Kamis, 16 Agustus 2012

Serikat Pekerja Pers di Indonesia, Masih Perlukah?

Isu serikat pekerja kerap terlupakan di tengah dinamika industri media di Indonesia. Tak banyak wartawan yang punya kesadaran membangun serikat pekerja. Alhasil, isu tentang pembentukan serikat pekerja menjadi isu yang kurang populer di kalangan jurnalis.

Padahal dalam kegiatan jurnalistiknya, para wartawan atau jurnalis kerap membela hak-hak buruh melalui tulisannya. Inilah ironi kehidupan pekerja pers di Indonesia. Di tengah persaingan menggali isu yang paling aktual, dengan jam kerja yang kadang tidak pasti, serta batas waktu (deadline) penulisan berita yang sering membuat stres, para pekerja pers ini justru kurang peduli dengan haknya untuk membangun serikat pekerja di media tempat mereka bekerja.

Dalam penelitiannya pada 2002 lalu, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (selanjutnya disebut AJI Indonesia), menemukan kenyataan hanya ada 28 serikat pekerja pers yang aktif di berbagai perusahaan media di Indonesia. Jumlah ini dinilai sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah media di Indonesia yang saat itu sudah mencapai 1500 perusahaan. Jumlah serikat pekerja pers ini kemudian sempat menyusut pasca rontoknya booming media on line atau dotcom. Seperti dialami oleh serikat pekerja di LippoStar.com dan Kopitime.com. Serikat pekerja pers di kedua media on line tersebut mati dengan sendirinya  seiring tutupnya LippoStar.com dan Kopitime.com.

Kesadaran mendirikan serikat pekerja pers ini, umumnya tumbuh di kalangan wartawan media cetak. Maraknya industri televisi, munculnya banyak situs berita on line dan radio ternyata tidak diikuti oleh pendirian serikat pekerja (Nugroho Dewanto, ed., 2003 : 1). Dari 10 televisi swasta nasional yang ada saat ini, baru  RCTI, Indosiar, ANTV, SCTV, dan MNC TV (dulunya TPI) yang memiliki serikat pekerja pers. Sementara itu, untuk media radio hanya ada 2 serikat pekerja yang eksis yakni di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, serta Smart FM. Eksistensi serikat pekerja di masing-masing media tersebut biasanya dimotori oleh redaksi di bagian pemberitaan. Bahkan untuk media radio, kesadaran mendirikan serikat pekerja ini hanya ada di radio-radio yang mengudarakan siaran berita.

Berdasarkan pengalaman penulis yang  pernah menjadi pekerja pers di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, minimnya jumlah serikat pekerja pers yang bisa eksis dan aktif menjalankan perannya ini bisa dilihat dari dua faktor. Pertama, kurangnya kepedulian dan kesadaran dari para pekerja pers untuk berserikat dalam wadah serikat pekerja pers. Kedua, tidak adanya dukungan dari pemilik media untuk memberi ruang bagi serikat pekerja pers. Kedua faktor ini saling mempengaruhi tumbuh-kembangnya serikat pekerja pers di Indonesia. Hal itu juga berdampak terhadap cara dan pola komunikasi yang ditempuh para pekerja pers untuk bisa mendirikan serikat pekerja pers di tempat kerjanya masing-masing.

Titik tolak gerakan pendirian serikat pekerja pers di Indonesia bisa dirunut dari Deklarasi Sinargalih pada 1994 silam. Dalam deklarasi tersebut, AJI Indonesia mendapat mandat untuk bisa memperjuangkan kebebasan pers dan kesejahteraan jurnalis. Ketua Umum AJI Indonesia periode 2002-2005 Ati Nurbaiti menyatakan, mandat memperjuangkan kesejahteraan jurnalis ini menjadi tantangan tersendiri bagi organisasi yang dipimpinnya. Tantangannya terletak pada upaya menyesuaikan bentuk kampanye di kalangan pekerja pers dengan tuntutan lingkungan media. Untuk itulah AJI Indonesia menyuarakan pentingnya kesadaran membangun wadah perkumpulan pekerja pers yang tidak harus berbentuk serikat resmi yang terdaftar  di Kemenakertrans. Wadah ini diperlukan agar aspirasi dan keluhan para pekerja pers ini mendapatkan saluran yang pas dan jelas. Para pekerja pers juga diarahkan untuk makin jeli terhadap politik hukum perburuhan yang berubah cepat di tengah arus liberalisasi ekonomi. Karenanya, wartawan Indonesia diajak mencari bentuk atau cara-cara paling efektif untuk mengupayakan kesejahteraan bersama (Nugroho Dewanto ed., 2003 : vii).

Upaya para pekerja pers membangun serikat pekerja pers di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Di beberapa media, keinginan sejumlah wartawan untuk mendirikan serikat pekerja bahkan sudah diberangus saat benihnya mulai tumbuh.

Keengganan manajemen perusahaan untuk memberi ruang bagi berdirinya serikat pekerja pers salah satunya terjadi di Indosiar. Sikap manajemen Indosiar yang menolak pembentukan serikat pekerja atau union busting ini mencuat ke publik pada 2008 lalu. Perselisihan ini bermula ketika Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar terbentuk pada April 2008. Manajemen Indosiar kemudian membentuk serikat pekerja tandingan dengan nama yang sama, tetapi beda akronim yaitu Serikat Karyawan atau Sekawan Indosiar. Menurut Ketua Sekar Indosiar Dicky Irawan, pembentukan Sekawan itu dilakukan secara sengaja untuk menggembosi jumlah anggota Sekar. Akibatnya, Sekar dianggap tak memenuhi syarat 50 persen + 1 dalam membuat perjanjian kerja bersama (PKB) dengan manajemen perusahaan. Tidak hanya itu, upaya untuk menghentikan perjuangan Sekar Indosiar ini juga dilakukan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 71 karyawan kontrak yang bergaji di bawah upah minimum provinsi (UMP) pada akhir Januari 2010 lalu. Padahal, para karyawan yang terkena PHK ini rata-rata sudah bekerja sekitar sepuluh tahun di Indosiar dan sebagian tak diikutsertakan program Jamsostek (hukumonline.com., 05/02/2010).

Perselisihan antara Sekar Indosiar dengan manajemen ini rupanya terus berlanjut ke meja hijau. Manajemen PT. Indosiar melakukan Gugatan PHK di Persidangan perselisihan hubungan industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam persidangan tersebut,  Majelis Hakim Persidangan PHI membuat putusan PHK terhadap 22 orang aktivis dan pengurus SEKAR Indosiar.

Upaya hukum yang dilakukan manajemen PT. Indosiar direspon dengan perlawanan hukum. Melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Sekar Indosiar mengajukan Memori Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sekar Indosiar melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan gugatan perdata kepada manajemen PT. Indosiar Visual Mandiri. Gugatan ini diajukan oleh kuasa hukum Sekar Indosiar dari LBH Pers. Manajemen PT. Indosiar digugat karena perbuatan melawan hukum (PMH) yakni bersikap anti berserikat (union busting).  Perbuatan tersebut dinilai melanggar pasal 28 Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan juncto pasal 43. Sekar Indosiar juga menuntut agar pihak Manajemen PT. Indosiar membuat permohonan maaf di Media Massa (baik elektronik televisi, radio, on line dan cetak yang berskala nasional selama satu minggu berturut-turut) dan mengganti kerugian materil dan immateril sebesar Rp 100.026.000.000 (seratus miliar dua puluh enam juta).

Persidangan perkara perdata atas kasus union busting ini menjadi sebuah terobosan hukum yang telah dibuat oleh Majelis Hakim PN Jakarta Barat yang diketuai oleh Jannes Aritonang, S.H. M.H. Dalam putusan sela atas eksepsi dari kuasa hukum manajemen PT. Indosiar Kemalsjah Siregar and Associates, Majelis Hakim menyatakan bahwa PN Jakarta Barat berhak untuk mengadili perkara perbuatan melawan hukum (PMH) anti berserikat yang diajukan oleh para advokat dari LBH Pers.

Hasil studi AJI pada 10 tahun silam atau pada 2002 lalu menyimpulkan serikat pekerja yang telah ada baru sebatas berjuang untuk eksis dan belum dikelola secara profesional. Padahal, sama seperti buruh lain, wartawan rentan terhadap masalah-masalah seperti PHK maupun kesejahteraan yang minim. Apalagi dilihat dari  bermunculannya media baru di era reformasi yang kemudian terpaksa bubar atau tidak dapat menyejahterakan karyawannya. Eksistensi serikat pekerja pers ini juga nyaris terkonsentrasi di pulau Jawa. Padahal, ada banyak perusahaan media lokal yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Tentunya, kondisi ini patut menjadi perhatian bersama bagi pemilik perusahaan media maupun pekerjanya. Hak-hak pekerja pers khususnya soal upah sangat mungkin takkan digubris oleh manajemen ketika diperjuangkan secara individual. Mari menanyakan ulang hal ini kepada pekerja pers: masih perlukah Anda tergabung dalam serikat pekerja pers?

Wildan Hakim, mantan reporter KBR 68H, mahasiswa program S2 manajemen komunikasi Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar