hary, sederet pengusaha lain menggarap bisnis ini. Ada Aburizal Bakrie melalui Bakrie Group mendirikan tvOne, ANTV, dan Vivanews.com. Kemudian Chairul Tanjung lewat Trans Corporation membangun televisi Trans TV, Trans 7, dan tahun lalu membeli situs detik.com.

Yang tak kalah sengit apa yang dilakukan Lippo Group. Sejak tahun 2000-an kelompok usaha ini sudah mulai mendirikan media online bernama Lippostar.com dan e-commerce Lipposhop.com. Beberapa tahun kemudian kedua media online ini ditutup. Lantas, Lippo mengambil alih koran ekonomi Investor Daily dan mendirikan majalah Investor.

Pada Januari 2011, Globe Media Group yang dimiliki oleh John Riady, anak James T. Riady, CEO Grup Lippo, mengakuisisi media online beritasatu.com. Nama Globe Media Group pun kini berganti menjadi Berita Satu Media Holdings. Tergabung dalam grup media baru ini adalah beberapa media cetak seperti The Jakarta Globe, Globe Asia, The Peak, Investor Daily, Kemang Buzz, Campus Asia, Student Globe, The Straits Times, Investor, Suara Pembaruan, stasiun televisi QTV, dan portal berita beritasatu.com.

Tak mau ketinggalan perusahaan rokok Djarum. Baru-baru ini Djarum membeli situs Kaskus, sebuah forum komunitas terbesar di Indonesia. Atau Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang mendirikan situs pelitaonline.com.

Pendek kata bisnis pers saat ini yang digarap para pengusaha penuh gempita dan warna. Langkah Chairul Tanjung yang membeli portal berita detik.com senilai US$ 60 juta (Rp 521 miliar) membuat pergerakan konglomerasi media Indonesia makin riuh.

Keriuhan tambah seru ketika masyarakat menyaksikan kolaborasi media antara Surya Paloh (Media Indonesia, Metro TV, Lampung Post,dan mediaindonesia.com) dengan Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Group dengan masuknya Hary di Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai Ketua Dewan Pakar.

Model Pengaruh Pemilik Modal Terhadap Media

Teori Framing dan teori Setting Agenda: dua teori komunikasi massa masih sangat relevan untuk menjelaskan bagaimana suatu berita sangat dipengaruhi oleh awak redaksi dan pemilik modal.

Ada empat jenis hubungan kekuatan media dengan sumber-sumber kekuatan termasuk di dalamnya pengusaha atau partai politik tertentu, yang diambil dari buku Fishman, Manufacturing News (1980). Pertama, adalah hubungan antara sumber dari luar media yang berkekuatan besar dengan media yang berkekuatan besar. Dalam situasi ini, jika keduanya bertemu akan mengarahkan kekuatan yang besar terhadap agenda publik. Ini dapat terjadi misalnya dengan pejabat publik yang berkekuatan besar yang memiliki hubungan baik dengan media atau pengusaha besar dengan media seperti telah disebutkan di atas.

Kedua, sumber luar yang berkekuatan besar dengan media yang berkekuatan kecil. Di sini, sumber luar tersebut akan bekerjasama dengan media dan menggunakan media untuk meraih tujuannya sendiri. Hal ini terjadi, misalnya seorang politisi membeli waktu tayang.

Ketiga, sumber luar yang berkekuatan rendah dengan media yang berkekuatan besar. Organisasi media tersebut akan sangat bertanggungjawab terhadap agendanya sendiri. Hal ini terjadi, misalnya ketika
media membatasi sumber-sumber tertentu.

Keempat, adalah situasi dimana baik kekuatan luar maupun media berkekuatan rendah, dan agenda publik mungkin akan ditentukan oleh kejadian-kejadian tersebut, bukan oleh media atau kekuatan tertentu.

Kasus Luviana adalah kasus di mana kekuatan besar dari pengusaha cenderung dominan terhadap media. Maka, siapa saja yang tidak berada di arus besar akan tersingkir dengan sendirinya. Lalu, di manakah independensi media? Independensi media tentunya masih bisa diharapkan dari media-media yang didirikan oleh para jurnalis, bukan oleh para pengusaha kapitalis yang hanya ingin mengeruk keuntungan atau untuk kepentingan tertentu semata.**[harja saputra]

Senin, 08 Oktober 2012

Luviana dan Tanggung Jawab Media di Ruang Publik

Luviana adalah seorang karyawan Metro TV, seorang asisten Produser Metro TV. Luviana dikeluarkan dari Metro TV karena menuntut perbaikan kesejahteraan karyawan, pembentukan serikat pekerja, siaran yang sensitif gender dan HAM. Dua tuntutan Luviana adalah tuntutan internal, sementara dua tuntutan Luviana adalah tuntutan universal, tuntutan sebagai klaim ruang keadilan dalam hukum bisnis modern.

Sebesar apapun modal privat yang dimiliki Metro TV, pada kenyataannya, Metro TV adalah produk jasa yang masuk ke dalam ruang publik, imbal balik benefit mereka adalah kerelaan ruang publik milik masyarakat dimasuki oleh Metro TV. Disini kemudian Metro TV mau tidak mau harus terbuka dalam ranah publik, mau tidak mau juga harus menjadi teladan atas ukuran-ukuran ideal keadilan bagi ruang publik, bila kaidah ini tidak disadari oleh pihak manajemen Metro TV, maka legitimasi sebagai suara ideal yang masuk ke dalam ruang publik bisa hancur dan tidak memiliki basis kepercayaan lagi ditengah masyarakat. Tapi ketika Manajemen Metro TV tetap menolak membuka kasus ini ke tengah masyarakat, maka kita bisa menjadi saksi sebuah adagium “Modal Menjadi Diktator Atas Masyarakat”. Disini berarti

“Negara” yang menjadi diktator atas kerangka “Negara Orde Baru” menjadi transformatif menjadi “Modal sebagai Diktator”.

Banyak kasus yang melibatkan problem internal wartawan yang tidak muncul ke ruang publik seperti kasus Bambang Wisudo di Kompas beberapa tahun lalu. Pertikaian-pertikaian kaum jurnalis adalah cerita yang lazim dalam sejarah perkembangan jurnalisme di Indonesia seperti pertikaian Rosihan Anwar dengan BM Diah, pertikaian Goenawan Muhammad dengan Syu’bah asa, tapi pertikaian itu menjadi tidak sehat ketika kekuasaan menjadi rivaalitas terhadap wartawan seperti pertikaian Rosihan Anwar dengan Ali Murtopo dalam kasus PWI di tahun 1974 atau Pertengkaran GM dengan Harmoko dalam kasus Pembredelan Tempo 1994.

Kasus Luviana harus diperiksa apakah ini pertikaian idealisme wartawan dengan wartawan dalam soal etika, ataukan ini pertikaian antara wartawan yang memperjuangkan idealisme jurnalistik dengan Pemodal. Bila ditemukan yang terakhir dan pihak jurnalis kalah maka ini adalah sinyal bahaya terhadap ruang publik yang sehat.

Sedari sekarang-lah media massa harus jujur di ruang publik, tidak berpihak atas kepentingan politik apapun dan menjadi suara atas kegelisahan masyarakat.bukankah Pram berkata : “‘seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan’.(Anton DH Nugrahanto)

Sabtu, 06 Oktober 2012

Pernyataan Sikap Aliansi METRO: "Pekerjakan Kawan Kami Kembali"



Pernyataan Sikap Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi): "Pekerjakan Kawan Kami Kembali"

Konstitusi menjamin hak setiap warga negara dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Begitu pun dengan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Tapi yang dilakukan manajemen Metro TV terhadap jurnalis perempuannya, Luviana, seperti telah membalikkan tatanan nilai itu. Ia dibebastugaskan lantaran menuntut perbaikan kesejahteraan, manajemen ruang redaksi, serta tengah menggagas berdirinya organisasi pekerja yang mampu memperjuangan aspirasi karyawan di perusahaan televisi milik Surya Paloh, seorang pengusaha yang juga pendiri Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan tengah gencar menggaungkan slogan Restorasi Indonesia itu.

Sudah hampir tiga bulan Luviana dibebastugaskan tanpa alasan yang jelas. Manajemen Metro TV yang semula menyatakan Luviana tidak melakukan kesalahan apa pun, baik secara administratif maupun tugas jurnalistik, kini menganggap Luviana telah melakukan kesalahan karena dianggap telah berupaya mereformasi manajemen, mengajak karyawan Metro TV untuk memprotes manajemen, serta telah melakukan pencemaran nama baik karena menceritakan kepada orang lain tentang kasus kesewenang-wenangan yang ia alami. Tak hanya itu, tatkala dukungan publik kepada Luviana semakin deras mengalir, justru secara kasar Luviana malah dirumahkan oleh pihak manajemen Metro TV, bahkan diusir oleh satpam saat akan masuk ke kantor. Ketika ditanya mengapa mengusir Luviana, para satpam menjawab disuruh oleh manajemen Metro TV. Padahal melakukan pembebastugasan karena memprotes soal kesejahteraan, membentuk organisasi dan memprotes tayangan yang tidak sehat di televisi merupakan praktik-praktik yang banyak dilakukan rezim Orde Baru yang anti-demokrasi. Praktik yang sama dilakukan manajemen Metro TV dengan mengekang kebebasan orang untuk berpendapat dan berkumpul serta merupakan tindakan praktik anti-serikat.

Sedangkan menganggap bahwa apa yang dilakukan Luviana telah melakukan pencemaran nama baik tak lebih sebagai tindakan memberangus kebebasan berekspresi. Tindakan lain yang dilakukan Metro TV adalah mengusir Luviana dari tempat kerjanya, yang merupakan praktik kekerasan dan bias dimasukkan dalam kategori tindak pidana kriminal.

Perlakuan yang dialami Luviana mencerminkan betapa rendahnya penghargaan manajemen Metro TV terhadap pelembagaan nilai-nilai hak asasi manusia. Menjadi sangat ironis mengingat Surya Paloh, selaku pemilik MetroTV, selalu gencar mengkampanyekan perubahan Indonesia yang lebih baik melalui gerakan restorasi! Sementara di saat bersamaan, praktik penindasan, kriminalisasi dan perlakuan sewenang-wenang tumbuh subur di perusahaannya.

Kami dari Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi) telah melakukan sejumlah upaya pengaduan ke berbagai instansi negara. Mulai dari Komnas HAM, Komisi IX DPR RI hingga ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun Manajemen Metro TV tak bereaksi.

Di saat bersamaan, perundingan bipartit antara Luviana dan kuasa hukumnya dengan Metro TV menemui jalan buntu. Perusahaan tetap tidak mau mempekerjakan kembali Luviana di bagian redaksi. Ironisnya ketika masalah ini sedang dibicarakan di perundingan tripartit di Sudinakertrans Jakarta Barat, justru Luviana diusir dari tempat kerjanya oleh satpam.

Melihat kondisi tersebut kami yang tergabung dalam Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi), menyatakan sikap:

1. Mengutuk keras keputusan pembebastugasan Luviana sebagai tindakan ilegal dan melanggar HAM.

2. Mengutuk keras pengusiran yang dilakukan oleh satpam di tempat kerja karena melanggar HAM dan tergolong sebagai tindakan kriminal.

3. Menuntut Metro TV untuk memberikan ruang bagi kebebebasan bersuara dan berekspresi kepada seluruh karyawannya.

4. Menuntut Metro TV untuk tidak menghalangi Luviana yang berinisiatif membentuk Perikat Pekerja Metro TV.

Demikian pernyataan sikap dari Aliansi METRO dalam kasus Luviana dan Metro TV. Kami akan selalu berjuang membela jurnalis yang memperjuangkan kesejahteraan, kebebasan berpendapat, berekspresi dan kebebasan berserikat di industri media.

Hidup jurnalis!
Hidup buruh!
Lawan penindasan!

Jumat, 05 Oktober 2012

AJI Sesalkan 'Anak Singkong' Minta Karyawan Mundur

Kebijakan  PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) milik Trans Corporation dan pengusaha Chairul Tanjung yang meminta mundur para jurnalisnya, mendapat sorotan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). AJI meminta perusahaan media menggunakan parameter yang jelas dalam memutuskan hubungan kerja, permintaan mundur atau pensiun dini terhadap pegawainya.

Perusahaan diminta tidak menggunakan alasan hanya dilihat dari satu kali proses assesment. Menurutnya, kebijakan mendesak mundur karyawan bukan jalan satu-satunya untuk memiliki sumber daya manusia yang lebih berkualitas.

"Harusnya dari proses tersebut, yang dilakukan perusahaan adalah peningkatan sumber daya manusia dengan pelatihan atau training agar kinerja pegawai, bukan langsung diminta mundur," ujar Koordinator Divisi Serikat Kerja AJI Indonesia Jojo Raharjo pada merdeka.com, Jumat (6/7).

Dia mengatakan penilaian terhadap karyawan seharusnya berkala, bukan tiba-tiba dilakukan assesment dan akhirnya diminta mengundurkan diri. "Penelusuran kami, permintaan mundur mendadak dan tidak ada sosialisasi," ujarnya.

Jojo menegaskan dari hasil pendampingan yang dilakukan AJI dengan salah seorang pekerja Trans TV, mereka hanya diberi peringatan lisan tanpa ada parameter penilaian yang detail dan jelas. "Mereka mengira dari assesment akan ada perbaikan leadership, training dan lain-lain," katanya.

Menurutnya, kejadian sejenis ini bukan kali pertama terjadi. Untuk meminimalisir terjadinya kejadian serupa, dia mengingatkan agar pegawai media membuat serikat pekerja sebagai alternatif jika kelak menemui perselisihan ketenagakerjaaan.

"Kesadaran berserikat diantara pekerja media belum tinggi. Kesadaran baru muncul saat ada masalah. Serikat kerja itu penting agar masalah ketenagakerjaan dan lainnya bisa diselesaikan secara dialog internal terlebih dahulu," katanya. Serikat Kerja bisa menjadi jembatan untuk untuk menyelesaikan kasus perselisihan antara karyawan dan perusahaan.

Sebelumnya, PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) milik Trans Corporation dan pengusaha Chairul Tanjung atau biasa dipanggil Anak Singkong seperti tertulis di buku biografinya, meminta puluhan karyawannya untuk pensiun dini. Puluhan karyawan yang diminta mundur tersebut berasal dari divisi pemberitaan atau news.

Informasi yang dihimpun merdeka.com, puluhan karyawan tersebut diminta mengundurkan diri dengan alasan rating dan sales turun. Namun secara kumulatif TV yang fokus pada hiburan keluarga ini masih untung. Karyawan yang diminta turun mulai dari eksekutif produser, produser, asisten produser, reporter sampai pada beberapa koresponden di daerah.

"Nanti akan menyusul kembali setelah adanya penilaian kinerja. Ini hal biasa dalam perusahaan dan setiap tahun juga seperti ini. Tapi tidak jadi bahan berita," ujar Kepala Komunikasi Perusahaan Trans TV, Hadiansyah Lubis saat dihubungi merdeka.com. Rabu (4/5).

Dia mengatakan, perusahaan telah melayangkan surat hasil penilaian pada karyawan dan beberapa orang diminta mundur dengan kompensasi sesuai dengan undang-undang tenaga kerja. "Beberapa menerima tawaran ini. Yang lain masih belum dipanggil baru diberikan surat tawaran," katanya. Assessment akan dilakukan juga pada divisi lain dan kemungkinan akan dilakukan hal sama seperti pada divisi news.(mdk/oer)

Kamis, 04 Oktober 2012

Kisah Hidup Pegawai TransTV yang Menyedihkan

Ketika pertama kali aku main-main ke Trans TV di daerah Mampang, Jakarta Selatan, aku melihat ada sesuatu yang menarik. Saat itu aku duduk di Coffee Bean; (persis di kursi sebelah Julie Estelle yang keliatan suntuk nungguin Moreno yang sedang didapuk menjadi komentator liputan Balap Mobil F1 Trans7) sambil nungguin Prabu Revolusi. Dari kursiku, aku bisa memandang begitu banyak orang berseragam hitam hitam berseliweran di lobi utama Trans Corp. Dan aku melihat adanya kebanggaan di wajah mereka semua mengenakan seragam hitam-hitam itu.Kata salah seorang campers (camera-person) Jelang Sore yang aku kenal, tiap karyawan Trans akan merasa bahwa seragam mereka itulah yang mengikat hati mereka dan membuncahkan kebanggaan mereka menjadi karyawan Trans. Terutama bagi anak-anak baru.
 
"Istilahnya, gak usah pake duit asal kamu pake tu seragam pasti bisa dah dipake buat ngelamar anak orang.." katanya.

Aku sendiri melihat bahwa Trans TV memang memiliki citra yang sangat positif sebagai salah satu perusahaan yang paling dituju oleh lulusan S1 setelah mereka lulus kuliah. Masih ingat kan, program rekrutmen Trans TV bulan Januari 2007 yang masuk rekor MURI karena jumlah pesertanya yang mencapai lebih dari 100.000 pelamar..? Itu saja sudah menunjukkan betapa tinggi citra merek Trans TV di mata masyarakat Indonesia. Dengan demikian, mestinya orang-orang berseragam hitam-hitam yang aku lihat di lobi TransCorp memiliki kebanggaan yang besar bisa lolos seleksi dan bekerja di salah satu perusahaan idaman para pencari kerja. Paling tidak, itulah dugaanku semula..

Namun sejak akhir 2007, aku mendengar kabar bahwa banyak karyawan Trans TV yang sudah dan akan mengundurkan diri dalam waktu dekat. Awal 2007, presenter-presenter handal Trans TV seperti Mohammad Rizky Hidayatullah, Tina Talissa, Afaf Bawazier, Budi Irawan, Hanum Rais, dan lain-lain sudah hengkang ke stasiun TV lain, pada akhir 2007 gelombang eksodus itu mengalir lagi. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Dalam empat bulan hingga Desember 2007, jumlah presenter, reporter, campers, dan karyawan produksi Trans TV yang hengkang mencapai lebih dari 60 orang!! Dan yang hengkang bukanlah orang-orang sembarangan..!! 90% dari mereka yang hengkang adalah mereka yang memiliki dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan kinerja yang luar biasa.
 
Mau contoh?

Ratna Dumila, presenter cantik lulusan Fakultas Hukum UNAIR yang sudah digadang-gadang Chairul Tanjung menjadi ikon Trans TV bersama Prabu Revolusi, secara mendadak hengkang ke TV-One. Tidak hanya Mila, yang juga memutuskan ikut dalam gelombang eksodus itu termasuk juga presenter kesayangan pemirsa Trans TV Githa Nafeeza, Reza Prahadian (wartawan kepresidenan Trans TV), Divi Lukmansyah (Koordinator seluruh presenter Trans TV), Iwan Sudirwan (Kepala Divisi – boss besar seluruh program berita Trans TV), bahkan sampai produser Reportase Investigasi yang menghasilkan liputan-liputan luar biasa tentang tahu berbahan formalin, bakso daging tikus, atau obat-obatan daur ulang. Bayangkan kalau 60 orang dengan kualitas sehebat itu kemudian pindah dalam waktu yang hampir bersamaan..!! Dan gelombang eksodus itu bahkan masih berlanjut sampai Maret 2008, meskipun jumlah yang keluar tidak sebanyak tahun 2007. Tapi, bila ditotal, jumlah mereka yang memutuskan untuk hengkang dari Trans TV sejak tahun 2007 sampai dengan Maret 2008 mencapai hampir 100 orang. Buatku, itu suatu jumlah yang luar biasa..!!!

Kedekatanku dengan beberapa reporter, presenter, dan campers Trans TV memungkinkan aku untuk bertanya-tanya pada mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka semua menyampaikan jawaban yang senada, yaitu bahwa mereka merasa bahwa Trans TV kurang memberikan penghargaan atas apa yang mereka lakukan buat perusahaan. Dedikasi dan loyalitas yang mereka berikan ternyata tidak disambut dengan sepadan oleh perusahaan. Hal ini membuat kebanyakan orang-orang terbaik Trans TV memilih untuk hengkang, meskipun kenyamanan atmosfir kerja di Trans TV masih belum bisa ditandingi oleh stasiun TV lainnya di Indonesia.

Dengan informasi sebatas itu, saat itu aku masih bertanya-tanya. Karena menurutku, biasanya orang-orang media, apalagi yang memiliki kinerja yang bagus, kebanyakan lebih mementingkan kondisi kerja yang kondusif. Kenyamanan lingkungan kerja bagi pekerja profesi, biasanya, jauh lebih penting dibandingkan penghargaan, apalagi penghargaan berupa uang.Jadi, aku merasa bahwa mestinya ada hal lain yang membuat orang-orang terbaik Trans TV hengkang dan mencari pelabuhan baru pada waktu yang hampir bersamaan. Baru pada awal bulan lalu aku menemukan jawabnya. Dari perbincangan dengan beberapa orang teman Trans TV, aku menemukan sesuatu yang sangat menarik. Sekaligus mengherankan. Ternyata di antara Stasiun TV swasta nasional lain di Indonesia, Trans TV adalah stasiun TV yang menawarkan penghasilan PALING RENDAH. Bahkan, standar gaji Trans TV setara dengan standar gaji stasiun TV lokal seperti Banten-TV atau JTV..!!

Ingat, program rekrutmen Trans TV Januari 2007 yang masuk MURI yang tadi sempat aku singgung? Mereka yang direkrut dari program itu menerima take home pay Rp 1.500.000,- plus uang makan Rp 10.000 per hari masuk. Pernah lihat iklan rekrutmen presenter, reporter, dan campers yang dilaksanakan di kampus-kampus di Surabaya (UNAIR), Yogyakarta (UPN), Bandung (UNPAD) pada bulan April 2008? Mereka yang lolos rekrutmen itu akan (masih rencana nih…) menerima take home pay Rp 1.700.000,- plus uang makan Rp 10.000 per hari masuk. Mereka yang memiliki jatah sebagai presenter acara di TV, seperti Prabu Revolusi (Reportase Sore dan Reportase Investigasi), Ryan Wiedaryanto (Reportase Sore dan Reportase Akhir Pekan), atau Sharah Aryo (Jelang Sore) lebih beruntung. Karena mereka juga mendapat honor presenter, yaitu kurang lebih Rp 70.000 untuk sekali tampil.

Aku begitu kagetnya mendengar informasi itu. Terbayang olehku ketika aku ikut proses liputan Jelang Sore di Surabaya dan Bandung yang begitu melelahkan. Dan untuk itu hanya mendapat penghasilan segitu..?? Pantaskah..??? Gak usah bilang pantas atau tidak pantas deh. Cukupkah untuk hidup..??? Uang kos di daerah Mampang berkisar Rp 600.000 sebulan dengan fasilitas minimal dan langganan banjir, buat beli makan malam kurang lebih Rp 15.000 sekali makan di warung sederhana, belum buat beli pulsa HP, buat transpor ojek yang Rp 5000 dari tempat kos ke kantor Trans TV, buat sekedar jajan atau nonton kalo lagi malam mingguan. Berapa yang masih tersisa dan cukup untuk ditabung…???

Bukan cuma itu. Dari informasi itu pula, aku jadi tahu bahwa take home payyang notabene tinggal di Jakarta) ternyata masih lebih rendah dibandingkan take home pay rata-rata PNS dosen Universitas Airlangga..!!!

Aku tak mampu berkata apa-apa. Karena aku jadi langsung tahu, sangat rasional kalau seorang presenter berita Trans TV yang sudah cukup senior dengan take home pay berkisar Rp 2,5 juta sampai 3 juta per bulan langsung memutuskan untuk pindah begitu ditawari oleh TV-One take home pay tiga kali lipatnya. Seorang presenter berita Trans TV dengan gaji sebesar Rp 2,5 – 3 juta sebulan masih punya kewajiban untuk turun ke lapangan melakukan liputan seharian penuh, kembali ke kantor untuk mengedit liputannya sekaligus melakukan VO (Voice Over atau Dubbing), lalu menyiapkan materi liputan besok atau bersiap-siap tampil menyajikan berita, dan baru pulang ke rumah pukul 21 untuk kembali masuk pukul 8 pagi esok harinya. Kebayang gak, gimana kehidupan presenter atau reporter Trans TV yang sudah berkeluarga..? Dengan jam kerja yang begitu panjang, deadline yang begitu ketat, dan penghasilan yang begitu seadanya, apa yang dapat mereka berikan dengan layak untuk istri dan anak mereka..? Seorang karyawan dengan loyalitas dan dedikasi tinggi sekalipun pasti akan terpaksa berpikir rasional dan menerima tawaran lain yang lebih manusiawi. Mungkin saja mereka tidak akan dapat merasakan suasana kerja yang senyaman di Trans TV, tapi aku yakin mereka akan dapat menerimanya (dengan terpaksa) demi tuntutan hidup yang harus mereka penuhi.Aku bisa memahami itu semua kini, mengapa begitu banyak orang-orang hebat Trans TV yang memilih untuk mencari tempat yang baru.

Money is not everything, but sometimes without money everything is nothing..

Sangat manusiawi apabila mereka-mereka yang memiliki kinerja yang bagus dan dedikasi serta loyalitas yang tinggi harus takluk pada kebutuhan yang paling mendasar yaitu uang. Tapi, ada satu hal yang masih menggelitik pikiranku. Aku pernah membaca di majalah SWA pada edisi yang membahas tentang para eksekutif muda dan eksekutif yang diburu oleh headhunters (para pencari, pemburu, dan pembajak tenaga kerja level eksekutif dari perusahaan lain). Di artikel itu, tertulis bahwa dua pucuk pimpinan Trans TV, yaitu Ishadi SK dan Wishnutama adalah dua eksekutif yang menerima take home pay lebih dari Rp 100 juta per bulan. Mengingat struktur organisasi Trans TV yang cenderung flat, ketimpangan ini membuatku kembali bertanya-tanya….   Apa yang sebenarnya terjadi…??

Rabu, 03 Oktober 2012

'Anak Singkong' Minta Mundur Puluhan Karyawan Televisinya

PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) milik Trans Corporation dan pengusaha Chairul Tanjung mendesak puluhan karyawannya untuk pensiun dini. Puluhan karyawan yang diminta mundur tersebut berasal dari divisi news.

Informasi yang dihimpun merdeka.com, puluhan karyawan tersebut diminta mengundurkan diri dengan alasan rating dan sales turun. Namun secara kumulatif TV yang fokus pada hiburan keluarga ini masih untung. Karyawan yang diminta turun mulai dari eksekutif produser, produser, asisten produser, reporter sampai pada beberapa koresponden di daerah.

"Nanti akan menyusul kembali setelah adanya penilaian kinerja. Ini hal biasa dalam perusahaan dan setiap tahun juga seperti ini. Tapi tidak jadi bahan berita," ujar Kepala Komunikasi Perusahaan Trans TV, Hadiansyah Lubis saat dihubungi merdeka.com. Rabu (4/5).

Dia mengatakan, perusahaan telah melayangkan surat hasil penilaian pada karyawan dan beberapa orang diminta mundur dengan kompensasi sesuai dengan undang-undang tenaga kerja. "Beberapa menerima tawaran ini. Yang lain masih belum dipanggil baru diberikan surat tawaran," katanya. Assessment akan dilakukan juga pada divisi lain dan kemungkinan akan dilakukan hal sama seperti pada divisi news.

Satrio Arismunandar salah seorang dari sekitar 25 karyawan yang diminta mundur mengatakan dia masih melakukan negosiasi atas tawaran dari perusahaan. Paling tidak perseroan memberi batas waktu sampai 1 Agustus mendatang bagi karyawan yang diminta mundur. "Ada 25 orang di divisi pemberitaan yang ditawari pengunduran diri. Ada yang menerima, ada yang pikir pikir," kata Satrio.

Dia mengatakan, permintaan mundur oleh manajemen karena secara kinerja dinilai kurang produktif. Namun, alasan ini masih bisa dipertanyakan oleh karyawan. "Ini dari hasil assessment yang dilakukan perseroan. Pastinya beberapa orang juga tidak merasa kinerjanya buruk," ujar dia.

Dari informasi yang diterima merdeka.com, Chairul Tanjung atau biasa dipanggil Anak Singkong seperti tertulis di buku biografinya juga mempertanyakan banyaknya koresponden di daerah bahkan lebih banyak dari Trans 7. Karena itu, Ketua Komite Ekonomi Nasional ini juga meminta beberapa orang koresponden untuk pensiun dini. "Saya tidak tahu orang-orangnya siapa. Karena masih ada beberapa orang liputan di luar kota juga diminta mundur," kata Satrio.(mdk/has)

Selasa, 02 Oktober 2012

SP SCTV Akan Membawa Kasus Outsourcing ke PHI

Setelah sempat diulur-ulur dengan strategi mediasi yang tak berujung, akhirnya pengurus SP SCTV akan membawa kasus pengalihan paksa 41 staf GA menajdi buruh outsourcing ke PHI. Menurut para buruh, mediasi yang dilakukan pengacara dari EMTK (yang mewakili SCTV) dianggap mubajir dan sekadar memperparah kondisi ekonomi para buruh yang hanya mengandalkan gaji bulan yanang tak seberapa.
Di beberapa akun facebook milik para staf SCTV juga digelorakan semangat untuk bersabar dan kesiagaan untuk melakukan aksi massal, dengan menggerakkan para buruh sejabotabek ke kantor SCTV di Senayan City. Tujuannya adalah meminta pihak manajemen SCTV segera sadar akan kekeliruannya, yaitu memindahkan status karyawan secara paksa dan sepihak, menskorsing secara sepihak, dan membuat kehidupan para buruh makin terpuruk.

Selain itu para pengacara dari Aspek Indonesia juga akan menempuh arbitrase untuk menyelesaikan konflik perburuhan tersebut. Mereka akan segera mendaftarkan persoalan tersebut ke PHI, jika pihak SCTV tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan konflik.