Selasa, 25 Desember 2012

SP SCTV Pertanyakan PHK Sepihak Terhadap Jurnalis Liputan 6


Pengurus Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) akan mempertanyakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan manajemen SCTV terhadap seorang jurnalis Liputan 6. Demikian ditegaskan oleh Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda di Jakarta, Senin (24/12).

"SCTV kembali memperlihatkan arogansi dan kesewenang-wenangannya dengan mengirimkan surat PHK, bahkan tanpa melalui prosedur yang semestinya," tegas Agus. "PHK hanya bisa dilakukan setelah dilakukan perundingan secara bipatrit, tripatrit, dan peradilan di PHI."

Sejauh ini, Agus menjelaskan, tim advokasi SP SCTV bersama LBH Aspek Indonesia telah menyiapkan berbagai bahan untuk menghadapi perundingan dengan pihak manajemen SCTV. "SCTV terlalu gegabah, padahal kasus dengan 40 karyawan yang dipaksa beralih status menjadi karyawan outsourcing belum selesai dan tengah bersiap-siap memasuki PHI," katanya.

PHK yang dilakukan terhadap jurnalis Liputan 6 itu, tambah Agus, belum memiliki ketetapan hukum. "Lucunya, SCTV telah menghentikan pembayaran upah dan tidak memberikan pesangon sepeser pun," tegas Agus. 

Menurut Agus, tindakan yang dilakukan pihak manajemen SCTV membuktikan tiga praktik klasik, yakni diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK. Bahkan, katanya, kali ini hal itu dilengkapi menjadi PHK secara sepihak dan tanpa pesangon sepeser pun.

Di tempat terpisah Sekjen DPP Aspek Indonesia Sabda Pranawa Djati menyayangkan tindakan semena-mena manajemen SCTV terhadap karyawannya. "Ini membuktikan, HRD SCTV memang jorok dan kasar, serta sama sekali tidak mencitrakan sebagai media yang bermartabat," tegasnya.

Karena itu, tambah Sabda, DPP  Indonesia akan memberikan dukungan penuh kepada setiap anggota SP SCTV yang bersengketa dengan manajemen SCTV. "Bahkan, kalau perlu, kita kembali menggelar aksi massa di Senayan City!" katanya.

Sumber:


Senin, 17 Desember 2012

Serikat Pekerja Media, Kekerasan Simbolik, dan Prospek Masa Depan


Perkembangan industri media dan teknologi informasi di Indonesia saat ini sangat pesat. Industri media kita sudah memasuki era konvergensi media dan digitalisasi. Meski demikian, tetaplah bahwa unsur terpenting dalam industri media adalah manusia, yaitu pekerja medianya. Pekerja di industri media dituntut memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, yang dinamis dan selalu berubah cepat. Jika pekerja media mengabaikan atau tidak tanggap dengan tuntutan lingkungan, dinamika perubahan ini akan menggilas mereka.

Agar pekerja media bisa bertahan menghadapi berbagai tantangan lingkungan, mereka harus kompak dan bersatu. Untuk itu, mereka membutuhkan wadah perjuangan bersama, yakni serikat pekerja media, atau lebih spesifik lagi: serikat jurnalis.

Serikat jurnalis bukanlah sesuatu yang bersifat eksternal bagi kerja jurnalis, tetapi justru menjadi bagian penting dari kerja jurnalis itu sendiri. Serikat (union) secara sederhana bermakna “bersama-sama” atau sekumpulan orang yang bekerjasama, dengan kesadaran bahwa lewat berkumpul bersama itu mereka akan jadi lebih kuat ketimbang sendiri-sendiri.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan: “Serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”

Serikat pekerja media bukan sekadar penting bagi peningkatan kesejahteraan, tetapi juga penting bagi kebebasan pers. Pertama, karena jurnalisme yang kuat dan bebas tidak akan terwujud, manakala para jurnalisnya sendiri hidup dalam keadaan tidak sejahtera dan ketakutan.

Kedua, karena hanya melalui serikat pekerja media yang independen, para jurnalis akan memiliki penyuara yang bisa bicara untuk kepentingan mereka. Sedangkan, penyuara itu sendiri tidak tergantung pada pemerintah atau pun majikan yang mempekerjakan mereka.

Ketiga, karena hanya melalui serikat pekerja media, para jurnalis dapat mengembangkan rasa aman. Yakni, suatu perasaan bahwa mereka memiliki perlindungan yang nyata bagi semua rekan sekerjanya.

Secara singkat, keberadaan serikat pekerja jurnalis berkaitan dengan satu hal: rasa hormat. Yaitu, rasa hormat terhadap diri sendiri sebagai individu, rasa hormat terhadap profesi dan kerja jurnalisme yang dilakukan, serta rasa hormat dari publik, pemerintah, dan pihak majikan.

Pertumbuhan yang Lamban dan Sentralistik

Serikat pekerja media di Indonesia mulai berkembang sejak runtuhnya rezim Orde Baru, yang represif terhadap aspirasi pekerja dan sering membungkam kebebasan pers. Karena merupakan fenomena baru, data tentangnya masih langka. Sebagian besar data dalam tulisan ini berasal dari hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan ACILS (American Center for International Labor Solidarity) tahun 2005-2006.

Sejak 1980-an, sebenarnya Majalah Tempo sudah membentuk serikat pekerja, tetapi tidak banyak diikuti media lain. Sebagian besar serikat pekerja media berdiri pasca 1998, setelah tumbangnya rezim Soeharto. Mereka memanfaatkan iklim kebebasan berserikat yang mulai muncul. Tahun 2006, di seluruh Indonesia tercatat ada 28 serikat pekerja media, dan 20 di antaranya berdiri pasca 1998.

Sedangkan, menurut data yang dimiliki Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) dan AJI, pada September 2012 tercatat ada 34 serikat pekerja media. Komposisinya sebagai berikut: 23 di media cetak, 5 di media televisi, 2 di media radio, 2 di media online, dan 2 di kantor berita (Lembaga Kantor Berita Nasional Antara dan Kantor Berita Radio 68H).

Jadi, memang ada pertumbuhan serikat pekerja media dari segi kuantitas. Tetapi jika dalam enam tahun hanya bertambah enam serikat pekerja (bila dirata-rata, berarti tiap tahun hanya bertambah satu serikat), bisa dibilang belum ada peningkatan yang signifikan.

Dari 2006 sampai 2012, mayoritas serikat pekerja media tetap didominasi oleh serikat pekerja yang berbasis di media cetak. Maraknya industri media televisi, radio berita, dan munculnya banyak media online, ternyata tidak diikuti pendirian serikat pekerja media di tempat masing-masing.

Pertumbuhan serikat pekerja media juga sangat sentralistik dan hanya berpusat di Pulau Jawa. Pada 2006, tercatat hanya di Makassar dan Medan, dua kota di luar Pulau Jawa, yang mempunyai serikat pekerja media. Pada 2012, serikat pekerja media sudah berdiri di Aceh, Medan, Pontianak, Palu, Lampung, dan Bali. Berarti, ada perluasan wilayah tempat domisili serikat pekerja media.

Tetapi, dari 34 serikat pekerja media itu, 23 serikat pekerja atau 68 persennya berbasis di Jawa. Hal ini barangkali karena Pulau Jawa, dengan kepadatan dan jumlah penduduknya yang sekitar 60 persen dari total penduduk Indonesia, memang merupakan pusat bisnis media massa. Maka masuk akal, jika mayoritas serikat pekerja media juga berada di pulau Jawa, mengikuti keberadaan kantor medianya.

Pembentukan serikat pekerja media tampaknya tidak punya korelasi langsung dengan buruknya kondisi wartawan. Buktinya, sebagian besar serikat pekerja justru berbasis di Jakarta, dan dari media yang sudah mapan pula, yang berarti kesejahteraan wartawannya relatif lebih baik. Seperti, serikat pekerja media di Harian Kompas, Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Tabloid Kontan, Majalah Tempo, Media Online detik.com, ANTV, dan SCTV.

Sementara pada media di luar Jawa, yang hidupnya tidak mapan, justru sedikit serikat pekerja. Padahal, justru di sana terdapat banyak masalah ketenagakerjaan, berkaitan dengan gaji dan fasilitas wartawan yang minim.

Pendirian serikat pekerja media tampaknya lebih terkait dengan kesadaran dari para wartawan sendiri. Karyawan media di Jakarta relatif mempunyai kesadaran lebih tinggi untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka, melalui organisasi serikat pekerja.

Cara Menghambat Serikat Pekerja Media

Mengapa pertumbuhan serikat pekerja media begitu lamban? Ada beberapa alasan. Pertama, ada persepsi keliru bahwa orang yang mendirikan media dianggap mempunyai idealisme dan tujuan luhur, jauh dari pertimbangan bisnis ekonomis. Media disebut-sebut sebagai pilar keempat pendukung demokrasi. Sehingga, ketika ada usulan membentuk serikat pekerja, seringkali tidak mendapat tanggapan positif.

Padahal kenyataannya, para pemilik media (umumnya mereka yang tidak punya latar belakang sebagai wartawan) lebih berorientasi profit. Media miliknya diperlakukan sama dengan bisnis lain, sehingga kelayakannya hanya diukur dari nilai ekonomi: rating, tiras, dan pendapatan iklan yang masuk.

Kedua, banyak wartawan dininabobokkan atau terkecoh dengan konsep atau kebanggaan palsu "kaum profesional", yang dianggap berstatus lebih tinggi daripada pekerja kasar (pekerja kerah biru), seperti buruh pabrik, pekerja bangunan, kuli, tukang, sopir angkot, dan sebagainya. Serikat pekerja dianggap bukan jatah untuk "kaum profesional", tetapi hanya cocok untuk para pekerja kasar. Akibatnya, ajakan untuk bergabung di serikat pekerja media dipandang akan menurunkan status kebanggaan mereka sebagai "kaum profesional".

Ketiga, adanya ketidaksukaan dan hambatan dari pemilik media terhadap usaha-usaha untuk mendirikan serikat pekerja. Hambatan itu seringkali tidak bersifat terang-terangan, karena bisa memancing gugatan. Pemilik media tahu, mendirikan serikat pekerja adalah hak pekerja yang dijamin undang-undang. Maka pemilik media melakukan berbagai bentuk “kekerasan simbolik” yang secara tersirat bisa dimengerti oleh para pekerja bahwa keberadaan serikat pekerja itu sebenarnya tidak disukai.

Kekerasan simbolik bukanlah bentuk kekerasan yang vulgar dan nyata terlihat, tetapi ia dikemas sedemikian halus sehingga seolah-olah itu adalah hal yang wajar dan alamiah. Bahkan dalam banyak kasus, korban kekerasan simbolik ikut berpartisipasi dalam mewujudkan terjadinya kekerasan tersebut, tanpa ia sadari.

Kekerasan simbolik itu, misalnya, menciptakan konflik di antara sesama pekerja media, melalui perlakuan pilih kasih yang tidak berdasarkan prestasi kerja. Pekerja media yang loyal, patuh, dan mengikuti saja semua kemauan pemilik media, akan dipromosikan dan diperlakukan lebih baik, dari segi posisi jabatan, gaji, bonus, kesempatan bertugas ke luar negeri, dan lain-lain. Sedangkan, pekerja media yang mendukung pembentukan serikat pekerja biasanya diperlakukan lebih buruk, tidak diberi posisi jabatan yang strategis, serta kariernya dihambat. Maka muncul suasana ketidakpercayaan dan saling curiga di antara sesama pekerja.

Bentuk lain kekerasan simbolik itu adalah mengembangkan opini di lingkungan perusahaan bahwa keberadaan serikat pekerja justru akan merusak kinerja perusahaan, menciptakan konflik yang tidak perlu antara pimpinan dan bawahan, serta merusak "hubungan baik yang bersifat kekeluargaan" antara pemilik media dan karyawan.

Para pendukung serikat pekerja digambarkan sebagai orang radikal yang tidak produktif, yang menentang pemilik media untuk kepentingan pribadi. Mereka dipandang sebagai orang yang keberadaannya bisa membahayakan kelangsungan hidup perusahaan, dan dengan demikian mengancam nasib para pekerja lain yang "baik-baik." Pengembangan opini negatif semacam ini membuat para pendukung serikat pekerja jadi terkucil, dan menyulitkan mereka dalam menggalang dukungan.

Karena berbagai faktor itulah, banyak serikat pekerja media yang baru berdiri sesudah timbulnya masalah dalam perusahaan. Ketika perusahaan media sedang sehat, gaji sedang tinggi, karyawan tidak tergerak untuk mendirikan serikat pekerja. Tetapi ketika ada tanda-tanda perusahaan sedang menuju kebangkrutan, atau ada rencana restrukturisasi yang diikuti oleh pemecatan besar-besaran, karyawan baru sadar akan posisinya yang lemah dan tergerak untuk mendirikan serikat pekerja.

Fokus Garapan Serikat Pekerja Media

Paling tidak, ada tiga fokus garapan yang dikerjakan oleh serikat pekerja media. Pertama, serikat pekerja yang hanya mengurusi soal kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Misalnya, soal biaya pengobatan karyawan yang sakit, biaya yang mau menikah, arisan, kredit rumah atau sepeda motor, dan sebagainya. Namun kalau terjadi konflik antara pekerja dengan perusahaan, serikat pekerja media tidak ikut campur. Penyelesaian konflik diserahkan kepada aturan perusahaan yang berlaku. Serikat pekerja semacam ini bisa berbentuk koperasi dan hanya mengurusi kesejahteraan karyawan.

Kedua, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada hubungan antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Fokusnya pada hubungan karyawan dengan perusahaan, karena di perusahaan media itu sudah ada koperasi karyawan yang mengurusi soal kesejahteraan. Serikat pekerja ini tidak mengurusi soal arisan atau kredit sepeda motor, tetapi akan bergerak kalau ada pemecatan, jika ada anggota yang tidak digaji secara layak, atau ada ketidakpuasan terhadap kondisi kerja, atau berbagai hal yang menyangkut hubungan antara karyawan dan perusahaan.

Serikat pekerja model ini berfungsi sebagai mediator antara kedua belah pihak, serta menjembatani masalah yang timbul antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Ada kalanya, selain fokus menggarap bidang ini, serikat pekerja juga melakukan kegiatan pelatihan dan pendidikan jurnalistik untuk wartawan.

Ketiga, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada isu-isu strategis perusahaan. Ini berlaku di perusahaan media yang karyawannya juga memiliki saham (kolektif) di perusahaan. Landasan berpikirnya, karena karyawan ikut memiliki saham seharusnya karyawan juga ikut menentukan keputusan-keputusan strategis yang diambil perusahaan.

Serikat pekerja tidak cukup hanya mengurusi karyawan, tetapi juga ikut duduk dengan direksi lain untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Dengan kata lain, serikat pekerja ikut bermain dalam tataran politis di perusahaan, termasuk menyetujui atau tidak menyetujui pimpinan suatu perusahaan. Contoh seperti ini pernah terjadi pada serikat pekerja media di Kantor Berita Antara.
Berdasarkan pengamatan sekilas, penulis melihat serikat pekerja media masih memiliki potensi yang besar untuk digarap dan dikembangkan. Hal ini bisa dilakukan jika serikat pekerja media tidak mengungkung diri dalam cangkang terbatas sektor media, tetapi menjalin kerjasama, koordinasi, dan aliansi dengan serikat pekerja di sektor-sektor non-media.

Untuk menuju hal ini, para aktivis serikat pekerja media harus mampu membuang "kebanggaan palsu" dan keterkungkungan sebagai "kaum profesional", yang telah memencilkan mereka dari gerakan buruh yang lebih luas dan lebih besar. "Kebanggaan palsu" semacam itu memang disosialisasikan, bahkan didorong oleh pemilik media atau pihak-pihak, yang memang sejak awal tidak ingin melihat perkembangan dan kemajuan serikat pekerja media.

Hanya dengan cara membebaskan diri dari keterkungkungan sektoral, dan menempatkan diri sebagai bagian dari gerakan buruh yang lebih besar, serikat pekerja media akan memiliki posisi tawar yang lebih besar di hadapan pemilik media. Sehingga, dengan demikian, serikat pekerja media juga bisa memperjuangkan independensi redaksi, serta pemberian durasi dan ruang di media bagi konten-konten yang mencerdaskan dan mendidik, yang selama ini sering dikalahkan oleh konten-konten "sampah", yang dilandasi oleh orientasi profit ekonomi semata-mata.

Keberadaan serikat pekerja media tetap dibutuhkan, bahkan mungkin kebutuhan itu lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena industri media di dunia dan di Indonesia sedang menjalani masa peralihan yang besar. Seperti terlihat dari munculnya jenis-jenis media baru, konvergensi media, digitalisasi, dan sebagainya. Dinamika perubahan ini menimbulkan ketidakpastian pada nasib pekerja media, dan sudah menjadi tugas serikat pekerja media untuk memperjuangkannya. Merdeka![Satrio Arismunandar]

Kamis, 13 Desember 2012

SP SCTV Dukung Buruh Telkomsel


Serikat Pekerja (SP) SCTV kembali menunjukkan solidaritasnya terhadap sesama buruh dengan ikut melakukan aksi unjuk rasa di halaman kantor Telkomsel di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (12/12). Aksi kali ini dimaksudkan, untuk mendukung para buruh PT Telkomsel (Sepaham) yang menuntut hak normatifnya.
Selain para pengurus dan anggota SP SCTV, aksi tersebut juga dihadiri para pengurus Aspek Indonesia, LBH Aspek Indonesia, dan perwakilan dari sejumlah serikat pekerja yang berafiliasi kepada Aspek Indonesia.

Sumber:

Kamis, 06 Desember 2012

Luviana: Jurnalis Harus Sadar Bahwa Mereka Adalah Kelas Buruh

Sejak diangkat sebagai asisten produserlah, kegelisahan Luviana bermula. Kala itu medio 2007. Jurnalis Metro TV ini melihat kebrobrokan yang terjadi pada manajemen redaksi merugikan dirinya dan pekerja lainnya. Dimulai dari penilaian sistem kerja yang tidak objektif, manajemen redaksi yang berantakan, pelarangan adanya serikat pekerja, tidak membudayanya sistem evaluasi yang baik, pertimbangan pemberian gaji yang tidak adil, hingga rendahnya kesejahteraan karyawan. Tak hanya itu, Luviana juga mengkritik pemberitaan yang tidak sensitif gender.

Alih-alih direspons positif, perjuangannya malah berbuah pahit: Luviana diminta mundur dari pekerjaannya pada 31 Januari 2012. Disodori surat pengunduran diri dan uang pesangon, Luviana menolak menandatanganinya. Alasannya: manajemen tidak bisa menyebutkan kesalahan yang diperbuatnya.
 
Hari ini, sudah hampir sepuluh bulan ibu dari Savana Candid Nusantara ini, melakukan upaya advokasi agar bisa dipekerjakan kembali. Dengan didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, yang kemudian bersama dengan puluhan organisasi membentuk Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi) dan Aliansi Sovi (Solidaritas Perempuan untuk Luviana), Luviana telah menggelar serangkaian upaya seperti melaporkan kasusnya ke Komnas HAM, Komisi IX DPR RI, Polda Metro Jaya, hingga ke Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Luviana juga sudah menemui Surya Paloh di kantor Nasdem, yang menjanjikannya agar dipekerjakan kembali. Tapi janji tinggallah janji, karena pada 27 Juni 2012, surat PHK justru dilayangkan kepada Luviana.

Pada 18 November 2012 yang lalu, selama seminggu Luviana dan kawan-kawan menggelar aksi diam di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, sambil mengkampanyekan stop menonton Metro TV pada 25 November 2012, tepat pada hari jadi perusahaan televisi tersebut. Kepada Indah Wulandari dan Roy Thaniago dari Remotivi, alumnus Jurnalistik Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini menyempatkan diri untuk membagikan kisah perjuangannya di kantor Remotivi. Permintaan off the record, terutama yang menyangkut nama orang, dimohon Luviana di beberapa bagian wawancara santai sehabis maghrib ini.
 
Sejak kapan Anda bekerja di Metro TV?
2002. Posisi pertama kali sebagai reporter, lalu naik menjadi asisten produser. Setelah itu jadi asisten produser selamanya.
 
Bagaimana kriteria seorang reporter dapat diangkat menjadi asisten produser?
Tidak ada kriteria apa pun. Itu yang kami protes.
 
Berapa lama Anda menjadi asisten produser?
Dari 2007 hingga saya disuruh mundur pada 2012. Kami justru mempertanyakan hal itu, karena penilaian kerja dan jenjang karir nggak pernah ada. Ketika kami mempertanyakannya, itu dianggap menentang.
 
Apa yang sebenarnya Anda perjuangkan?
Bekerja kembali.
 
Konteks lebih luasnya?
Reformasi manajemen: memperbaiki sistem manajemen yang buruk, teman-teman mendapatkan penilaian yang fair, hak, fasilitas, tunjangan gaji, kesejahteraan, sistem evaluasi, dan bebas untuk bicara. Tujuan kami selanjutnya adalah membuat serikat pekerja. Selama ini, banyak teman yang menganggap Surya Paloh adalah tokoh yang selalu mengagungkan demokrasi, tetapi ternyata dari pengalaman ini, jauh sekali yang dari yang dibayangkan.
 
Selama ini tidak pernah ada serikat pekerja di Metro TV?
Nggak pernah ada. Berdasarkan pengalaman teman-teman di Media Group, yaitu Media Indonesia, Lampung Post, juga Metro TV, keinginan untuk membuat serikat pekerja selalu gagal.
 
Apakah hal yang sama terjadi di perusahaan TV lain?
Sebenarnya serikat pekerja yang paling genuine itu di (majalah) Tempo. Serikat pekerja mereka berdiri pada 1978. (Serikat pekerja media) lainnya, (kelahirannya) harus penuh perjuangan. Kalau di televisi, sepertinya RCTI sudah ada. Indosiar dan SCTV juga penuh perjuangan untuk mendirikannya.
 
Sejauh mana keterlibatan organisasi yang selama ini mendampingi upaya advokasi Anda?
Perannya besar sekali. Apalagi teman-teman buruh. Mereka membuat saya tidak merasa sendirian. Jadi, kalau terjadi sesuatu, ada banyak orang yang mendukung. Ada banyak orang yang melihat. Semua mendukung dengan caranya sendiri-sendiri, termasuk yang mendukung melalui Twitter dan Facebook. Banyak teman di Metro TV mendukung namun sulit kondisinya karena mereka berada di dalam. Untuk koordinasi, kami selalu melakukan rapat secara rutin. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta sebagai motornya.
 
Apa sebenarnya hak-hak jurnalis secara khusus?
Jurnalis itu tidak dikhususkan. Mereka masuk dalam Undang-Undang Tenaga Kerja. Jadi, hak mereka sama dengan hak buruh. Termasuk dalam hal gaji dan yang lainnya.
 
Bagaimana tingkat kesejahteraan jurnalis televisi kita?
Sebenarnya AJI sudah mengeluarkan Upah Layak Jurnalis setiap tahunnya. Upah ini diperuntukkan secara personal, belum termasuk tunjangan untuk yang sudah berumah tangga. Dari beli odol, pembalut, sabun, semua dihitung. Tapi itu sudah tidak relevan dengan gaji teman-teman. Tidak pernah relevan. Upah Layak terakhir itu Rp 5,2 juta dan ini untuk jurnalis lajang. Dan gaji saya dari Metro TV sebesar Rp 5,2 juta per bulan. Belakangan naik Rp 300 ribu. (Jadi totalnya) Rp 5,5 juta selama 10 tahun (bekerja) untuk saya yang sudah berumah tangga.
 
Apakah hal ini terjadi pada stasiun televisi lain?
Saya ambil data dari survei Upah Layak Jurnalis AJI tahun 2012: dari stasiun televisi milik konglomerat media nasional, misalnya, bahkan hanya diberikan upah tidak sampai Rp 3 juta per bulan. Bahkan pernah terjadi PHK besar-besaran di Indosiar hingga 148 orang atas alasan efisiensi. ANTV pun begitu. Kalau di SCTV, para karyawan tetap dijadikan outsourcing. Mereka pun mengadu ke Komnas HAM dan KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia).

Lantas, bagaimana peran regulasi dalam melindungi hak-hak jurnalis?
Undang-Undang Tenaga Kerja tidak pernah spesifik menyebutkan hak jurnalis.
 
Perlukah adanya pembedaan antara jurnalis dan pekerja lainnya?
Tidak. Yang saya perjuangkan bukan jurnalis, tapi semuanya. Hak-hak pekerja.
 
Apa konsekuensi pembedaan tersebut?
Saya tidak setuju pembedaan. Jurnalis itu kan tidak istimewa.
 
Soal Undang-Undang Tenaga Kerja yang sekarang?
Ada beberapa hal yang harus direvisi dalam undang-undang ini. Misalnya, durasi jam kerja, jam kerja malam untuk perempuan, perlu diadakannya ruangan untuk menyusui, dan sebagainya. Sebenarnya sudah diatur, tapi terkadang tidak relevan lagi. Di Indonesia ini, pengusahanya cuek, pemerintahnya membiarkan. Semestinya banyak yang harus disidak (inspeksi mendadak) pemerintah. Outsourcing, misalnya.
 
Banyak pekerja perusahaan media lain yang memiliki kasus serupa dengan Anda, namun tidak semua dari mereka berani terbuka.
Nah, ini yang menurut saya agak ganjil. Jurnalis itu kan orang yang paling gagah di depan, orang yang tahu informasi paling pertama dan mengabarkannya. Mereka bisa menuliskan segala macam hal, dari ekonomi-moneter hingga pelanggaran HAM. Tapi ketika ada persoalan riil di depannya, temannya di-PHK misalnya, mereka nggak ngapa-ngapain. Itu yang kemudian membuyarkan pikiran saya yang menganggap bahwa teman-teman jurnalis pintar. Mereka jadi orang paling berani ketika menulis berita, tapi (menjadi) orang paling takut menghadapi kenyataannya (sendiri). Seperti para laki-laki yang mengaku feminis. Mereka banyak bicara soal keadilan perempuan di panggung dan orasi politik, tapi di rumah, mereka melakukan kekerasan terhadap anak dan istrinya. Saya kini mengalami degradasi (motivasi) untuk bekerja kembali sebagai jurnalis atau tidak. Persoalannya personal. Bayangkan, saya sudah sepuluh tahun di Metro TV dan dikuyo-kuyo, disia-siakan begitu saja. Tidak dianggap manusia. Diusir satpam, tidak digaji. “Ah, biarin aja. Luvi? Ah, kecil,” begitu kata manajemen Metro TV.
 
Apakah profil jurnalis “pendiam” seperti demikan sudah mengakar lama?
Menurut penelitian AJI begitu. Ini sudah lama. Hal itu juga (yang merupakan) salah satu faktor mengapa serikat pekerja media itu susah berdiri. Penelitian AJI menyebutkan, ada problem kelas yang belum tuntas. (Luviana kemudian mengambil dan membacakan buku terbitannya) Nih, “Selama ini mayoritas jurnalis masih mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok profesional. Mereka merasa enggan untuk dikelompokkan sebagai bagian (dari) kelas buruh. Latar belakang pendidikan yang tinggi, kemudian akses dalam kerja-kerja jurnalistik, penampilan yang keren dan mentereng, adalah beberapa faktor yang membuat jurnalis makin membenamkan diri sebagai kelas white collar.”
 
Rata-rata latar belakang ekonomi mereka?
Rata-rata jurnalis adalah kelas menengah terpelajar. Teman-teman wartawan dalam sebuah diskusi dengan para aktivis buruh pernah mengidentifikasi, bahwa di perusahaan TV Indonesia ada banyak “kelas”. Jurnalis masuk kelas ksatria, dan presenter televisi biasanya masuk kelas brahmana atau kelas tertinggi, karena umumnya mereka gajinya paling tinggi dan mendapatkan akses paling mudah ke manajemen.
 
Bagaimana mereka bernegosiasi dengan keadaan: tergolong kelas menengah, namun gaji yang mereka terima tidak sepadan?
Biasanya yang membedakan dengan para buruh di pabrik adalah soal kesadaran. Kesadaran buruh di pabrik adalah kesadaran kelas, dan bergerak bersama untuk memperbaiki keadaan. Kesadaran ini yang rata-rata belum dipunyai oleh para jurnalis. Pertama soal brand: yang penting bekerja di Metro TV. Yang kedua, “Nanti kalau sudah di Metro TV, kamu laku di mana-mana. Kamu bisa meningkatkan kelasmu.”
 
Sebelum dipecat, saya bicara dengan teman-teman, kalau mau negosiasi dan bergerak, inilah saat yang tepat, karena banyak (kasus) yang bermunculan. Tidak perlu takut tidak dapat pekerjaan. Pasti dapat kok, karena banyak orang yang membutuhkan. Saya bilang, kita ini berbeda dengan buruh pabrik yang tersia-siakan hidupnya. Hari ini mereka dipecat seribu orang, besok manajemen bisa mendapatkan seribu orang lagi, karena tidak diperlukan keahlian tertentu. (Kalau jurnalis) situasinya mudah, namun jadi sulit. Kalau buruh pabrik ini memang situasinya sudah sulit.
Tapi tak semua jurnalis begitu. Saya merasa beruntung bertemu dan mendapatkan kawan-kawan seperti di AJI atau di oganisasi lain. Dengan berbagai cara mereka mendorong saya untuk bergerak dan melawan. Mereka juga tidak pernah lelah untuk mendampingi. Bahkan tak hanya memperjuangkan soal kesejahteraan dan serikat pekerja, namun juga soal kebebasan pers dan kebebasan mendapatkan informasi.
 
Bagaimana pemberitaan media lain tentang kasus Anda?
Ya, ditutupi. Hal itu juga apa yang disebut AJI sebagai “solidaritas hitam” di kalangan pengusaha (media).
 
Kalau ada yang menyiarkan?
Jarang disiarkan. Seperti ada beberapa televisi yang beberapa kali meliput kasus saya namun tidak pernah ditayangkan.
 
Walaupun mereka kompetitornya?
Iya, hampir semuanya begitu. Maka AJI menyebutkan ini sebagai “solidaritas hitam”. Jika ada jurnalis berkasus dalam soal tenaga kerja, maka ia juga harus siap jika tidak ada liputan (mengenai dirinya) dari media lain. Saya sangat beruntung berkasus di jaman setelah lahirnya new media. Ada sejumlah media online baru dan media sosial yang membantu mengkampanyekan kasus ini. Jika ini terjadi dulu sebelum ada new media, pasti para jurnalis membutuhkan perjuangan panjang untuk melakukan kampanye kasus PHK yang dialaminya.
 
Pendapat Anda soal konten tayangan di Metro TV dan TV lainnya?
Jurnalisme itu seharusnya bekerja untuk warga, untuk hak-hak warga masyarakat. Tapi selama ini para jurnalis TV selalu dicekoki bahwa kita bekerja untuk pemirsa dan atas nama rating-share. Ini yang keliru dan kemudian menjadi pertanyaan banyak orang tentang arti jurnalisme itu sendiri—walau TV berita memang memiliki idealisme dan konsep yang sedikit berbeda. Beberapa kali saya juga mengkritik tayangan bias gender atau tayangan advertorial berbasis talkshow. Jurnalisme tak hanya berkutat di ruang redaksi, namun sudah merambah ke newstainment. Banyak artis yang kemudian menjadi narasumber talkshow politik, misalnya. Ini kan tidak beralasan karena mereka bukan pengamat politik atau orang yang sedang terjun di kancah politik. Jadi, komentator bukanlah orang yang berpengalaman di bidangnya untuk memenuhi perubahan dan hak-hak warga, namun selebritas (yang dipilih) untuk kepentingan pasar. Ini yang kemudian dipertanyakan banyak para pengamat media. Ini juga menjadi keresahan para jurnalis lainnya.
 
Apakah para pekerja TV sadar akan kualitas tayangan yang demikian?
Sadar. Mereka mengerti kalau hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan, tapi harus berkompromi dengan keinginan manajemen dan keinginan pasar. Misalnya ada kampanye partai yang seharusnya nggak boleh diputar, teman-teman sadar ini. Tapi karena ini diwajibkan, maka mau tak mau memang harus ditayangkan. Jika saja kesadaran ini menjadi kekuatan untuk bergerak bersama, maka para jurnalis bisa menolak ini secara bersama-sama. Tapi kondisinya masih seperti ini, manajemen sangat menyetir ruang redaksi, sehingga sangat sulit menegakkan independensi ruang redaksi. Ini juga sebagai upaya yang kemudian dilakukan manajemen untuk melemahkan posisi jurnalis di media.

Sejauh mana kepentingan pemilik media berpengaruh sampai ke ruang redaksi?
Walaupun tidak semuanya begitu, namun kecenderungannya (ke arah demikian) sudah menjadi tren. Pemilik media masuk ke ruang-ruang redaksi. Inilah titik awal matinya independensi ruang redaksi. Jurnalisme tidak lagi bekerja untuk warga dan hak-hak warga, namun untuk kepentingan pemiliknya.
 
Biasanya dititipkannya lewat apa? Mekanismenya bagaimana?
Biasanya dititipkan lewat berita, iklan, atau talkshow. Mekanismenya terkadang melalui rapat redaksi, namun lebih banyak diwajibkan dan harus langsung tayang tanpa melalui mekanisme rapat redaksi.
 
Jadi lewat salah satu orang saja sudah cukup ya?
Biasanya begitu. Istilahnya: wajib tayang.
 
Apa ancaman dan tantangan jurnalis masa kini di tengah industri yang semakin kapitalis, ditambah dengan kepentingan-kepentingan politik praktis lainnya?
Banyak banget, tapi kecil-kecil. Pertama, jurnalis harus sadar bahwa mereka adalah kelas buruh. Setelah sadar, mereka harus membangun serikat pekerja. Di situlah proses demokrasi tertinggi, yaitu ketika teman-teman buruh tergabung dalam serikat pekerja, bebas bicara, dan memiliki PKB (Perjanjian Kerja Bersama). PKB kan dibuat oleh buruh dan manajemen, mengkompromikan peraturan perusahaan. Yang kedua, independensi ruang redaksi. (Sekarang ini) semuanya terdiri dari, kalau bukan iklan, ya partai politik. Tapi itu mimpi semua, ya? Independensi itu mimpi. Susah. Tapi jurnalis harus sadar bahwa posisi mereka adalah buruh yang dipekerjakan sebagai boneka. Yang ketiga soal konten. Itu (semua) kan pasti mempengaruhi konten. Tidak ada independensi redaksi, independensi soal konten (juga) pasti nggak ada.
 
Sumber: Remotivi

Senin, 03 Desember 2012

SP SCTV Ikut Aksi Luviana di Kantor Metro TV


Serikat Pekerja SCTV mendukung aksi Luviana, karyawan Metro TV yang di-PHK secara pihak oleh manajamen Metro TV, di depan kantor Metro TV di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu (1/12). Puluhan karyawan SCTV mengenakan seragam SCTV versi Piala Dunia membawa berbagai atribut aksi dan menuntut agar Luviana dipekerjakan kembali.

"Kali ini kami bukan hanya mengimbau agar tidak menonton Metro TV tapi juga matikan kanal SCTV, karena media itu juga berbuat semena-mena terhadap karyawannnya," teriak Sudirman, Koordinator Departemen Advokasi SP SCTV yang didaulat melakukan orasi. 
Pernyataan Sudirman terkait kebijakan manajemen SCTV yang memaksa alih status dari karyawan tetap menjadi karyawan outsourcing, serta skorsing secara sepihak terhadap 40 karyawannya. Para anggota SP SCTV itu juga bertekad akan terus mendukung aksi Luviana dan karyawan media lain yang diperlakukan semena-mena oleh perusahaannya.

Sumber: