Rabu, 13 Februari 2013

Jurnalis Menolak Status Kontrak


Outsourcing di industri media jelas mencemaskan. Sistem kerja dalam status kontrak atau outsourcing terbukti sangat merugikan karena pekerja tidak mendapatkan perlindungan, fasilitas, dan kepastian hukum dalam jangka panjang. Jurnalis hanya dianggap seperti pelengkap penderitaan atau sekedar alat. Kapan dibutuhkan bisa direkrut dan kapan tidak dibutuhkan bisa disingkirkan setiap saat. Pengusaha media juga tidak perlu membayar pesangon kepada pekerja yang bekerja dengan sistem ini. Selain itu, jurnalis yang bekerja dalam status ini kerap mendapatkan upah yang lebih rendah, tidak mendapatkan jaminan sosial seperti asuransi Jamsostek dan berpotensi tidak mendapatkan tunjangan, seperti tunjangan hari raya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, dalam siaran persnya menyebutkan, sistem kerja kontrak untuk Profesi jurnalis dan bagian lain yang berperan dalam proses produksi di media telah dilarang oleh Undang-Undang. Pada Pasal 66 (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan dengan jelas bahwa “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”.

Menurut AJI, dari sisi posisi tawar, jurnalis yang bekerja dalam sistem kontrak atau outsourcing menjadi tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hal ini sebagai konsekuensi dari hubungan kerja yang bersifat individual dan sementara. Kondisi tersebut jelas berbeda dengan hubungan kerja yang bersifat permanen dan kolektif.

Sejak era reformasi 1998, pertumbuhan industri media berlangsung dengan pesat dan membentuk kelompok usaha baru di bidang media. Namun pertumbuhan industri media hingga kini belum sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan status dan keselamatan kerja bagi jurnalis. Selain fenomena pemilik media yang masih menolak keberadaan serikat pekerja pers, kini fenomena pekerja tenaga ahli daya (outsourcing) di industri media semakin berkembang.

Menurut AJI, Fakta ini sangat terlihat di industri televisi. Sebagai contoh adalah di stasiun televisi SCTV. Permasalahan outsourcing mencuat ketika manajemen SCTV memberlakukan sistem kerja kontrak per 1 Juni 2012 kepada 42 karyawan mereka yang sebelumnya adalah pekerja tetap di stasiun TV swasta nasional itu. Walaupun mereka telah bekerja selama 7 hingga 19 tahun, status mereka berubah sebagai karyawan outsourcing sehingga mereka dipekerjakan oleh pihak ketiga, yaitu PT ISS. Fenomena outsourcing diduga kuat tidak hanya terjadi di stasiun televisi SCTV saja, namun juga di stasiun televisi lain. Sebuah stasiun televisi berbayar yang memproduksi berita, masih dijumpai beberapa jurnalis dan kameramen yang berstatus outsourcing setelah program siaran mereka sebelumnya diakuisi oleh manajemen baru. Bahkan sebuah kantor berita nasional mempekerjakan banyak wartawan dengan status sebagai pekerja outsourcing dengan menyewakan wartawan itu di kantor pemerintah.

Selain masalah outsourcing, AJI Jakarta juga mencatat, jurnalis non-organik atau yang populer disebut koresponden/kontributor semakin banyak. Koresponden/kontributor merupakan golongan rentan dalam bisnis media. Seringkali koresponden/kontributor bekerja dengan status hubungan kerja yang tak jelas. Celakanya, walau mereka menanggung resiko selama menjalankan peliputan, mereka sering tidak memiliki jaminan sosial, termasuk kesehatan atau keselamatan kerja. Banyak status koresponden/kontributor yang tak jelas meskipun mereka telah bekerja bertahun-tahun.

Untuk itu, bersamaan dengan momentum Aksi Tolak Outsourcing pada 3 Oktober 2012, AJI Jakarta mengeluarkan pernyataan sikap: Pertama, meminta berbagai perusahaan media cetak online televisi dan radio untuk menghentikan praktik outsourcing di industri media massa, terutama untuk posisi jurnalis dan karyawan lain di bagian redaksi. Kedua, mendesak agar berbagai perusahaan media massa tetap memberikan perlindungan jaminan sosial dan keselamatan kerja bagi koresponden dan kontributor.

Hal lain yang sangat penting terkait dengan nasib para jurnalis adalah isu serikat pekerja. Namun sayang kesadaran yang kurang dari para jurnalis untuk membangun serikat pekerja membuat isu ini hampir tidak pernah mencuat. Penyebab lainnya adalah tindakan pemberangusan keinginan para jurnalis untuk membentuk serikat pekerja oleh pihak media bersangkutan dengan segudang intimidasi sampai pemutusan hubungan kerja (PHK). Rata-rata manajemen perusahaan media juga enggan untuk memberi ruang bagi berdirinya serikat pekerja pers. Salah satunya terjadi di Indosiar, dimana sikap manajemen Indosiar yang menolak pembentukan serikat pekerja atau union busting ini mencuat ke publik pada 2008 lalu. Perselisihan ini bermula ketika Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar terbentuk pada April 2008. Manajemen Indosiar kemudian membentuk serikat pekerja tandingan dengan nama yang sama, tetapi beda akronim yaitu Serikat Karyawan atau Sekawan Indosiar.

Perselisihan antara Sekar Indosiar dengan manajemen ini rupanya terus berlanjut ke meja hijau. Manajemen PT. Indosiar melakukan Gugatan PHK di Persidangan perselisihan hubungan industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam persidangan tersebut, Majelis Hakim Persidangan PHI membuat putusan PHK terhadap 22 orang aktivis dan pengurus SEKAR Indosiar. Sekar Indosiar melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan gugatan perdata kepada manajemen PT. Indosiar Visual Mandiri. Gugatan ini diajukan oleh kuasa hukum Sekar Indosiar dari LBH Pers. Manajemen PT. Indosiar digugat karena perbuatan melawan hukum (PMH) yakni bersikap anti berserikat (union busting). Perbuatan tersebut dinilai melanggar pasal 28 Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan juncto pasal 43. Sekar Indosiar juga menuntut agar pihak Manajemen PT. Indosiar membuat permohonan maaf di Media Massa (baik elektronik televisi, radio, on line dan cetak yang berskala nasional selama satu minggu berturut-turut) dan mengganti kerugian materil dan immateril sebesar Rp 100.026.000.000 (seratus miliar dua puluh enam juta).

Isu soal serikat pekerja di media sudah lama ada, tapi sekali lagi memang tidak populer. Aneh bukan? di satu sisi dalam kegiatan jurnalistiknya, para wartawan atau jurnalis kerap membela hak-hak buruh melalui tulisannya, tapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan bagaimana nasib mereka, hak-hak mereka, dan kelangsungan serta perbaikan nasib mereka. Padahal para jurnalis bekerja di medan yang sangat keras dan sarat dengan resiko yang bisa berujung kematian.

Dalam penelitiannya pada 2002 lalu, AJI Indonesia menemukan kenyataan hanya ada 28 serikat pekerja pers yang aktif di berbagai perusahaan media di Indonesia. Jumlah ini dinilai sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah media di Indonesia yang saat itu sudah mencapai 1500 perusahaan. Jumlah serikat pekerja pers ini kemudian sempat menyusut pasca rontoknya booming media on line atau dotcom. Seperti dialami oleh serikat pekerja di LippoStar.com dan Kopitime.com. Serikat pekerja pers di kedua media on line tersebut mati dengan sendirinya seiring tutupnya LippoStar.com dan Kopitime.com.

Tercatat di media elektronik dari sederet televisi swasta nasional yang ada, baru RCTI, Indosiar, ANTV, SCTV, dan MNC TV (dulunya TPI) yang memiliki serikat pekerja pers. Sementara kondisi mengenaskan ada di media radio. Bayangkan dari sekian banyaknya radio, baru 2 serikat pekerja yang eksis yakni di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, serta Smart FM. Namun, hasil studi AJI pada 2002 lalu menyimpulkan serikat pekerja yang telah ada baru sebatas berjuang untuk eksis dan belum dikelola secara profesional.

Perlu keberanian menjemput resiko untuk membentuk serikat pekerja di media-media, karena bisa berujung pada PHK atau pemutusan kontrak kerja sepihak. Juga butuh kesadaran tinggi dari para jurnalis bahwa mereka juga sama seperti buruh pada umumnya yang rentan terhadap masalah PHK dan kesejahteraan yang minim. Namun, Kenyataannya Jurnalis tidak seperti buruh, mereka lebih berani daripada wartawan. Buruh berani melakukan aksi besar-besaran menuntut hak-hak mereka, sementara sebagian besar jurnalis tidak punya nyali untuk melakukan itu.

Semoga bermamfaat.[ACHMAD ZAINI]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar