Senin, 24 Juni 2013

Oleh-oleh Forum Pempred dari Meong sampai Cibiran Sinis

“Meong” adalah oleh-oleh yang cukup menghebohkan dalam pertemuan forum para pemimpin redaksi (pempred) media massa yang berlanggsung di Bali 13-14 Juni 2013 yang lalu. Meong terselip dalam kantong cindramata yang diberikan oleh panitia kepada ratusan pempred yang datang pada pertemuan tersebut. Dengan cepat si Meong menghiasai berita-berita di media cetak dan elektronik menggalahkan berita soal maksud dan tujuan pertemuan tersebut yang sebenarnya tidak kalah kontroversialnya. Maklum saja, karena pertemuan tersebut digelar menjelang pemilu 2014, Digelar dengan segudang kemewahan, disponsori oleh BUMN, perusahaan swasta dan para pengusaha

Kembali ke Meong. Buntut oleh-oleh meong mungkin tidak sampai pada saat acara berlangsung saja, tapi bisa jadi berlanjut sampai para peserta kembali kehabitatnya. Segudang pertanyaan curiga dari keluarga dan istri-istri para pemred itu mungkin sudah menanti kedatangan mereka. Bagaimana tidak, pastilah dipertanyakan karena Meong didapatkan suami-suami mereka ketika mereka berada di lokasi wisata nan elok nun jauh disana.
 
Pemberian Meong seolah-oleh memfasilitasi para pempred untuk bercinta dengan aman bersama wanita yang bukan pasangan hidupnya. Itulah kontroversi Meong. Merek kondom buatan salah satu BUMN negeri ini yang menjadi salah satu sponsor pertemuan tersebut. Maksudnya mungkin kampanye, daripada pakai kondom buatan perusahaan PMA lebih baik pakai buatan BUMN.

Cibiran sinis dari berbagai kalangan juga tidak ada habisnya selama pertemuan berlangsung. Bahkan buntutnya masih menjadi perbincangan sinis di media jejaring sosial sampai sekarang. Bagaimana tidak, media merupakan sarana yang efektif menjelang 2014 dan sangat rentan dimamfaatkan sebesar-besarnya untuk hajat hidup politikus dan partai politik. Apalagi para pemimpin media langsung yang berkumpul disana, jadi lobby secara langsung maupun tidak langsung bisa saja terjadi memuluskan kerjasama resmi atau kolong meja antara pihak yang berkepentingan terhadap media dengan pemimpin redaksinya.

Memang sebagian besar yang berkumpul disana adalah pemimpin media massa yang medianya sudah punya kavling untuk partai dan politikus yang menjadi pemegang saham mayoritas. Tapi tetap saja ada  kecurigaan publik dan pelaku media lainnya terhadap lobby kolong meja. Bagaimanapun pemred memiliki kuasa redaksi untuk mengatur pengisi slot-slot berita dengan konten-konten yang memiliki kepentingan.
 
Pertemuan ini juga dianggap tidak etis karena berlangsung full fasilitas mewah dan mahal. Publik mempertanyakan dimana sensitifias para pemimpin media terhadap kondisi masyarakat yang sedang ketar ketir menghadapi dampak rencana pemerintah menaikan harga BBM dan berbagai kesulitan hidup lainnya. Mengutip berita Kontan Online, Kamis 13 Juni 2013, peserta forum pemred mendapatkan tiket pesawat pulang-pergi dari tempat asal, hotel bintang selama tiga hari, dan makan gratis. Saat registrasi di Bali Nusa Dua Convention Hall, peserta mendapatkan bingkisan selain ID card sebagai peserta forum. Bingkisan itu berisi antara lain satu kilogram gula pasir, sebotol minyak angin, makanan ringan kacang goreng, dan satu bungkus kondom.
 Belum lagi soal kode etik profesi sebagai jurnalis yang juga dipertanyaakan berbagai kalangan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan prihatin terhadap pertemuan Forum Pemred Indonesia pada 13-14 Juni 2013 di Nusa Dua Bali. AJI memandang, memasuki tahun politik atau setahun menjelang Pemilu 2014, pertemuan ratusan pemred media se-Indonesia bisa menimbulkan spekulasi politik yang tidak perlu,” demikian siaran pers berisi Pernyataan Sikap AJI Indonesia Tentang Forum Pemred yang dikeluarkan AJI Indoensia di Jakarta, Kamis (13/6).
 
Secara organisasi, AJI menerima sejumlah keluhan dari berbagai kalangan media terkait sepak terjang Forum Pemred. Para pemimpin redaksi media yang berusaha menjaga independensi ruang redaksi mengeluhkan adanya upaya menggunakan forum pemred untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Forum ini dihadiri  juga pimpinan perusahaan, pejabat negara, dan pemilik media yang berkecimpung dalam politik, sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, dan sejumlah pengusaha nasional.

AJI mengingatkan, Forum Pemred berpotensi keluar dari jalur profesionalisme dan etika jurnalistik, dua hal yang seharusnya dibangun dalam era pers bebas dan demokrasi saat ini. Di tengah berbagai masalah, seperti masih banyaknya wartawan digaji di bawah standar upah layak, tiadanya jaminan perlindungan profesi, rendahnya kualitas dan etika wartawan, serta ancaman kekerasan yang menghantui pekerja pers setiap saat, AJI mempertanyakan relevansi pertemuan Forum Pemred di Hotel mewah di Bali.

Anggota Dewan Pers Nezar Patria menyatakan bahwa lembaganya sedang mengkaji masukan dari sejumlah organisasi wartawan terkait penyelenggaraan Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bali. Terutama yang soal unsur yang menyinggung kode etik.

Belakang Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Wahyu Muryadi menyatakan mundur sebagai Ketua Forum Pemimpin Redaksi.Kepala Pemberitaan Korporat Tempo, Toriq Hadad, mengatakanTempo membentuk Dewan Etik pasca kasus ini. Dewan akan menyelidiki kemungkinan pelanggaran etika oleh Wahyu akibat kegiatannya dalam Forum Pemred. Wahyu menyatakan siap menghadapi pemeriksaan Dewan Etik.
 
Hasil pertemuan forum pempred juga dinilai belum mampu memperjuangkan nasib para jurnalis. Terutama soal upah dan kesejahteraan para jurnalis. Padahal, tanpa upah layak, mustahil jurnalis bisa bekerja secara profesional dan memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas. Upah rendah dari perusahaan media membuat jurnalis mudah tergoda suap atau sogokan pihak luar. Akibat upah rendah, tidak sedikit jurnalis harus mencari pekerjaan lain dan pemasukan tambahan dengan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Ketua Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Jojo Raharjo, sebagian besar perusahaan media di Jakarta mempekerjakan koresponden atau kontributor/stringer tanpa kontrak, atau dengan kontrak jangka pendek, tanpa memberi kejelasan status dan upah layak. Seringkali, kontrak hanya berbentuk ‘ucapan’/lisan antara pemberi dan penerima pekerjaan. Banyak perusahaan media mapan mempraktekkan eksploitasi perburuhan sambil menabrak Undang Undang Tenaga Kerja, tidak memenuhi standar upah layak dan kesejahteraan jurnalis, termasuk mengabaikan hak-hak dasar koresponden atau kontributor. Jikapun ada kontrak kerja pada umumnya bersifat sepihak dan hanya menguntungkan perusahaan.

Miris..ditengah kemewahan fasilitas yang para pemimpin redaksi mereka dapatkan dalam pertemuan pemimpin redaksi tersebut, nasib anak buah mereka masih jauh dalam katagori sejahtera.[Zaini Achmad]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar