Rabu, 06 Juni 2012

In Memoriam Liputan 6 SCTV


Liputan 6 SCTV memiliki tradisi yang kuat dalam pemberitaan. Judul artikel ini agak kontroversial. Mengapa saya menulis Liputan6 In Memoriam? Bagi kawan-kawan yang sering menonton berita, mungkin bisa sedikit berbagi cerita dengan saya.

Sebelum saya beropini, mengapa saya membahas Liputan 6 SCTV? Hal ini disebabkan, Liputan 6 memiliki kebijakan editor yang kuat. Opininya kuat seperti layaknya BBC News.

Dalam Let’s On Air Shift 2, saya akan menulis saat Television Centre terbagi menjadi dua bagian. Kubu BBC (yang khas dengan warna merah, presenter berdiri, dan ulasan mendalam) serta Asahi News, setelah melakukan outsourcing berita ke BBC (dominan kuning, presenter duduk, ciri khas berita dengan klip berdurasi pendek).

Kita kembali ke dunia nyata. Ya, sampai Februari lalu, Liputan 6 SCTV dan BBC News berbagi beragam kesamaan. Studio real (bukan studio palsu layaknya ITV atau tvone), kebijakan editor yang kuat (redaksional BBC dan SCTV mirip), memiliki reputasi (BBC sebagai pembawa berita kelas dunia dan SCTV sebagai satu-satunya televisi non-berita yang mampu bersaing dengan Metro TV dan tvOne).

Satu-satunya yang saya sayangkan dari SCTV, yaitu mereka memilih background palsu ketimbang layar wall screen layaknya BBC.

Model Liputan 6 Pagi sebelum Februari, mirip seperti BBC Breakfast (dengan rasa Indonesia). Setelah Februari, lebih mirip dengan BBC News yang disiarkan sebelum BBC Breakfast di UK.

Lah? Ada Apa ini?

Usut punya usut, saya awalnya merasa senang setelah tahu SCTV menggunakan wall screen. Walau, ada beberapa keanehan, ke mana Bayu yang biasa saya tonton di Liputan6 Pagi?

Yang lebih mengherankan lagi, adalah nama di credits ending berita Liputan 6 dan program NCA (News Current Affairs) seperti Barometer dan Sigi berubah dari Rosianna Silalahi, menjadi Fofo Sariaatmaja (pak Fofo). Ada apa ini?

Sikut-Sikutan di SCTV Tower

Dua bulan yang lalu, ada gonjang-ganjing bahwa Don Bosco Selamun (mantan pemred MetroTV sebelum diganti pak Andy F Noya, yang sekarang membawakan acara Kick Andy) akan kembali ke SCTV. Pak Don, sebelumnya adalah wakil pemred SCTV, sebelum ditarik ke MetroTV.

Rupanya, hal ini menimbulkan pro dan kontra di SCTV Tower. Don Bosco (yang eks orang MetroTV, rasa Golkar? dan eks orang RCTI, huh MNC) ditolak oleh sebagian staf.

Terpecahlah divisi NCA SCTV menjadi dua kubu. Kubu Don Bosco dan kubu Rosianna. Mendadak, Fofo (yang juga berstatus pemilik SCTV) mendaulat diri sebagai pemred SCTV, menggeser posisi Rosianna.

Akibatnya jelas. Sejumlah wartawan dan presenter anti-Don pun mundur. Salah satunya, Bayu Sutiono dan Nova Rini. Padahal, ketimbang gonjang-ganjing mengurus “permainan politik di SCTV Tower”, mengapa tidak fokus untuk memberi liputan terbaik bagi pemirsa?

Sejarah Panjang Liputan 6

Liputan 6 memiliki tradisi unik, yang juga dimiliki oleh BBC News. BBC News memiliki kedudukan istimewa di Inggris. Budgetnya sangat besar, dan memiliki tradisi rating pertama di Britania Raya meski bagi sebagian orang, berita BBC dicap kaku dan membosankan.

Agak berbeda dengan Liputan 6. di SCTV, yang notabene bukan televisi berita layaknya tvOne atau Metro, Liputan6 memiliki tim liputan dan prasarana terdedikasi. SCTV menyediakan mobil khusus untuk Liputan 6. Bahkan, meski ada tuntutan agar Liputan6 berubah, kenyataannya ia tetap mempertahankan formatnya.

Perubahan format, ampuh melenyapkan citra Liputan 6. Ia memiliki reputasi, sebagai televisi pengawal demokrasi. Bahasanya kritis, lebih kritis dari televisi berdedikasi berita. Ia juga tidak dikuasai kelompok politik tertentu. Agak beda dengan tvOne (Bakrie) dan MetroTV (Surya Paloh).

Saya mengakui, kalau saya lebih sreg menonton Liputan 6 ketimbang Metro atau tvOne.

Mengapa SCTV tidak menjadi televisi berita saja?

Redaksi Liputan 6 pernah dipegang orang handal. Contohnya Karni Ilyas. Ia kini menjabat Pemred tvOne (yang mampu mengubah anggapan buruk Lativi, menjadi tvOne yang kuat dalam berita). Ada gurauan ketika pak Karni menjabat, kenapa SCTV tidak menjadi TV berita saja?

Di masa Rosianna, Liputan6 tidak kalah gaung meski kini Karni ada di tvOne. Bahkan, Liputan 6 menjadi program yang edukatif bagi masyarakat. Hal ini tidak surut, setidaknya sampai Februari ini. Kini, ada rasa yang hilang dari Divisi Pemberitaan SCTV.

Kehilangan.

Mengapa, kisruh politik, dan rating menyebabkan Liputan 6 hancur? Salah satu alasan saya tidak menyukai gaya pemberitaan beberapa televisi lain, karena mereka tidak punya idealisme. Reportase dan Redaksi (Trans) mengejar hiburan dan mendepak opini politik menjadi berita selingan. Perpanjangan Jelang Sore? WTF?

Berita MNC (RCTI TPI Global) bagi saya memang menarik. Saya tidak suka saja, dengan alasan tertentu untuk menonton berita MNC. Metro? Sorotannya memang tajam, tapi terlalu liberal, dan pro-Golkar. tvOne? Sayang dimiliki Bakrie.

Saya merasa kehilangan Liputan 6 yang dulu. Inilah buletin berita yang paling mendekati BBC News di Indonesia. Ah, saat idealisme tergadai oleh uang dan rating. In memoriam, because the power of money.[Blog Shin Muhammad]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar