Rabu, 02 Januari 2013

SP SCTV Rilis Refleksi Akhir Tahun 2012



REFLEKSI AKHIR TAHUN 2012 SERIKAT PEKERJA SCTV
(STOP DISKRIMINASI, STOP INTIMIDASI, STOP PEMAKSAAN PHK)

1.    Tahun 2012 merupakan tahun keprihatinan bagi para pekerja di lingkungan stasiun Surya Citra Televisi (SCTV). Tahun ini menjadi pembuktian makin diterapkannya konsep flexibility labor market (pasar kerja fleksibel) oleh manajemen SCTV, yang dengan gegap-gempita memaksakan praktik outsourcing secara salah kaprah terhadap para karyawan di sejumlah divisi. Konsep itu secara terbuka memberlakukan aturan “mudah merekrut dengan upah murah dan mudah mem-PHK dengan biaya murah”. Para pekerja hanya dijadikan dan diposisikan sebagai sapi perah atau alat produksi, yang akan diperas habis-habisan di usia produktif dan akan dibuang seketika ketika dianggap tidak produktif.
2.    Lebih jauh lagi, konsep flexibility labor market itu juga diaplikasikan secara kasar dan semena-mena, dengan melakukan diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 159 pekerja dari Divisi General Services pada Juni 2012. Walhasil, sekitar 119 pekerja berhasil di-PHK dan diberikan “bonus” berupa dipekerjakan kembali dengan status sebagai karyawan outsourcing, sedangkan 40 pekerja lainnya memilih melawan dan hingga kini kasusnya belum tuntas.
3.    Dalam situasi berbeda, manajemen SCTV melalui jajaran pimpinan di tingkat divisi dan departemen, juga sangat aktif menjalankan strategi komodifikasi media yang mengonsepkan khalayak, organisasi, pekerja, dan isi media sebagai komoditas. Di tingkat komodifikasi pekerja, strategi itu diterjemahkan dengan membangun kondisi ketidaknyamanan, bahkan hingga mengarahkan ke satu modus: diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK, terhadap seluruh pekerja, termasuk pekerja dari kalangan kreatif dan jurnalis televisi. Bagi pekerja yang tidak kuat, maka mereka memilih mengundurkan diri. Sementara bagi pekerja yang lebih kuat dan memilih bertahan, maka ia akan menerima perlakukan “khusus” yang mengarah pada penurunan kinerja. Pada tahap berikutnya, rancangan kesalahan yang melibatkan HRD pun terjadi dan memaksa pekerja tersebut mundur dengan rancangan kesalahan yang telah disiapkan oleh pihak HRD.
4.    Lebih jauh lagi, strategi komodifikasi media itu juga diaplikasikan secara kasar dan semena-mena, dengan melakukan diskriminasi, intimidasi, dan keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak terhadap seorang jurnalis Liputan 6 pada pertengahan Desember 2012, dan tanpa pesangon sepeser pun. Bahkan, penolakan atas keputusan itu justru dibalas pihak HRD dengan menawarkan pesangon yang merujuk pada Pasal 165 Ayat 2, 3, dan 4, serta tetap bersikeras tidak membayarkan upahnya. Padahal Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa pekerja yang tengah berselisih PHK harus tetap menerima upah.
5.    Terkait pelaksanaan praktik-praktik diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK (bahkan PHK sepihak), pihak HRD juga terbiasa menggunakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan tafsiran mana suka untuk mementahkan pembelaan para pekerja. Keberhasilan strategi tersebut terbukti saat menyingkirkan 119 pekerja Divisi General Services dan menjadikannya sebagai pekerja outsourcing. Cara ini bukan hanya merupakan pembodohan terhadap para pekerja, tetapi juga pelecehan terhadap ketentuan hukum.
6.    Pada akhirnya, praktik-praktik diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK itu menjadi momok menakutkan bagi seluruh pekerja. Terlebih lagi, terkait dengan rencana digitalisasi yang akan memangkas banyak pekerja, maka situasi kerja yang tidak kondusif pun terjadi di seluruh divisi.
7. Bagi SP SCTV, catatan-catatan di atas bukan sekadar persoalan-persoalan ketenagakerjaan dengan segala implikasi hukumnya, tapi juga merupakan persoalan kemanusiaan. Pada wilayah tersebut pekerja bukan lagi dianggap sebagai manusia dengan segala kesempurnaannya, tapi tak lebih dari sapi perah atau komoditas tanpa hak dan masa depan. Dan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan penjajahan manusia atas manusia.


Beranjak dari keprihatinan dan tekad untuk menghentikan kesewenang-wenangan perusahaan dalam penanganan sumber daya manusia-nya, SP SCTV merasa sadar dan bertekad tidak akan tinggal diam dalam menyikapi berbagai permasalahan itu. Karena itu, SP SCTV memilih untuk bangkit dan berbuat sesuatu, dengan memosisikan diri sebagai mitra strategis perusahaan yang akan terus mengingatkan dan mendorong perusahaan agar membangun suasana kondusif dan harmonis.

Untuk mencapai target tersebut, SP SCTV telah menyusun langkah-langkah strategis sebagai Resolusi Tahun 2013, yakni:

1.    Melakukan pendampingan dan dukungan advokasi terhadap para anggota SP SCTV yang berselisih dengan perusahaan, baik di tingkat bipatrit, tripatrit, maupun PHI.
2.    Melakukan perlawanan secara hukum dengan mempidanakan perusahaan apabila tetap melakukan praktik-praktik diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK terhadap para anggota SP SCTV.
3.    Melakukan kampanye ke berbagai lembaga yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dan media, untuk mengabarkan kesewenang-wenangan perusahaan dan meminta untuk memberikan tekanan kepada perusahaan agar menghentikan praktik-praktik kotor tersebut.
4.    Melakukan aksi besar-besaran bersama para pekerja yang tergabung dengan serikat pekerja di bawah afiliasi DPP Aspek Indonesia sebagai unjuk keprihatinan atas kesewenang-wenangan perusahaan.
5.    Memublikasikan seluruh pernyataan, kegiatan, dan aksi yang terkait dengan upaya melawan praktik-praktik diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK itu, baik melalui media yang dikelola oleh SP SCTV maupun dengan meminta dukungan rekan-rekan dari media lain.
6.    Menyerukan kepada para anggota agar tetap solid dan memperkuat solidaritas sebagai bekal untuk melawan kesewenang-wenangan perusahaan.


Jakarta, 31 Desember 2012
Pengurus SP SCTV

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar