Jumat, 18 Januari 2013

Aburizal Bakrie Digusur Bos SCTV Jadi Orang Terkaya RI


Jakarta - Posisi Aburizal Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia tergeser dari daftar Majalah Forbes. Namun muncul nama baru yaitu Eddy Kusnadi Sariaatmadja pemilik Elang Mahkota Teknologi selaku induk usaha PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) pemilik stasiun SCTV.

Dikutip dari Forbes, Kamis (29/11/2012), tahun lalu, kekayaan Aburizal Bakrie tercatat US$ 890 juta, turun hingga US$ 1,2 miliar sekitar Rp 10,8 triliun atau setara 57% dibandingkan kekayaan Ical di 2010. 

Tahun ini, kekayaanya terus merosot hingga tak lagi berhak menyandang gelar orang terkaya Indonesia.

Sementara Eddy Kusnadi Sariaatmadja muncul dalam daftar 40 orang terkaya Forbes peringkat ke-40 dengan nilai kekayaan US$ 730 juta di tahun ini.

Selain memiliki SCTV, Eddy juga telah memiliki media Indosiar yang telah dibeli oleh induk SCTV, yaitu Surya Citra Media.

Beberapa hari lalu, sempat muncul kabar Grup Bakrie akan menjual salah satu stasiun televisi miliknya yaitu ANTV kepada SCTV. Namun kabar ini segera dibantah oleh anak Aburizal yakni Anindya Bakrie melalui akun Twitter-nya yang menyatakan tidak ada rencana penjualan ANTV. 

Berdasarkan perhitungan Forbes, keluarga Bakrie punya aset senilai US$ 1 miliar (Rp 9,5 triliun), tapi belum jelas berapa yang jadi jaminan utang. Induk usaha grup Bakrie, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) menolak untuk membeberkan nilai aset dan utangnya tersebut.

Selain itu, kekayaan yang dimilikinya juga berkurang gara-gara penjualan beberapa aset seperti jalan tol. Jalan tol yang dijual ke Grup MNC milik Hary Tanoe antara lain tol Kanci-Pejagan (telah beroperasi), ataupun Pejagan-Pemalang, Pasuruan-Probolinggo, Batang-Semarang, Cimanggis-Cibitung, serta Ciawi-Sukabumi.

Akan tetapi, Grup Bakrie dinilai tidak akan bisa membayar utang-utangnya dengan cara menjual aset lainnya. Pasalnya, kebanyakan aset-aset tersebut sudah dijaminkan atau digadai untuk utang.[DETIK]

The Three Musketeers Sariaatmadja


Di usia yang makin senja, Mohamad Soeboeb Sariaatmadja menyaksikan benih yang ditanamnya telah tumbuh menjadi pohon rindang dengan buah yang ranum. Dibesarkan dengan didikan agama yang kuat dan disiplin keras, ke-6 putra-putrinya tumbuh menjadi pribadi yang religius, humble, dan memiliki kepedulian tinggi. Dengan fondasi ini, ketiga putranya – Eddy, Fofo dan Darwin – membangun serta menggelindingkan bisnisnya dari titik nol hingga menggurita. Sementara tiga putri Sariaatmadja – Widya, Lina dan Ida – memilih tidak berkiprah di dunia bisnis. Widya menekuni kariernya sebagai dokter, sedangkan Lina dan Ida mengikuti sang suami yang tinggal di luar negeri. Inilah sosok ketiga pendekar bisnis berdarah Sunda-Palembang.

Eddy Kusnadi Sariaatmadja:
Komandan yang Santun dan Religius



Sebuah perayaan ulang tahun digelar di lantai 18 World Trade Center, Jl. Jend. Sudirman. Di ruang Rinjani Mercantile Club yang penuh dengan aneka bunga warna-warni itu, terlihat Yenny Wahid dan Titik Soeharto di antara para tamu yang duduk mengelilingi meja bundar. Di dinding ruangan perpampang tulisan dalam ukiran bunga, Selamat Ulang Tahun Bapak Eddy Sariaatmadja. Kue ulang tahun berwarna cokelat dan putih dengan tulisan Lonsum dan lilin angka 54 di atasnya, menandai pesta yang sejatinya cukup sederhana meski digelar di sebuah tempat prestisius di Ibu Kota.


Kamis, 23 Agustus lalu, Presiden Direktur PT London Sumatera (Lonsum) itu merayakan ulang tahunnya yang ke-54. Selain putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid dan Soeharto serta kedua adik laki-laki Eddy, tak ada lagi tamu undangan VVIP yang terlihat meramaikan acara pesta tersebut. Selebihnya, ruangan itu dipenuhi jajaran direksi dan para karyawan Lonsum. Yang punya hajat, Eddy, berkemeja batik cokelat dengan semburat hijau tampak sumringah. Senyum tak henti menghiasi wajahnya sembari menyapa hampir semua tamu. Ia berjalan dari meja yang satu ke meja yang lain. “Kita harus terus berusaha di Lonsum ini,” katanya sambil sesekali tangannya menepuk pundak karyawan yang diajaknya mengobrol.

Anak ketiga dari 6 bersaudara putra Mohamad Soeboeb Sariaatmadja ini dikenal sebagai nakhoda kerajaan bisnis Sariaatmadja. Meski ia lebih banyak menggeluti bisnis perkebunan, sejatinya anak laki-laki pertama Sariaatmadja inilah yang memegang kendali jaringan bisnis Sariaatmadja yang meliputi perkebunan, teknologi informasi, dan media (televisi). “Eddy itu pengendalinya, dia itu visioner,” ungkap Letjen (Purn.) Soeyono, Komisaris Surya Citra Media (SCM). Menurut mantan Kepala Staf Umum ABRI (1995-1996) dan mantan Sekjen Departemen Pertahanan (1998-1999) ini, Eddy juga yang banyak bergiat mencari sumber dana dari luar negeri. “Dia pintar mencari dana, dia punya konsep,” imbuh Soeyono yang mengaku sudah mengenal Eddy dan Fofo (adiknya) sejak lama, jauh sebelum ia ikut berkiprah di SCM sebagai komisaris. Ke depan, SCM direncanakan go international. Menurut Soeyono, di SCTV, meski Eddy tidak terlibat secara operasional, dialah yang justru mencanangkan perubahan.

Eddy sendiri mengaku lebih fokus menggarap Lonsum. “Saya lebih fokus mengurus petani, saya tetap di sana,” katanya kepada SWA yang siang itu ikut meramaikan pesta ulang tahun orang nomor satu di Lonsum. Diakui Eddy, pembagian tugas di antara saudara-saudaranya karena melihat kapabilitas masing-masing. “Mengapa saya mengurusi perkebunan karena saya gaptek, gagap teknologi,” ujarnya seraya terbahak.

Selain sebagai motor penggerak, Eddy juga yang merintis bisnis keluarga ini. Sebagai anak laki-laki tertua, Eddy yang membuka ladang bisnis dengan mengawali sebagai distributor komputer dan wholesaler pada 1980-an. Ketika itu bendera yang dikibarkan Elang Komputer. Seiring perkembangan bisnis dengan memegang lisensi tunggal komputer merek Compaq di Indonesia, benderanya berubah menjadi PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek). Ketika itu Emtek banyak memasok kebutuhan komputer dan teknologi informasi di sejumlah departemen pemerintah dan perusahaan swasta. Setelah merger Compaq dengan Hewlett-Packard, Emtek tidak lagi menjadi distributor Compaq. Sementara itu, sang ayah, menurut Eddy, sempat membangun perusahaan konsultasi pajak dan manajemen di bawah payung PT Eskapindo. Selain itu, Mohamad Soeboeb Sariaatmadja ini juga pernah menggeluti bisnis properti dan perbankan. “Ayah saya pernah bekerja di Chase Manhattan,” tutur Eddy.

Membesarkan bisnis dalam pandangan Eddy bukan membesarkan kelompok usaha keluarga. “Tapi, bagaimana kami bersama dengan staf di perusahaan bisa menciptakan satu keluarga besar yang saling mengerti dan mengasihi,” papar bapak dua anak ini. Menurutnya, kakak-beradik dalam sebuah entitas bisnis tidaklah penting. “Yang penting bagaimana saya menganggap karyawan saya sebagai sebuah keluarga,” imbuhnya.

Master of Engineering Science dari New South Wales University, Australia ini memang dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian dan perhatian tinggi pada anak buahnya. Seorang sumber SWA yang tak mau diungkap jati dirinya menilai Eddy sebagai sosok manusia setengah malaikat. “Habis, baek banget sih,” katanya. Ia menceritakan, Eddy bisa langsung terbang ke rumah sakit ketika tahu karyawannya ada yang tengah terbaring. “Begitu sampai di kamar rumah sakit, karyawan itu langsung dinasihati supaya bersabar menghadapi cobaan Tuhan, dan karyawan itu kaget ketika mengetahui yang membesuknya adalah pemilik perusahaan,” ia menguraikan.

Menjelang Idul Fitri, Natal, ataupun perayaan agama lainnya, Eddy tak pernah absen mengirimi bingkisan kepada karyawannya di luar insentif khusus yang diberikan perusahaan. Eddy juga menyempatkan menghadiri undangan pesta pernikahan anak buahnya. “Justru kalau pejabat dan selevelnya, dia terkadang malah enggan hadir,” ceritanya.

Di mata Don Bosco Selamun, sosok Eddy memang sangat low profile. “Orangnya lembut, sabar, tapi tetap berpikir jernih tentang bisnis,” katanya. Don Bosco yang sempat bergabung dengan SCTV selama 9 tahun (1996-2004), mengaku cukup dekat dengan keluarga Sariaatmadja. Bahkan, Eddy sudah dianggapnya sebagai kakak. “Beliau adalah kakak bagi saya untuk bimbingan rohani karena banyak nasihatnya yang bagus,” paparnya. Sikap low profile Eddy, juga adik-adiknya, diamini Soeyono. “Mereka low profile, tidak seperti yang lain,” katanya.

Menurut Don Bosco, Eddy memiliki keyakinan yang sangat kuat akan kebesaran Tuhan. Ia senantiasa ingat petuah Eddy bahwa dalam bekerja jangan sampai mengabaikan doa. “Yang saya tahu, Pak Eddy menyeimbangkan antara kerja dan doa,” katanya. Lebih jauh ia mengutarakan, sebagai pribadi Eddy sangat hangat. Eddy juga tipikal pemimpin yang lebih banyak mendengar, menyimak. “Dia itu good listener. Mungkin saya agak subjektif menilainya, tapi saya tidak bisa mengatakan lain. Karena, sepanjang yang saya kenal, beliau ya begitu orangnya,” ungkapnya. Bagi Don Bosco, pribadi dan sikap Eddy seyogyanya menjadi panutan bagi para pelaku bisnis. Pasalnya, tak banyak pemimpin apalagi pemilik perusahaan besar, yang memiliki sikap seperti itu. “Pemilik yang lain kan ingin didengar, kalau ini tidak. Beliau humble,” tambahnya.

Sikap Eddy yang rendah hati dan santun juga diakui seorang sumber SWA. “Dia antarkan lho semua tamunya sampai masuk lift bahkan masuk ke mobil,” ceritanya. Sikap ini secara tak langsung menjadi contoh bagi anak buah dan keluarganya. “Dia orangnya tidak bossy,” timpal Soeyono. Pembawaan Eddy yang ramah itu, menurut sumber SWA, ditularkan kepada kedua anaknya. “Mereka juga santun dan sopan sekali,” sambungnya. Tak hanya itu, Eddy meski dikenal sebagai pekerja keras, ia sangat memerhatikan keluarganya. Saat ulang tahun anak atau istrinya, Eddy meliburkan diri agar bisa menemani orang-orang yang paling dicintainya itu.

“Beliau itu dari dulu baik, tidak pernah mengganggu sejak saya punya jabatan,” kata Soeyono yang juga mantan ajudan Presiden Soeharto. Keluarga Sariaatmadja, tambahnya, bukan tipe orang yang ngaco atau suka cheating. “Kalau melihat orang susah, mereka suka menolong tanpa pamrih,” tukasnya. Soeyono menceritakan setelah dirinya dinonaktifkan dari Kasum, keluarga Sariaatmadja yang membantunya. “Mereka menolong saya.” 

Lebih jauh Soeyono menilai, sebagai pengusaha Eddy mencerminkan pengusaha bersih. Tidak terlibat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Keluarga Sariaatmadja juga tidak pernah memanfaatkan kedekatan atau ikut mencantol ke salah satu penguasa. “Eddy itu pengusaha yang baik, tidak bikin masalah,” ucapnya. Itu semua, lanjutnya, karena didikan orang tuanya. “Mereka dididik sangat agamis,” ujarnya. Keluarga Sariaatmadja juga dipujinya sebagai orang-orang yang menghargai agama lain. “Saya salut pada anak-anak muda itu. Kalau ada kesempatan mendunia, pasti mereka bisa.” 

Kelebihan lain dari Eddy, dinilai Soeyono, adalah kejeliannya merekrut orang-orang kunci. “Dia pintar dalam mengambil orang, head-hunting-nya pintar, dan itu ilmu yang tidak banyak dipelajari,” ungkapnya.

Fofo Sariaatmadja:
Memulai dan Mengakhiri Pekerjaan dengan Doa

Segelas jus jeruk disodorkan lelaki berpostur tinggi ramping itu kepada SWA. “Mau tanya apa lagi? Tapi jangan lama-lama ya, saya mau manggung di SCTV,” ujar Fofo Sariaatmadja. Ia sendiri memilih sebotol Equil. Kafe di lantai dasar World Trade Center di kawasan Sudirman, siang itu tampak lengang. Fofo melanjutkan pembicaraan. “Saya mau main musik di panggung festival band antarkaryawan,” katanya menjelaskan. Direktur Utama SCTV ini menuturkan, dalam rangka ulang tahun ke-17 televisi swasta itu, ada berbagai kompetisi antarkaryawan yang digelar. Mulai dari basket, tenis, boling, futsal, sampai festival band antarkaryawan. “Saya senang musik, suka main musik sendiri, bisa main piano, keyboard, kadang-kadang nyanyi,” ujar Fofo.

Anak keempat keluarga Sariaatmadja ini tak hanya piawai bermain musik. Lewat tangan dinginnya, SCTV menjadi stasiun televisi nomor wahid dari sisi share. Di tengah pertarungan lebih dari 10 stasiun televisi swasta, keberhasilan itu adalah sebuah prestasi gemilang. Terlebih, SCTV ditargetkan bisa go international. “Kami akan go international untuk news-nya,” kata Fofo. Ambisi berkibar di mancanegara karena ia terobsesi membuat news channel, seperti CNN, Fox News, dan CNBC. “Mudah-mudahan bisa tahun ini, kami sudah trial 24 jam news channel,” ungkapnya.

Dalam pandangannya, media elektronik harus siap menembus dunia. Salah satu program andalan SCTV, Liputan 6, tahun ini sudah memasuki usia 11 tahun. Memasuki dasawarsa kedua, lanjutnya, harus ada inovasi baru. “Saya selalu memikirkan bagaimana pengembangan program news, karena saya sangat ingin ini berkembang,” katanya. Dengan kemajuan teknologi, ambisi go international bukanlah impian yang jauh di awang-awang. “Kami harus siap ke era baru, Liputan 6 visi ke depannya untuk mendunia, tidak bisa kami seperti katak dalam tempurung,” ujar Fofo.

Di bawah kendali kelahiran 11 Desember 1963 ini, SCTV memang berlari sangat kencang. Di mata Don Bosco Selamun, Fofo orang yang bertangan dingin dalam menjalankan televisi. Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Liputan 6 ini mengaku awalnya ia termasuk orang yang ragu saat Fofo naik tahta memegang kendali SCTV. “Tapi, apa yang terjadi? Selama 17 tahun SCTV berdiri dengan empat dirut sebelumnya, baru dirut kelima, di bawah Pak Fofo, SCTV menjadi stasiun nomor satu dari segi share,” Don Bosco menjelaskan.

Menurutnya, di industri televisi banyak sekali hal yang disebut dengan unspoken rule. “It is about the taste. Pak Fofo itu tekun sekali dengan detail termasuk taste-nya juga bagus,” ungkapnya. Artinya, keberhasilan SCTV yang tidak punya acara semacam Indonesian Idol, Mamamia, Empat Mata, tetapi dengan tontonan-tontonan yang terseleksi terbukti menghasilkan share tertinggi. “Ini berarti Pak Fofo mempunyai kemampuan bukan hanya teknis untuk mengetahui program, tapi juga tentang selera publik,” paparnya. Atas keberhasilan itu, menurutnya, Fofo sangat layak dinobatkan sebagai CEO of the Year. “Bukan karena saya pernah di SCTV saya bicara seperti ini,” katanya berdalih.

Tak hanya mantan anak buahnya yang memuji kepiawaian Fofo. Di mata Letjen (Purn.) Soeyono yang saat ini menjabat Komisaris Surya Citra Media, Fofo merupakan orang yang tepat memimpin perusahaan media. “Beliau kan ahli TI, jadi orang yang tepat untuk mengelola media karena media banyak menggunakan TI,” kata Soeyono yang juga menilai Fofo memiliki kemampuan dan pengetahuan kuat untuk mengurusi manajemen perusahaan.

Bagi Fofo sendiri, pengembangan bisnis media dan multimedia bergerak dengan apa yang dimiliki. Setelah itu melihat potensi yang ada untuk bisa dikembangkan ke depan dengan pemanfaatan teknologi. “Kami bisa sinergikan media yang satu dengan yang lainnya dengan berbagai sisi. Yang pasti, visinya bukan menjadi The King of Media. Kami konsentrasikan dan kembangkan yang ada sekarang,” papar Fofo yang mengaku tidak berniat terjun ke bisnis media cetak. “Kami tidak mau bersaing melawan SWA, bersaing dengan teman-teman sendiri,” ujarnya berdalih. Sementara masuk ke bidang radio, pihaknya sedang mempertimbangkan.

Dalam pengembangan bisnis media, ia tidak melibatkan konsultan dari luar. “Kami menjadi konsultan sendiri,” tukasnya. Sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan bidang teknologi, Fofo justru melihat bisnis media ke depan akan tergantung pada teknologi. “Apa pun media itu, tidak bisa analog terus. Itulah salah satu manfaat background kami di bidang teknologi untuk kemajuan bisnis ini,” ujar ayah yang dikaruniai empat anak ini. Meski tak memiliki latar belakang pendidikan di bidang media, ia mengaku harus fokus pada visi dan misi yang hendak dikerjakan. “Intinya, be focus where ever we are. Karena dengan fokus kami bisa betul-betul mengoptimalkan kreasi dan kreativitas mencapai yang terbaik di bidang yang kami tekuni,” Fofo menuturkan.

Dalam membangun dan mengelola bisnis, Master of Engineering Science dari Universitas New South Wales, Australia ini selalu bertumpu pada pilar kekeluargaan. “Kami ingin menggalang persatuan, kesatuan dalam grup. Harus saling sayang, saling kenal untuk menyatukan karyawan,” ucapnya. Di mata Fofo, karyawan merupakan bagian dari keluarganya. “Kami ingin mereka bangga karena bekerja di tempat yang baik,” ujarnya. Karena itu ia kerap menggalang berbagai event, seperti outing, olah raga bersama, kompetisi musik, fotografi, dan gerak jalan bareng.

“Saya tahu persis, Pak Fofo memperlakukan karyawannya dengan baik karena dipandang sebagai aset berharga,” ungkap Don Bosco. “Beliau sangat responsif, sangat ringan tangan dalam membantu orang,” tambahnya. Fofo juga memegang baik tali pertemanan. Meski pemilik, sikap Fofo tidak bossy. “Human touch-nya luar biasa,” imbuhnya. Don Bosco menceritakan pengalamannya ketika datang menghadiri SCTV Award. Kebetulan ia datang sendiri tidak dengan sang istri karena undangannya hanya buat satu orang. Mengetahui hal itu, Fofo dengan spontan menawarkan untuk menjemput. “Itulah, beliau mempunyai kekuatan untuk menjaga hubungan yang baik,” tambahnya.

Di mata kolega dan anak buahnya, Fofo memang pribadi yang ramah. Beberapa karyawan O Channel yang sempat ditemui SWA saat ulang tahun O Channel menuturkan bahwa Fofo sangat ramah, bahkan kepada karyawan level bawah. Fofo juga dikenal sebagai pribadi yang humble dan religius. “Beliau membuka pekerjaan hari itu dengan doa, dan menutupnya juga dengan doa,” tutur Don Bosco.

Bagi Fofo sendiri, kepedulian pada karyawan dan sesama adalah sebuah kewajiban. Pasalnya, ia sendiri mengaku sudah diberkati dengan bisnis yang bagus. “Jadi jangan lupa memberkati orang lain. Bisnis media ini titipan Tuhan, harus dijaga dengan baik, dikelola dengan benar, harus juga bisa mempropagandakan sesuatu yang mendidik agar bisa dinilai baik lho di akhirat,” ungkap Fofo yang sedari kecil suka mengutak-atik barang-barang elektronik. Saking hobinya, lemari bajunya penuh dengan barang elektronik. Bahkan, umur 10 tahun ia sudah bisa bikin elektronik sirkuit, amplifier dan video game, padahal ketika itu televisi masih hitam-putih.

Kepedulian pada sesama juga disalurkan dengan membangun TK Semai Benih Bangsa yang bekerja sama dengan Ratna Megawangi. Saat ini sudah ada 17 TK yang dibangun di seluruh Indonesia. Targetnya tahun depan bisa membangun sampai ratusan. “Orang tua selalu menekankan kepada kami untuk jujur, membina dan menjaga hubungan baik dengan semua pihak, serta mempunyai komitmen yang bagus,” Fofo bertutur. Menurutnya, ia dibesarkan oleh orang tua dengan fondasi agama yang kuat. “Ibu sering mendoakan anak-anaknya agar selalu dalam perlindungan Allah,” ujarnya. Tak hanya itu, disiplin keras juga diterapkan sang ayah. “Waktu muda belum mengerti, tapi setelah dewasa baru mengerti mengapa harus disiplin,” tukas penikmat musik dan olah raga ini.

Darwin Wahyu Sariaatmadja:
Selalu Ingat Petuah Orang Tua

Dibandingkan dengan kedua kakak laki-lakinya, Darwin memang kalah supel. Toh, kesan ramah tetap terpancar dari anak kelima dari 6 bersaudara ini. Kelahiran 27 Mei 1965 ini mulai bergabung dengan perusahaan keluarga pada awal 1990-an. “Saya diminta Eddy untuk memperkuat perusahaan, ya why not,” ceritanya. Pada saat bergabung ia mengaku nothing to loose. “Kalau tidak suka, ya bisa pindah ke tempat lain,” ujar Darwin yang menyelesaikan S-1 Electrical Engineering dan S-2 Commerce di Universitas New South Wales, Australia.

Sesuai dengan bidang keahliannya, Darwin pun bergabung di Emtek. Darwin memulai sebagai Manajer Teknik. Baginya, tidak ada masalah ia harus berkarier merangkak dari bawah meski sang CEO adalah kakak kandungnya. “Ini proses belajar,” kata Darwin yang sejak 2005 dipercaya untuk mengendalikan PT Abhimata Persada (AP) sebagai Presiden Direktur. Perusahaan ini dibangun pada 1990-an sebagai anak perusahaan Emtek. Di bawah Emtek terdapat lebih dari 10 anak usaha yang bergerak selain di teknologi informasi (TI), juga telekomunikasi dan media.

Sementara untuk AP fokus pada TI perbankan. “Kami bermain di jasa switching, treasury, trade finance. Klien kami sebagian besar ya bank,” katanya. Untuk switching, tambahnya, hampir semua bank besar menjalin kerja sama dengan pihak AP, sebut saja Bank Mandiri, BCA, Danamon, BNI, dan BTN.

Pria jangkung berkulit putih dengan kumis tipis ini mengaku dalam menjalankan dan mengelola bisnis, ia sangat mengikuti nasihat orang tuanya. Ia mengatakan, orang tuanya kerap mewanti-wanti bahwa dalam mengelola bisnis atau apa pun harus benar-benar tekun, dan berusaha semaksimal mungkin. Dan, karena ia berkecimpung di dunia TI, maka prinsip itu harus ditambah lagi. “Harus up-to-date terhadap informasi dan inovasi juga tak kalah penting,” kata Darwin sambil menjelaskan bahwa inovasi di TI sangat cepat. Karena itu, ia sangat menekankan pentingnya inovasi pada anak buahnya. “Tidak cuma di teknologi tapi juga dalam proses,” imbuh Darwin yang menyelesaikan SMU-nya di Australia. Untuk meng-update pengetahuan, Darwin bisa empat kali dalam setahun melancong ke luar negeri.

Ayah dua anak ini – berusia 10 dan 7 tahun – mengaku dalam menggelindingkan bisnis tidak selalu semulus jalan tol. Pada saat pertama, ia sempat tertipu. “Pada saat menagih, perusahaannya hilang, kantornya kosong melompong,” katanya mengenang. Toh, baginya batu sandungan itu sebagai tantangan, karena ke depan ia menjadi belajar bahwa cross-check itu sangat perlu. “Dapat order itu jangan senang dulu, menagihnya bisa tidak?” imbuh Darwin yang sempat merentas karier di bagian sistem komputer sebuah perusahaan asuransi di Australia.

Menurut Darwin, orang tuanya tidak pernah memaksa anak-anaknya menjadi somebody. “Tapi mereka mengajarkan harus bersungguh-sungguh jika meminta sesuatu agar hasilnya optimal dan bagus, jadi jangan asal-asalan,” paparnya. Orang tuanya kerap memberikan petuah supaya anak-anaknya mempelajari sesuatu secara optimal sehingga berhasil. Diakuinya, sang ayah cukup ketat dan keras mendidik ke-6 putra-putrinya. “Patokannya, rapot tidak boleh ada angka merah,” kata Darwin yang sewaktu SMU sempat kursus mengetik 10 jari atas keinginan sendiri. “Jadi, begitu komputer diperkenalkan, saya tidak canggung lagi,” ujarnya.

Adapun dunia TI digandrunginya sejak SMP. “Zaman dulu kan belum ada komputer, tapi sudah merakit sensor, radio, segala macamlah,” katanya seraya menambahkan bahwa yang pasti, apa pun kegiatan anak-anaknya, orang tua mendukung secara penuh. Semisal, mau mencari barang-barang di Harco, Glodok, orang tua mendukung dengan memberikan fasilitas. “Jadi minat kami dikembangkan, tidak harus menunggu sampai kuliah,” katanya,

Seperti Eddy dan Fofo, selain santun dan humble, Darwin pun terkesan religius. “Dari kecil kami diajarkan untuk selalu dekat dengan Tuhan dan berbakti,” katanya. Darwin menuturkan, orang tuanya mengajarkan pula mereka untuk melaksanakan kegiatan sosial. “Waktu kecil, kami sering diajak berkunjung ke panti asuhan,” tuturnya. Kegiatan ini sampai sekarang masih berlangsung. Bahkan, ada yayasan yang dikelola oleh tim khusus. “Karena kami merasa mendapat berkat dari Tuhan, jadi kami merasa harus mengembalikan,” imbuh penyuka sport ini.[SWAsembada]

Kamis, 17 Januari 2013

EMTK Bakal Akuisisi Perusahaan Tahun Depan


JAKARTA. PT Elang Mahkota Teknologi Tbk menargetkan bisa mengakuisisi satu sampai dua perusahaan di bidang media atau nonmedia untuk memperluas jangkauan bisnis tahun depan. Emiten berkode EMTK mengkaji beberapa perusahaan potensial. Ini mereka lakukan untuk memperkuat tiga lini bisnisnya, yakni di bidang televisi berbayar (pay TV), media online, dan production house (PH).

"Kami membuka peluang untuk akuisisi bisnis baru bisa di dalam maupun luar. Kalau nilai akuisisinya tidak besar dan dana kami cukup, kami akan akuisisi lebih dari satu perusahaan," ujar Presiden Direktur EMTK, Sutanto Hartono, beberapa waktu lalu. Saat ini perseroan sedang dalam proses due diligence untuk akuisisi.

Namun, manajemen masih enggan menyebut nilai akuisisi tersebut. Sutanto mengatakan, akan memanfaatkan kas internal untuk membiayai ekspansi. Hingga kuartal III 2012, posisi kas setara kas EMTK mencapai Rp 3,67 triliun. Dia bilang, EMTK melirik peluang usaha di bidang advertising based atau periklanan dan online payment. "Kami masih belum bisa pastikan, tetapi potensi bisnis di sektor itu cukup bagus dan potensial," ujar dia.

Tahun depan, EMTK juga akan mengembangkan platform dan konten Nexmedia, produk televisi berbayar yang diluncurkan tahun ini. Mereka juga ingin memindahkan jaringan televisi berbasis analog menjadi digital.
Nantinya, EMTK akan ekspansi membangun beberapa jaringan tambahan di luar Jakarta. Pada tahap awal, jaringan baru itu akan dibangun di kota besar seperti Bandung dan Semarang. "Kami akan investasi transmisi mempertajam kualitas siaran Nexmedia," kata dia.

EMTK juga akan mengembangkan bisnis media online dengan mengeluarkan produk baru. Yaitu, www.liputan6.com. Bisnis ini berada di bawah payung anak usahanya, PT Kreatif Media Karya. Perseroan ini juga akan membuat production house baru dan menggeber produk animasi melalui anak usaha EMTK, PT Animasi Kartun Indonesia.

Sutanto berharap, ekspansi ini akan meningkatkan pendapatan sekitar 25% atau mencapai Rp 5,37 triliun. Naik dari proyeksi tahun ini yang sekitar Rp 4,96 triliun atau tumbuh 20% dari year-on-year (yoy) dari tahun lalu Rp 4,13 triliun.

Hingga kuartal III 2012, EMTK mencatatkan pendapatan Rp 3,4 triliun, naik 12,3% yoy. Sementara, laba bersih Rp 3,19 triliun naik 374% yoy. 

Sutanto bilang, bisnis EMTK menanjak pasca melepas kepemilikan saham di PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) dan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA). Dari aksi korporasi itu, EMTK berhasil meraup dana sebesar Rp 1,68 triliun.

Akibatnya, EMTK mempunyai kas yang besar untuk menggelar ekspansi. "Kalau nanti nilai akuisisi perusahaan baru besar, kami bisa menarik pinjaman karena posisi utang masih cukup rendah," kata Sutanto.
Harga saham EMTK pada Jumat (21/12) tak bergerak dari level Rp 3.900 per saham.[KONTAN]

AKSI EMITEN: EMTK Rambah Thailand, Beli Saham Plan B Media Co Rp302,69 Miliar


JAKARTA: Perusahaan induk grup media milik keluarga Sariaatmadja PT Elang Mahkota Teknologi Tbk akan berinvestasi di Thailand dengan membeli sebagian saham Plan B Media Co. Ltd. senilai Rp302,69 miliar atau setara 960 juta baht.

Dalam keterangannya kepada Bursa Efek Indonesia siang ini (26/12), perusahaan yang berkode saham EMTK itu menjelaskan target akuisisi adalah perusahaan media iklan di luar rumah.

"Perseroan merencanakan akan memfinalisasikan investasi di Plan B Media Co. Ltd. pada akhir Januari 2013," ujar manajemen perusahaan yang dipimpin Sutanto Hartono tersebut.

Manajemen perseroan mengatakan investasi di Plan B Media Co. Ltd. oleh Perseroan dimaksudkan untuk memperluas kegiatan usaha media emiten dan anak usahanya ke beberapa platform media.

Menurut manajemen, direksi Elang Mahkota telah memperoleh persetujuan dari rapat dewan komisaris pada 6 Desember 2012 untuk melakukan transaksi investasi tersebut.

Transaksi tersebut, tutur manajemen, diklaim tidak masuk ke dalam kategori transaksi material, transaksi afiliasi, ataupun transaksi benturan kepentingan seperti diatur dalam peraturan Bapepam-LK No.IX.E.2 dan IX.E.1.

Saham induk usaha PT Surya Citra Media Tbk dan PT SUrya Citra Televisi tersebut masih stagnan hingga siang ini di level Rp3.900 dan membentuk kapitalisasi pasarnya Rp21,99 triliun.(BISNIS.COM)

Pekerja Media Rawan Dikriminalisasi (2)



Saya akan melanjutkan pembahasan aksi-aksi kriminalisasi terhadap pekerja media [baca: Pekerja Media Rawan Dikriminalisasi (1)] terkait penerapan konsep flexibility labor market dan strategi komodifikasi media di berbagai media. Tulisan ini saya susun berdasarkan hasil diskusi dengan seorang pekerja media dan penelitian yang saya lakukan di stasiun SCTV beberapa waktu lalu. Persisnya, di lingkungan Divisi Pemberitaan atau Liputan 6. Poin terpenting dari kedua pendekatan itu, ketika konsep flexibility labor market dan strategi komodifikasi media diimplementasikan, maka media pun memperlakukan para pekerja secara semena-mena!


Menurutnya, selama lima tahun terakhir, media tempatnya bekerja memberlakukan apa yang disebut key perpormance indicator (KPI) tanpa tedeng aling-aling. Media itu memaksakan menilai kinerja para pekerjanya dengan standar “kuantitatif” namun diterapkan dengan operasionalisasi variabel yang tidak jelas. Artinya, acuan dan kriteria atau penilaian kinerja itu disusun secara mana suka oleh pihak atasan.

Pada setiap akhir tahun, sistem penilaian itu mengharuskan setiap karyawan, termasuk kalangan jurnalis televisi, untuk mencatatkan kinerja dengan kriteria tertentu dan memberikan skor penilaian atas kinerja itu. Pada tahap berikutnya, produser atau atasan langsung setiap jurnalis televisi itu akan memberikan respon atas kinerja itu dan memberikan skor. Pemberian skor secara “kuantitatif” itu tidak dibarengi dengan penentuan operasionalisasi variabel yang lazim dilakukan dalam penilaian secara kuantitatif. Pada fase ini, like and dislike pun menjadi acuan utama penorehan skor.

Tidak berhenti sampai di situ, lembar penilaian yang dilakukan secara online itu akan bergulir ke atasan yang lebih tinggi dan terus di bawah kendali HRD. Pada puncaknya, pimpinan tertinggi di departemen dan divisi bersama HRD akan memutuskan skor akhir. Campur tangan HRD dalam penentuan skor akhir atas kinerja seorang jurnalis televisi sangat besar. Dan jajaran pimpinan di Divisi Pemberitaan pun menjadi kehilangan independensi dalam memutuskan performa seorang jurnalis televisi.

Bagi saya, peristiwa penentuan skor atau penilaian seorang jurnalis televisi ini menjadi bagian penting untuk menelusuri pengaruh eksternal atau struktur organisasi terhadap lembaga pers di lingkungan stasiun televisi. Ini menjadi penting, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap iklim komunikasi organisasi, budaya organisasi, juga etos kerja. Selain itu, sesungguhnya hal ini bukan hanya membangun demotivasi dan penurunan etos kerja bagi kalangan jurnalis televisi di stasiun televisi yang bersangkutan, tetapi hal itu juga menandai adanya peristiwa dehumanisasi seperti disinggung Karl Marx.

Bahkan, atas nama penghematan dan upaya memberikan kesempatan kepada tenaga-tenaga outsourcing, para petinggi Divisi Pemberitaan dan Divisi HRD menjadi sangat “sinergis” dalam penyingkiran para jurnalis televisi. Termasuk, jurnalis televisi yang tergolong senior dan memiliki kompetensi yang di atas rata-rata. Para petinggi kedua divisi itu tak segan-segan mengonstruksi sederet kesalahan dan menjadikannya sanksi, agar jurnalis televisi yang bersangkutan tidak nyaman, tersinggung, dan keluar.

“Persoalan absen, entah tidak pernah absen, datang terlambat atau pulang lebih cepat, serta segala bentuk disiplin seperti pegawai kantoran tiba-tiba juga diberlakukan bagi jurnalis televisi yang dibidik. Padahal, situasi ketidakdisiplinan dalam tanda kutip itu relatif terjadi di Divisi Pemberitaan. Artinya, hal itu bukan menjadi persoalan besar, karena kami terbiasa bekerja dengan hitungan jam yang tidak pasti dan melebihi ekspetasi pegawai kantoran,” jelas seorang produser “bermasalah” di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Tidak sampai di situ, bidikan-bidikan kesalahan itu juga bisa mengarah pada hasil pekerjaan, yang sebetulnya tidak memiliki standar dan blue print. Ia bisa dianggap bermasalah, ketika atasannya menilai salah. Dalam kondisi itu, diskusi-diskusi atau pembahasan soal-soal kreatif menjadi sangat mahal. Kecerdasan sang jurnalis televisi dengan segala argumennya justru bisa dianggap masalah dan menjadi bukti keberadaannya yang berseberangan. Putusan-putasan diskriminatif atas dasar like and dislike memang menjadi sangat bermekaran.

“Cerita bullying pada acara Hitam Putih (Trans7) yang dikawal Deddy Corbuzier mengingatkan pada aksi ‘bullying’ jajaran pimpinan terhadap kami dalam bingkai like and dislike. Jurnalis televisi yang dianggap bermasalah bakal dilabeli dan dipancang stigma negatif secara kompak, demi mendeaktulisasi sejarah kinerja, prestasi, dan kompetensinya. Bahkan, pola pendzaliman itu mendapatkan restu dan dilegalisasi atas nama final appraisal,” jelas seorang produser.

Dan, ketika sang jurnalis televisi memilih bertahan dengan mengalah atas putusan diskriminatif itu, maka ia harus bersiap-siap dimutasi ke posisi yang tidak nyaman dan sangat mengabaikan kompetensinya. Dalam konteks tersebut, Departemen Litbang atau Departemen Website pun dijadikan tempat penampungan bagi para jurnalis televisi “bermasalah” itu. Pada masa dulu, dalam suasana media cetak, seorang jurnalis “bermasalah” biasanya akan dimutasikan ke litbang atau percetakan. Fokus kondisi yang ingin dibangun adalah ketidaknyamanan dan deaktualisasi.

“Pemberian sanksi semacam Surat Peringatan tidak selalu karena sederet kesalahan, tapi lebih didasarkan pada persoalan like and dislike,” jelas produser “bermasalah” itu. “Parahnya, para petinggi lain di Divisi Pemberitaan itu pun bisa mengamini laporan atasan yang bersangkutan dan bersepakat, untuk menyerahkan sebuah kasus ke Divisi HRD. Dan jangan berharap Divisi HRD akan menjadi mediator atau menjernihkan konflik atasan-bawahan, tapi mereka akan segera menerbitkan Surat Peringatan dengan suka cita. Bahkan, mereka juga tanpa ragu-ragu menantang untuk menyelesaikannya lewat pengadilan.”

Padahal, lanjutnya, ketika pekerja yang dibidik dan diposisikan bersalah itu menantang balik untuk menyelesaikan masalah menurut undang-undang, staf HRD itu akan terkencing-kencing. Lantas, ia pun mengumbar penawaran berbungkus kompensasi, dan lagi-lagi, merujuk pada undang-undang yang sesungguhnya memang sangat tidak berpihak kepada para pekerja dalam pengaturan pemberian pesangon.

“Lagi pula, undang-undang itu dikondisikan untuk orang bersalah dan dengan pemberian hak yang sangat mengntungkan pengusaha. Karena itu, undang-undang dijadikan acuan sekadar untuk memerangkap pada pemberian pesangon seminim mungkin. Bahkan, kalau perlu, gratis!” jelas seorang produser.

Poin akhir dari pengondisian itu adalah penawaran pensiun dini atau paket kesepakatan bersama, dengan jumlah angka kompensasi yang di jauh dari harapan. Atau, bagi jurnalis televisi yang tidak bisa bersabar dan emosional, ia akan memenuhi harapan stasiun televisi itu, yakni mengundurkan diri dengan suka rela dan bahkan tanpa menuntut banyak pesangon. Dengan begitu, stasiun televisi itu pun sukses menyingkirkan sang jurnalis televisi, sekaligus tanpa harus “berkonflik” dan mengeluarkan banyak uang. Dan setelah itu, stasiun televisi itu akan merekrut pekerja baru dengan gaji yang lebih murah dan dengan status kontrak. Sebuah desain program penghematan yang jitu dan sangat mengakomodir strategi komodifikasi.

Pada bagian ini, para pengelola media, termasuk juga kalangan jurnalis televise yang memililiki jabatan strategis, sangat berperan dalam mengabaikan sejarah kinerja dan prestasi, latar belakang pendidikan, keunggulan kompetensi, bahkan ide-ide kreatif. Suasana yang mempersaingkan pekerja senior dan junior, bahkan pekerja outsourcing, dalam satu jenis pekerjaan dengan kriteria kinerja yang lebih mendahulukan kuantitas dibandingkan kualitas, sangat terasa. Di balik itu, sudah pasti “agenda setting” penghematan yang berujung pada rasionalisasi dan pemberdayaan pekerja-pekerja outsourcing secara besar-besaran senantiasa mengintai.[NAYUNDA LARASATI]

Semiotika Pocong dan Keranda Mayat


Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna (Hoed, 2011). Lebih jauh, Benny H. Hoed memaparkan bahwa para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda).

Untuk kebutuhan pembacaan atas peristiwa yang menampilkan aksi, termasuk kasus pemberian hadiah duplikasi pocong dan keranda mayat dalam Aksi Simpatik SP SCTV di SCTV Tower beberapa waktu lalu, saya menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Karena itu, uraian pada bagian ini seluruh mengarah pada model dikotomis penanda-petanda yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis contenu (C)). Jadi, sesuai teori de Saussure, tanda adalah “relasi” (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C.

Dalam kehidupan sosial budaya, jelas Hoed, pemakai tanda tak hanya memaknainya sebagai denotasi, yakni makna yang dikenal secara umum. Oleh Barthes, denotasi disebut sebagai sistem “pertama” atau “primer”. Biasanya pemakai tanda pengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem “kedua” atau “sekunder”. Bila pengembangannya ke arah E menjadi metabahasa. Artinya, pemakai tanda memberikan bentuk berbeda untuk makna yang sama. Misalnya, makna “tempat untuk narapidana dikurung”, selain kata penjara, pemakai tanda juga menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau kurungan.

Sedangkan ketika pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.

Cukup rumit menjelaskan analisis semiotika dalam bahasa yang sangat sederhana karena sejatinya uraian permasalahan tersebut memang membutuhkan halaman panjang. Poin akhir dari seluruh penjelasan adalah adanya pemaknaan secara denotatif dan konotatif. Lantas pada tahap berikutnya, pemaknaan konotatif itu pun menjadi mitos, serta bila telah ajeg ia akan menjadi ideologi. Penjelasan singkat di atas tetap ditampilkan, paling tidak bisa menjadi penegas, uraian tentang kasus yang ditampilkan dalam tulisan ini memiliki pondasi. Artinya, tidak sekadar asal ngejeplak!

Saya akan langsung pada poin pembahasan. 

Dalam aksi dan rekaman video terlihat sejumlah pengunjuk rasa membawa pocong anak kecil dan keranda mayat dalam Aksi Simpatik SP SCTV di SCTV Tower. Seorang pengunjuk rasa mengenakan baju koko hitam dan kopiah hitam membawa duplikasi pocong di atas kedua tangannya. Sorot matanya tajam dan mulutnya terkunci rapat. Ia berjalan tegap di bagian depan. 

Pengunjuk rasa itu mewakili sosok Pak Darmayanto, satu dari 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak di-PHK dan dialihkan menjadi pekerja outsourcing. Sementara duplikasi pocong di tangannya adalah sosok Rangga Ajie Khairul Darma, bocah berusia 3,5 tahun dan putra ketiga Pak Darmayanto. Ia mengidap penyakit kanker darah. Ia sempat dirawat di rumah sakit. Namun, saat masa skorsing berlangsung, pihak HRD SCTV menutup akses asuransi untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pak Darmayanto pun membawa anaknya pulang dan dirawat sekadarnya. 

Persis 12 Agustus 2012, atau dua bulan setelah masa skorsing diberlakukan, Rangga menghembuskan nafas terakhir di pelukan ayahnya, Pak Darmayanto. Tragis!

Secara denotatif, aksi membawa duplikasi pocong oleh pengunjuk rasa berpakaian koko hitam dan kopiah hitam merupakan reacment atau reka ulang atas peristiwa tragis yang dialami oleh Pak Darmayanto, lengkap dengan segala ketegaran dan kepedihannya. Pada aksi unjuk rasa itu, Pak Darmayanto berada di barisan lain seraya terus menghisap rokok untuk membunuh kegundahannya. Narasi dari atas mobil komando tak urung membuatnya menangis lantaran teringat akan duka yang terus dirasakannya.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa para pengunjuk rasa telah mengirimkan pesan denotatif soal peristiwa tragis yang dialami oleh seorang korban skorsing dan regulasi pemberdayaan pekerja outsourcing di SCTV. Pesan ini sangat telanjang dan jelas: peristiwa buruk yang dialami pekerja semasa perusahaan menjatuhkan kebijakannya. Dan kebijakan itu menimbulkan korban jiwa: seorang bocah!

Beranjak kepada pembacaan secara konotatif, maka akan semakin berhamburan pesan yang ingin disampaikan dalam aksi itu. Pakaian hitam dan kopiah hitam yang dikenakan oleh pengunjuk rasa menandakan duka mendalam yang dirasakannya hingga sekarang. Ia terus menggendong sang putra dan ini memberikan pembuktian bahwa ia sangat terpukul hingga tak ikhlas memberikan jasad itu kepada orang lain.

Ia ingin terus mendekapnya hingga ia memasuki liang lahat. Pesan yang ingin dikatakan: bisakah kita merasakan duka Pak Darmayanto, bisakah pihak manajemen SCTV merasakan kesedihan Pak Darmayanto, dan bisakah para pemilik modal SCTV memikirkan ulang penerapan kebijakan outsourcing agar tak membunuh nasib para pekerja tetapnya?

Sedangkan aksi membawa keranda mayat, sesungguhnya juga merupakan reacment atau reka ulang atas wafatnya istri Suyanto, satu dari 40 pekerja tetap SCTV yang diskorsing lantaran menolak di-PHK dan dialihkan menjadi pekerja outsourcing. Meski masih dibutuhkan pembuktian soal hubungan sebab-akibat antara peristiwa skorsing dan peristiwa kematian sang pekerja, hal itu tidak bisa menghapuskan kenyataan bahwa peristiwa kematian itu terjadi di tengah masa skorsing.

Ada fakta yang tidak bisa dibantah bahwa peristiwa skorsing yang mengarah pada PHK telah menghancurkan mental para istri dan anak-anak para pekerja. Bayangkanlah bila keresehan itu juga mesti dialami oleh seorang istri yang sakit parah.

Secara denotatif, aksi membawa keranda mayat oleh sejumlah pengunjuk rasa itu merupakan pesan soal peristiwa tragis yang dialami oleh seorang korban skorsing dan regulasi pemberdayaan pekerja outsourcing di SCTV. Pesan ini sangat telanjang dan jelas: peristiwa buruk yang dialami pekerja semasa perusahaan menjatuhkan kebijakannya. Dan kebijakan itu menimbulkan korban jiwa: dari kalangan istri pekerja tetap!

Beranjak kepada pembacaan secara konotatif, maka akan semakin berhamburan pesan yang ingin disampaikan dalam aksi itu. Ekspresi dingin para pembawa keranda mayat menandakan duka mendalam yang dirasakan oleh teman-teman korban. Mereka memberikan pembuktian bahwa mereka juga sangat terpukul dan tak ikhlas mesti ada korban lain setelah kematian Rangga. Pesan yang ingin dikatakan: bisakah kita merasakan duka Pak Suyanto dan teman-temannya, bisakah pihak manajemen SCTV merasakan kesedihan Pak Suyanto dan teman-temannya, dan bisakah para pemilik modal SCTV memikirkan ulang penerapan kebijakan outsourcing agar tak “membunuh” nasib para pekerja tetapnya?

Aksi itu merupakan pesan tentang  sejarah hitam di perusahaan itu. Sebuah catatan tentang kesewenang-wenangan pihak manajemen SCTV terhadap pekerja tetapnya. Pesan itu begitu kuat. Karena itu, para pengunjuk rasa pun makin mempertajamnya dengan sengaja membawa masuk ke areal pusat perbelanjaan Senayan City (bahkan diiiringi kalimat "Inna lillahi wa ina ilaihi rojiun"), guna diserahkan kepada pihak manajemen. 

Parahnyam, sepasukan keamanan gedung mencoba menahannya. Maka, suasana dramatis pun semakin menjadi-jadi. Bila tidak dikendalikan, penghambatan ini bisa menyulut emosi para pengunjuk rasa lain. Syukurlah, perdebatan itu tidak panjang dan memberi peluang pembawa duplikasi pocong dan keranda mayat memasuki areal hingga lobi SCTV Tower. 

Di tempat itu, sempat teerjadi ketegangan lantaran pihak manajemen SCTV bersikeras menolak menerima kedua simbol kesewenang-wenangan perusahaan terhadap para pekerja tetapnya itu. Padahal di tempat itu, di antara para petugas keamanan, juga terlihat Sekretaris Perusahaan Hardijanto Suroso, Wakil Pemimpin Redaksi Liputan 6 Putut Trihusodo, juga Pjs. Kadiv HRD Widodo. Bahkan, duplikasi pocong dan keranda mayat sempat digeletakkan di atas tanah sambil “menyaksikan:” perdebatan antara pengunjuk rasa dan perwakilan manajemen SCTV.

Peristiwa penggeletakan duplikasi pocong dan keranda mayat itu, secara konotatif, makin memperkuat penafsiran bahwa pihak manajemen SCTV memang tidak pernah menghargai simbol-simbol kedukaan, pihak manajemen SCTV memang tidak pernah peka terhadap perasaan para pekerja tetapnya, dan pihak manajemen SCTV memang tidak pernah mempedulikan akibat-akibat atas perbuatanya. Hati para pengelola perusahaan media itu telah membatu dan bebal. Dan ini memperkuat kenyataan soal pembelakuan kebijakan perusahaan yang memang sangat tidak berpihak kepada pekerjanya. Lebih khusus lagi, bila hal ini ditujukan kepada pemilik modal SCTV [baca: The Three Musketers Sariaatmadja] yang selama ini dihgembar-gemborkan santun dan religius, ternyata bohong belaka. Sekadar pencitraan!

Dengan demikian, mitos tentang kerakusan pengusaha-pengusaha kapitalis yang belakangan ini berhamburan ke wilayah media, makin tidak terbantahkan. Kerakusan mereka yang mesti diimplementasikan dalam bentuk efisiensi hingga pemberdayaan pekerja outsourcing secara gila-gilaan memang bukan rumor. Bahkan, para pengelola itu pun tak memperdulikan social cost dan akibat-akibat lain yang dimunculkan akibat ambisi menjalankan strategi yang dijalankan secara arogan itu.  

Inikah ideologi yang dibanggakan oleh kalangan kapitalis?

Pembacaan atas peristiwa Aksi Simpatik SP SCTV dengan penghadiahan duplikasi pocong dan keranda mayat, barangkali, bisa menjadi bahan perenungan soal keberadaan media di Tanah Air. Kali ini, kita tidak menyinggung soal pelanggaran demi pelanggaran terkait penggunaan frekuensi publik, pelibatan modal asing dalam bisnis media itu, transparansi akuisisi atau merger media sejenis, hingga sampah-sampah dalam rupa isi media. Karena, ternyata cara penanganan perusahaan media itu terhadap pekerja tetapnya, memang sangat tidak manusiawi dan sangat memperkokoh citranya sebagai budak kapitalis.[]

Rabu, 16 Januari 2013

Aksi Simpatik SP SCTV di Rakyat Merdeka


HAPUS OUTSOURCING: Ratusan buruh dari Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) demonstrasi di depan Gedung SCTV, Jakarta, Senin (14/1) kemarin. Mereka menuntut penghapusan outsourcing.

SCTV Dihadiahi Pocong dan Keranda



Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) dihadiahi duplikasi pocong dan keranda mayat oleh pengurus Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) dalam aksi unjuk rasa di halaman SCTV Tower, Jalan Asia Afrika Lot 19, Jakarta Pusat, Senin (14/1). Kedua hadiah itu merupakan simbol jasad Rangga dan istri Suyanto, anggota keluarga pekerja tetap SCTV, yang meninggal dunia saat pihak HRD menjatuhkan keputusan skorsing secara sepihak terhadap 40 pekerja tetapnya sejak Juni tahun lalu.

“Rangga meninggal dengan tragis di pelukan ayahnya, Pak Darma, lantaran Pak Darma tidak mampu membawanya ke rumah sakit. Saat itu Pak Darma diskorsing secara sepihak karena menolak tawaran PHK, yang selanjutnya akan dialihkan menjadi pekerja outsourcing di bawah bendera PT ISS,” jelas narator dari mobil komando.

Aksi teatrikal membawa duplikasi pocong dan keranda mayat itu sempat dihambat oleh petugas keamanan yang dengan ketat mengawal setiap jengkal areal pusat perbelanjaan Senayan City. Setelah dilakukan negosiasi, kedua hadiah itu pun berhasil dibawa masuk ke areal Senayan City hingga mencapai lobi SCTV.

Pihak manajemen SCTV sempat bersikeras menolak menerima duplikasi pocong dan keranda mayat hingga membuat sekitar 500 pengunjuk rasa menjadi berang. “Kedua duplikasi itu adalah pembuktian kekejian dan kelaliman pihak SCTV, yang dengan semena-mena menutup seluruh akses para pekerja tetap yang menolak dioutsourcing. Bahkan, akses untuk mendapatkan pengobatan pun dihentikan secara sepihak sebagai intimidasi kepada para pekerja tersebut,” tambah narator.

Pada akhirnya, Kepala Keamanan SCTV Sugianto menerima kedua hadiah dari pengurus SP SCTV itu. Lantas para pengunjuk rasa yang berkumpul sejak pukul 10 pagi itu pun melanjutkan aksi unjuk rasa dengan orasi-orasi.

“Tahun lalu, 159 pekerja tetap SCTV mendapatkan perlakukan diskriminatif. Mereka juga diintimidasi agar mau menandatangi surat PHK dengan bonus dipekerjakan kembali sebagai karyawan outsourcing. Tapi, 40 di antaranya menolak dan hingga kini tengah menempuh jalur hukum,” kata Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda.

Selain mempermasalahkan keputusan skorsing secara sepihak terhadap 40 pekerja tetap SCTV, aksi itu juga mempertanyakan keputusan PHK secara sepihak kepada seorang jurnalis Liputan 6. “Ia sudah bekerja selama 19 tahun, tapi masih juga mendapatkan perlakuan diskriminatif dan diintimidasi agar menerima keputusan PHK. Ia menolak dan justru di-PHK secara sepihak,” tambah Agus.  
  `
Aksi warga SP SCTV kali ini dikawal oleh pengurus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)  dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia), serta ratusan warga serikat-serikat pekerja yang berafiliasi kepada Aspek Indonesia. Aksi selama sekita rempat jam itu tak urung membuat areal pusat perbelajaan Senayan City menjadi sepi.[SP SCTV]

SCTV Didemo Serikat Buruh



Jakarta, Radar Nusantara: Ratusan Pekerja dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia), Serikat Pekerja Certis, Serikat Pekerja SCTV, KSPI, MPBI, Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (sejagad) mendatangi Gedung SCTV Jakarta, Senin (14/1).

Menurut Korlap Aksi, M. Yusro Khazim, "Kebijakan yang di terapkan terhadap buruh sangat memprihatinkan dan tidak manusiawi, tanpa melalui kesepakatan bersama, buruh selalu harus di paksa tunduk terhadap peraturan dan kesewenang - wenangan yang mana hal tersebut mencekik nasib para buruh dan bahkan sampai di PHK sepihak".

Ketua umum Serikat Pekerja SCTV, Agus Suhanda mengatakan "Saya sudah 18 tahun bekerja di SCTV, dan memiliki SK sebagai Karyawan Tetap. Namun sejak beberapa bulan yang lalu, Manajemen sangat terlihat menerapkan konsep Flexibility Labor Market (Pasar Kerja Fleksibel) dengan menerapkan system Oustsorcing salah kaprah terhadap sejumlah karyawan tetap di sejumlah divisi bahkan di berlakukan secara semena-mena.

Di aplikasikan dengan melakukan diskriminasi, intimidasi, pemutusan hubungan kerja terhadap 159 pekerja tetap dari divisi general service pada Juni 2012. Dari jumlah tersebut, 119. Meskipun di PHK namun di pekerjakan kembali dengan status Outsorcing, sedangkan 40 lainnya menolak dan melawan yang sampai saat ini kasusnya belum tuntas".

Agus menambahkan, "pihak Managemen dengan strategi komodifikasi media juga mengaplikasikan secara kasar dan semena - mena dengan melakukan diskriminasi, intimidasi dan pemutusan hubungan kerja sepihak terhadap seorang Jurnalis - Jurnalis pada pertengahan Desember tanpa pesangon sepeserpun, bahkan penolakan justru di balas pihak HRD dengan menawarkan pesangon yang merujuk pada pasal 156 serta tetap bersikeras tidak membayarkan upahnya. Meskipun sudah ada Undang - Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan".

Dengan aksinya masa menuntut :

1.  Agar managemen mencabut Surat Keputusan Outsourcing terhadap 40 pekerja tetap divisi general dan mempekerjakannya kembali.
2. mencabut Surat Keputusan PHK sepihak terhadap seorang Jurnalis dan mempekerjakan kembali.
3. Agar menghentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi.
4. Menghentikan Kebijakan Pemberdayaan Tenaga Outsorcing dan Tenaga Kerja dengan upah murah.

Dalam orasinya masa bertekad akan terus melakukan perlawanan secara hukum, dan akan terus melakukan aksi bersama dengan solidaritas serikat buruh lain sampai tuntutanya di penuhi. (RADAR NUSANTARA).

Tolak Outsourcing, Ratusan Karyawan SCTV Unjuk Rasa



VIVAnews - Sekitar 700 buruh yang tergabung dalam Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspek Indonesia) mengelar aksi unjuk rasa di depan gedung SCTV, Jalan Asia Afrika, Jakarta Pusat, Senin 14 Januari 2013.

Mereka mengawali aksi dari depan Gedung Telkomsel, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Kemudian, dilanjutkan beriringan dengan menggunakan sepeda motor menuju gedung SCTV di Jalan Asia Afrika.

Para buruh yang sebagian besar petugas keamanan atau Satpam di PT Telkomsel dan SCTV, menuntut agar dihapuskan sistem outsourcing (alih daya) yang berkelanjutan. Mereka juga meminta agar Satpam yang sudah menjadi pegawai tetap tidak dilimpahkan ke perusahaan outsourcing PT Graha Sarana Duta dan ISS

Menurut Ketua Umum Serikat Pekerja SCTV, Agus Suhanda (42 tahun), ada sekitar 159 karyawan yang statusnya sudah jadi pegawai tetap dialihkan ke perusahaan outsourcing. "Kami menuntut agar pegawai yang sudah tetap tidak diserahkan ke perusahaan outsourcing, yaitu ISS. 159 pekerja di-PHK sepihak, 119 beralih jadi karyawan outsorcing ISS dan 40 orang menolak," kata Agus.

Untuk mengamankan jalannya unjuk rasa Kapolsek Tanah Abang, Ajun Komisaris Besar Suyudi Ario Seto, mengaku mengerahkan 177 anggotanya. "Kami menurunkan 177 personel gabungan dari Polres Jakarta Pusat, Sabara, dan Brimob," kata dia. (VIVANEWS)

Tolak Outsorcing, Karyawan SCTV Gelar Demo



Jakarta, ON: Ratusan karyawan SCTV melakukan aksi unjuk rasa di kantor mereka yang terletak di Senayan City, Jakarta. Dalam aksinya, mereka menuntut hak-haknya sebagai karyawan dan menolak dijadikan karyawan outsourcing.

Dalam aksinya, mereka yang merupakan pegawai tetap ini menolak dijadikan karyawan outsourcing. Para pendemo menyebut perusahaan akan memecat mereka lalu dijadikan karyawan outsourcing. "Kita akan kehilangan hak-hak kita kalau jadi karyawan outsourcing," teriak salah seorang orator pendemo.

Aksi demonstrasi juga dipicu pihak perusahaan yang menutup akses jaminan kesehatan para karyawan. Menurut para karyawan, gara-gara jaminan kesehatan ditutup, anak seorang pegawai meninggal dunia.

Darmayanto, seorang sekuriti yang telah bekerja selama 19 tahun harus mengikhlaskan putra ketiganya, Rangga Ajie Khairul Darma yang berusia 3,5 tahun. Rangga yang mengidap leukimia akhirnya meninggal pada 12 Agustus lalu karena akses kesehatan yang dimilikinya bapaknya telah ditutup oleh perusahaan.

"Jangan sampai itu menimpa anak-anak kita lagi," ujarnya. 

Aksi itu sendiri diikuti beberapa serikat pekerja yang ada di bawah manajemen SCTV seperti Astek (Association of Indonesia Union), KSPI (Konfederasi serikat pekerja Indonesia), Sepaham (Serikat pekerja sandi putra makmur) dan lainnya.[ANGGA.WEB.ID]

Unjuk Rasa 3,5 Jam Karyawan SCTV Tidak Membuahkan Hasil


Ratusan massa yang melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor salah satu media elektronik, SCTV di kawasan Asia Afrika, Tanah Abang, Jakarta Pusat saat ini hendak meninggalkan lokasi unjuk rasa.


Aksi unjuk rasa yang digelar sejak pukul 10.00 WIB hingga 13.40 WIB tidak membuahkan hasil apa-apa. "Hingga saat ini tidak ada respons dari petinggi-petinggi kantor. Perwakilan kami saja tidak ada yang diterima di dalam," ujar Koordinator Pendemo, H. Sudirman, saat ditemui di depan gedung SCTV Tower, Asia Afrika, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (14/1).

Kendati demikian, para pengunjuk rasa masih tetap bersemangat dalam memperjuangkan hal-hak mereka sebagai buruh yang telah bekerja selama puluhan tahun.

"Biar bagaimana pun juga kami akan terus memperjuangkan hak-hak kami. Kami tidak ingin dialihkan menjadi karyawan outsourcing. Karena itu berarti penindasan," tegas Sudirman lagi.

Rencananya, lanjut Sudirman, pihaknya akan terus melakukan aksi demo di kemudian hari. "Ya nanti akan kami koordinasikan lagi, kapan akan menuntut hak kami lagi," ucap Sudirman lagi.

Aksi demo ini berpangkal ketika terdapat kebijakan baru yakni, sejumlah karyawan tetap akan dialihkan statusnya menjadi karyawan outsourcing. "Sampai saat ini tidak ada alasan jelas kenapa dialihkan ke outsourcing. Udah gitu kalau outsourcing itu nanti kesejahteraan seperti jaminan kesehatan bakalan ditekan, UMP pun tidak seperti yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah," imbuh Sudirman.

Sementara itu, menurut pantauan merdeka.com, para pengunjuk rasa berangsur-angsur membubarkan diri dengan mengendarai sepeda motor. Pihak kepolisian pun masih tetap melakukan pengawalan terhadap mereka. Saat ini di lokasi demo tinggalah sampah-sampah air mineral ukuran gelas yang sedang dibersihkan pemulung sekitar.[MERDEKA.COM]

Pendemo SCTV: Banyak Media Berjualan Kepentingan Politik



Ratusan karyawan SCTV yang tergabung dalam berbagai aliansi siang ini menggeruduk kantor mereka di Senayan City, Jakarta. Selain menuntut hak seperti jaminan kesehatan, mereka juga mengkritisi kebijakan pemberitaan di media saat ini.

"Ada banyak persoalan di media yang terjadi seperti jual beli frekuensi pabrik. Pemilik-pemilik media berjualan untuk kepentingan politiknya. Banyak media di indonesia yang menyiarkan kepentingan-kepentingan pemiliknya. Dan pemilik partai yang memiliki media yang mempunyai kepentingan partainya" teriak seorang pendemo melalui pengeras suara, di pelataran lobi Kantor SCTV, Senayan City, Jakarta Selatan, Senin (14/1).

Mereka juga mengkritisi perlakuan media terhadap karyawannya. "Lawan pemilik media yang melakukan penindakan terhadap buruh-buruhnya, yang memindahkan ke outsourcing secara semena-mena," tambahnya.

Pantauan merdeka.com, sampai siang ini mereka masih terus berunjuk rasa. Di lobi kantor SCTV terlihat puluhan sekuriti berseragam safari biru tua yang berjaga-jaga. Sebanyak 177 personel kepolisian pun turut mengamankan jalannya demo.

"177 dari polda, polres, Polsek Tanah Abang," ujar Kapolsek Tanah Abang AKBP Suyudi Ariseto, di lokasi demo.[MERDEKA.COM]

Ratusan Karyawan SCTV Demo Tuntut Jaminan Kesehatan



Ratusan karyawan SCTV yang tergabung dalam berbagai aliansi siang ini menggeruduk kantor mereka di Senayan City, Jakarta. Mereka menuntut hak-haknya sebagai karyawan dan menolak dijadikan karyawan outsourcing.

Pantauan merdeka.com, Senin (14/1) demo tersebut diikuti beberapa serikat pekerja yang ada di bawah manajemen SCTV seperti Astek (Association of Indonesia Union), KSPI (Konfederasi serikat pekerja Indonesia), Sepaham (Serikat pekerja sandi putra makmur) dan lainnya.

Dalam aksinya, mereka yang merupakan pegawai tetap ini menolak dijadikan karyawan outsourcing. Para pendemo menyebut perusahaan akan memecat mereka lalu dijadikan karyawan outsourcing.

"Kita akan kehilangan hak-hak kita kalau jadi karyawan outsourcing," ujar salah seorang orator pendemo.

Demo juga dipicu pihak perusahaan yang menutup akses jaminan kesehatan para karyawan. Menurut para karyawan, gara-gara jaminan kesehatan ditutup, anak seorang pegawai meninggal dunia.

Darmayanto, seorang sekuriti yang telah bekerja selama 19 tahun harus mengikhlaskan putra ketiganya, Rangga Ajie Khairul Darma yang berusia 3,5 tahun. Rangga yang mengidap leukimia akhirnya meninggal pada 12 Agustus lalu karena akses kesehatan yang dimilikinya bapaknya telah ditutup oleh perusahaan.

"Jangan sampai itu menimpa anak-anak kita lagi," terangnya. 

Demo tidak mengganggu jalannya lalu lintas di sekitar Senayan. Demo dijaga puluhan aparat kepolisian.[MERDEKA.COM]

Karyawan SCTV Berencana Ikut Demo


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ratusan orang yang terdiri dari serikat pekerja berencana menggelar aksi unjuk rasa di kantor PT Telkomsel, Kantor Pusat PT Telkomsel dan Kantor SCTV, Senin (14/1/2013).

Informasi yang dihimpun Tribunnews.com aksi tersebut digelar oleh 500 orang gabungan dari ASPEK Indonesia dan Serikat Pekerja Graha Duta dan Karyawan SCTV. Aksi ini sudah diinformasikan ke pihak kepolisian. Anggota juga telah disiapkan untuk mengamankan aksi yang rencananya berlangsung pukul 08.00 wib sampai pukul 17.00 wib.[TRIBUNNEWS.COM]

Membedah Manuver dan Resep Bisnis Keluarga Sariaatmadja


Gebrakan bisnis keluarga Sariaatmadja -- lewat Grup Emtek -- makin menggila. Setelah mencaplok SCTV, kini mereka siap menguasai Indosiar. Siapa mereka sejatinya? Bagaimana mereka meraksasa dan terus ekspansif?

Liburan Haeny Susilowati (24 tahun) pada Minggu, 26 Agustus 2007, berjalan lebih ceria. Maklum, ia diajak calon suaminya, karyawan PT London Sumatra Plantation Tbk. (Lonsum), mengikuti jalan pagi bersama 6.000-an orang lainnya, dari Gedung SCTV menuju Senayan City. Apalagi, setiba di halaman Senayan City, Susi melihat beragam pentas hiburan sudah disiapkan, dengan mendatangkan artis-artis beken. Sehabis itu, ia ditraktir makan-makan di Urban Kichen. Hanya saja, saat itu Susi sempat bertanya-tanya mengapa yang akan pindah kantor SCTV, tapi banyak sekali karyawan perusahaan lain yang juga diundang, termasuk karyawan Lonsum dan karyawan lain yang memakai seragam bertuliskan “Emtek Group”. Susi penasaran karena selama ini calon suaminya sama sekali tak pernah menyebut-nyebut SCTV, apalagi Grup Emtek. Ia tak tahu bagaimana hubungan antara Grup Emtek, SCTV, dan Lonsum. Hanya saja, rasa penasarannya itu segera buyar bersamaan dengan riuhnya letusan balon sebagai penanda ulang tahun SCTV di pagi itu.

Bagi sebagian besar orang, termasuk kalangan pebisnis sekalipun, Grup Emtek memang bukan nama yang familier -- tak seperti Grup Salim, Bakrie, atau Sinarmas. Sebab itu, kalau banyak orang seperti Susi tak tahu kiprah grup ini, sebenarnya wajar-wajar saja. Padahal, kini Grup yang dikendalikan keluarga Sariaatmadja ini telah menjelma menjadi raksasa bisnis baru di Indonesia yang terus menggebrak, khususnya di bisnis media. 

Kiprah Emtek beberapa tahun terakhir memang menarik disimak. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah manuver bisnisnya. Di bisnis media, tanpa gembar-gembor, keluarga Sariaatmadja memiliki mayoritas saham SCTV. Semua tahu, SCTV adalah satu di antara dua stasiun televisi terbesar (bersama RCTI) di Indonesia yang kinerjanya cukup kinclong. Tahun 2006, aset PT Surya Citra Media Tbk. (SCM, perusahaan yang memayungi SCTV) mencapai Rp 1,82 triliun dengan penjualan bersih Rp 1,2 triliun. Selama dua tahun terakhir keluarga ini telah menguasai 78,69% saham SCTV – stasiun TV yang didirikan kongsi Sudwikatmono, Peter Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Trihatmodjo, dan Azis Mochtar. 

Pada 2001, keluarga Sariaatmadja masuk SCTV melalui PT Abhimata Mediatama, dengan porsi saham hanya 17%. Namun pada Juli 2005 keluarga ini membeli sebanyak 473 juta unit saham sehingga menjadi pemilik mayoritas SCM. Mereka membeli sisa saham PT Citrabumi Sacna milik Henry Pribadi dan PT Indika Multimedia kepunyaan Agus Lasmono -- anak Sudwikatmono. Kini dominasi dan kontrol keluarga Sariaatmadja di SCTV bisa dilihat pada struktur organisasi SCM dengan Fofo Sariaatmadja (anak ke-4 keluarga Sariaatmadja) duduk sebagai dirut dan Eddy Kusnadi Sariaatmadja (anak ke-3) sebagai komisaris.

Bukan hanya di bisnis media. Kiprah bisnis keluarga ini juga tak bisa disepelekan karena ternyata juga mengendalikan (64,4%) salah satu perkebunan besar di Indonesia, PT London Sumatra Plantation Tbk. Lonsum adalah perusahaan perkebunan tertua di Indonesia yang menanam kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan lain-lain, yang awalnya didirikan perusahaan konglomerat asal London. Kini Lonsum menguasai lahan perkebunan seluas 85 ribu hektare -- 63 ribu ha kebun sawit dan 16,5 ribu ha kebun karet. Tahun 2006 perusahaan yang punya total aset Rp 2,98 triliun ini mampu membukukan penjualan bersih Rp 2,1 triliun. 

Toh, gebrakan bisnis keluarga ini yang paling menarik diamati memang di bisnis media. Setelah menguasai mayoritas saham SCTV, mereka baru saja mengakuisisi 100% saham O Channel, dengan mengambil alih dari Grup Mugi Rekso Abadi. Emtek masuk melalui PT Astika Lintas Buana. O Channel merupakan TV lokal dengan positioning sebagai televisi entertaintment -- yang mengarah ke commercial style -- dengan kemajuan cukup signifikan di Jabotabek. 

Berita yang paling hot adalah rencana Emtek mengakuisisi Indosiar, stasiun televisi milik Grup Salim. Jelas ini langkah yang menarik karena Indosiar diketahui sebagai salah satu the big four di bisnis pertelevisian nasional. Intensi mengambil alih Indosiar – meski sampai kini masih dalam proses – menunjukkan bahwa posisi Emtek bukan main-main. Dikabarkan, transaksi itu akan dilakukan dengan pola tukar guling, karena keluarga Sariaatmadja mempersilakan Salim membeli saham keluarga Sariaatmadja di Lonsum. 

Grup Salim sendiri nampaknya sengaja mengundang keluarga Sariaatmadja lantaran berhasil mengelola SCTV. Maklum, meski tahun 2006 Indosiar masih mempertahankan posisinya di empat besar dalam perolehan iklan (data AC Nielsen), secara keseluruhan kinerjanya cenderung turun sehingga butuh suntikan darah segar. Kabarnya, proses transaksi antara kedua grup ini masih dalam pengkajian lebih lanjut dan diperkirakan baru final pada akhir 2007 ini. Kalau betul nanti keluarga Sariaatmadja mengakuisisi mayoritas saham Indosiar, langkah itu akan menguatkan posisinya sebagai salah satu raja bisnis media di Tanah Air. 

Kalau itu terjadi, tentu saja merupakan pencapaian fenomenal buat keluarga tersebut. Kiprah keluarga Sariaatmadja membesarkan bisnis Grup Emtek memang mengejutkan banyak pihak. Tidak banyak yang tahu bagaimana keluarga ini membangun usaha. Tiba-tiba saja mereka sudah mengontrol beberapa unit bisnis yang berskala triliunan rupiah. Dari perkebunan besar beromset triliunan, stasiun TV terkemuka, bisnis teknologi informasi (TI) dengan klien bank-bank besar, dan bahkan kabarnya ikut pula mengembangkan beberapa proyek properti skala besar. Sebenarnya, bagi kalangan pelaku bisnis TI, nama keluarga Sariaatmadja tidak terlalu asing. Maklum, keluarga ini mulai mengembangkan bisnis dari dunia TI dan sampai kini posisinya di bisnis ini masih kuat. 

Sejarah dan perjalanan bisnis Grup Emtek tak lepas dari sosok Eddy Kusnadi Sariaatmadja karena dialah motornya. Eddy, anak ke-3 dari keluarga ini, begitu lulus kuliah dari New South Wales University, Australia, sempat membantu orang tuanya mengelola perusahaan jasa konsultasi perpajakan dan manajemen berskala kecil, bernama PT Eskapindo. Lalu, pada 1982 Eddy sempat ikut melakukan penyertaan saham (33%) di perusahaan transportasi Steady Safe milik Yopie Wijaya. Hubungan Eddy dengan Yopie cukup dekat, karena istri Eddy, Sofi Wijaya, adalah adik Yopie. 

Hanya tiga tahun Eddy bersama Steady Safe karena tahun 1983 ia memutuskan mendirikan PT Elang Mahkota Teknologi yang kelak menjadi kendaraan utama bisnisnya. Di Emtek, Eddy awalnya tidak sendirian, tapi bermitra dengan Piet Yauri. Kala itu, Piet adalah pemilik modal, sementara Eddy yang memiliki keahlian. Emtek mulanya membidangi pembuatan komputer jangkrik dengan merek sendiri yang namanya tidak sempat populer. Emtek baru mendapatkan momentum setelah dipercaya menjadi agen penjualan personal computer merek Compaq. “Ini tidak mudah karena waktu itu Compaq merupakan satu-satunya branded PC yang kompatibel dengan IBM. Emtek dipercaya dari awalnya sole agent menjadi sole distributor untuk Indonesia,” ujar Darwin Wahyu Sariaatmadja, anak ke-5 dari 6 bersaudara keluarga Sariaatmadja yang bertanggung jawab mengomandani bisnis TI dan telekomunikasi. 

Dari situlah, Emtek kemudian menemukan lompatan-lompatan untuk meraih berbagai peluang bisnis. Dari yang awalnya hanya jualan PC lalu melebar ke berbagai bidang bisnis TI, termasuk telekomunikasi. Adapun bisnis penjualan PC-nya tetap bisa berjalan sangat baik hingga awal 1990-an, dan sukses menjadi pemasok ke berbagai institusi pemerintah dan perusahaan swasta skala besar, khususnya industri perminyakan. Dari pundi-pundi bisnis jualan PC inilah keluarga Sariaatmadja konon mendanai pengembangan bisnis Emtek selanjutnya. 

Toh, diakui atau tidak, perkembangan Grup Emtek tak lepas dari kedekatan keluarga Sariaatmadja (khususnya Eddy) dengan Henry Pribadi, pemilik Grup Napan -- dulu merupakan pemilik utama Pan London (yang kemudian menjadi Lonsum) dan SCTV. Selain perkebunan dan stasiun TV, Napan juga punya bisnis petrokimia seperti PT Polypet Karya Persada yang memproduksi bahan baku untuk botol plastik. Dalam beberapa proyek Napan, kabarnya Eddy diajak bergabung dan Eddy sendiri memang punya keahlian, khususnya dibuktikan ketika ia berhasil menubruk peluang bisnis substitusi impor seperti bijih plastik. Jangan heran, Eddy sempat punya saham di 14 perusahaan Grup Napan meski dalam jumlah relatif kecil. 

“Tonggak keberhasilan Eddy, ya dari PT Emtek dan Napan Group itu. Meski sahamnya di Napan kecil-kecil, kalau 10 tahun akhirnya kan besar juga dananya, dan ia bisa melihat peluang-peluang,” demikian komentar Thomas Wibisono, pengamat konglomerasi dari Pusat Data Business Indonesia. Pernyataan Thomas tampaknya tak bisa diabaikan. Pasalnya, aset-aset besar yang kini dimiliki Grup Emtek (keluarga Sariaatmadja) umumnya adalah perusahaan di bawah kendali Napan, seperti Lonsum dan SCTV. 

Sebenarnya, kiprah Grup Emtek di bisnis TI tak surut. Kelompok usaha ini menggarap bisnis TI mulai dari jasa Internet service provider, content provider, application development hingga solusi TI korporat lainnya. Banyak aplikasinya yang disasarkan bagi segmen perbankan. Grup ini juga punya anak usaha yang menyediakan layanan akses Internet dan komunikasi melalui teknologi VSAT, yakni PT Tangara Mitrakom, yang menyasar perbankan yang punya banyak cabang di daerah. 

Emtek pun tampaknya tak mau ketinggalan mencicipi gurihnya bisnis telekomunikasi. Tak mengherankan, pada awal 2004 keluarga Sariaatmadja mendirikan perusahaan distribusi produk starter pack dan pulsa isi ulang dari Indosat (Mentari, Matrix, dll.), melalui bendera PT Sakalaguna Semesta. Di sini Grup Emtek melakukan joint venture dengan perusahaan Singapura yang sudah listed di bursa Negeri Singa, TeleChoice International Ltd. Pasti, omset Sakalaguna cukup besar karena perputaran industri ini kini sedang hot-hot-nya. Masih di bisnis telekomunikasi, melalui PT Abhimata, Emtek juga berbisnis membangun jaringan infrastruktur CDMA dengan pola profit sharing dengan Indosat. Kalau dihitung-hitung, anak usaha Grup Emtek di bisnis telekomunikasi dan TI memang cukup banyak. “Lebih dari 10 perusahaan,” kata Darwin.

Kabar lain yang cukup menarik, beberapa sumber menengarai keluarga ini juga punya penyertaan saham di beberapa proyek investasi keroyokan yang dikelola Grup Agung Podomoro. Antara lain, proyek properti The Peak, CBD Pluit, dan Senayan City. Langkah grup ini yang memindahkan kantor operasional SCTV, O Channel, dan beberapa perusahaan dalam Grup ke Senayan City disebut-sebut sebagai indikasinya. Bayangkan saja, di Senayan City mereka menempati area seluas 17.983 m2. Hanya dua lantai di antara ruang-ruang kantor di Senayan City yang tidak dipesan Grup SCTV. Toh, anggota keluarga Sariaatmadja ataupun kalangan direksi perusahaan Grup Emtek membantah soal kepemilikan keluarga ini di proyek-proyek properti. “Keluarga Sariaatmadja sama sekali tidak ada saham di Senayan City. Juga di proyek lain karena fokusnya bukan di situ,” kata Ade Salustra Widjaja, Direktur Komersial SCTV, berusaha mengklarifikasi.

Sebenarnya, ada isu menarik dari akselerasi bisnis Grup Emtek, yakni soal sumber pendanaan untuk investasi. Beberapa pihak menyangsikan keluarga ini bisa menguasai saham Lonsum ataupun SCTV hanya dengan mengandalkan laba dari bisnis TI. Beberapa sumber menyebutkan, asal dana mereka adalah kalangan investor luar negeri. Ketika membeli mayoritas saham SCTV dari Henry Pribadi tahun 2005 misalnya, dikabarkan Eddy Sariaatmadja didukung Singleton Group, perusahaan besar asal Australia. Singleton Group Ltd. merupakan hasil metamorfosis dari John Singleton Advertising Ltd. (JSA) pada 1996 yang bisnisnya cukup luas, dari jaringan radio, televisi, kehumasan, periklanan, hingga konsultasi operasi bisnis dan manajemen keuangan media. Eddy bisa bermitra dengan perusahaan ini karena John Singleton kabarnya adalah teman kuliah Eddy di New South Wales University.

Pengamat bisnis media Amelia Hezkasary Day yang juga mantan produser SCTV membenarkan sinyalemen itu. “Keluarga Sariaatmadja masuk ke SCTV dengan tiga entitas perusahaan. Di atas tiga entitas itu ada John Singleton,” ujar Amelia, yakin, seraya mengungkapkan keluarga Sariaatmadja masuk SCTV setelah Agus Lasmono memutuskan keluar dari SCTV. Hanya saja, menurutnya, penyertaan Singleton ini sulit dilacak karena keluarga Sariaatmadja sendiri masuk SCTV melalui nama Emtek.

Sayang sekali, ketika ditanya soal sumber pendanaan ini, Sariaatmadja bersaudara hanya tersenyum. Begitu pula, ketika SWA mencoba mengonfirmasi kebenaran apakah taipan media asal Australia Ropert Murdoch juga berada di balik gebrakan Emtek di bisnis media, tak ada jawaban. 

Seorang sumber menyebutkan, di lingkungan keluarga Sariaatmadja, orang yang bertugas dalam hal pencarian dana investasi ke luar negeri tak lain Eddy sendiri. Selain lebih banyak berperan di holding di SCM, “Eddy lebih banyak ke luar negeri mencari sumber dana dari teman-teman investor. Dia pintar dalam mencari dana dan memang punya konsep,” kata seorang petinggi Emtek yang tak mau disebut namanya. 

Jejaring Eddy tampaknya memang cukup luas. Ia dikenal dekat dengan Muhamad Glenn Yusuf, ahli keuangan dan pasar modal yang pernah menjadi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Bahkan, Glenn juga sempat diajak mengelola bisnis Emtek, termasuk duduk sebagai Presdir Lonsum dan menjabat komisaris di PT Surya Citra Media. Apalagi, kini Eddy dan Glenn pun bersama-sama memiliki perusahaan investasi di Singapura, Jasper Investment Ltd. 

Otoritas bursa Singapura tiga bulan lalu mengumumkan bahwa Eddy dan Glenn menguasai 47% saham Jasper Investment Ltd. yang tercatat di bursa Singapura. Dengan menggunakan nominee, kedua orang ini menambah kepemilikan sahamnya di United Overseas Bank Limited. Keduanya mengakuisisi 47% saham Jasper melalui Morton Bay (Holdings) Pte. Ltd, milik Barcelona Assets Inc. Di Barcelona Assets, Glenn merupakan pemegang saham mayoritas, sedangkan Eddy menggunakan kendaraan Citroen Capital Limited. Jasper Investment Ltd. sendiri sebelumnya bernama Econ International Ltd., perusahaan induk investasi. 

Betapapun harus diakui, keluarga ini cukup jeli dalam membangun bisnisnya. Salah satu kasus menarik adalah strateginya di Lonsum. Mereka membeli saham Lonsum dengan harga yang cukup murah karena masuk pada 1997. Dan kini, ketika industri crude palm oil menjadi industri hot, dan hampir semua grup besar ingin memasukinya, wajar bila saham keluarga Sariaatmadja dihargai sekitar Rp 5 triliun oleh Grup IndoAgri milik Salim. 

Di sini berarti ada keputusan pemilihan momentum bisnis yang tentu saja tepat. Bisa dibayangkan berapa capital gain yang dipetik keluarga Sariaatmadja dari transaksi Lonsum ini -- belum lagi keuntungan yang selama ini diperoleh. 

Ke depan, potensi memperoleh capital gain tentu juga akan kembali terbuka jika benar keluarga ini jadi membeli Indosiar. Maklum, kinerja keuangan Indosiar (PT Indosiar Karya Media Tbk.) sedang menurun sehingga tentu bisa dibeli dengan harga saham yang relatif lebih murah. Lihat saja, dalam dua tahun ini keuangan Indosiar rugi. Tahun 2005 mengalami rugi bersih Rp 141,2 miliar, dan membengkak menjadi Rp 297,6 miliar pada 2006. Peningkatan kerugian ini disebabkan pendapatan perusahaan yang semakin menyusut, dari Rp 817,5 miliar pada 2005 menjadi Rp 607,8 miliar pada 2006. Beberapa program andalannya dikabarkan kalah bersaing dengan RCTI, SCTV, dan Trans TV. 

Memang, khususnya soal Lonsum, beberapa pihak sempat mempertanyakan mengapa keluarga Sariaatmadja berniat menjual sahamnya di Lonsum padahal industri ini tengah hot dan pemain lain justru sedang masuk. “Lho, saya masih di dalam Lonsum kok meski kecil. Saham saya tidak saya lepas. Saya dulu membeli sahamnya juga bersama Grup IndoAgri,” Eddy mengelak. Soal kebijakan tukar guling ini, Eddy melihatnya sebagai langkah aliansi atau menggabungkan kekuatan dengan Salim. “Setelah penggabungan, kami kan bisa cepat berekspansi. Kita lihat saja Malaysia, tiga perusahaan kelapa sawit raksasanya sudah bersatu sehingga kapitalisasi pasarnya luar biasa besar,” tutur Eddy saat ditemui SWA di hari ulang tahunnya di Mercantile Athletic Club beberapa waktu lalu. 

Bila diamati, kejelian strategi grup ini bisa pula dilihat dari caranya menggarap pasar TI. Awalnya (1980-an), mereka giat sebagai distributor PC (hardware). Namun ketika melihat bisnis penjualan hardware tidak terlalu menarik, khususnya setelah berjangkitnya komputer rakitan (jangkrik) yang mendistorsi pasar produk branded, grup ini langsung lebih menekankan bisnisnya ke bisnis solusi TI. “Kami fokus di system solution khususnya banking. Hardware menjadi pelengkap saja,” tutur Darwin. Ia menyebutkan, beberapa solusi yang diberikan pihaknya untuk perbankan antara lain dalam hal treasury system, trade finance, dan switching system (misalnya, untuk ATM). 

Kini divisi TI Emtek juga tengah dalam proses mengakuisisi sebuah perusahaan TI di bidang solusi perbankan milik salah satu grup besar. “Ini untuk melengkapi total solution ke pelanggan karena perusahaan itu menangani payment solution untuk banking, sementara kami punya swicthing system-nya. Nanti kami kombinasikan,” ujar Darwin seraya menjelaskan, hampir semua bank besar di Indonesia menjadi kliennya. Tentu, penggeseran dan strateginya di bisnis TI ini menunjukkan mereka cukup piawai membaca tren bisnis TI yang dinamis. 

Naga-naganya, upaya grup ini menggenjot bisnis TI-telekomunikasi dilakukan secara simultan dengan penetrasinya di bisnis multimedia. Tak mengherankan, mereka agresif menguatkan posisinya di media dengan memiliki SCTV, membeli O Channel, serta dalam proses mengakuisisi Indosiar. Media-media itu akan disinergikan dengan bisnis TI karena keluarga ini meyakini: sekarang dan ke depan dunia telekomunikasi, TI, dan media mengalami konvergensi. “Konvergensi itu tak terelakkan. Ujung-ujungnya ke sana. Anda sudah bisa nonton TV di telepon genggam,” ujar Fofo yang selain menjadi Dirut SCTV juga dirut di beberapa unit bisnis TI Grup Emtek. 

Karena keyakinan akan konvergensi itu pula, sejak 2005 Emtek bermitra dengan Nokia mengembangkan teknologi digital mobile TV di Indonesia. Fofo mengklaim, Grup Emtek merupakan pemain yang pertama kali meluncurkan mobile TV di Indonesia. Pada Januari 2006 mulai dilakukan operasi dan riset gabungan bersama Nokia. “Kami tandatangani pakta kerja sama dengan Nokia, Emtek menjadi founder DBHFA (Digital Broadcasting Handheld for Asia Pasific),” kata Fofo sembari menjelaskan, pihaknya akan mengarahkan bisnis TI dan telekomunikasinya ke level internasional. 

Tentu saja, misi yang dipaparkan Fofo itu masih menjadi tanda tanya karena pelanggan bisnis telekomunikasi di Indonesia memang tidak terlalu cepat dalam mengadopsi teknologi baru, termasuk teknologi 3G yang memungkinkan akses konten hasil konvergensi itu. Kendati demikian, kalau itu sukses, grup ini akan beberapa langkah di depan para pesaingnya.[Sudarmadi