Jumat, 12 April 2013

Menolak Di-Outsourcing, Puluhan Pekerja SCTV Digugat

Manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 40 pekerjanya ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Gara-garanya karena para pekerja tersebut menolak dialihkan status dan hubungan kerjanya ke perusahaan outsourcing.

Persidangan yang saat ini masuk agenda pengajuan bukti itu diketuai hakimAmin Ismanto dengan beranggotakan Zinufa Zebua dan Saut Manalu. Sayangnya, ketika diminta keterangan perihal gugatan itu, kuasa hukum manajemen SCTV Yosef Mado, menolak berkomentar. "Langsung saja ke pimpinan," kata dia kepada hukumonline usai bersidang di PHI Jakarta, Kamis (11/4).

Namun, berdasarkanberkas gugatan, pihak manajemen beralasan pengalihan itu karena perusahaan ingin fokus pada kegiatan inti yaitu bidang pertelevisian. Mengingat jenis pekerjaan Tri Handoko dan 39 rekannya dikategorikan manajemen sebagai pekerjaan penunjang seperti supir dan keamanan, maka pengalihan itu dilakukan. Dalam melaksanakan pengalihan itu, pihak manajemen mengacu pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan yang intinya sebuah perusahaan boleh mengalihkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau dikenal outsourcing.

Tak ketinggalan pihak manajemen pun menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon kepada Tri Handoko dkk. Sayangnya, para pekerja menolak. Untuk menyelesaikan perselisihan itu, kedua pihak sudah menggelar perundingan bipartit dan tripartit, namun tak berbuah hasil yang memuaskan. Alhasil, pihak manajemen melayangkan gugatan PHK kepada Tri Handoko dkk ke PHI Jakarta.

Dalam gugatan itu pihak manajemen memohon sejumlah tuntutan. Di antaranya, meminta majelis memutus hubungan kerja antara SCTV dan Tri Handoko dkk sejak 1 Juni 2012. Serta memerintahkan manajemen untuk memberikan kompensasi kepada Tri Handoko dkk berupa dua kali pesangon yang totalnya mencapai Rp1,6 miliar.

Menanggapi hal itu salah satu kuasa hukum pihak pekerja dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan, para pekerja menolak dialihkan ke perusahaan outsourcing. Menurutnya, Tri Handoko dkk adalah pekerja berstatus tetap dan pihak manajemen dinilai tak punya landasan hukum untuk mengalihkan para pekerja ke perusahaan outsourcing sekalipun memberikan kompensasi berupa dua kali pesangon.

Fauzi berpendapat,sebelum mengajukan PHK, harus ada kejelasan apa yang menjadi dasar diterbitkannya PHK. Misalnya, mengacu pasal 158 UU Ketenagakerjaan, ada kesalahan berat yang dilakukan pekerja seperti melakukan penipuan dan mengedarkan narkotika. Selain itu, ada mekanisme PHK yang harus dilewati. Sayangnya, pihak manajemen dinilaitak punya berbagai dasar tersebut.

Walau dari 40 pekerja terdapat sebagian yang menerima surat skorsing menuju PHK, menurut Fauzi harus ada alasan yang kuat kenapa skorsing dijatuhkan. Lagi-lagi Fauzi tak melihat pihak manajemen punya alasan yang jelas. Dia melihat pihak manajemen melakukan PHK dengan dalih para pekerja menolak perintah atasan karena tak mau dialihkan ke perusahaan outsourcing. Bagi Fauzi penolakan para pekerja itu belum dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan PHK.

Atas dasar itu Fauzi menegaskan para pekerja menolak untuk dialihkan menjadi pekerja outsourcing walau nantinya tetap bekerja di PT SCTV. Serta menginginkan agar bekerja di posisi semula dengan status pekerja tetap sebagaimana surat pengangkatan yang diterima para pekerja di masa awal bekerja. “Surat pengangkatan (pekerja berstatus tetap,-red) itu ada dan para pekerja mau bekerja kembali seperti semula,” katanya.

Fauzi menjelaskan penolakan para pekerja itu bukan tanpa alasan. Pasalnya dalam praktik, tingkat kesejahteraan pekerja outsourcing jauh lebih rendah ketimbang pekerja berstatus tetap. Menurutnya hal itu dialami sebagian pekerja PT SCTV yang menerima untuk dialihkan ke perusahaan outsourcing. Misalnya, terjadi penurunan hak normatif seperti upah, fasilitas dan kesehatan. Bahkan secara umum Fauzi melihat pekerja outsourcing tak mendapat pesangon sebagaimana pekerja tetap ketika di-PHK.

Terpisah, menurut dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Trisakti Yogo Pamungkas, penting untuk dilihat bagaimana status pekerja. Jika si pekerja berstatus tetap maka perjanjian kerja yang ada harus diputus terlebih dulu sebelum dialihkan ke perusahaan lain. Namun, Yogo menegaskan dalam melakukan PHK, harus ada dasar yang jelas kenapa PHK itu dijatuhkan. Misalnya, si pekerja melakukan kesalahan berat. Jika alasan yang jelas itu tidak ada, namun pihak manajemen tetap melakukan PHK, Yogo menilai PHK itu tak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan. “PHK itu tidak boleh dipaksakan,” kata dia kepada hukumonline lewat telepon, Kamis (11/4).

Ketika si pekerja menolak untuk dialihkan ke perusahaan outsourcing, Yogo berpendapat, PHK tak boleh dilakukan. Untuk menyelesaikan persoalan itu harus dilakukan dengan perundingan bipartit dan tripartit. Jika masih ada yang tidak puas dengan hasil itu, maka dapat mengajukan perselisihan ke PHI.[HUKUM ONLINE]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar