Perkembangan
industri media dan teknologi informasi di Indonesia saat ini sangat
pesat. Industri media kita sudah memasuki era konvergensi media dan
digitalisasi. Meski demikian, tetaplah bahwa unsur terpenting dalam
industri media adalah manusia, yaitu pekerja medianya. Pekerja di
industri media dituntut memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan, yang dinamis dan selalu berubah cepat. Jika pekerja
media mengabaikan atau tidak tanggap dengan tuntutan lingkungan,
dinamika perubahan ini akan menggilas mereka.
Agar pekerja media bisa bertahan menghadapi berbagai tantangan
lingkungan, mereka harus kompak dan bersatu. Untuk itu, mereka
membutuhkan wadah perjuangan bersama, yakni serikat pekerja media, atau
lebih spesifik lagi: serikat jurnalis.
Serikat jurnalis bukanlah sesuatu yang bersifat eksternal bagi
kerja jurnalis, tetapi justru menjadi bagian penting dari kerja jurnalis
itu sendiri. Serikat (union) secara sederhana bermakna “bersama-sama”
atau sekumpulan orang yang bekerjasama, dengan kesadaran bahwa lewat
berkumpul bersama itu mereka akan jadi lebih kuat ketimbang
sendiri-sendiri.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan: “Serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun
di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak
dan kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.”
Serikat pekerja media bukan sekadar penting bagi peningkatan
kesejahteraan, tetapi juga penting bagi kebebasan pers. Pertama, karena
jurnalisme yang kuat dan bebas tidak akan terwujud, manakala para
jurnalisnya sendiri hidup dalam keadaan tidak sejahtera dan ketakutan.
Kedua, karena hanya melalui serikat pekerja media yang independen,
para jurnalis akan memiliki penyuara yang bisa bicara untuk kepentingan
mereka. Sedangkan, penyuara itu sendiri tidak tergantung pada pemerintah
atau pun majikan yang mempekerjakan mereka.
Ketiga, karena hanya melalui serikat pekerja media, para jurnalis
dapat mengembangkan rasa aman. Yakni, suatu perasaan bahwa mereka
memiliki perlindungan yang nyata bagi semua rekan sekerjanya.
Secara singkat, keberadaan serikat pekerja jurnalis berkaitan
dengan satu hal: rasa hormat. Yaitu, rasa hormat terhadap diri sendiri
sebagai individu, rasa hormat terhadap profesi dan kerja jurnalisme yang
dilakukan, serta rasa hormat dari publik, pemerintah, dan pihak
majikan.
Pertumbuhan yang Lamban dan Sentralistik
Serikat pekerja media di Indonesia mulai berkembang sejak runtuhnya
rezim Orde Baru, yang represif terhadap aspirasi pekerja dan sering
membungkam kebebasan pers. Karena merupakan fenomena baru, data
tentangnya masih langka. Sebagian besar data dalam tulisan ini berasal
dari hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja
sama dengan ACILS (American Center for International Labor Solidarity)
tahun 2005-2006.
Sejak 1980-an, sebenarnya Majalah Tempo sudah membentuk serikat
pekerja, tetapi tidak banyak diikuti media lain. Sebagian besar serikat
pekerja media berdiri pasca 1998, setelah tumbangnya rezim Soeharto.
Mereka memanfaatkan iklim kebebasan berserikat yang mulai muncul. Tahun
2006, di seluruh Indonesia tercatat ada 28 serikat pekerja media, dan 20
di antaranya berdiri pasca 1998.
Sedangkan, menurut data yang dimiliki Federasi Serikat Pekerja
Media Independen (FSPMI) dan AJI, pada September 2012 tercatat ada 34
serikat pekerja media. Komposisinya sebagai berikut: 23 di media cetak, 5
di media televisi, 2 di media radio, 2 di media online, dan 2 di kantor
berita (Lembaga Kantor Berita Nasional Antara dan Kantor Berita Radio
68H).
Jadi, memang ada pertumbuhan serikat pekerja media dari segi
kuantitas. Tetapi jika dalam enam tahun hanya bertambah enam serikat
pekerja (bila dirata-rata, berarti tiap tahun hanya bertambah satu
serikat), bisa dibilang belum ada peningkatan yang signifikan.
Dari 2006 sampai 2012, mayoritas serikat pekerja media tetap
didominasi oleh serikat pekerja yang berbasis di media cetak. Maraknya
industri media televisi, radio berita, dan munculnya banyak media
online, ternyata tidak diikuti pendirian serikat pekerja media di tempat
masing-masing.
Pertumbuhan serikat pekerja media juga sangat sentralistik dan
hanya berpusat di Pulau Jawa. Pada 2006, tercatat hanya di Makassar dan
Medan, dua kota di luar Pulau Jawa, yang mempunyai serikat pekerja
media. Pada 2012, serikat pekerja media sudah berdiri di Aceh, Medan,
Pontianak, Palu, Lampung, dan Bali. Berarti, ada perluasan wilayah
tempat domisili serikat pekerja media.
Tetapi, dari 34 serikat pekerja media itu, 23 serikat pekerja atau
68 persennya berbasis di Jawa. Hal ini barangkali karena Pulau Jawa,
dengan kepadatan dan jumlah penduduknya yang sekitar 60 persen dari
total penduduk Indonesia, memang merupakan pusat bisnis media massa.
Maka masuk akal, jika mayoritas serikat pekerja media juga berada di
pulau Jawa, mengikuti keberadaan kantor medianya.
Pembentukan serikat pekerja media tampaknya tidak punya korelasi
langsung dengan buruknya kondisi wartawan. Buktinya, sebagian besar
serikat pekerja justru berbasis di Jakarta, dan dari media yang sudah
mapan pula, yang berarti kesejahteraan wartawannya relatif lebih baik.
Seperti, serikat pekerja media di Harian Kompas, Jakarta Post, Bisnis
Indonesia, Tabloid Kontan, Majalah Tempo, Media Online detik.com, ANTV,
dan SCTV.
Sementara pada media di luar Jawa, yang hidupnya tidak mapan,
justru sedikit serikat pekerja. Padahal, justru di sana terdapat banyak
masalah ketenagakerjaan, berkaitan dengan gaji dan fasilitas wartawan
yang minim.
Pendirian serikat pekerja media tampaknya lebih terkait dengan
kesadaran dari para wartawan sendiri. Karyawan media di Jakarta relatif
mempunyai kesadaran lebih tinggi untuk memperjuangkan kesejahteraan
mereka, melalui organisasi serikat pekerja.
Cara Menghambat Serikat Pekerja Media
Mengapa pertumbuhan serikat pekerja media begitu lamban? Ada
beberapa alasan. Pertama, ada persepsi keliru bahwa orang yang
mendirikan media dianggap mempunyai idealisme dan tujuan luhur, jauh
dari pertimbangan bisnis ekonomis. Media disebut-sebut sebagai pilar
keempat pendukung demokrasi. Sehingga, ketika ada usulan membentuk
serikat pekerja, seringkali tidak mendapat tanggapan positif.
Padahal kenyataannya, para pemilik media (umumnya mereka yang tidak
punya latar belakang sebagai wartawan) lebih berorientasi profit. Media
miliknya diperlakukan sama dengan bisnis lain, sehingga kelayakannya
hanya diukur dari nilai ekonomi: rating, tiras, dan pendapatan iklan
yang masuk.
Kedua, banyak wartawan dininabobokkan atau terkecoh dengan konsep
atau kebanggaan palsu "kaum profesional", yang dianggap berstatus lebih
tinggi daripada pekerja kasar (pekerja kerah biru), seperti buruh
pabrik, pekerja bangunan, kuli, tukang, sopir angkot, dan sebagainya.
Serikat pekerja dianggap bukan jatah untuk "kaum profesional", tetapi
hanya cocok untuk para pekerja kasar. Akibatnya, ajakan untuk bergabung
di serikat pekerja media dipandang akan menurunkan status kebanggaan
mereka sebagai "kaum profesional".
Ketiga, adanya ketidaksukaan dan hambatan dari pemilik media
terhadap usaha-usaha untuk mendirikan serikat pekerja. Hambatan itu
seringkali tidak bersifat terang-terangan, karena bisa memancing
gugatan. Pemilik media tahu, mendirikan serikat pekerja adalah hak
pekerja yang dijamin undang-undang. Maka pemilik media melakukan
berbagai bentuk “kekerasan simbolik” yang secara tersirat bisa
dimengerti oleh para pekerja bahwa keberadaan serikat pekerja itu
sebenarnya tidak disukai.
Kekerasan simbolik bukanlah bentuk kekerasan yang vulgar dan nyata
terlihat, tetapi ia dikemas sedemikian halus sehingga seolah-olah itu
adalah hal yang wajar dan alamiah. Bahkan dalam banyak kasus, korban
kekerasan simbolik ikut berpartisipasi dalam mewujudkan terjadinya
kekerasan tersebut, tanpa ia sadari.
Kekerasan simbolik itu, misalnya, menciptakan konflik di antara
sesama pekerja media, melalui perlakuan pilih kasih yang tidak
berdasarkan prestasi kerja. Pekerja media yang loyal, patuh, dan
mengikuti saja semua kemauan pemilik media, akan dipromosikan dan
diperlakukan lebih baik, dari segi posisi jabatan, gaji, bonus,
kesempatan bertugas ke luar negeri, dan lain-lain. Sedangkan, pekerja
media yang mendukung pembentukan serikat pekerja biasanya diperlakukan
lebih buruk, tidak diberi posisi jabatan yang strategis, serta kariernya
dihambat. Maka muncul suasana ketidakpercayaan dan saling curiga di
antara sesama pekerja.
Bentuk lain kekerasan simbolik itu adalah mengembangkan opini di
lingkungan perusahaan bahwa keberadaan serikat pekerja justru akan
merusak kinerja perusahaan, menciptakan konflik yang tidak perlu antara
pimpinan dan bawahan, serta merusak "hubungan baik yang bersifat
kekeluargaan" antara pemilik media dan karyawan.
Para pendukung serikat pekerja digambarkan sebagai orang radikal
yang tidak produktif, yang menentang pemilik media untuk kepentingan
pribadi. Mereka dipandang sebagai orang yang keberadaannya bisa
membahayakan kelangsungan hidup perusahaan, dan dengan demikian
mengancam nasib para pekerja lain yang "baik-baik." Pengembangan opini
negatif semacam ini membuat para pendukung serikat pekerja jadi
terkucil, dan menyulitkan mereka dalam menggalang dukungan.
Karena berbagai faktor itulah, banyak serikat pekerja media yang
baru berdiri sesudah timbulnya masalah dalam perusahaan. Ketika
perusahaan media sedang sehat, gaji sedang tinggi, karyawan tidak
tergerak untuk mendirikan serikat pekerja. Tetapi ketika ada tanda-tanda
perusahaan sedang menuju kebangkrutan, atau ada rencana restrukturisasi
yang diikuti oleh pemecatan besar-besaran, karyawan baru sadar akan
posisinya yang lemah dan tergerak untuk mendirikan serikat pekerja.
Fokus Garapan Serikat Pekerja Media
Paling tidak, ada tiga fokus garapan yang dikerjakan oleh serikat
pekerja media. Pertama, serikat pekerja yang hanya mengurusi soal
kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Misalnya, soal biaya pengobatan
karyawan yang sakit, biaya yang mau menikah, arisan, kredit rumah atau
sepeda motor, dan sebagainya. Namun kalau terjadi konflik antara pekerja
dengan perusahaan, serikat pekerja media tidak ikut campur.
Penyelesaian konflik diserahkan kepada aturan perusahaan yang berlaku.
Serikat pekerja semacam ini bisa berbentuk koperasi dan hanya mengurusi
kesejahteraan karyawan.
Kedua, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada hubungan
antara karyawan dengan manajemen perusahaan. Fokusnya pada hubungan
karyawan dengan perusahaan, karena di perusahaan media itu sudah ada
koperasi karyawan yang mengurusi soal kesejahteraan. Serikat pekerja ini
tidak mengurusi soal arisan atau kredit sepeda motor, tetapi akan
bergerak kalau ada pemecatan, jika ada anggota yang tidak digaji secara
layak, atau ada ketidakpuasan terhadap kondisi kerja, atau berbagai hal
yang menyangkut hubungan antara karyawan dan perusahaan.
Serikat pekerja model ini berfungsi sebagai mediator antara kedua
belah pihak, serta menjembatani masalah yang timbul antara karyawan
dengan manajemen perusahaan. Ada kalanya, selain fokus menggarap bidang
ini, serikat pekerja juga melakukan kegiatan pelatihan dan pendidikan
jurnalistik untuk wartawan.
Ketiga, serikat pekerja media yang memfokuskan diri pada isu-isu
strategis perusahaan. Ini berlaku di perusahaan media yang karyawannya
juga memiliki saham (kolektif) di perusahaan. Landasan berpikirnya,
karena karyawan ikut memiliki saham seharusnya karyawan juga ikut
menentukan keputusan-keputusan strategis yang diambil perusahaan.
Serikat pekerja tidak cukup hanya mengurusi karyawan, tetapi juga
ikut duduk dengan direksi lain untuk menentukan arah kebijakan
perusahaan. Dengan kata lain, serikat pekerja ikut bermain dalam tataran
politis di perusahaan, termasuk menyetujui atau tidak menyetujui
pimpinan suatu perusahaan. Contoh seperti ini pernah terjadi pada
serikat pekerja media di Kantor Berita Antara.
Berdasarkan pengamatan sekilas, penulis melihat serikat pekerja
media masih memiliki potensi yang besar untuk digarap dan dikembangkan.
Hal ini bisa dilakukan jika serikat pekerja media tidak mengungkung diri
dalam cangkang terbatas sektor media, tetapi menjalin kerjasama,
koordinasi, dan aliansi dengan serikat pekerja di sektor-sektor
non-media.
Untuk menuju hal ini, para aktivis serikat pekerja media harus
mampu membuang "kebanggaan palsu" dan keterkungkungan sebagai "kaum
profesional", yang telah memencilkan mereka dari gerakan buruh yang
lebih luas dan lebih besar. "Kebanggaan palsu" semacam itu memang
disosialisasikan, bahkan didorong oleh pemilik media atau pihak-pihak,
yang memang sejak awal tidak ingin melihat perkembangan dan kemajuan
serikat pekerja media.
Hanya dengan cara membebaskan diri dari keterkungkungan sektoral,
dan menempatkan diri sebagai bagian dari gerakan buruh yang lebih besar,
serikat pekerja media akan memiliki posisi tawar yang lebih besar di
hadapan pemilik media. Sehingga, dengan demikian, serikat pekerja media
juga bisa memperjuangkan independensi redaksi, serta pemberian durasi
dan ruang di media bagi konten-konten yang mencerdaskan dan mendidik,
yang selama ini sering dikalahkan oleh konten-konten "sampah", yang
dilandasi oleh orientasi profit ekonomi semata-mata.
Keberadaan serikat pekerja media tetap dibutuhkan, bahkan mungkin
kebutuhan itu lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena
industri media di dunia dan di Indonesia sedang menjalani masa peralihan
yang besar. Seperti terlihat dari munculnya jenis-jenis media baru,
konvergensi media, digitalisasi, dan sebagainya. Dinamika perubahan ini
menimbulkan ketidakpastian pada nasib pekerja media, dan sudah menjadi
tugas serikat pekerja media untuk memperjuangkannya. Merdeka![Satrio Arismunandar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar