Jumat, 19 Juli 2013

Hakim Batalkan Peralihan Status Pekerja SCTV

Perkara perselisihan PHK yang diajukan manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) kandas di PHI Jakarta. Pasalnya, majelis menolak seluruh gugatan PHK yang diajukan manajemen selaku penggugat terhadap 40 pekerjanya yangmenolak di-outsourcing. Sekali pun dalam persidangan, penggugat menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon, majelis melihat Agus Suhanda dkk menolaknya dan menginginkan untuk tetap bekerja.

Anggota majelis hakim Saut C Manalusaat membacakan pertimbangan putusan mengatakan, penggugat beralasan pengalihan ke perusahan outsourcing dilakukan agar perusahaan fokus pada bisnis inti, yaitu bidang pertelevisian. Sementara, penggugat menilai Agus Suhanda dkk mengerjakan pekerjaan penunjang seperti sopir dan petugas keamanan. Oleh karenanya, sebagaimana berkas yang diajukan di persidangan, Saut mengatakan, penggugat mengalihkan Agus Suhanda dkk ke sebuah perusahaan outsourcing bernama PT ISS Indonesia.

Ketika melaksanakan pengalihan itu penggugat merasa sudah sesuai dengan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto Permenakertrans Outsourcing. Sebelum menjalankan pengalihan itu, Saut menyebut, penggugat mengaku sudah melakukan sosialisasi kepada para pekerja. Penggugat juga memberi beberapa tawaran kepada pekerja yang hendak dialihkan. Namun, mengingat Agus Suhanda dkk tetap menolak dialihkan, penggugat melakukan PHK.

Saut menjelaskan, tergugat mendalilkan Agus Suhanda dkk merupakan pekerja tetap karena masa kerja mereka berkisar 9-20 tahun. Oleh karenanya, tergugat beralasan pengalihan itu tidak punya dasar hukum dan bertentangan dengan pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Selain itu para tergugat berpendirian mengacu pasal 170 UU Ketenagakerjaan, penggugat wajib mempekerjakan kembali Agus Suhanda dkk.

Atas perkara itu, Saut melanjutkan, majelis hakim berpendirian bahwa pokok perkara bermuara pada pertanyaan, yaitu apakah penggugat memiliki alasan yang cukup dan valid dalam melakukan PHK sebagaimana dimaksud pasal 152 UU Ketenagakerjaan? Mengacu ketentuan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto pasal 17 Permenakertrans Outsourcing, pengusaha atau penggugat diberikan hak oleh UU untuk mengalihkan sebagaian pekerjaannya, yakni menyerahkan pekerjaan penunjang kepada perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerjaan.

Tak ketinggalan dalam pendiriannya, majelis mempertanyakan apabila pengalihan itu dilakukan kepada pekerjaan yang menjadi bagian dari organisasi perusahaan apakah serta merta mengakibatkan PHK kepada pekerjanya? Saut juga menjelaskan dalam putusan, majelis hakim mengakui PHK yang dilakukan penggugat hingga ke PHI telah memenuhi ketentuan yang diatur UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI, namun, lagi-lagi majelis menekankan apakah pengalihan itu secara serta merta mengakibatkan PHK.

“Sekalipun dalam persidangan para tergugat tidak mengajukan tuntutan pembatalan pengalihan pekerjaan (pembatalan outsourcing) yang dilakukan penggugat, majelis berpendirian pengalihan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tidak serta merta mengakibatkan PHK terhadap pekerja,” kata Saut membacakan putusan di ruang sidang I PHI Jakarta, Rabu (18/7).

Masih membacakan putusan, majelis berpendirian setiap PHK harus memiliki alasan yang valid sebagaimana pasal 152 UU Ketenagakerjaan. Tapi selama persidangan, Saut mengatakan penggugat tidak menjelaskan hal itu lebih dalam sehingga pengalihan itu seolah langsung disertai dengan PHK.

Dari fakta yang diperoleh dalam persidangan, Saut mengatakan, pengalihan itu dilakukan penggugat kepada PT ISS setelah didahului presentasi dari PT ISS kepada penggugat. Kemudian, meskipun penggugat telah mengalihkan pekerjaan itu kepada PT ISS, namun pekerjaan tersebut masih ada dan masih berlangsung di tempat yang sama, serta masih dikerjakan oleh para tergugat yang telah dialihkan status kerjanya kepada PT ISS. Begitu pula dengan peralatan kerja yang digunakan, majelis melihat masih menggunakan peralatan yang dimiliki oleh penggugat.

Peralatan itu, menurut majelis, sama seperti peralatan yang digunakan para pekerja sebelum dialihkan ke PT ISS. Berdasarkan fakta-fakta itu majelis menilai, penggugat tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada para pekerjanya, begitu pula dengan dampak ketika mereka dialihkan. “Setelah pengalihan dilakukan ternyata pekerjaan tersebut masih terintegrasi dalam organisasi perusahaan penggugat. Dan peralatan kerjanya terutama untuk supir adalah peralatan utama yang dimiliki penggugat, bukan PT ISS,” urainya.

Atas dasar itu, terkait pengalihan para pekerja ke PT ISS, majelis berpedoman pada semangat pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus berupaya jangan terjadi PHK. Sekalipun PHK harus diputuskan, apalagi sifatnya massal, majelis mengacu Surat Edaran Menakertrans No.907 tahun 2004 tentang Pencegahan PHK Massal. PHK itu, menurut majelis, juga harus mempertimbangkan masa depan pekerja.

Meskipun penggugat menawarkan kepada para pekerja yang dialihkan untuk bekerja di PT ISS, tapi mengacu perjanjian penyediaan jasa pekerja antara PT ISS dan PT SCTV, majelis menilai, pekerjaan itu sifatnya sementara waktu. Selain adanya kekhawatiran jaminan keberlangsungan kerja, majelis melihat ada kecemasan jaminan sosial yang diperoleh para pekerja akan ikut berkurang pula. Oleh karena itu sebelum melakukan PHK, majelis mengingatkan, penggugat harus memperhatikan berbagai hal tersebut.

Majelis juga menegaskan, sebelum memutus hubungan pekerja, harus diperhatikan berat atau ringan dampaknya bagi pekerja dan pengusaha. Pasalnya, dalam banyak kasus tindakan pengusaha yang tetap mempekerjakan para pekerjanya, berdampak kecil bagi lancarnya operasional perusahaan. Sedangkan PHK terhadap para pekerja, tak jarang mengakibatkan ketidakpastian pendapatan dan berujung pada kemiskinan bagi pekerja beserta keluarganya.

Tanpa mencegah arah bisnis penggugat, majelis berpendapat, langkah-langkah untuk mencegah PHK yang dilakukan penggugat tidak berlandaskan alasan hukum yang memadai. “Karena alasan PHK terhadap para pekerja belum memiliki alasan yang valid, maka majelis hakim berpendirian menolak tuntutan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan PHK terhadap tergugat tidak pernah putus dan tetap berlangsung,” tutur Saut.

“Menghukum tergugat rekonvensi untuk segera mempekerjakan penggugat rekonvensi pada pekerjaan dan jabatan semula serta memulihkan hak-hak yang selama ini diperoleh para penggugat rekonvensi,” tutur hakim ketua Amin Ismanto membacakan amar putusan.


Dissenting Opinion
Putusan perkara ini diwarnai dengan perbedaan pendapat alias dissenting opinion. Anggota majelis hakim Sinufa Zebua berpendapat bahwa seharusnya pengadilan memutuskan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dengan alasan bahwa hubungan keduanya sudah tak harmonis lagi.

Zebua berani berpendapat seperti itu karena berdasarkan fakta persidangan terlihat rasa saling curiga antara penggugat dan tergugat. Ia khawatir hubungan kerja tak akan efektif lagi ketika para tergugat dipekerjakan kembali.

“Hubungan antara penggugat dengan para tergugat harus diputus berdasarkan putusan PHI dengan memberikan uang pesangon/kompensasi sesuai UU yang berlaku,” tegas Zinufa membacakan dissenting opinion.

Usai mengikuti sidang itu, salah satu kuasa hukum tergugat dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan pekerja cukup puas dengan putusan itu. Pasalnya, sebagian tuntutan, yaitu mempekerjakan kembali, dikabulkan majelis. Untuk langkah selanjutnya, Fauzi mengaku akan melihat dalam waktu 14 hari ke depan apakah pihak manajemen SCTV akan melakukan kasasi atau tidak. Jika dalam jangka waktu itu kasasi tidak kunjung diajukan maka pekerja mengajukan eksekusi.

“Tapi yang pasti kami senang atas putusan majelis hakim. Menurut kami putusan itu benar, bahwa gugatan PHK yang diajukan penggugat tidak punya dasar,” tukas Fauzi.

Soal adanya perbedaan pendapat dari salah satu anggota majelis, Fauzi berpendapat, hal itu tidak menjadi amar putusan. Sehingga tidak merisaukan bagi para pekerja karena putusannya, mereka dipekerjakan kembali. Bagi Fauzi, perbedaan pendapat itu sebagai salah satu kebebasan yang dimiliki hakim dalam bermusyawarah untuk memutus sebuah perkara. Tak ketinggalan, Fauzi berharap putusan itu berdampak positif terhadap pekerja lain yang statusnya outsourcing. “Apalagi pasca diterbitkan Permenakertrans Outsourcing, tidak sedikit pekerja outsourcing yang di-PHK,” urainya.

Sedangkan salah satu kuasa hukum penggugat, Elizabeth Ritonga, menolak berkomentar ketika ditanya pendapatnya terkait putusan itu.[HUKUM ONLINE]

1 komentar:

  1. Selamat Malam ibu, perkenalkan nama saya alfan stevano saya mahasiswa magister hukum di salah satu universitas di Surabaya. saya kebetulan sedang meneliti kasus ini. saya butuh bantuan ibu, apakah saya bisa memperoleh informasi seperti pertauran perusahaan SCTV atau perjanjian bersama antara karyawan SCTV dengan pihak. SCTV. bolehkah saya meminta kontak ibu. email saya : cielers89@gmail.com.

    terima kasih

    BalasHapus