Senin, 17 Desember 2012

Serikat Pekerja Media, Kekerasan Simbolik, dan Prospek Masa Depan


Perkembangan industri media dan teknologi informasi di Indonesia saat ini sangat pesat. Industri media kita sudah memasuki era konvergensi media dan digitalisasi. Meski demikian, tetaplah bahwa unsur terpenting dalam industri media adalah manusia, yaitu pekerja medianya. Pekerja di industri media dituntut memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, yang dinamis dan selalu berubah cepat. Jika pekerja media mengabaikan atau tidak tanggap dengan tuntutan lingkungan, dinamika perubahan ini akan menggilas mereka.

Agar pekerja media bisa bertahan menghadapi berbagai tantangan lingkungan, mereka harus kompak dan bersatu. Untuk itu, mereka membutuhkan wadah perjuangan bersama, yakni serikat pekerja media, atau lebih spesifik lagi: serikat jurnalis.

Serikat jurnalis bukanlah sesuatu yang bersifat eksternal bagi kerja jurnalis, tetapi justru menjadi bagian penting dari kerja jurnalis itu sendiri. Serikat (union) secara sederhana bermakna “bersama-sama” atau sekumpulan orang yang bekerjasama, dengan kesadaran bahwa lewat berkumpul bersama itu mereka akan jadi lebih kuat ketimbang sendiri-sendiri.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan: “Serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”

Serikat pekerja media bukan sekadar penting bagi peningkatan kesejahteraan, tetapi juga penting bagi kebebasan pers. Pertama, karena jurnalisme yang kuat dan bebas tidak akan terwujud, manakala para jurnalisnya sendiri hidup dalam keadaan tidak sejahtera dan ketakutan.

Kedua, karena hanya melalui serikat pekerja media yang independen, para jurnalis akan memiliki penyuara yang bisa bicara untuk kepentingan mereka. Sedangkan, penyuara itu sendiri tidak tergantung pada pemerintah atau pun majikan yang mempekerjakan mereka.

Ketiga, karena hanya melalui serikat pekerja media, para jurnalis dapat mengembangkan rasa aman. Yakni, suatu perasaan bahwa mereka memiliki perlindungan yang nyata bagi semua rekan sekerjanya.

Secara singkat, keberadaan serikat pekerja jurnalis berkaitan dengan satu hal: rasa hormat. Yaitu, rasa hormat terhadap diri sendiri sebagai individu, rasa hormat terhadap profesi dan kerja jurnalisme yang dilakukan, serta rasa hormat dari publik, pemerintah, dan pihak majikan.

Pertumbuhan yang Lamban dan Sentralistik

Serikat pekerja media di Indonesia mulai berkembang sejak runtuhnya rezim Orde Baru, yang represif terhadap aspirasi pekerja dan sering membungkam kebebasan pers. Karena merupakan fenomena baru, data tentangnya masih langka. Sebagian besar data dalam tulisan ini berasal dari hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan ACILS (American Center for International Labor Solidarity) tahun 2005-2006.

Sejak 1980-an, sebenarnya Majalah Tempo sudah membentuk serikat pekerja, tetapi tidak banyak diikuti media lain. Sebagian besar serikat pekerja media berdiri pasca 1998, setelah tumbangnya rezim Soeharto. Mereka memanfaatkan iklim kebebasan berserikat yang mulai muncul. Tahun 2006, di seluruh Indonesia tercatat ada 28 serikat pekerja media, dan 20 di antaranya berdiri pasca 1998.

Sedangkan, menurut data yang dimiliki Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) dan AJI, pada September 2012 tercatat ada 34 serikat pekerja media. Komposisinya sebagai berikut: 23 di media cetak, 5 di media televisi, 2 di media radio, 2 di media online, dan 2 di kantor berita (Lembaga Kantor Berita Nasional Antara dan Kantor Berita Radio 68H).

Jadi, memang ada pertumbuhan serikat pekerja media dari segi kuantitas. Tetapi jika dalam enam tahun hanya bertambah enam serikat pekerja (bila dirata-rata, berarti tiap tahun hanya bertambah satu serikat), bisa dibilang belum ada peningkatan yang signifikan.

Dari 2006 sampai 2012, mayoritas serikat pekerja media tetap didominasi oleh serikat pekerja yang berbasis di media cetak. Maraknya industri media televisi, radio berita, dan munculnya banyak media online, ternyata tidak diikuti pendirian serikat pekerja media di tempat masing-masing.

Pertumbuhan serikat pekerja media juga sangat sentralistik dan hanya berpusat di Pulau Jawa. Pada 2006, tercatat hanya di Makassar dan Medan, dua kota di luar Pulau Jawa, yang mempunyai serikat pekerja media. Pada 2012, serikat pekerja media sudah berdiri di Aceh, Medan, Pontianak, Palu, Lampung, dan Bali. Berarti, ada perluasan wilayah tempat domisili serikat pekerja media.

Tetapi, dari 34 serikat pekerja media itu, 23 serikat pekerja atau 68 persennya berbasis di Jawa. Hal ini barangkali karena Pulau Jawa, dengan kepadatan dan jumlah penduduknya yang sekitar 60 persen dari total penduduk Indonesia, memang merupakan pusat bisnis media massa. Maka masuk akal, jika mayoritas serikat pekerja media juga berada di pulau Jawa, mengikuti keberadaan kantor medianya.

Pembentukan serikat pekerja media tampaknya tidak punya korelasi langsung dengan buruknya kondisi wartawan. Buktinya, sebagian besar serikat pekerja justru berbasis di Jakarta, dan dari media yang sudah mapan pula, yang berarti kesejahteraan wartawannya relatif lebih baik. Seperti, serikat pekerja media di Harian Kompas, Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Tabloid Kontan, Majalah Tempo, Media Online detik.com, ANTV, dan SCTV.

Sementara pada media di luar Jawa, yang hidupnya tidak mapan, justru sedikit serikat pekerja. Padahal, justru di sana terdapat banyak masalah ketenagakerjaan, berkaitan dengan gaji dan fasilitas wartawan yang minim.

Pendirian serikat pekerja media tampaknya lebih terkait dengan kesadaran dari para wartawan sendiri. Karyawan media di Jakarta relatif mempunyai kesadaran lebih tinggi untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka, melalui organisasi serikat pekerja.

Cara Menghambat Serikat Pekerja Media

Mengapa pertumbuhan serikat pekerja media begitu lamban? Ada beberapa alasan. Pertama, ada persepsi keliru bahwa orang yang mendirikan media dianggap mempunyai idealisme dan tujuan luhur, jauh dari pertimbangan bisnis ekonomis. Media disebut-sebut sebagai pilar keempat pendukung demokrasi. Sehingga, ketika ada usulan membentuk serikat pekerja, seringkali tidak mendapat tanggapan positif.

Padahal kenyataannya, para pemilik media (umumnya mereka yang tidak punya latar belakang sebagai wartawan) lebih berorientasi profit. Media miliknya diperlakukan sama dengan bisnis lain, sehingga kelayakannya hanya diukur dari nilai ekonomi: rating, tiras, dan pendapatan iklan yang masuk.

Kedua, banyak wartawan dininabobokkan atau terkecoh dengan konsep atau kebanggaan palsu "kaum profesional", yang dianggap berstatus lebih tinggi daripada pekerja kasar (pekerja kerah biru), seperti buruh pabrik, pekerja bangunan, kuli, tukang, sopir angkot, dan sebagainya. Serikat pekerja dianggap bukan jatah untuk "kaum profesional", tetapi hanya cocok untuk para pekerja kasar. Akibatnya, ajakan untuk bergabung di serikat pekerja media dipandang akan menurunkan status kebanggaan mereka sebagai "kaum profesional".

Ketiga, adanya ketidaksukaan dan hambatan dari pemilik media terhadap usaha-usaha untuk mendirikan serikat pekerja. Hambatan itu seringkali tidak bersifat terang-terangan, karena bisa memancing gugatan. Pemilik media tahu, mendirikan serikat pekerja adalah hak pekerja yang dijamin undang-undang. Maka pemilik media melakukan berbagai bentuk “kekerasan simbolik” yang secara tersirat bisa dimengerti oleh para pekerja bahwa keberadaan serikat pekerja itu sebenarnya tidak disukai.

Kekerasan simbolik bukanlah bentuk kekerasan yang vulgar dan nyata terlihat, tetapi ia dikemas sedemikian halus sehingga seolah-olah itu adalah hal yang wajar dan alamiah. Bahkan dalam banyak kasus, korban kekerasan simbolik ikut berpartisipasi dalam mewujudkan terjadinya kekerasan tersebut, tanpa ia sadari.

Kekerasan simbolik itu, misalnya, menciptakan konflik di antara sesama pekerja media, melalui perlakuan pilih kasih yang tidak berdasarkan prestasi kerja. Pekerja media yang loyal, patuh, dan mengikuti saja semua kemauan pemilik media, akan dipromosikan dan diperlakukan lebih baik, dari segi posisi jabatan, gaji, bonus, kesempatan bertugas ke luar negeri, dan lain-lain. Sedangkan, pekerja media yang mendukung pembentukan serikat pekerja biasanya diperlakukan lebih buruk, tidak diberi posisi jabatan yang strategis, serta kariernya dihambat. Maka muncul suasana ketidakpercayaan dan saling curiga di antara sesama pekerja.

Bentuk lain kekerasan simbolik itu adalah mengembangkan opini di lingkungan perusahaan bahwa keberadaan serikat pekerja justru akan merusak kinerja perusahaan, menciptakan konflik yang tidak perlu antara pimpinan dan bawahan, serta merusak "hubungan baik yang bersifat kekeluargaan" antara pemilik media dan karyawan.

Para pendukung serikat pekerja digambarkan sebagai orang radikal yang tidak produktif, yang menentang pemilik media untuk kepentingan pribadi. Mereka dipandang sebagai orang yang keberadaannya bisa membahayakan kelangsungan hidup perusahaan, dan dengan demikian mengancam nasib para pekerja lain yang "baik-baik." Pengembangan opini negatif semacam ini membuat para pendukung serikat pekerja jadi terkucil, dan menyulitkan mereka dalam menggalang dukungan.

Karena berbagai faktor itulah, banyak serikat pekerja media yang baru berdiri sesudah timbulnya masalah dalam perusahaan. Ketika perusahaan media sedang sehat, gaji sedang tinggi, karyawan tidak tergerak untuk mendirikan serikat pekerja. Tetapi ketika ada tanda-tanda perusahaan sedang menuju kebangkrutan, atau ada rencana restrukturisasi yang diikuti oleh pemecatan besar-besaran, karyawan baru sadar akan posisinya yang lemah dan tergerak untuk mendirikan serikat pekerja.

Fokus Garapan Serikat Pekerja Media

Paling tidak, ada tiga fokus garapan yang dikerjakan oleh serikat pekerja media. Pertama, serikat pekerja yang hanya mengurusi soal kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Misalnya, soal biaya pengobatan karyawan yang sakit, biaya yang mau menikah, arisan, kredit rumah atau sepeda motor, dan sebagainya. Namun kalau terjadi konflik antara pekerja dengan perusahaan, serikat pekerja media tidak ikut campur. Penyelesaian konflik diserahkan kepada aturan perusahaan yang berlaku. Serikat pekerja semacam ini bisa berbentuk koperasi dan hanya mengurusi kesejahteraan karyawan.

Kedua, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada hubungan antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Fokusnya pada hubungan karyawan dengan perusahaan, karena di perusahaan media itu sudah ada koperasi karyawan yang mengurusi soal kesejahteraan. Serikat pekerja ini tidak mengurusi soal arisan atau kredit sepeda motor, tetapi akan bergerak kalau ada pemecatan, jika ada anggota yang tidak digaji secara layak, atau ada ketidakpuasan terhadap kondisi kerja, atau berbagai hal yang menyangkut hubungan antara karyawan dan perusahaan.

Serikat pekerja model ini berfungsi sebagai mediator antara kedua belah pihak, serta menjembatani masalah yang timbul antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Ada kalanya, selain fokus menggarap bidang ini, serikat pekerja juga melakukan kegiatan pelatihan dan pendidikan jurnalistik untuk wartawan.

Ketiga, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada isu-isu strategis perusahaan. Ini berlaku di perusahaan media yang karyawannya juga memiliki saham (kolektif) di perusahaan. Landasan berpikirnya, karena karyawan ikut memiliki saham seharusnya karyawan juga ikut menentukan keputusan-keputusan strategis yang diambil perusahaan.

Serikat pekerja tidak cukup hanya mengurusi karyawan, tetapi juga ikut duduk dengan direksi lain untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Dengan kata lain, serikat pekerja ikut bermain dalam tataran politis di perusahaan, termasuk menyetujui atau tidak menyetujui pimpinan suatu perusahaan. Contoh seperti ini pernah terjadi pada serikat pekerja media di Kantor Berita Antara.
Berdasarkan pengamatan sekilas, penulis melihat serikat pekerja media masih memiliki potensi yang besar untuk digarap dan dikembangkan. Hal ini bisa dilakukan jika serikat pekerja media tidak mengungkung diri dalam cangkang terbatas sektor media, tetapi menjalin kerjasama, koordinasi, dan aliansi dengan serikat pekerja di sektor-sektor non-media.

Untuk menuju hal ini, para aktivis serikat pekerja media harus mampu membuang "kebanggaan palsu" dan keterkungkungan sebagai "kaum profesional", yang telah memencilkan mereka dari gerakan buruh yang lebih luas dan lebih besar. "Kebanggaan palsu" semacam itu memang disosialisasikan, bahkan didorong oleh pemilik media atau pihak-pihak, yang memang sejak awal tidak ingin melihat perkembangan dan kemajuan serikat pekerja media.

Hanya dengan cara membebaskan diri dari keterkungkungan sektoral, dan menempatkan diri sebagai bagian dari gerakan buruh yang lebih besar, serikat pekerja media akan memiliki posisi tawar yang lebih besar di hadapan pemilik media. Sehingga, dengan demikian, serikat pekerja media juga bisa memperjuangkan independensi redaksi, serta pemberian durasi dan ruang di media bagi konten-konten yang mencerdaskan dan mendidik, yang selama ini sering dikalahkan oleh konten-konten "sampah", yang dilandasi oleh orientasi profit ekonomi semata-mata.

Keberadaan serikat pekerja media tetap dibutuhkan, bahkan mungkin kebutuhan itu lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena industri media di dunia dan di Indonesia sedang menjalani masa peralihan yang besar. Seperti terlihat dari munculnya jenis-jenis media baru, konvergensi media, digitalisasi, dan sebagainya. Dinamika perubahan ini menimbulkan ketidakpastian pada nasib pekerja media, dan sudah menjadi tugas serikat pekerja media untuk memperjuangkannya. Merdeka![Satrio Arismunandar]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar