Sabtu, 04 Mei 2013

Pengekangan Hak Berserikat Adalah Pelanggaran HAM

Demosi atau penurunan jabatan dan PHK terhadap pengurus serikat pekerja dalam suatu perusahaan merupakan pelanggaran hak berserikat atau HAM sesuai Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Pendapat itu disampaikan Yoseph Adi Prasetya –biasa disapa Stanley-, Komisioner Komnas HAM Subbidang Pendidikan dan Penyuluhan, saat diperiksa sebagai ahli dalam kasus gugatan PHK wartawan Suara Pembaruan, Budi Laksono, di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Kamis (18/2).

Sebelum diperiksa, kuasa hukum Suara Pembaruan Christma Celi Manafe, sempat keberatan dengan kapasitas Stanley yang merupakan salah satu Komisioner Komnas HAM. Pasalnya, kasus ini murni hubungan industrial dan tak ada kaitannya dengan serikat pekerja. Ia pun mengkhawatirkan jika Stanley diperiksa sebagai ahli, keterangannya tak independen. Meski demikian, majelis hakim yang dipimpin Sapawi tetap memperkenankan Stanley diperiksa dan keberatan itu akan dicatat dalam berita acara sidang.

Stanley lalu mengutip Pasal 28 UU Serikat Pekerja yang menyatakan siapa pun dilarang menghalangi-halangi pekerja membentuk atau tak membentuk, menjadi pengurus atau tak menjadi pengurus dengan cara mem-PHK, intimidasi, demosi. “Termasuk pernyataan atau ungkapan yang berbau antiserikat, misalnya ketika perusahaan tak suka pada salah satu pengurus serikat, intimidasi, ini bentuk pelanggaran HAM,” kata Stanley.

Jika ini terjadi, Komnas HAM dapat merekomendasikan kepada Komisi III DPR untuk memanggil perusahaan yang bersangkutan. Bahkan, dapat dicabut izin usahanya jika dinilai terjadi pelanggaran HAM.

Disinggung soal demosi dari profesi wartawan ke bagian penelitian dan pengembangan (Litbang), Stanley mengaku pernah melakukan penelitian kebebasan berserikat di sejumlah perusahaan media berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas HAM. Diantaranya, kasus di SCTV, Tabloid Bola, Indosiar. Salah satunya, dengan melakukan mediasi antara pimpinan media dan wartawannya yang menjadi pengurus atau anggota serikat pekerja.

“Wartawan yang dimutasi ke bagian Litbang di perusahaan media muncul julukan 'sulit berkembang', jadi seorang wartawan yang dimutasi ke Litbang, karirnya akan mati,” kata mantan jurnalis majalah Jakarta-Jakarta itu menjelaskan. Modus lainnya, wartawan kerap dipindahkan desk liputan yang tak dikuasai. Misalnya, dari wartawan politik dirotasi ke wartawan mode. Pengkondisian ini merupakan bagian dari sikap tak ramah perusahaan terhadap kebebasan berserikat.

Dalam banyak kasus, Stanley mencontohkan, di Kelompok Kompas Gramedia ada beberapa orang yang membuat serikat pekerja, lalu di-PHK. “Proses PHK-nya begitu cepat, saya juga tak tahu kenapa, mungkin karena ada 'dukungan' dari pihak Disnakertrans, sehingga dia kehilangan haknya,” ujarnya menceritakan. Hal ini pernah terjadi di Media Indonesia, RCTI, Kompas untuk kasus PHK Bambang Wisudo yang pernah diproses di PHI Jakarta. Kala itu Stanley pun menjadi saksi ahli. “Ini merupakan tindakan antiserikat,” tegasnya.

Ditanya jika seorang pengurus serikat yang di-PHK dalam proses hukum, Stanley berpendapat kepengurusannya belum gugur sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum. “Sebelum putusan inkracht, dia masih punya hak menjadi pengurus karena kepastian dia masih karyawan atau bukan harus dibuktikan lewat putusan pengadilan.”

Sekedar mengingatkan, awal Desember 2009 lalu manajemen Suara Pembaruan melayangkan gugatan PHK kepada Budi Laksono, Ketua Serikat Pekerja Suara Pembaruan, lantaran dianggap mangkir selama 19 hari kerja pada 5-13 Februari 2009. Sebelumnya, Budi dianggap kerap melalaikan tugasnya hingga akhirnya mendapatkan surat peringatan kesatu (SP-1) hingga SP-3. Sementara Budi berdalih PHK terkait erat pendirian serikat pekerja dimana Budi selaku ketuanya. Itu dibuktikan adanya anjuran Sudinakertrans Jakarta Timur agar perusahaan kembali mempekerjakan Budi. Modusnya, ia pernah didemosi dari wartawan ke bagian Litbang hingga akhirnya di-PHK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar