Sabtu, 23 Februari 2013

Dimerger, SCTV-Indosiar Komit Tak PHK Karyawan


JAKARTA - Penggabungan induk usaha stasiun televisi SCTV, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), dengan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM), induk usaha Indosiar tidak akan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap keryawannya.

"Manajemen SCMA dan IDKM tidak bermaksud untuk melakukan pemutusan hubungan kerja sebagai akibat dari penggabungan," ungkap perseroan dalam keterangan tertulisnya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (21/2/2013).

Perseroan mengaku akan memperhatikan ketentuan UU Tenaga Kerja yang berlaku, termasuk apabila terdapat tenaga kerja yang tidak bersedia untuk melanjutkan hubungan ketenagakerjaanya maka sesuai Pasal 163 ayat 1 dari UU Tenaga Kerja, Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja di mana pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan UU Tenaga Kerja.

"Mengingat pada saat ini IDKM sudah tidak lagi memiliki karyawan, maka penggabungan ini tidak akan memiliki dampak terhadap karyawan IDKM," jelas dia.

Dia melanjutkan, gaji dan tunjangan yang diterima para pegawai setelah penggabungan akan tetap sama dengan nilai gaji dan tunjangan yang diterima para pegawai sebelum penggabungan.[OKEZONE]

SCTV-Indosiar Merger, Pemilik Elang Mahkota Masuk 40 Orang Terkaya Indonesia


Stasiun televisi SCTV dan Indosiar bakal segera digabung atau dimerger. Nantinya SCTV dan Indosiar akan berada di bawah PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), yang selama ini menjadi induk usaha dari SCTV.

“Peningkatan sinergi dan efisiensi Perusahaan Hasil Penggabungan tersebut juga diharapkan dapat diperoleh dari perampingan operasional dan penghapusan duplikasi kegiatan operasional yang sebelumnya harus dijalankan oleh dua perusahaan yang terpisah,” kata manajemen SCMA dalam keterangan tertulis, Kamis (21/2/2013)

Dalam keterangan tersebut disebutkan, Elang Mahkota memiliki 74,66 persen saham di SCMA. Adapun SCMA pemilik 99 persen saham di SCTV. Selain itu, Elang Mahkota juga memiliki 74 persen saham di IDKM. Adapun IDKM diketahui pemilik 99 persen saham di Indosiar.

Paska merger, Elang Mahkota akan memilki saham 74,46 persen saham di SCMA. Adapun SCMA pemilik langsung 99,9 persen saham di SCTV dan 99,9 persen saham di Indosiar.

“SCMA akan menjadi perusahaan hasil penggabungan. Meski demikian, proses pengambilan keputusan dan koordinasi kegiatan usaha di level anak usaha tetap di SCTV dan Indosiar,” tulis keterangan tersebut.

PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) selaku pemilik stasiun televisi PT Surya Citra Televisi Indonesia (SCTV) berhasil membeli PT Indosiar Visual Mandiri pada 2011 lalu. Akibat akuisisi ini, pemilik Elang Mahkota masuk menjadi 40 orang terkaya Indonesia.

Adalah Eddy Kusnadi Sariaatmadja selaku pendiri Elang Mahkota yang berhasil masuk jajaran 40 orang terkaya di Indonesia. Pria berumur 59 tahun ini menggeser Aburizal Bakrie selaku pemilik group media Viva Group dari jajaran 40 orang terkaya di Indonesia versi Forbes.

Seperti dikutip dari Forbes, Kamis (21/2/2013), nilai kekayaan Eddy per November 2012 mencapai US$ 730 juta atau sekitar Rp 6,9 triliun. Kekayaan Eddy meningkat dua kali lipat setelah sukses mengakuisisi Indosiar dari Grup Salim di 2011 dengan nilai pembelian Indosiar oleh EMTK mencapai Rp 2,03 triliun.[BisMan]

Pemilik SCTV dan Indosiar Meraup Untung Besar


JAKARTA. PT Elang Mahkota Teknologi Tbk menjual sebagian kecil kepemilikan sahamnya di dua anak usaha, yakni PT Surya Citra Media Tbk dan PT Indosiar Karya Media Tbk. Elang Mahkota menjual sebanyak 97,5 juta saham atau 5% saham Surya Citra dan 121,5 juta saham setara 6% saham Indosiar, pada Kamis (26/7) lalu. Pembelinya adalah profesional dan investor institusional.

Harga jual saham Surya Citra, pemilik stasiun televisi SCTV, adalah Rp 10.000 per saham, atau terdiskon 7,4% dari harga penutupan perdagangan saham di bursa sebelumnya di posisi Rp 10.800 per saham. Adalah saham IDKM dilego di harga Rp 5.880 per saham, atau diskon 2% dari harga penutupan perdagangan sebelumnya di posisi Rp 6.000 per saham. Perseroan kemarin telah melakukan crossing saham melalui Bursa Efek Indonesia dengan estimasi penyelesaian pada 1 Agustus 2012.

CLSA Singapore Ptd Ltd (CLSA) bertindak sebagai koordinator global tunggal untuk penjualan saham tersebut. Adapun pihak yang bertindak sebagai joint book runner untuk penjualan adalah CLSA, Credit Suisse (Singapore) Limited dan Deutsche Bank AG cabang Hongkong.

Direktur Legal dan Corporate Secretary Elang Mahkota, Titi Maria Rusli, mengemukakan, perseroan memperoleh pendapatan kotor senilai Rp 1,69 triliun dari penjualan saham tersebut. "Dana hasil penjualan saham akan digunakan untuk keperluan umum dan pengembangan usaha perseroan," ujar dia, dalam keterbukaan informasi ke otoritas Bursa Efek Indonesia, Jumat (27/7).

Tapi manajemen tidak menyebutkan secara mendetail pengembangan usaha tersebut. Komisaris Elang Mahkota, Fofo Sariaatmaja, tak merespons panggilan dan pesan singkat KONTAN, hingga Jumat malam.

Elang Mahkota jelas meraih untung besar dari aksi penjualan saham di dua anak usaha itu. Untuk penjualan Indosiar, misalnya, perseroan diperkirakan meraup untung senilai Rp 598,99 miliar. Sebab, Elang Mahkota mengakuisisi saham Indosiar di harga Rp 950 per saham, pada tahun lalu. 

Begitupun dengan penjualan saham Surya Citra, Elang Mahkota diperkirakan meraih untung minimal Rp 448,89 miliar. Kesimpulan ini mengasumsikan harga rata-rata saham Surya Citra pada tahun lalu di posisi Rp 5.396 per saham.

Pasca transaksi jual beli, pergerakan saham Surya Citra (SCMA) dan Indosiar (IDKM) di Bursa Efek Indonesia langsung merosot. Harga saham SCMA kemarin terpangkas 3,24% menjadi Rp 10.450 per saham, atau mendekati harga penjualan yang dipatok Elang Mahkota. Harga saham IDKM juga anjlok 6,67% menjadi Rp 5.600 per saham. Posisi tersebut di bawah harga penjualan oleh Elang Mahkota di Rp 5.880 per saham.

Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan penurunan harga saham kedua perusahaan media ini hanya bersifat sementara akibat penjualan saham oleh indusknya. "Penurunan tersebut karena menyesuaikan harga penjualan," ujar dia.

Prospek saham di sektor media masih menarik. Satrio memprediksi sektor riil yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia masih banyak memasang iklan di media massa sehingga kinerja emiten berpotensi meningkat. "Saya merekomendasikan beli SCMA dan IDKM apabila price to earning ratio (PER) di bawah 18 kali atau 20 kali karena masih murah," ujar dia.

Berdasarkan data Bloomberg, kemarin, estimasi PER SCMA dan IDKM hingga akhir tahun ini adalah 21,02 kali dan 35,57 kali.[KONTAN]

SCTV-INDOSIAR: Rasio Merger 1:0,481


JAKARTA--Proses penggabungan alias merger antara PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) dan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) dilakukan dengan rasio penukaran 1:0,481.

Dalam aksi merger yang mana IDKM akan melebur ke dalam SCMA ini, setiap 1 lembar saham Indosiar akan ditukar menjadi 0,481 saham SCMA.

Dalam proposal merger yang disampaikan kepada investor hari ini, Kamis (21/2/2013), disebutkan rasio tersebut didasarkan pada nilai harga saham sebesar Rp2.171 per saham untuk SCMA dan Rp1.044 per saham untuk IDKM.

Penilaian tersebut didasarkan pada harga penutupan pada 18 Februari 2013 sebesar Rp2.250 per saham untuk SCMA dan Rp1.082 per saham untuk IDKM yang mana harga untuk IDKM tercatat premium 9,3% dari harga penutupan sebesar Rp990 per saham.

Pascamerger, saham SCMA akan tetap tercatat di Bursa Efek Indonesia sedangkan saham IDKM akan delisting secara sukarela.

Pemegang saham SCMA dan IDKM saat ini akan memiliki sebesar 67% dan masing-masing 33% dari entitas gabungan.

Baik manajemen SCMA maupun IDKM berharap proses merger ini bisa rampung dalam dasar nilai buku yang bebas pajak.

Pascamerger ini, kapitalisasi pasar SCMA akan naik menjadi Rp32,89 triliun dari sebelumnya hanya Rp21,94 triliun dengan memerhitungkan tambahan kapitalisasi pasar dari IDKM sebesar Rp10,03 triliun.

"Pascamerger, SCMA akan menjadi 35 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI," tulis proposal itu.

Selain peningkatan kapitalisasi pasar, aksi merger juga akan meningkatkan free floating share SCMA sebagai holding company yakni sebanyak 3,73 juga saham free float.

Dari sisi pangsa pasar, kombinasi antara SCTV dan Indosiar akan mengukuhkan penguasaan penonton SCMA sebesar 25,2% untuk all time, 24,3% untuk prime time, dan 25,7% untuk non prime time.

Sementara itu, total pendapatan SCMA pascamerger juga akan naik menjadi Rp3,27 triliun sepanjang 2012 dengan laba bersih sebesar Rp1,17 triliun.

Dalam prospektus rencana merger yang dipublikasikan, Selasa (19/2), menyebutkan proses merger ditargetkan rampung pada 1 Mei 2013.

Kedua perseroan menyatakan telah mengantongi restu dari masing-masing dewan direksi pada 15 Februari 2013.

Sementara itu, tanggal efektif dari Otoritas Jasa Keuangan ditargetkan dapat dikantongi pada 20 Maret 2013.

Selanjutnya, kedua perseroan akan menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) guna meminta restu pemegang saham pada 5 April 2013.

Skema penggabungan yang dilakukan adalah Indosiar akan melebur ke dalam Surya Citra dengan nama PT Surya Citra Media Tbk.

Akibatnya, Indosiar akan melakukan delisting perdagangan sahamnya di Bursa Efek Indonesia yang diperkirakan terlaksana pada 6 mei 2013.

Dengan merger ini, diharapkan dapat meningkatkan sinergi dan efisiensi perusahaan akibat perampingan operasional dan penghapusan duplikasi kegiatan operasional yang sebelumnya harus dijalankan oleh dua perusahaan terpisah.

Selain itu, merger juga diharapkan dapat membantu memudahkan investor pasar modal yang akan berinvestasi pada kegiatan media televisi.

"Sehingga dengan hanya membeli saham pada satu perusahaan terbuka, investor telah secara tidak langsung dapat berinvestasi di SCTV dan Indosiar di bidang penyiaran swasta," tulis manajemen kedua perseroan.

Berdasarkan catatan Bisnis, penggabungan kedua entitas stasion televisi swasta nasional itu dilakukan seiring akuisisi atas Indosiar yang telah dilakukan oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek) selaku pemegang saham pengendali SCTV pada awal 2011.[BISNIS]

Inilah Mekanisme Peleburan SCTV dan Indosiar

JAKARTA, KOMPAS.com -   PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) akan melakukan merger dengan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM). Mekanismenya, Indosiar akan berada di bawah SCTV.

Dalam dokumen yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Corporate Secretary SCMA Hardijanto Saroso menjelaskan, mekanisme yang dipakai adalah setiap satu pemegang saham Indosiar akan ditukar dengan 0,481 saham SCTV.

Rasio itu diambil setelah ada penilaian independen berdasarkan valuasi saham terakhir kedua perseroan. Terakhir, harga valuasi saham SCTV sebesar Rp 2.171 per saham dan Rp 1.044 per saham untuk Indosiar.

Berdasarkan penutupan pada 18 Februari 2013, saham SCTV (SCMA) ditutup di level Rp 2.250 per saham dan Indosiar (IDKM) sebesar Rp 1.082 per saham. Nilai ini juga mewakili harga premium 9,3 persen pemegang saham Indosiar yang relatif dekat dengan penutupan harga di level Rp 990 per saham.

Nantinya, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) masih akan menjadi perusahaan terbuka di BEI setelah merger. Sementara Indosiar nantinya akan delisting. Nantinya juga pemegang saham SCMA dan IDKM akan memiliki masing-masing 67 persen dan 33 persen saham setelah dimerger.

Setelah merger, kapitalisasi saham SCMA akan menjadi Rp 32.898 triliun dengan nilai perusahan mencapai Rp 32,359 triliun. Nilai ini berdasarkan penutupan harga pasar pada 18 Februari 2013 dengan harga saham SCMA sebesar Rp 2.250 per saham.

Sementara susunan pemegang sahamnya nanti akan menjadi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) akan menggenggam SCMA sebesar 74,46 persen.

Sebanyak 25,54 persen dipegang publik. Sedangkan SCMA nantinya akan membawahi SCTV sebesar 99,99 persen dan PT Indosiar Visual Mandiri sebesar 99,99 persen. Proses ini akan efektif pada 1 Mei mendatang.

Informasi saja, IDKM dan SCMA merupakan anak usaha PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Berdasarkan laporan keuangan per September 2012, kepemilikan EMTK di SCMA mencapai 74,68 persen, sementara kepemilikan saham pada IDKM mencapai 74,08 persen.[KOMPAS]

Dalam Rangka Efisiensi, SCTV dan Indosiar Dimerger


Jakarta - PT  Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) pemegang mayoritas saham PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), pemegang brand  stasiun televisi SCTV dan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM), pemegang brand televisi Indosiar melakukan penggabungan usaha (merger).

"Dalam rangka efisiensi, penggabungan usaha dilakukan karena Surya Citra dan Indosiar memiliki pemegang saham pengendali yang sama yakni Elang Mahkota," demikian tertulis keterangan perseroan yang dipublikasikan, Rabu (20/2).

Dalam keterangan tersebut disebutkan, Elang Mahkota memiliki 74,66 persen saham di SCMA. Adapun SCMA pemilik 99 persen saham di SCTV. Selain itu, Elang Mahkota juga memiliki 74 persen saham di IDKM. Adapun IDKM diketahui pemilik 99 persen saham di Indosiar.

Paska merger, Elang Mahkota akan memilki saham 74,46 persen saham di SCMA. Adapun SCMA pemilik langsung 99,9 persen saham di SCTV dan 99,9 persen saham di Indosiar.
"SCMA akan menjadi perusahaan hasil penggabungan. Meski demikian, proses pengambilan keputusan dan koordinasi kegiatan usaha di level anak usaha tetap di SCTV dan Indosiar," tulis keterangan tersebut.

Dalam transaksi merger tersebut, setiap satu saham IDKM ditukar dengan 0,481 saham SCMA. Selanjutnya, para pemegang saham IDKM akan memegang maksimal 33 persen modal saham ditempatkan dan disetor pada perusahaan hasil merger. Sementara pemegang saham SCMA akan memegang maksimal 66 persen modal saham ditepatian dan disetor pada perusahaan hasil merger.

Manajemen SCMA dan IDKM menilai, diperlukan sinergi dan efisiensi dalam menyikapi pesatnya perkembangan industrian penyiaran swasta. Efisiensi hasil merger tersebut diharapkan dapat diperoleh melalui perampingan operasional dan penghapusan aktifitas yang dianggap duplikasi pada SCTV dan Indosiar. 

Penggabungan hasil merger ini diharapkan efektif pada 1 Mei 2012. Terhitung sejak itu, para pemegang saham IDKM akan dikonversi menjadi saham SCMA sebagai perusahaan hasil merger.[BERITA SATU]

Kamis, 14 Februari 2013

Harga Jual ANTV Rp 5 Triliun Asal Semua SDM-nya di-PHK


Berita tersebut nyaring terdengar di kalangan petinggi televisi di tanah air. ANTV akan dijual oleh Group Bakrie dan beberapa pengusaha, terutama pengusaha yang ingin jadi Raja Media siap mengambil ANTV. Harap maklum, saat ini Group Bakrie lagi butuh duit, kabarnya pun mereka sudah ingin meninggalkan bisnis media. Tentang angka Rp 5 triliun tersebut adalah harga yang ditawar oleh bos PT Elang Mahkota Komputer (Emkom) yang tak lain pemilik SCTV, Fofo Sariaatmadja [baca: The Three Musketeers Sariaatmadja]. Mungkin buat Group Bakrie tidak masalah, tetapi syarat lain yang diajukan Fofo cukup berat, yakni memecat semua SDM yang ada di ANTV.

“Fofo mau beli ANTV asal ANTV kosong alias nggak beli paket dengan SDM-nya,” ujar rekan saya, salah satu petinggi di salah satu stasiun televisi swasta ini.

Kompasianers, sebenarnya yang mau dijual bukan cuma ANTV tetapi kelompok media yang selama ini di bawah lindungan Group Bakrie. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, bahwa Viva Group, yang terdiri dariVivaNews.co.id, ANTV, dan tvOne akan dilepas [baca: Cabut dari Nasdem Harry Tanoe Beli ANTV?].  Dalam tulisan saya, pembelinya adalah Harry Tanoe. Ternyata kabar lain yang beredar, pengusaha yang paling ngotot membeli Viva Group adalah Fofo.

Sekadar Kompasianers tahu, Fofo adalah orang di balik kesuksesan SCTV. Sejak awal berdiri di jalan Darmo Permai, Surabaya pada 1990 dan cuma siaran terbatas di wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan), pria berusia 44 tahun ini telah mendampingi SCTV hingga berhasil membeli Indosiar dan beberapa televisi lokal lain.

Memang, pada 1990-an, saham keluarga Sariaatmadja melalui PT Abhimata Mediatama hanya 17 persen. Sebelum keluarga Sariaatmadja masuk SCTV pada 2001, pemegang saham SCTV adalah orang-orang yang dikenal dekat dengan Cendana, seperti Sudwikatmono, Peter F. Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Trihatmodjo, hingga Azis Mochtar. Namun, di tahun yang sama, keluarga ini menambah lagi kepemilikan saham hingga menjadi 49,62 persen.

Pada 2002, PT Abhimata meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi 50 persen. Keinginan menguasai SCTV makin tak terbendung. Pada 2005, PT Abhimata menguasai SCTV dengan membeli saham milik Henry Pribadi. Setelah itu, saham PT Indika Multimedia kepunyaan Agus Lasmono, anak pengusaha Sudwikatmono, di SCM juga diakuisisi. Pada 2008, keluarga Sariaatmadja telah menguasai 78,69 persen saham SCM. Sisanya dimiliki The Northern Trust Company 7,9 persen, dan publik 13,41 persen.

Setelah memegang saham mayoritas di SCTV, pada 2004 keluarga Sariaatmadja menggandeng PT Mugi Rekso Abadi (MRA) mendirikan televisi dengan bendera PT Omni Intivisual alias O Channel. Awalnya, kepemilikan saham MRA dan keluarga Sariaatmadja masing-masing 50 persen. Namun, pada awal 2007, MRA melepas seluruh saham miliknya kepada keluarga Sariaatmadja, sehingga 100% saham O Channel dikuasai oleh Sariaatmadja. Terakhir, keluarga ini mengakuisisi Indosiar lewat transaksi tukar guling antara lahan sawit milik keluarga Sariaatmadja dengan Indosiar milik Anthony Salim.

Kompasianers, strategi Fofo untuk membeli ANTV dengan syarat tersebut boleh jadi ia tak ingin terbebani oleh SDM-SDM yang ada saat ini. Ia ingin mengganti SDM ANTV dengan SDM baru, secara ANTV akan ia jadikan sebagai televisi berita sebagaimana Metro TV dan tvOne. Tentu, keinginan Fofo wajar, mengingat SDM yang ada di ANTV saat ini lebih dari 50% sudah bekerja lebih dari 10 tahun (ANTV berdiri pada 1993). Jadi, memang perlu diremajakan.

Jika Group Bakrie setuju dengan tawaran Fofo, nasib ANTV akan seperti SCTV pada paruh November 2009 lalu. Gelombang PHK atau ‘dipaksa’ mengundurkan diri sekitar 500-an karyawan terjadi di SCTV. Sementara ada pula karyawan senior yang ‘dipaksa’ menjadi karyawan kontrakan jika ingin tetap menjadi karyawan SCTV.

Bagi karyawan yang masih produktif dan memiliki jaringan pertemanan di televisi lain, tentu tidak masalah. Mereka cukup percaya diri untuk menerima pesangon jutaan rupiah dan siap bekerja lagi di stasiun televisi lain atau membuka bisnis. Namun, tentu saja banyak karyawan ANTV yang menggandalkan hidupnya dari gaji bulanan di stasiun televisi yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan ini. Jika ini terjadi, akan ada pengangguran-pengangguran baru.[AKANG JAYA]

Buruh Bicara


Sekitar 500 pekerja PT Graha Sarana Duta (GSD) yang tergabung dalam Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) menuntut di pekerjakan kembali sebagai pekerja tetap di PT Telkom. Mereka belasan tahun ditempatkan dan menjaga aset-aset penting PT Telkom sebagai pekerja kontrak dan per 1 Januari 2013 lalu tidak dipekerjakan lagi.

“Ada indikasi pelemahan serikat pekerja (union busting) karena pekerja yang diputus hubungan kerjanya adalah anggota serikat pekerja,” jelas Sekretaris Jendral DPP ASPEK Indonesia Sabda Pranawa Djati.

Aksi yang didominasi dengan seragam dan atribut lengkap satpam lengkap itu diakhiri dengan push up serentak dengan menutup jalan. Akibatnya, selama beberapa menit jalan Gatot Subroto macet total [baca: PT Telkom Didemo Security].

Sementara itu pertengahan 2012, manajemen SCTV memberlakukan kebijakan outsourcing secara terbuka, dengan melakukan intimidasi dan pemaksaan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 159 pekerja tetap dari Divisi General Services. Walhasil, sekitar 119 pekerja tetap berhasil di-PHK dan diberikan “bonus” berupa dipekerjakan kembali dengan status sebagai pekerja outsourcing, sedangkan 40 pekerja tetap lainnya menolak hingga menerima keputusan skorsing secara sepihak.

Selama tujuh bulan terakhir, ke-40 pekerja tetap itu, didukung DPP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK INDONESIA) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), memperjuangankan haknya melalui upaya hukum, serta aksi-aksi massa dan publisitas melalui media [lihat video: KERANDA SCTV].

Film dokumenter BURUH BICARA mengungkap aksi dua serikat pekerja di bawah afiliasi DPP Aspek Indonesia, serta kiprah para pendekar buruh di dalamnya. Dalam credit title juga diungkapkan bahwa film tersebut memang didedikasikan untuk para pendekar buruh, buruh yang berjuang, dan seluruh elemen masyarakat yang peduli dan mendukung perjuangan para buruh.

Selengkapnya, klik BURUH BICARA.[SP SCTV]

Rabu, 13 Februari 2013

Jurnalis Menolak Status Kontrak


Outsourcing di industri media jelas mencemaskan. Sistem kerja dalam status kontrak atau outsourcing terbukti sangat merugikan karena pekerja tidak mendapatkan perlindungan, fasilitas, dan kepastian hukum dalam jangka panjang. Jurnalis hanya dianggap seperti pelengkap penderitaan atau sekedar alat. Kapan dibutuhkan bisa direkrut dan kapan tidak dibutuhkan bisa disingkirkan setiap saat. Pengusaha media juga tidak perlu membayar pesangon kepada pekerja yang bekerja dengan sistem ini. Selain itu, jurnalis yang bekerja dalam status ini kerap mendapatkan upah yang lebih rendah, tidak mendapatkan jaminan sosial seperti asuransi Jamsostek dan berpotensi tidak mendapatkan tunjangan, seperti tunjangan hari raya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, dalam siaran persnya menyebutkan, sistem kerja kontrak untuk Profesi jurnalis dan bagian lain yang berperan dalam proses produksi di media telah dilarang oleh Undang-Undang. Pada Pasal 66 (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan dengan jelas bahwa “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”.

Menurut AJI, dari sisi posisi tawar, jurnalis yang bekerja dalam sistem kontrak atau outsourcing menjadi tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hal ini sebagai konsekuensi dari hubungan kerja yang bersifat individual dan sementara. Kondisi tersebut jelas berbeda dengan hubungan kerja yang bersifat permanen dan kolektif.

Sejak era reformasi 1998, pertumbuhan industri media berlangsung dengan pesat dan membentuk kelompok usaha baru di bidang media. Namun pertumbuhan industri media hingga kini belum sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan status dan keselamatan kerja bagi jurnalis. Selain fenomena pemilik media yang masih menolak keberadaan serikat pekerja pers, kini fenomena pekerja tenaga ahli daya (outsourcing) di industri media semakin berkembang.

Menurut AJI, Fakta ini sangat terlihat di industri televisi. Sebagai contoh adalah di stasiun televisi SCTV. Permasalahan outsourcing mencuat ketika manajemen SCTV memberlakukan sistem kerja kontrak per 1 Juni 2012 kepada 42 karyawan mereka yang sebelumnya adalah pekerja tetap di stasiun TV swasta nasional itu. Walaupun mereka telah bekerja selama 7 hingga 19 tahun, status mereka berubah sebagai karyawan outsourcing sehingga mereka dipekerjakan oleh pihak ketiga, yaitu PT ISS. Fenomena outsourcing diduga kuat tidak hanya terjadi di stasiun televisi SCTV saja, namun juga di stasiun televisi lain. Sebuah stasiun televisi berbayar yang memproduksi berita, masih dijumpai beberapa jurnalis dan kameramen yang berstatus outsourcing setelah program siaran mereka sebelumnya diakuisi oleh manajemen baru. Bahkan sebuah kantor berita nasional mempekerjakan banyak wartawan dengan status sebagai pekerja outsourcing dengan menyewakan wartawan itu di kantor pemerintah.

Selain masalah outsourcing, AJI Jakarta juga mencatat, jurnalis non-organik atau yang populer disebut koresponden/kontributor semakin banyak. Koresponden/kontributor merupakan golongan rentan dalam bisnis media. Seringkali koresponden/kontributor bekerja dengan status hubungan kerja yang tak jelas. Celakanya, walau mereka menanggung resiko selama menjalankan peliputan, mereka sering tidak memiliki jaminan sosial, termasuk kesehatan atau keselamatan kerja. Banyak status koresponden/kontributor yang tak jelas meskipun mereka telah bekerja bertahun-tahun.

Untuk itu, bersamaan dengan momentum Aksi Tolak Outsourcing pada 3 Oktober 2012, AJI Jakarta mengeluarkan pernyataan sikap: Pertama, meminta berbagai perusahaan media cetak online televisi dan radio untuk menghentikan praktik outsourcing di industri media massa, terutama untuk posisi jurnalis dan karyawan lain di bagian redaksi. Kedua, mendesak agar berbagai perusahaan media massa tetap memberikan perlindungan jaminan sosial dan keselamatan kerja bagi koresponden dan kontributor.

Hal lain yang sangat penting terkait dengan nasib para jurnalis adalah isu serikat pekerja. Namun sayang kesadaran yang kurang dari para jurnalis untuk membangun serikat pekerja membuat isu ini hampir tidak pernah mencuat. Penyebab lainnya adalah tindakan pemberangusan keinginan para jurnalis untuk membentuk serikat pekerja oleh pihak media bersangkutan dengan segudang intimidasi sampai pemutusan hubungan kerja (PHK). Rata-rata manajemen perusahaan media juga enggan untuk memberi ruang bagi berdirinya serikat pekerja pers. Salah satunya terjadi di Indosiar, dimana sikap manajemen Indosiar yang menolak pembentukan serikat pekerja atau union busting ini mencuat ke publik pada 2008 lalu. Perselisihan ini bermula ketika Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar terbentuk pada April 2008. Manajemen Indosiar kemudian membentuk serikat pekerja tandingan dengan nama yang sama, tetapi beda akronim yaitu Serikat Karyawan atau Sekawan Indosiar.

Perselisihan antara Sekar Indosiar dengan manajemen ini rupanya terus berlanjut ke meja hijau. Manajemen PT. Indosiar melakukan Gugatan PHK di Persidangan perselisihan hubungan industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam persidangan tersebut, Majelis Hakim Persidangan PHI membuat putusan PHK terhadap 22 orang aktivis dan pengurus SEKAR Indosiar. Sekar Indosiar melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan gugatan perdata kepada manajemen PT. Indosiar Visual Mandiri. Gugatan ini diajukan oleh kuasa hukum Sekar Indosiar dari LBH Pers. Manajemen PT. Indosiar digugat karena perbuatan melawan hukum (PMH) yakni bersikap anti berserikat (union busting). Perbuatan tersebut dinilai melanggar pasal 28 Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan juncto pasal 43. Sekar Indosiar juga menuntut agar pihak Manajemen PT. Indosiar membuat permohonan maaf di Media Massa (baik elektronik televisi, radio, on line dan cetak yang berskala nasional selama satu minggu berturut-turut) dan mengganti kerugian materil dan immateril sebesar Rp 100.026.000.000 (seratus miliar dua puluh enam juta).

Isu soal serikat pekerja di media sudah lama ada, tapi sekali lagi memang tidak populer. Aneh bukan? di satu sisi dalam kegiatan jurnalistiknya, para wartawan atau jurnalis kerap membela hak-hak buruh melalui tulisannya, tapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan bagaimana nasib mereka, hak-hak mereka, dan kelangsungan serta perbaikan nasib mereka. Padahal para jurnalis bekerja di medan yang sangat keras dan sarat dengan resiko yang bisa berujung kematian.

Dalam penelitiannya pada 2002 lalu, AJI Indonesia menemukan kenyataan hanya ada 28 serikat pekerja pers yang aktif di berbagai perusahaan media di Indonesia. Jumlah ini dinilai sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah media di Indonesia yang saat itu sudah mencapai 1500 perusahaan. Jumlah serikat pekerja pers ini kemudian sempat menyusut pasca rontoknya booming media on line atau dotcom. Seperti dialami oleh serikat pekerja di LippoStar.com dan Kopitime.com. Serikat pekerja pers di kedua media on line tersebut mati dengan sendirinya seiring tutupnya LippoStar.com dan Kopitime.com.

Tercatat di media elektronik dari sederet televisi swasta nasional yang ada, baru RCTI, Indosiar, ANTV, SCTV, dan MNC TV (dulunya TPI) yang memiliki serikat pekerja pers. Sementara kondisi mengenaskan ada di media radio. Bayangkan dari sekian banyaknya radio, baru 2 serikat pekerja yang eksis yakni di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, serta Smart FM. Namun, hasil studi AJI pada 2002 lalu menyimpulkan serikat pekerja yang telah ada baru sebatas berjuang untuk eksis dan belum dikelola secara profesional.

Perlu keberanian menjemput resiko untuk membentuk serikat pekerja di media-media, karena bisa berujung pada PHK atau pemutusan kontrak kerja sepihak. Juga butuh kesadaran tinggi dari para jurnalis bahwa mereka juga sama seperti buruh pada umumnya yang rentan terhadap masalah PHK dan kesejahteraan yang minim. Namun, Kenyataannya Jurnalis tidak seperti buruh, mereka lebih berani daripada wartawan. Buruh berani melakukan aksi besar-besaran menuntut hak-hak mereka, sementara sebagian besar jurnalis tidak punya nyali untuk melakukan itu.

Semoga bermamfaat.[ACHMAD ZAINI]

Jumat, 08 Februari 2013

SCTV Tidak Pernah Beritikad Baik


Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) tidak pernah memiliki itikad baik dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dengan para pekerja tetapnya. Demikian ditegaskan Heni Aria, istri pekerja tetap SCTV yang tengah diskorsing, dalam aksi solidaritas terhadap pekerja kontrak PT Telkom di halaman Kantor PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (6/2).

"Korban atas tindakan semena-mena SCTV bukan hanya Rangga, putra Pak Darmayanto, yang wafat setelah akses pengobatannya diblokir pihak SCTV. Anak saya juga nyaris menjadi korban dan sempat membuat kami nyaris putus asa," jelas Heni [lihat video: Istri Karyawan SCTV Memarahi HRD]. "Dan ini dilakukan secara sistematis. Intimdasi yang terencana, dengan harapan, teman-teman goyah dan bersedia di-PHK. Ini kan biadab!"

Heni menuturkan, intimidasi dilakukan sejak pemberian surat panggilan yang biasa dilakukan secara mendadak dan membuat siapa pun terkejut. "Setelah itu, pihak HRD akan melakukan tekanan-tekanan hingga ancaman untuk menyelesaikan masalah lewat pengadilan. Sebagian besar teman-teman kami takut dan malas berurusan dengan pengadilan, akhirnya mereka mengalah," katanya.

Akibat kebijakan outsourcing di perusahaan milik keluarga Sariaatmadja itu, kata Heni, 119 pekerja tetap berhasil di-PHK dan diberi bonus dipekerjakan kembali sebagai pekerja outsourcing, sedangkan 40 pekerja tetap lainnya menolak dan diskorsing secara sepihak. "Lucunya, pekerja outsourcing itu sekarang diangkat sebagai pekerja PT ISS dengan upah 1,5 juta Rupiah, padahal kami menerima upah 2,2 juta Rupiah," tambahnya.

Selain Heni yang mewakili Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV), aksi para pekerja kontrak PT Telkom itu juga didukung oleh sejumlah serikat pekerja di bawagh afiliasi Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia. "Sekitar 120 anggota Aspek Indonesia asal Bekasi juga meramaikan aksi kali ini," jelas Sekjen DPP Aspek Indonesia Sabda Pranawa Djati.

Aksi pekerja kontrak PT Telkom yang tergabung dalam Serikat Pekerja Sarana Duta Graha (SEJAGAD) dilakukan sejak Selasa (4/2) kemarin. Selain berunjuk rasa di halaman kantor PT Telkom, aksi serupa juga dilakukan di halaman PT Sarana Duta Graha di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, dan menginap di kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat [baca: 300-an Satpam Telkom Menginap di Komnas HAM].[KOMPASIANA]


Jumat, 01 Februari 2013

Manajemen SCTV Panik


Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) bukan hanya sembrono dan kekanak-kanakan tapi juga panik dalam menghadapi kasus perselisihan hubungan industrial dengan Bro Syaiful, jurnalis Liputan 6 yang menerima keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dari pihak manajemen SCTV. "Sejumlah bukti menunjukkan indikasi pada kesimpulan itu," tegas Ahmad Fauzi dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (LBH Aspek Indonesia) di Jakarta, Rabu (30/1).

Ketika pihak manajemen SCTV tidak berhasil mengirimkan surat panggilan kepada Bro Syaiful, Fauzi merinci, pihak manajemen SCTV langsung melayangkan surat Keputusan PHK. "Dan ketika surat penolakan disampaikan secara tertulis dan lisan, bukannya merespon dengan menyelesaikan tahapan-tahapan penyelesaian perselisihan hak dan memberikan upah yang masih menjadi hak Bro Syaiful, mereka justru mentransfer uang pisah," jelasnya [baca: Manajemen SCTV Sembrono].

Untuk menutupi sikap kekanak-kanakan dan kesembronoannya, kata Fauzi, mereka pun menunjuk seorang kuasa hukum saat menerima undangan perundingan bipatrit dari pengurus Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) [baca: Hadapi Bipatrit, Manajemen SCTV Didampingi Kuasa Hukum]. "Sikap ini tak beda jauh seperti kantor mereka didatangi massa yang menyampaikan aspirasinya. Mereka mengundang sekitar 200 anggota Brimob dan diminta berjaga di depan kantor, sementara pihak manajemen bersembunyi di balik aparat keamanan," jelasnya [baca: SCTV Dihadiahi Pocong dan Keranda]

Jadi, kata Fauzi, kali ini mereka mencoba berlindung di balik jas kuasa hukumnya. "Mereka beruntung karena didampingi oleh kuasa hukum yang brilian dan sangat menguasai UU Ketenagakerjaan, sehingga keputusannya pun bisa diamini dan dianggap mutlak," tambahnya.

Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif LBH Aspek Indonesia Singgih D Atmadja juga menyatakan kekagumannya kepada kuasa hukum yang ditunjuk oleh pihak manajemen SCTV. "Mereka memilih orang yang tepat dan membuat kami makin bersemangat untuk sesegera mungkin membawa kasus ini ke tingkat mediasi. Yang bikin saya kagum, kuasa hukum SCTV malah bernafsu langsung ke PHI," ujarnya.

Singgih yang mendampingi Tim Advokasi SP SCV dalam perundingan bipatrit itu enggan berkomentar terlalu jauh tentang hasil pertemuan. "Yang pasti, saya salut dan kagum kepada teman-teman dari SP SCTV. Bila kuasa hukum manajemen SCTV itu brilian, maka Tim Advokasi SP SCTV tergolong jenius!" tegasnya sambil mengacungkan dua jempolnya.

Sementara Ketua Umum SP SCTV Agus Suhanda juga menyatakan pujiannya kepada manajemen SCTV dan kuasa hukumnya. "Kami merasa dimuliakan karena Tim Advokasi SP SCTV diberi kehormatan untuk head to head dengan pengacara papan atas," katanya.

Dalam pertemuan kemarin, kata Agus, kami mencoba menyerahkan kembali uang pisah yang memang belum saatnya dikirimkan pihak manajemen SCTV kepada Bro Syaiful. "Mereka menolak dengan logika hukum yang luar biasa, namun kami malas membalasnya karena belum saatnya dan bukan tempatnya," tambahnya.

Pernyataan serupa juga dinyatakan Koordinator Tim Advokasi SP SCTV Sudirman. Menurutnya, kami beritikad baik dengan mendatangi SCTV Tower untuk mengembalikan uang pisah dan pihak HRD menjanjikan bahwa uang pisah akan diterima oleh Widodo (Pjs. Kadiv HRD SCTV, red) di kantor kuasa hukumnya [baca: Tim Advokasi SP SCTV Datangi SCTV Tower]. "Perundingan itu membuat kami berkeyakinan bahwa pihak manajemen SCTV memang tidak pernah memiliki itikad baik dalam setiap penyelesaian perselisihan dengan para pekerjanya," tekannya.

Tim Advokasi SP SCTV juga berkesimpulan, sejak awal pihak manajemen SCTV berniat menggiring masalah ini dari perselisihan hak menjadi perselisihan PHK melalui pengiriman surat Keputasan PHK secara sepihak dan uang pisah. "Lucunya, mereka menafsirkan perselisihan hak seperti yang disebutkan dalam surat undangan sebagai cara mendiskusikan hak (pesangon, pen). Mereka memang brilian dan layak mendapatkan hadiah duplikasi pocong dan keranda mayat," puji Sudirman.[Serikat Pekerja SCTV]

Keranda SCTV



Pertengahan 2012, manajemen SCTV memberlakukan kebijakan outsourcing secara terbuka, dengan melakukan intimidasi dan pemaksaan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 159 pekerja tetap dari Divisi General Services. Walhasil, sekitar 119 pekerja tetap berhasil di-PHK dan diberikan “bonus” berupa dipekerjakan kembali dengan status sebagai pekerja outsourcing, sedangkan 40 pekerja tetap lainnya menolak hingga menerima keputusan skorsing secara sepihak.

Selama tujuh bulan terakhir, ke-40 pekerja tetap itu, didukung DPP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK INDONESIA) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), memperjuangankan haknya melalui upaya hukum, serta aksi-aksi massa dan publisitas melalui media.

Pada 14 Januari lalu, para pekerja tetap yang tergabung dalam Serikat Pekerja SCTV (SP SCTV) itu kembali mendatangi SCTV Tower di Jalan Asia Afrika Lot 19, Jakarta Pusat. Selain menyampaikan aspirasi, mereka juga menghadiahi duplikasi pocong dan keranda mayat kepada pihak SCTV [baca: SCTV Dihadiahi Pocong dan Keranda Mayat serta Semiotika Pocong dan Keranda Mayat].

Hadiah duplikasi pocong dan keranda mayat itu bukan sekadar simbol kematian dua anggota keluarga pekerja tetap yang terjadi saat skorsing dan akses pengobatannya dicabut, tapi juga merupakan simbol kematian nurani para pemilik dan pengelola SCTV.

Dan aksi simpatik para pekerja media itu pun kita bisa disaksikan dalam bentuk film dokumenter bertajuk Keranda SCTV. Selengkapnya, klik KERANDA SCTV.[]