Jumat, 19 Juli 2013

Hakim Batalkan Peralihan Status Pekerja SCTV

Perkara perselisihan PHK yang diajukan manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) kandas di PHI Jakarta. Pasalnya, majelis menolak seluruh gugatan PHK yang diajukan manajemen selaku penggugat terhadap 40 pekerjanya yangmenolak di-outsourcing. Sekali pun dalam persidangan, penggugat menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon, majelis melihat Agus Suhanda dkk menolaknya dan menginginkan untuk tetap bekerja.

Anggota majelis hakim Saut C Manalusaat membacakan pertimbangan putusan mengatakan, penggugat beralasan pengalihan ke perusahan outsourcing dilakukan agar perusahaan fokus pada bisnis inti, yaitu bidang pertelevisian. Sementara, penggugat menilai Agus Suhanda dkk mengerjakan pekerjaan penunjang seperti sopir dan petugas keamanan. Oleh karenanya, sebagaimana berkas yang diajukan di persidangan, Saut mengatakan, penggugat mengalihkan Agus Suhanda dkk ke sebuah perusahaan outsourcing bernama PT ISS Indonesia.

Ketika melaksanakan pengalihan itu penggugat merasa sudah sesuai dengan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto Permenakertrans Outsourcing. Sebelum menjalankan pengalihan itu, Saut menyebut, penggugat mengaku sudah melakukan sosialisasi kepada para pekerja. Penggugat juga memberi beberapa tawaran kepada pekerja yang hendak dialihkan. Namun, mengingat Agus Suhanda dkk tetap menolak dialihkan, penggugat melakukan PHK.

Saut menjelaskan, tergugat mendalilkan Agus Suhanda dkk merupakan pekerja tetap karena masa kerja mereka berkisar 9-20 tahun. Oleh karenanya, tergugat beralasan pengalihan itu tidak punya dasar hukum dan bertentangan dengan pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Selain itu para tergugat berpendirian mengacu pasal 170 UU Ketenagakerjaan, penggugat wajib mempekerjakan kembali Agus Suhanda dkk.

Atas perkara itu, Saut melanjutkan, majelis hakim berpendirian bahwa pokok perkara bermuara pada pertanyaan, yaitu apakah penggugat memiliki alasan yang cukup dan valid dalam melakukan PHK sebagaimana dimaksud pasal 152 UU Ketenagakerjaan? Mengacu ketentuan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto pasal 17 Permenakertrans Outsourcing, pengusaha atau penggugat diberikan hak oleh UU untuk mengalihkan sebagaian pekerjaannya, yakni menyerahkan pekerjaan penunjang kepada perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerjaan.

Tak ketinggalan dalam pendiriannya, majelis mempertanyakan apabila pengalihan itu dilakukan kepada pekerjaan yang menjadi bagian dari organisasi perusahaan apakah serta merta mengakibatkan PHK kepada pekerjanya? Saut juga menjelaskan dalam putusan, majelis hakim mengakui PHK yang dilakukan penggugat hingga ke PHI telah memenuhi ketentuan yang diatur UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI, namun, lagi-lagi majelis menekankan apakah pengalihan itu secara serta merta mengakibatkan PHK.

“Sekalipun dalam persidangan para tergugat tidak mengajukan tuntutan pembatalan pengalihan pekerjaan (pembatalan outsourcing) yang dilakukan penggugat, majelis berpendirian pengalihan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tidak serta merta mengakibatkan PHK terhadap pekerja,” kata Saut membacakan putusan di ruang sidang I PHI Jakarta, Rabu (18/7).

Masih membacakan putusan, majelis berpendirian setiap PHK harus memiliki alasan yang valid sebagaimana pasal 152 UU Ketenagakerjaan. Tapi selama persidangan, Saut mengatakan penggugat tidak menjelaskan hal itu lebih dalam sehingga pengalihan itu seolah langsung disertai dengan PHK.

Dari fakta yang diperoleh dalam persidangan, Saut mengatakan, pengalihan itu dilakukan penggugat kepada PT ISS setelah didahului presentasi dari PT ISS kepada penggugat. Kemudian, meskipun penggugat telah mengalihkan pekerjaan itu kepada PT ISS, namun pekerjaan tersebut masih ada dan masih berlangsung di tempat yang sama, serta masih dikerjakan oleh para tergugat yang telah dialihkan status kerjanya kepada PT ISS. Begitu pula dengan peralatan kerja yang digunakan, majelis melihat masih menggunakan peralatan yang dimiliki oleh penggugat.

Peralatan itu, menurut majelis, sama seperti peralatan yang digunakan para pekerja sebelum dialihkan ke PT ISS. Berdasarkan fakta-fakta itu majelis menilai, penggugat tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada para pekerjanya, begitu pula dengan dampak ketika mereka dialihkan. “Setelah pengalihan dilakukan ternyata pekerjaan tersebut masih terintegrasi dalam organisasi perusahaan penggugat. Dan peralatan kerjanya terutama untuk supir adalah peralatan utama yang dimiliki penggugat, bukan PT ISS,” urainya.

Atas dasar itu, terkait pengalihan para pekerja ke PT ISS, majelis berpedoman pada semangat pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus berupaya jangan terjadi PHK. Sekalipun PHK harus diputuskan, apalagi sifatnya massal, majelis mengacu Surat Edaran Menakertrans No.907 tahun 2004 tentang Pencegahan PHK Massal. PHK itu, menurut majelis, juga harus mempertimbangkan masa depan pekerja.

Meskipun penggugat menawarkan kepada para pekerja yang dialihkan untuk bekerja di PT ISS, tapi mengacu perjanjian penyediaan jasa pekerja antara PT ISS dan PT SCTV, majelis menilai, pekerjaan itu sifatnya sementara waktu. Selain adanya kekhawatiran jaminan keberlangsungan kerja, majelis melihat ada kecemasan jaminan sosial yang diperoleh para pekerja akan ikut berkurang pula. Oleh karena itu sebelum melakukan PHK, majelis mengingatkan, penggugat harus memperhatikan berbagai hal tersebut.

Majelis juga menegaskan, sebelum memutus hubungan pekerja, harus diperhatikan berat atau ringan dampaknya bagi pekerja dan pengusaha. Pasalnya, dalam banyak kasus tindakan pengusaha yang tetap mempekerjakan para pekerjanya, berdampak kecil bagi lancarnya operasional perusahaan. Sedangkan PHK terhadap para pekerja, tak jarang mengakibatkan ketidakpastian pendapatan dan berujung pada kemiskinan bagi pekerja beserta keluarganya.

Tanpa mencegah arah bisnis penggugat, majelis berpendapat, langkah-langkah untuk mencegah PHK yang dilakukan penggugat tidak berlandaskan alasan hukum yang memadai. “Karena alasan PHK terhadap para pekerja belum memiliki alasan yang valid, maka majelis hakim berpendirian menolak tuntutan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan PHK terhadap tergugat tidak pernah putus dan tetap berlangsung,” tutur Saut.

“Menghukum tergugat rekonvensi untuk segera mempekerjakan penggugat rekonvensi pada pekerjaan dan jabatan semula serta memulihkan hak-hak yang selama ini diperoleh para penggugat rekonvensi,” tutur hakim ketua Amin Ismanto membacakan amar putusan.


Dissenting Opinion
Putusan perkara ini diwarnai dengan perbedaan pendapat alias dissenting opinion. Anggota majelis hakim Sinufa Zebua berpendapat bahwa seharusnya pengadilan memutuskan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dengan alasan bahwa hubungan keduanya sudah tak harmonis lagi.

Zebua berani berpendapat seperti itu karena berdasarkan fakta persidangan terlihat rasa saling curiga antara penggugat dan tergugat. Ia khawatir hubungan kerja tak akan efektif lagi ketika para tergugat dipekerjakan kembali.

“Hubungan antara penggugat dengan para tergugat harus diputus berdasarkan putusan PHI dengan memberikan uang pesangon/kompensasi sesuai UU yang berlaku,” tegas Zinufa membacakan dissenting opinion.

Usai mengikuti sidang itu, salah satu kuasa hukum tergugat dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan pekerja cukup puas dengan putusan itu. Pasalnya, sebagian tuntutan, yaitu mempekerjakan kembali, dikabulkan majelis. Untuk langkah selanjutnya, Fauzi mengaku akan melihat dalam waktu 14 hari ke depan apakah pihak manajemen SCTV akan melakukan kasasi atau tidak. Jika dalam jangka waktu itu kasasi tidak kunjung diajukan maka pekerja mengajukan eksekusi.

“Tapi yang pasti kami senang atas putusan majelis hakim. Menurut kami putusan itu benar, bahwa gugatan PHK yang diajukan penggugat tidak punya dasar,” tukas Fauzi.

Soal adanya perbedaan pendapat dari salah satu anggota majelis, Fauzi berpendapat, hal itu tidak menjadi amar putusan. Sehingga tidak merisaukan bagi para pekerja karena putusannya, mereka dipekerjakan kembali. Bagi Fauzi, perbedaan pendapat itu sebagai salah satu kebebasan yang dimiliki hakim dalam bermusyawarah untuk memutus sebuah perkara. Tak ketinggalan, Fauzi berharap putusan itu berdampak positif terhadap pekerja lain yang statusnya outsourcing. “Apalagi pasca diterbitkan Permenakertrans Outsourcing, tidak sedikit pekerja outsourcing yang di-PHK,” urainya.

Sedangkan salah satu kuasa hukum penggugat, Elizabeth Ritonga, menolak berkomentar ketika ditanya pendapatnya terkait putusan itu.[HUKUM ONLINE]

Senin, 24 Juni 2013

Musuh Terbesar Forum Pemred

kita orang timur sejak kecil diajarkan nasihat padi merunduk, makin berisi makin merunduk. saya kira bukan hanya pada orang timur. peradaban manusia, sebagaimana kita baca di berbagai kisah-kisah dongeng bahkan di kitab suci, penuh dengan orang-orang yang melakoni ilmu padi merunduk, makin berisi makin merunduk.

salah satu komentar menarik budayawan sujiwo tejo, atas forum pemred yang terkenal itu, ialah menyangkut sesuatu tentang padi merunduk ini. sujiwo tejo menganggap, filosofi padi merunduk itu agak berkebalikan dengan forum pemred, yang semakin berisi semakin tegak.

ini membawa saya pada kesimpulan bahwa berita mundurnya wahyu muryadi sebagai ketua forum pemred tak bisa tidak, harus dikaitkan juga dengan ilmu padi merunduk. suara kritik atas forum yang high profile itu sejauh ini  –setidaknya bagi saya — lebih merugikan ketimbang menguntungkan terhadap citra pers  (apalagi citra pemred) kendati konon sudah menelan biaya miliaran rupiah sumbangan dari berbagai sponsor.

menariknya, wahyu muryadi mundur dari forum pemred bukan karena kritik publik. wahyu muryadi mundur dari forum pemred justru karena dinamika internal majalah tempo. mereka tidak rela forum yang konon dibiayai oleh pengusaha besar dan perusahaan besar itu menciderai independensi tempo.

di sini kita menemukan titik sambungnya dengan ilmu padi merunduk. sebetulnya salah satu kritik atas forum pemred tersebut yang tidak diucapkan tetapi sangat meluas di kalangan wartawan, ialah sikap ekskusifitas forum itu. dari namanya saja, forum pemred, ‘paguyuban’ itu sudah meninggalkan ilmu padi. seolah para pemred itu bukan wartawan. seolah ada profesi baru: pemred. seolah mereka bisa mewakili dirinya sendiri. padahal dalam kasus wahyu muryadi jelas sudah, tanpa orang-orang di newsroom itu, seorang pemred tidak ada apa-apanya.

hal seperti ini sangat sensitif di dunia kewartawanan. pemimpin redaksi bukan ceo. hubungan pemred dengan para wartawan lain lebih banyak dibangun dalam suasana kolegial. jika sang pemred menulis sebuah berita, lalu ia menugaskan reporternya mewawancarai narasumber untuk berita itu, lalu wawancara tersebut dikutip, tak ada hubungan atasan bawahan laagi ketika karya itu menjadi berita. nama pemred dan nama reporternya harus ditulis sejajar atau setidaknya harus ada penanda bahwa sang reporter turut dalam menulis berita itu sebagai kolega, bukan hubungan atasan bawahan. ini salah satu contoh bagaimana hubungan kolegial itu berlangsung.

kita tidak lagi hidup di zaman orde baru, di zaman siupp, dimana untuk menjadi pemred seseorang harus mendapat approval dari persatuan wartawan indonesia (pwi) dan lebih berat lagi, harus disetujui oleh departemen penerangan. kita sudah lama meninggalkan itu.

dari pembicaraan dengan sejuamlah reporter di lapangan, saya menangkap kesan mereka tidak menyangka, betapa pemred-pemred itu telah begitu jumawanya mengeksklusifkan diri pada sebuah forum yang disebut pertemuan puncak, pada detik-detik menjelang RAPBN-P dibicarakan di parlemen dan menjelang tahun pemilu. terbukti pula bahwa kisah-kisah miring yang ada pada forum pemred itu, justru diungkap oleh pers sendiri, oleh para reporter di lapangan.

itu sebabnya lawan berat yang dihadapi forum pemred bukan publik –meskipun publik sangat penting didengar– melainkan adalah para kolega-kolega mereka di newsroom, seperti yang terjadi di majalah tempo itu. makin jumawa mereka yang berada di forum pemred itu mengukuhkan eksistensinya, makin berat ia berhadapan dengan kolega-koleganya newsroom kantornya.

namun, bukan itu yang terberat. Musuh paling berat dari Forum Pemred itu adalah rasa puas diri menduduki jabatan tertinggi, sehingga menganggap dirinya terpisah dari profesi yang membesarkan dirinya, yaitu dunia kewartawanan.

rosihan anwar, b.m diah, mochtar lubis adalah beberapa wartawan yang sering-sering disebut bila membicarakan perkembangan pers di tanah air. tidak banyak yang mengenal mereka sebagai pemred. mereka lebih dikenang dan diapresiasi sebagai wartawan. dan saya kira itulah bagian dari penjelmaan ilmu padi yang makin berisi makin merunduk.

sebab pada akhirnya, jabatan pemred itu bersifat sementara. jika pemilik modal tidak menyukainya, selesai sudah nasibnya sebagai pemred. ada pun wartawan, tidak. sepanjang hayat, bila dia mau mencurahkan tenaga dan waktunya melaporkan berita, entah sebagai pegawai tetap, entah sebagai stringer, entah sebagai sukarelawan, ia adalah wartawan.[Intan Lidya Lumban Toruan]

Oleh-oleh Forum Pempred dari Meong sampai Cibiran Sinis

“Meong” adalah oleh-oleh yang cukup menghebohkan dalam pertemuan forum para pemimpin redaksi (pempred) media massa yang berlanggsung di Bali 13-14 Juni 2013 yang lalu. Meong terselip dalam kantong cindramata yang diberikan oleh panitia kepada ratusan pempred yang datang pada pertemuan tersebut. Dengan cepat si Meong menghiasai berita-berita di media cetak dan elektronik menggalahkan berita soal maksud dan tujuan pertemuan tersebut yang sebenarnya tidak kalah kontroversialnya. Maklum saja, karena pertemuan tersebut digelar menjelang pemilu 2014, Digelar dengan segudang kemewahan, disponsori oleh BUMN, perusahaan swasta dan para pengusaha

Kembali ke Meong. Buntut oleh-oleh meong mungkin tidak sampai pada saat acara berlangsung saja, tapi bisa jadi berlanjut sampai para peserta kembali kehabitatnya. Segudang pertanyaan curiga dari keluarga dan istri-istri para pemred itu mungkin sudah menanti kedatangan mereka. Bagaimana tidak, pastilah dipertanyakan karena Meong didapatkan suami-suami mereka ketika mereka berada di lokasi wisata nan elok nun jauh disana.
 
Pemberian Meong seolah-oleh memfasilitasi para pempred untuk bercinta dengan aman bersama wanita yang bukan pasangan hidupnya. Itulah kontroversi Meong. Merek kondom buatan salah satu BUMN negeri ini yang menjadi salah satu sponsor pertemuan tersebut. Maksudnya mungkin kampanye, daripada pakai kondom buatan perusahaan PMA lebih baik pakai buatan BUMN.

Cibiran sinis dari berbagai kalangan juga tidak ada habisnya selama pertemuan berlangsung. Bahkan buntutnya masih menjadi perbincangan sinis di media jejaring sosial sampai sekarang. Bagaimana tidak, media merupakan sarana yang efektif menjelang 2014 dan sangat rentan dimamfaatkan sebesar-besarnya untuk hajat hidup politikus dan partai politik. Apalagi para pemimpin media langsung yang berkumpul disana, jadi lobby secara langsung maupun tidak langsung bisa saja terjadi memuluskan kerjasama resmi atau kolong meja antara pihak yang berkepentingan terhadap media dengan pemimpin redaksinya.

Memang sebagian besar yang berkumpul disana adalah pemimpin media massa yang medianya sudah punya kavling untuk partai dan politikus yang menjadi pemegang saham mayoritas. Tapi tetap saja ada  kecurigaan publik dan pelaku media lainnya terhadap lobby kolong meja. Bagaimanapun pemred memiliki kuasa redaksi untuk mengatur pengisi slot-slot berita dengan konten-konten yang memiliki kepentingan.
 
Pertemuan ini juga dianggap tidak etis karena berlangsung full fasilitas mewah dan mahal. Publik mempertanyakan dimana sensitifias para pemimpin media terhadap kondisi masyarakat yang sedang ketar ketir menghadapi dampak rencana pemerintah menaikan harga BBM dan berbagai kesulitan hidup lainnya. Mengutip berita Kontan Online, Kamis 13 Juni 2013, peserta forum pemred mendapatkan tiket pesawat pulang-pergi dari tempat asal, hotel bintang selama tiga hari, dan makan gratis. Saat registrasi di Bali Nusa Dua Convention Hall, peserta mendapatkan bingkisan selain ID card sebagai peserta forum. Bingkisan itu berisi antara lain satu kilogram gula pasir, sebotol minyak angin, makanan ringan kacang goreng, dan satu bungkus kondom.
 Belum lagi soal kode etik profesi sebagai jurnalis yang juga dipertanyaakan berbagai kalangan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan prihatin terhadap pertemuan Forum Pemred Indonesia pada 13-14 Juni 2013 di Nusa Dua Bali. AJI memandang, memasuki tahun politik atau setahun menjelang Pemilu 2014, pertemuan ratusan pemred media se-Indonesia bisa menimbulkan spekulasi politik yang tidak perlu,” demikian siaran pers berisi Pernyataan Sikap AJI Indonesia Tentang Forum Pemred yang dikeluarkan AJI Indoensia di Jakarta, Kamis (13/6).
 
Secara organisasi, AJI menerima sejumlah keluhan dari berbagai kalangan media terkait sepak terjang Forum Pemred. Para pemimpin redaksi media yang berusaha menjaga independensi ruang redaksi mengeluhkan adanya upaya menggunakan forum pemred untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Forum ini dihadiri  juga pimpinan perusahaan, pejabat negara, dan pemilik media yang berkecimpung dalam politik, sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, dan sejumlah pengusaha nasional.

AJI mengingatkan, Forum Pemred berpotensi keluar dari jalur profesionalisme dan etika jurnalistik, dua hal yang seharusnya dibangun dalam era pers bebas dan demokrasi saat ini. Di tengah berbagai masalah, seperti masih banyaknya wartawan digaji di bawah standar upah layak, tiadanya jaminan perlindungan profesi, rendahnya kualitas dan etika wartawan, serta ancaman kekerasan yang menghantui pekerja pers setiap saat, AJI mempertanyakan relevansi pertemuan Forum Pemred di Hotel mewah di Bali.

Anggota Dewan Pers Nezar Patria menyatakan bahwa lembaganya sedang mengkaji masukan dari sejumlah organisasi wartawan terkait penyelenggaraan Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bali. Terutama yang soal unsur yang menyinggung kode etik.

Belakang Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Wahyu Muryadi menyatakan mundur sebagai Ketua Forum Pemimpin Redaksi.Kepala Pemberitaan Korporat Tempo, Toriq Hadad, mengatakanTempo membentuk Dewan Etik pasca kasus ini. Dewan akan menyelidiki kemungkinan pelanggaran etika oleh Wahyu akibat kegiatannya dalam Forum Pemred. Wahyu menyatakan siap menghadapi pemeriksaan Dewan Etik.
 
Hasil pertemuan forum pempred juga dinilai belum mampu memperjuangkan nasib para jurnalis. Terutama soal upah dan kesejahteraan para jurnalis. Padahal, tanpa upah layak, mustahil jurnalis bisa bekerja secara profesional dan memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas. Upah rendah dari perusahaan media membuat jurnalis mudah tergoda suap atau sogokan pihak luar. Akibat upah rendah, tidak sedikit jurnalis harus mencari pekerjaan lain dan pemasukan tambahan dengan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Ketua Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Jojo Raharjo, sebagian besar perusahaan media di Jakarta mempekerjakan koresponden atau kontributor/stringer tanpa kontrak, atau dengan kontrak jangka pendek, tanpa memberi kejelasan status dan upah layak. Seringkali, kontrak hanya berbentuk ‘ucapan’/lisan antara pemberi dan penerima pekerjaan. Banyak perusahaan media mapan mempraktekkan eksploitasi perburuhan sambil menabrak Undang Undang Tenaga Kerja, tidak memenuhi standar upah layak dan kesejahteraan jurnalis, termasuk mengabaikan hak-hak dasar koresponden atau kontributor. Jikapun ada kontrak kerja pada umumnya bersifat sepihak dan hanya menguntungkan perusahaan.

Miris..ditengah kemewahan fasilitas yang para pemimpin redaksi mereka dapatkan dalam pertemuan pemimpin redaksi tersebut, nasib anak buah mereka masih jauh dalam katagori sejahtera.[Zaini Achmad]

Muktar Pakpahan, Siap Jadi Saksi Ahli Kasus Pekerja SCTV

Sore tadi, 27 Mei 2013 bersama-sama dengan kawan-kawan perwakilan Serikat Pekerja SCTV saya datang ke kantor Muktar Pakpahan, S.H di Jl. Bukit Tinggi II, Senen Jakarta Pusat. Maksud kedatangan kami adalah meminta supaya advokat senior yang sering keluar masuk penjara pada masa orde baru ini mau menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus digugat PHKnya 40 Pekerja tetap SCTV oleh PT. SCTV.

Selain Muktar Pakpahan, S.H., 40 Pekerja yang didampingi oleh LBH ASPEK Indonesia ini juga berencana menghadirkan Prof. Payaman Simanjuntak, S.H sebagai saksi ahli. Keduanya dihadirkan untuk memberikan pendapat dan keterangan di depan majelis hakim PHI Jakarta sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Keahlian kedua orang ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Muktar Pakpahan misalnya, telah menulis beberapa karya dalam bentuk buku terkait isu-isu perburuhan. Sementara Prof. Payaman Simanjuntak tidak kalah kepakarannya soal hubungan industrial. Beberapa buku tentang isu perburuhan juga pernah ditulisnya.

Pada persidangan sebelumnya (kamis, 23/5), pihak PT. SCTV melalui kuasa hukumnya, menghadirkan saksi ahli seorang mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ahli yang dihadirkan oleh PT. SCTV dipandang oleh Singgih D. Atmadja, S.H, Direktur ekskutif LBH ASPEK Indonesia sangat menyesatkan. Dan keterangan yang diberikan di muka persidangan pun sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut Singgih, ahli yang dihadirkan oleh pihak PT. SCTV pada persidangan minggu lalu kepakaran dan keahliannya dipertanyakan. Karena yang bersangkutan sebagai ahli, sama sekali tidak pernah membuktikan keahliannya. Keahliaan seseorang itu kan salah satu parameternya adalah buku, sementara saksi ahli yang dihadirkan oleh PT. SCTV belum pernah menulis buku satupun soal perburuhan. Tanyanya tegas.

Singgih menambahkan, ahli yang dihadirkan oleh pihak PT. SCTV selaku penggugat keterangannya sangat membingungkan. Bagaimana mungkin, saksi ahli menyatakan bahwa skorsing dapat dilakukan dengan lisan tanpa surat tertulis. Saksi juga menyatakan bahwa PHK dapat dilakukan berdasarkan Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan. Jelasnya.

Kasus pekerja PT. SCTV berawal dari kebijakan baru perusahaan yang ingin mengalihkan sebagian pekerja pada perusahaan outsorcing (PT. ISS) sebagai pekerja kontrak. Sebagian pekerja menerima kebijakan tersebut, sementara 40 pekerja lainnya menolak. Singkat cerita, para pekerja yang sudah diangkat sebagai Karyawan Tetap yang telah bekerja puluhan tahun, yang menolak untuk dialihkan ini kemudian diskorsing oleh PT. SCTV tanpa ditunjukkan kesalahannya. Bahkan sebagian besar pekerja tidak menerima surat skorsing namun tetap dilarang masuk kerja.

Tidak berhenti diskorsing, seluruh fasilitas bahkan fasilitas kesehatan bagi pekerja dan keluargapun ditutup dan dihentikan. Akibatnya, salah satu anak dari 40 pekerja ini kemudian meninggal dunia dikarenakan tidak mendapatkan pengobatan dan penanganan yang memadai. Hal ini sebelumnya saya tulis juga di Kompasiana dengan judul “Berselisih dengan PT SCTV, Anak Meninggal Dunia”.

Setelah di skorsing, PT. SCTV mengajukan Mediasi ke Sudinakertrans Jakarta Pusat. Anehnya, Sudinakertrans Jakarta Pusat, memanggil para pihak termasuk 40 pekerja SCTV ini, seolah-olah pihak pekerjalah yang mencatatkan perselisihan. Padahal pihak pekerja justru telah mengadukan dilanggarnya hak-hak normatif ketenagakerjaan ke kemenakertrans RI. Akhirnya, dari kementrian mendelegasikan aduan dari pekerja ke pihak sudinakertrans Jakarta pusat untuk kemudian di tindak lanjuti. Bukannya aduan dari pekerja yang ditindaklanjuti, pihak sudinakertrans Jakarta Pusat justru menjatuhkan PHK terhadap pekerja melalui surat Anjuran.

Singkat cerita, pihak SCTV melalui kuasanya, kemudian melayangkan gugatan PHK terhadap 40 Pekerja tetapnya ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri jakarta Pusat. Saat ini, persidangan sudah pada tahap pembuktian. Berlangsung setiap hari Kamis di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta, di Jl. MT. Haryono Kav. 52 Kel. Pancoran Jakarta Selatan.

Jika masyarakat luas ingin tahu langsung, datang saja mengikuti proses persidangan. Karena dalam persidangan yang terbuka untuk umum ini akan terungkap dengan terang benderang, betapa PT. SCTV memaksakan diri degan barbagai cara untuk “menyingkirkan” pekerjanya dengan cara PHK yang diluar prosedur dan aturan yang berlaku.[Ahmad Fauzi Hasbullahi]

Senin, 20 Mei 2013

Redaksi Liputan 6 Makin Diobok-obok

SIANG ITU, seperti biasa, para produser Liputan 6 SCTV mengikuti rapat budgeting, yakni rapat perencanaan untuk program Liputan 6 Petang. Tidak seperti biasanya, kali ini para pejabat Divisi News Center berkumpul lengkap di ruangan (termasuk Wapemred Putut Trihusodo yang biasanya lebih asyik berkumpul di ruang merokok Lantai 7 atau cafe Warung Pojok di salah satu lantai Senayan City).

Rasa keheranan ini tak berlangsung lama karena setelah rapat dibuka tiba-tiba saja Direktur Utama PT Surya Citra Media Tbk (perusahaan induk SCTV dan Indosiar) Sutanto Hartono bersama sejumlah pejabat teras SCTV muncul di ruang rapat. Teka-teka pertama terjawab, ternyata ada pejabat penting yang akan ‘menyelinap’ ke ruang rapat redaksi.

Ada apa?

Tidak seorang pun yang berani bertanya karena mantan Direktur Utama SCTV itu tidak berbeda jauh dengan Dewa bagi sebagian besar dari kami, terutama para pejabat Liputan 6. Lagi pula, apa pula urusannya bertanya ini-itu? Karena nanti, ujung-ujungnya bakal di-HRD-kan atau dibikin tidak nyaman hingga selanjutnya mundur teratur dari kantor mewah SCTV Tower.

Singkat cerita, Sutanto Hartono yang semasa menjabat sebagai Direktur Utama SCTV diposisikan sebagai Ketua Dewan Redaksi itu pun langsung mendapat kesempatan berbicara. Seluruh peserta rapat menyimak dengan seksama. Sebagian dari kami berharap, ada pengumuman bagus menyangkut bonus atau kenaikan gaji yang signifikan.

Bukan apa-apa, sebagian besar dari kami masih kecewa dengan pembagian bonus dan kenaikan gaji per Maret lalu. Selain menyangkut cara penilaian yang aneh dan sangat merugikan, buntut-buntutnya angka-angka yang muncul di ATM pun hanya bikin keresahan di sebagian besar karyawan. Untuk poin ini, saya malas menguraikannya. Biarlah keresahan ini disimpan di hati kami.

Tanpa banyak basa-basi, Sutanto Hartono langsung mengumbar cerita tentang job desk-nya yang baru sambil memperkenalkan nama-nama baru yang menjabat sebagai Dirut SCTV dan Dirut Indosiar. Ada pejabat baru, toh! Misal SCTV, yang sekarang dipimpin oleh Harsiwi Achmad yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Program dan Produksi.

Lantas, apa yang aneh?

Ya, uraiannya makin aneh karena, katanya, ia tetap memegang kendali atas kedua dirut itu. Jelasnya, mereka tak lebih dari direktur seperti posisi terdahulu dan ia akan tetap memegang kendali atas operasionalisasi SCTV plus Indosiar. Artinya, Sutanto Hartono yang terkenal dengan Kebijakan Outsourcing-nya itu sebenarnya merupakan Dirut untuk dua stasiun televisi.

Para pejabat Liputan 6 hanya senyum-senyum. Para produser terdiam tanpa berminat untuk menanggapi, apalagi mengkritisi.

Buat saya, begitu Sutanto Hartono muncul di ruang redaksi merupakan keanehan pertama. Dan ketika ia mengumbar cerita soal kendali penuhnya atas SCTV dan Indosiar menjadi keanehan kedua. Terakhir, ketika saya berpikir tentang posisi kami yang karyawan dan juga jurnalis, tiba-tiba saya harus menghadirkan keanehan ketiga.

Jadi, ruang redaksi kami telah makin diobok-obok?

***

SAYA HANYA terdiam ketika produser sebuah program berita Liputan 6 itu bercerita dengan begitu berapi-api sambil sesekali menghembuskan nafas panjangnya. Kekesalan dan kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.

Saya mengenalnya sebagai jurnalis yang cukup idealis, meski ia tergolong pendiam dan tidak vokal. Saya tahu, di balik sifat pendiam dan tidak vokal itu sebenarnya ia menyimpan kegundahan. “Ya, sekadar cari makan,” jawabnya ketika diminta mempertanggungjawabkan ketidakkritisannya itu.

Saya sangat tahu, kompromi terhadap perut dan masa depan anak-anak para jurnalis itu menjadi alasan kuat untuk menerima seluruh keanehan itu: entah keanehan pertama, keanehan kedua, keanehan ketiga, atau ratusan keanehan lainnya. Karena para jurnalis itu butuh keamanan (bahkan sebagian lagi kenyamanan).

Buat saya, sebagai jurnalis yang pernah berada di lingkungan itu, sikap maklum dan pura-pura memahami dilematis itu juga menjadi keharusan. Karena tidak semua orang bakal memiliki prinsif dan memiliki keberanian untuk menjaganya mati-matian, meski ia telah menjanjikan diri untuk mengabdi kepada dunia jurnalisme.

Namun ketika saya berada di pihak khalayak, maka saya mesti mempertimbangkan sajian-sajian berita yang bakal dihadirkan oleh media dengan sistem manajemen seperti diuraikan di atas. Penelitian-penelitian para akademisi menunjukkan bahwa kesemrawutan isi media sangat berkaitan dengan kesemrawutan lembaga atau organisasi yang mengelola penyajian isi media itu.

Parahnya, kesemrawutan itu memang sengaja diciptakan oleh para pemilik modal melalui tangan-tangan manajerial yang dipilihnya. Jangan heran, tangan-tangan manajerial itu bukan hanya berupa sosok direktur utama atau direktur, tapi juga pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, kepala peliputan, kepala produksi, produser eksekutif, hingga para produser di bawahnya.

Dan, itu merupakan cerita paling anyar tentang kondisi media di tanah air, serta bukan hanya milik SCTV dan Indosiar. Media televisi lain dengan kendali penuh korporasi di atasnya juga senasib.[NAYUNDA LARASATI]

Sabtu, 04 Mei 2013

Pengekangan Hak Berserikat Adalah Pelanggaran HAM

Demosi atau penurunan jabatan dan PHK terhadap pengurus serikat pekerja dalam suatu perusahaan merupakan pelanggaran hak berserikat atau HAM sesuai Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Pendapat itu disampaikan Yoseph Adi Prasetya –biasa disapa Stanley-, Komisioner Komnas HAM Subbidang Pendidikan dan Penyuluhan, saat diperiksa sebagai ahli dalam kasus gugatan PHK wartawan Suara Pembaruan, Budi Laksono, di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Kamis (18/2).

Sebelum diperiksa, kuasa hukum Suara Pembaruan Christma Celi Manafe, sempat keberatan dengan kapasitas Stanley yang merupakan salah satu Komisioner Komnas HAM. Pasalnya, kasus ini murni hubungan industrial dan tak ada kaitannya dengan serikat pekerja. Ia pun mengkhawatirkan jika Stanley diperiksa sebagai ahli, keterangannya tak independen. Meski demikian, majelis hakim yang dipimpin Sapawi tetap memperkenankan Stanley diperiksa dan keberatan itu akan dicatat dalam berita acara sidang.

Stanley lalu mengutip Pasal 28 UU Serikat Pekerja yang menyatakan siapa pun dilarang menghalangi-halangi pekerja membentuk atau tak membentuk, menjadi pengurus atau tak menjadi pengurus dengan cara mem-PHK, intimidasi, demosi. “Termasuk pernyataan atau ungkapan yang berbau antiserikat, misalnya ketika perusahaan tak suka pada salah satu pengurus serikat, intimidasi, ini bentuk pelanggaran HAM,” kata Stanley.

Jika ini terjadi, Komnas HAM dapat merekomendasikan kepada Komisi III DPR untuk memanggil perusahaan yang bersangkutan. Bahkan, dapat dicabut izin usahanya jika dinilai terjadi pelanggaran HAM.

Disinggung soal demosi dari profesi wartawan ke bagian penelitian dan pengembangan (Litbang), Stanley mengaku pernah melakukan penelitian kebebasan berserikat di sejumlah perusahaan media berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas HAM. Diantaranya, kasus di SCTV, Tabloid Bola, Indosiar. Salah satunya, dengan melakukan mediasi antara pimpinan media dan wartawannya yang menjadi pengurus atau anggota serikat pekerja.

“Wartawan yang dimutasi ke bagian Litbang di perusahaan media muncul julukan 'sulit berkembang', jadi seorang wartawan yang dimutasi ke Litbang, karirnya akan mati,” kata mantan jurnalis majalah Jakarta-Jakarta itu menjelaskan. Modus lainnya, wartawan kerap dipindahkan desk liputan yang tak dikuasai. Misalnya, dari wartawan politik dirotasi ke wartawan mode. Pengkondisian ini merupakan bagian dari sikap tak ramah perusahaan terhadap kebebasan berserikat.

Dalam banyak kasus, Stanley mencontohkan, di Kelompok Kompas Gramedia ada beberapa orang yang membuat serikat pekerja, lalu di-PHK. “Proses PHK-nya begitu cepat, saya juga tak tahu kenapa, mungkin karena ada 'dukungan' dari pihak Disnakertrans, sehingga dia kehilangan haknya,” ujarnya menceritakan. Hal ini pernah terjadi di Media Indonesia, RCTI, Kompas untuk kasus PHK Bambang Wisudo yang pernah diproses di PHI Jakarta. Kala itu Stanley pun menjadi saksi ahli. “Ini merupakan tindakan antiserikat,” tegasnya.

Ditanya jika seorang pengurus serikat yang di-PHK dalam proses hukum, Stanley berpendapat kepengurusannya belum gugur sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum. “Sebelum putusan inkracht, dia masih punya hak menjadi pengurus karena kepastian dia masih karyawan atau bukan harus dibuktikan lewat putusan pengadilan.”

Sekedar mengingatkan, awal Desember 2009 lalu manajemen Suara Pembaruan melayangkan gugatan PHK kepada Budi Laksono, Ketua Serikat Pekerja Suara Pembaruan, lantaran dianggap mangkir selama 19 hari kerja pada 5-13 Februari 2009. Sebelumnya, Budi dianggap kerap melalaikan tugasnya hingga akhirnya mendapatkan surat peringatan kesatu (SP-1) hingga SP-3. Sementara Budi berdalih PHK terkait erat pendirian serikat pekerja dimana Budi selaku ketuanya. Itu dibuktikan adanya anjuran Sudinakertrans Jakarta Timur agar perusahaan kembali mempekerjakan Budi. Modusnya, ia pernah didemosi dari wartawan ke bagian Litbang hingga akhirnya di-PHK.

Perusahaan Dihimbau Tidak Beriklan di Tayangan Tak Ramah Anak

Tayangan anak yang mengandung kekerasan masih kerap terlihat di televisi kita. Sinetron Si Biang Kerok Cilik (SCTV), yang mengisahkan kehidupan anak Sekolah Dasar dengan latar sekolah ini adalah salah satunya. Dalam tujuh episode yang diteliti Remotivi (periode 24 Desember 2012-30 Desember 2012), terdapat 49 adegan yang mengandung kekerasan fisik dan 85 kalimat dialog yang mengandung kekerasan verbal (baca: "[Siaran Pers] Izinkan Anak-Anak Tumbuh Tanpa Tayangan Kekerasan").

Dengan banyaknya adegan kekerasan dalam tayangan produksi Screenplay ini, anak-anak—yang mengalami proses belajar sosial saat menontonnya—diajarkan bahwa kekerasan dapat menjadi jalan keluar permasalahan. Menjamurnya adegan perkelahian antarsiswa Sekolah Dasar pun (misalnya, saat tokoh Bije berkelahi dengan Jarot untuk membuktikan siapa yang salah) mereduksi makna kebenaran menjadi persoalan siapa yang kuat dan lemah.

Hal di atas disampaikan Koordinator Advokasi dan Kampanye Remotivi Nurvina Alifa dalam Focus Group Discussion yang bertempat di aula Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, pada 25 April 2013, di mana Remotivi mempublikasikan hasil penelitiannya terhadap Si Biang Kerok Cilik. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Nina Armando turut menyatakan keprihatinannya. Menurutnya, hal ini termasuk dalam pelanggaran perlindungan anak, sehingga tayangan ini harus diperbaiki.

“(Tayangan) pemegang rating tertinggi pasti bermasalah; tayangan yang bermasalah itu pasti ditonton,” ujar perwakilan Screenplay Agus Wijaya menanggapi hal di atas. Hal ini dibantah Direktur Remotivi Roy Thaniago yang menyatakan bahwa televisi sering kali tidak mau bersusah payah untuk berjuang memproduksi tayangan yang berkualitas, dan hanya berdalih atas nama Nielsen. “Yang membentuk selera masyarakat kan media,” ujarnya. Namun, baik Agus maupun perwakilan SCTV Doni Arianto sudah menyatakan kesediaannya untuk terus memperbaiki tayangan ini dari waktu ke waktu.

Tidak hanya SCTV dan Screenplay, menurut Nurvina, Unilever, Wings, dan Indofood—juga perusahaan lain yang beriklan—harus ikut bertanggungjawab atas pelanggaran ini. Ketiga perusahaan ini tercatat paling banyak memasang iklan pada Si Biang Kerok Cilik selama periode pemantauan Remotivi, yang dengan kata lain merupakan penyokong kelangsungan hidup tayangan ini. Seharusnya, lanjut Nurvina, perusahaan-perusahaan mesti mempertimbangkan isi tayangan tempatnya menaruh iklan, bukan hanya melihat rating dan share-nya saja.

Roy pun menyatakan bahwa harus ada komitmen yang kuat dari perusahaan-perusahaan untuk menjaga citranya sebagai perusahaan yang ramah anak dengan tidak beriklan pada tayangan yang tidak ramah anak. Dengan begitu, lanjutnya, tidak ada kesempatan bagi tayangan seperti ini untuk terus disiarkan.

Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Otty H. C. Ubayani Panoedjoe yang hadir saat itu meresponnya, “Namanya juga pengusaha, pasti akan mencari untung dan rating yang tinggi.” Menanggapinya, Nina mengatakan bahwa televisi bersiaran menggunakan frekuensi publik. Tentu, lanjutnya, motif ekonomi tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk merugikan dan melanggar hak anak di televisi. Maka, perusahaan pengiklan sebagai bahan bakar utama sebuah tayangan juga harus berpihak kepada kepentingan publik. “Harus ada mata rantai yang diputus untuk meniadakan tayangan yang tidak ramah terhadap anak: iklan,” tambah Nurvina.

Salah satu perusahaan pemasang iklan terbanyak di Si Biang Kerok Cilik, yakni Unilever, sampai berita ini diturunkan belum bisa dimintai keterangan. “Kami baru bisa memberikan jawaban paling cepat Selasa, ya,” ujar Tanti, staf bagian Media Relations Unilever di ujung telepon. (REMOTIVI/Indah Wulandari)