Sabtu, 04 Agustus 2012

Namul Code Chapter One: Beginning of The End

Awalnya, saya paling males ngikutin politik. Termasuk politik stasiun televisi. Waktu Trans corp mulai ngegabungin Trans TV sama TV7 dan sekarang Indosiar, saya cuman bilang, hmmm. Begitu juga waktu SCTV ngegandeng O Channel. Saya hanya manggut-manggut tanpa makna.

Yang membuat saya berubah adalah ketika iseng-iseng buka Undang-undang penyiaran. Mata saya terbelalak. Mulut saya, melongo. Asap rokok ga kekontrol menyemburat begitu saja dari mulut yang terbuka. Dalam hati, saya hanya ngegerendeng: pantesan susah banget jadi karyawan.

Ketika pertama kali duduk di ruangan ini, di benak saya terpatri bahwa SCM adalah perusahaan anak tiri dari induk semang yang bernama SCTV. Ada juga yang ngomong, SCM cuman numpang merek.

Namun patron ini terjungkir bolak-balik waktu Fofo Sariaatmadja naek jadi dirut perusahaan yang katanya segede jadah ini. Belakangan baru saya tau, mantan presdir “perusahaan yang cuman nebeng tenar” itu adalah komisaris utama SCTV. Dan logikanya, mustahil seorang komisaris utama cuman jadi pemimpin perusahaan anak tiri. Jadi yang bener adalah, SCM adalah MNC-nya SCTV kan?

Lantas, apa hubungannya sama UU penyiaran? Nah, pertanyaan ini kayanya buat ngejawab latar belakang afiliasi stasiun TV itu.

Dalam undang-undang yang merupakan inisiatif DPR itu—biasanya kan undang-undang inisiatif pemerintah—stasiun televisi sekarang ga boleh siaran nasional mulai tahun 2007 alias tahun depan. Alasannya: mendorong stasiun televisi daerah supaya lebih maju. Alasan lainnya, tentu pertimbangan ekonomi. Cost siaran nasional sangat mahal, tak sebanding dengan kue iklan yang ada di Indonesia. Nah dengan afiliasi ini, diharapkan ongkos untuk siaran bisa ditekan. Kondisinya mirip kayak Star TV yang cuman jual program ke ANTV atau dulu dijual sama Starvision. Perusahaan yang lebih besar tinggal ngasih lisensi ke TV gandengannya buat nayangin ulang. Jadi ga ada ongkos produksi kan?

Pertimbangan ekonomis lain adalah, buat ngehemat bikin menara pemancar buat relay. Kalo dulu satu stasiun TV di daerah punya satu tiang, sekarang satu tiang bisa dipakai buat banyakan. Bukankah satu tiang ada empat sisi? Maklumlah di negara kita tercinta ini masih pake sistem terrestrial. Ga pake sistem kabel karena infrastrukturnya emang “kabel” (kagak kebeli maksudnya).

Tapi yang bikin gedek, ternyata yang boleh siaran nasional itu…TVRI! Ini yang mungkin anggota Dewan ngerasa kecolongan. Karena awalnya, mereka berhayal yang menjadi stasiun TV nasional itu perusahaan atau stasiun televisi yang emang mumpuni. Ya, idealnya sih kayak BBC di Inggris. Bukannya stasiun TV yang prasarana udah karatan dan mental pekerjanya yang birokrat abis. Karena buat ngelola sebuah stasiun televisi dibutuhin orang-orang yang kreatif bukan mental, Siap pak, akan kami laksanakan! Apalagi nantinya TVRI yang katanya bakal jadi TV publik ini 85% dananya dari APBN dan sisanya dari iklan.

Balik lagi ke masalah afiliasi stasiun TV. Untuk nyiasatin UU nomor 32 tahun 2002 itu, stasiun TV mungkin bakal milih salah satu sistem. Kalo ga sistem berjaringan, ya sistem berlangganan.

Contohnya SCTV. Kemungkinan SCTV bakal kerja sama stasiun TV di daerah kalo ternyata yang dipilih adalah sistem berjaringan. Nah, di sinilah SCM sebagai tulang punggung SCTV unjuk gigi. SCM bakal bikin stasiun2 TV di daerah (buat menuhin unsur 80 persen content lokal) atau minimal menggalang kerja sama dengan stasiun TV daerah terutama buat ngusahain supaya berita Liputan 6 bisa diterima urang Bandung, misalnya. Makanya sekarang ada wacana SCTV bakal jadi stasiun berita.

Terus apa yang didapet STV (salah satu TV lokal di Bandung)? Ya itu tadi, mereka bisa dateng ke library SCTV buat milih program apa yang bisa mereka tayangin di stasiunnya. Lumayan kan, kaga pake duit buat produksi program. Supaya gampangnya, samain aja kaya Jawa Pos dengan koran-koran radarnya.

Nah, kalo pake sistem langganan? Ya tinggal pinter-pinternya SCM promosi. Karena saya yakin, banyak pemirsa di daerah yang ga mau ketinggalan sama berita Liputan 6. apalagi nanti setelah resmi gabung, produksi O Channel lumayan bagus-bagus.

Sejauh ini emang kedengerannya seperti berita bagus. Tapi coba lihat Indosiar. Enam ratus karyawannya dipecat bin PHK karena emang pos-pos yang dulunya tempat mereka berkarya bakal diisi orang-orang Trans yang emang jago di sektor produksi.

Karyawan SCTV juga mungkin nasibnya ga bakalan jauh beda. Karena itu, tahun 2006 ini managemen SCTV nerapin kebijakan zero growth atau ga nerima karyawan baru. Karena ya ngapain nerima karyawan baru kalo toh akhirnya bakal ada perampingan. Dan yang berada di garis depan orang-orang yang bakal tereliminasi yaitu, anak-anak produksi di SCTV.

Nah yang bikin saya melongo adalah, seandainya management SCTV ga mau kehilangan karyawan terbaik mereka waktu di produksi. Istilahnya, selain dibuang sayang, karena ada hubungan personal setelah sekian lama bekerjasama di bawah satu atap Gedung Mitra.

So, akhirnya mereka akan disimpen sampe UU Nomor 32 itu bener-bener dijalanin. Terus mau dikemanain? Bisa aja kan mereka ditaro di bagian website Liputan 6 yang selama ini dijalanin anak-anak outsorching. Karena Fofo yang emang berlatar belakang multimedia ga mungkin ngilangin bagian website. kalo toh selama ini fungsi website Liputan 6 cuman jadi virtual library-nya Liputan 6, tinggal dikasih sentuhan sedikit, saya yakin bakal bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan anak-anak news lainnya.

Entry pointnya bisa dari proyek mercusuar layanan 3 G. Selanjutnya, tinggal tambah bandwith jadi deh website Liputan 6 realtime. Alhasil, orang Indonesia di Belanda bisa nonton siaran SCTV di internet dengan bener-bener real time, bukan semi realtime seperti sekarang ini. Dan Zumi dan kawan-kawan? Yu dadah yu babay karena posisinya bakal diisi anak-anak karyawan SCTV lain. Itulah kenapa makanya selama ini mereka susah banget jadi karyawan. Liat aja akhir Oktober nanti paling perpanjang kontrak. Ini bakal terus berulang karena status ini adalah awal dari suatu akhir kontrak kerjasama outsorching-SCTV.

Sumber: namul.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar