Sabtu, 12 Januari 2013

Pekerja Media Rawan Dikriminalisasi (1)

Menyambung pembahasan saya tentang konsep flexibility labor market sebagai implementasi strategi komodifikasi media, saya jadi teringat kasus teman-teman pekerja media yang dikriminalisasi oleh atasannya atau pihak HRD. Bahkan, para atasan sekelas pemimpin redaksi atau kepala divisi pun bisa dibantai oleh pemilik modal dengan semena-mena. Saya fokuskan pembahasan tentang masalah ini pada situasi di lembaga pemberitaan di hampir semua stasiun televisi.

Penentuan seorang pemimpin redaksi, yang umumnya dikontrak untuk masa kerja tertentu, menjadi wewenang mutlak dewan komisaris. Bahkan, penentuan itu juga dilakukan dalam pertemuan berbentuk Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Meski pertimbangan politis menjadi acuan penentuan figur itu, kenyataannya hal itu tidak memupus faktor profesionalisme. Seorang pemimpin redaksi dipilih, karena ia dianggap mumpuni di bidang jurnalisme dan pertelevisian, serta memiliki kecakapan manajerial. Dengan kondisi itu, pemimpin redaksi yang dipilih umumnya tidak akan diputus kontrak atau diberhentikan oleh Dewan Komisaris secara semena-mena, namun hal itu dilakukan setelah melewati pertimbangan dan mekanisme aturan yang baku.

Seperti sudah kelaziman, tekanan ekternal yang sangat bersifat politis menjadi kekuatan laten yang senantiasa mengancam kedudukan seorang pemimpin redaksi. Dan ketika tekanan itu menerpa pemilik modal, maka teguran hingga peringatan pun menjadi keharusan untuk segera diberikan kepada pemimpin redaksi. Para pemilik modal akan selalu memberikan respon selekas-lekasnya kepada pemimpin redaksi yang dianggap  bermasalah demi mengamankan bisnis yang telah dibangunnya. Ini logika paling masuk di akal. Dan, sekali lagi, tokoh kunci untuk menghentikan sepak terjang lembaga pers di lingkungan stasiun televisi itu berada di pundak pemimpin redaksi.

Ketika seorang pemimpin redaksi tidak sanggup lagi menahan beban yang semakin berat, pengunduran menjadi pilihan bijak yang harus ditempuh. Bagi kalangan jurnalis, idealisme adalah harga mati. Karena itu, ketika persoalan idealisme itu diganggu, maka keputusan untuk menghentikan kerja sama dan mengakhiri kiprah jurnalisme di lembaga itu mutlak harus dilakukan. Dan ketika pilihan ini dilakukan, biasanya hal itu akan diikuti eksodus sekelompok jurnalis televisi lain. Ini juga menjadi situasi rutin di sejumlah stasiun televisi swasta nasional di Tanah Air.

Di luar persoalan tekanan eksternal dan pemilik modal, pada kasus yang dialami sejumlah stasiun televisi swasta nasional lain, hal itu kerap dibumbui ”pergerakan politik” sekelompok jurnalis televisi seterunya. Biasanya, kelompok itu juga aktif berkonsolidasi dan bergerak ke pemilik modal, agar bisa meyakinkan sejumlah “dosa” yang dilakukan seorang pemimpin redaksi. Ketika kelompok itu memenangkan “peperangan” dan menggeser posisi pemimpin redaksi yang dibidiknya, maka ia juga menawarkan “jagoan”nya untuk menempati posisi puncak itu. Fase itu, kabinet baru dengan wajah-wajah baru di jajaran redaksi pun segera terbentuk dan sudah pasti ditempati para penyokong pemimpin redaksi yang baru. 

Uniknya, pengulangan sejarah dengan pola-pola politis dan sosiologis yang kurang lebih sama senantiasa terjadi. Seorang pemimpin redaksi berhenti dari jabatannya karena keinginan pemilik modal. Atau, pola itu diubah, seakan-akan sejumlah jurnalis televisi menyatakan kekecewaannya dan mengadu kepada pemilik modal. Setelah itu, pemilik modal mengabarkan kabar tidak sedap itu seraya memintanya mengundurkan diri. Babak berikutnya, pengunduran itu pun terjadi dengan sukses sambil diikuti mundurnya para jurnalis televisi lain.

Lantas muncul pemimpin redaksi baru seraya mengangkat para perwira tinggi baru, dan mencampakkan para perwira tinggi lama. Bahkan, jurnalis televisi yang tidak terlibat pun bisa mendapatkan ketidakberuntungan dalam karirnya lantaran dicap sebagai pengikut kelompok yang kalah. Pengulangan sejarah di lingkungan lembaga pers stasiun televisi semacam itu selalu terjadi, tanpa ada satu kekuatan pun yang bisa menolaknya. Pada akhirnya, eksodus para jurnalis televisi ke stasiun lain menjadi peristiwa biasa. Dan menjadi persoalan biasa pula bagi stasiun televisi yang ditinggalinya, untuk merekrut dan mendidik jurnalis televisi baru. Atau, kalau bisa, membajak dari stasiun televisi tetangga, dengan iming-iming gaji yang lebih besar dibandingkan stasiun televisi sebelumnya.

Pada bagian ini, persoalan kompetensi pada posisi-posisi fungsional itu pun senantiasa menjadi bagian yang selalu dipertaruhkan. Karena, seseorang bisa menempati posisi penting dan sangat vital bukan karena kemampuannya, tapi karena faktor kedekatan. Like and dislike menjadi cerita biasa dalam penentuan posisi tertentu, serta penilaian atas kinerja seorang jurnalis televisi. Pada akhirnya, kisruh kepemimpinan, iklim komunikasi organisasi yang kian tidak kondusif, budaya organisasi yang memburuk, dan etos kerja yang menurun, menjadi muara atas situasi politis dan sosiologis yang senantiasa terpelihara itu. 

Saat penelitian dilakukan, saya juga harus mencatat aktualisasi para petinggi stasiun televisi, yang sebelumnya tidak bersentuhan dengan dunia jurnalisme, bisa dengan leluasa memosisikan diri sebagai Ketua Dewan Redaksi atau anggota Dewan Redaksi—sebelumnya lembaga Dewan Redaksi tidak dikenal di lingkungan stasiun televisi swasta nasional. Dan dengan label baru itu, ia makin memperlihatkan campur tangannya terhadap ruang redaksi, tanpa malu-malu lagi dan terlalu vulgar. Contoh paling kentara adalah dalam penentuan pemimpin redaksi dan kepala departemen di bawahnya. 

“Dewan Redaksi umumnya melakukan rapat kebijakan tentang arah pemberitaan media bersangkutan. Namun sejalan dengan sistem pertanggungjawaban pers Indonesia sesuai UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, ada penanggung jawab yang juga bertanggung jawab atas bidang usaha yang ikut dalam Dewan Redaksi, biasanya selain bicarakan soal redaksi juga bicarakan soal usaha,” jelas wartawan senior dan Ketua PWI Jaya Kamsul Hasan tentang peran Dewan Redaksi.

Meski undang-undang memungkinkan tampilnya sosok nonredaksi yang mewakili penanggung jawab bidang usaha, kehadiran “lembaga” baru itu tetap menjadi pertanyaan besar di kalangan jurnalis televisi di setiap stasiun televisi.  Karena, ujung-ujungnya adalah penempatan pemimpin redaksi dan kepala departemen yang paling bisa “bersahabat” dengan pemilik modal dan siap memenuhi keinginan apa pun. “Persahabatan” itu, pada akhirnya akan sangat mengubah wajah lembaga pers di lingkungan stasiun televisi yang bersangkutan. Persoalan independensi yang dianggap sangat bernilai bagi kalangan jurnalis harus segera luntur bagi kalangan jurnalis televisi. Karena, pada kondisi seperti ini, ia mesti patuh pada tuntutan audience orientation dan organitation orientation. Demi tuntutan itu, maka isi media pun harus siap dikomodifikasi dan tanpa mengindahkan lagi kaidah jurnalisme televisi, bahkan etika komunikasi dan kode etik jurnalistik.[Nayunda Larasati]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar