Refleksi Akhir Tahun 2012 Serikat Pekerja Surya Citra Televisi (SP SCTV) yang mencatatkan persoalan flexibility labor market dan komodifikasi media di stasiun televisi SCTV
itu mengingatkan saya pada masa-masa saat bergabung di perusahaan media
itu. Persisnya, terkait persoalan-persoalan ketenagakerjaan yang sedari
dulu hingga sekarang tidak menampakkan perubahannya. Dalam artian,
pekerja media tetap menjadi subjek tertindas, terkalahkan, terzhalimi,
dan harus tersingkirkan dengan cara trengginas.
Berikut ini beberapa poin penting yang saya kutipkan dari refleksi itu, yakni pertama, konsep flexibility labor market diaplikasikan
secara kasar dan semena-mena, dengan melakukan diskriminasi,
intimidasi, dan pemaksaan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 159
pekerja dari Divisi General Services pada Juni 2012. Walhasil, sekitar
119 pekerja berhasil di-PHK dan diberikan “bonus” berupa dipekerjakan
kembali dengan status sebagai karyawan outsourcing, sedangkan 40 pekerja lainnya memilih melawan dan hingga kini kasusnya belum tuntas.
Kedua, strategi komodifikasi media diaplikasikan
secara kasar dan semena-mena, dengan melakukan diskriminasi, intimidasi,
dan keputusan PHK secara sepihak terhadap seorang jurnalis Liputan 6
pada pertengahan Desember 2012, dan tanpa pesangon sepeser pun. Bahkan,
penolakan atas keputusan itu justru dibalas pihak HRD dengan menawarkan
pesangon yang merujuk pada Pasal 165 Ayat 2, 3, dan 4.
Dua kasus itu sudah membuktikan kesimpulan yang saya kemukakan pada
paragraf awal bahwa perilaku media terhadap pekerjanya tidak pernah
berubah: media tetap merupakan organisasi dominan yang berhak melakukan
apa saja terhadap pekerjanya. Bahkan, seperti dikemukakan oleh Vincent
Mosco (2009), media cenderung mengabaikan aspek pekerja dan proses
produksi dalam seluruh rangkaian kegiatannya. Mosco menunjukkan
pemikiran Vraverman (1974) soal pemarjinalan itu.
Pekerja diasumsikan bukan lagi bagian dari kesatuan konsep. Ia juga
bukan perancang karya. Bahkan, ia bukan tenaga pelaksana. Dalam proses
komodifikasi, konsep dipisahkan dari eksekusi dan keahlian dipisahkan
dari kemampuan melaksanakan pekerjaan.
Komodifikasi terkonsentrasi pada kekuatan konseptual di kelas manajerial
sebagai perwakilan pemodal. Pada akhirnya, komodifikasi menjadikan
pekerja sekadar koresponden, dengan distribusi baru dari keahlian dan
kekuatannya dalam berproduksi. Lebih ekstrim lagi, pekerja diasumsikan
layaknya penonton.
Pemaparan tersebut mengingatkan saya pada pemikiran Karl Marx dalam Das Kapital (volume
pertama, 1867) yang menjelaskan bahwa dari keterasingan manusia sebagai
manusia dan status dirinya sebagai pekerja atas buruh pabrik
mengakibatkan dampak budaya yang lebih parah: manusia sekadar menjadi
buruh pabrik (proletar) yang tidak lagi semata-mata terasing
dari dunia keberadaan dirinya sebagai manusia, melainkan sekadar menjadi
alat produksi kapitalisme.
Georg Lukács (Hardiman, 2009) menyebutkan bahwa kondisi itu merupakan reifikasi, yakni proses merosotnya dimensi manusia yang utuh menjadi benda belaka: manusia kehilangan jati dirinya sebagai subjek pelaku (agent)
bagi dirinya sendiri karena lenyapnya kreativitas—konsep itu
dikembangkan Lukács dengan mengaitkan konsep rasionalisasi Max Weber dan
konsep fetisisme komoditi Karl Marx.
Kesimpulan akhir, merujuk juga pada kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh sahabat saya dalam buku terbarunya Postkomodifikasi Media & Cultural Studies
(2012), pekerja media tak ubahnya buruh pabrik. Karena itu, pekerja
media jangan lagi membanggakan diri sebagai kelompok kerah putih (white collar) karena sesungguhnya ia juga meruapakan bagian dari kelompok kerah biru (blue collar). Dan pada hakikatnya, menurut undang-undang, baik kelompok kerah putih mauopun kelompok kerah biru juga sama-sama buruh!
Poin yang ingin saya tekankan dari argumentasi ringkas di atas adalah
sudah saatnya para pekerja berhenti mengagumi “menara gading” yang
selama ini menaunginya. Dua kasus yang diungkapkan dalam refleksi
tersebut telah menegaskan arogansi media dan posisi pekerja yang tidak
akan pernah aman, apalagi nyaman. Kodrat budak-budak kapitalisme yang
serakah dan menghalalkan segala cara demi keuntungan sampai kapan pun
tidak akan pernah memberikan ruang sehat bagi kelompok pekerja (baca:
buruh).
Dengan demikian, para pekerja media jangan lagi terlena dengan kemapanan
yang didapatnya karena di balik itu ada bahaya yang senantiasa
mengintai dan bakal memupus mimpi indahnya di media itu. Kemampuan (skill)
yang mumpuni, etos kerja yang dasyat, atau dedikasi yang super-loyal,
bakal jadi tidak bermakna ketika atasan bermain-main dengan persoalan like or dislike atau regulasi bernuansakan efisiensi. Ingat kembali soal hakikat konsep flexibility labor market yang secara terbuka memberlakukan aturan “mudah merekrut dengan upah murah dan mudah mem-PHK dengan biaya murah”.
Ketika, dengan arogansi dan kepercayaan diri yang kuat, para pengelola
media memancangkan itikad buruk itu, maka bentuk-bentuk ketidaknyaman
dan pengondisian untuk berurusan dengan “hukum” yang diatur Peraturan
Perusahaan pun bakal berlaku. Dan, asal tahu saja, “hukum” yang mesti
diberi tanda kutip itu sangat lentur dan bakal diinterpretasi secara
mana suka oleh para “eksekutor”, sehingga bakal menempatkan pekerja tak
ubahnya pesakitan. Bahkan pekerja yang tak salah dan berkasus pun akan
salah salah dan berkasus, bahkan bisa berujung pada PHK, berkat
formulasi klasik tadi: diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK.
Dalam posisi itu, jangan berpikir tentang keadilan, kebijaksanaan, atau ketentuan hukum. Atas nama konsep flexibility labor market dan strategi komodifikasi media,
keadilan menjadi barang asing. Kebijaksanaan juga menjadi barang
langka. Ketentuan hukum juga merupakan interpretasi mana suka. Mereka
akan menggunakan ketentuan hukum untuk kebutuhan menjeratkan kesalahan
dan penerapan sanksi, serta penyertaan hak (yang kerap malah disebut
sebagai kompensasi), sebaliknya mereka akan pura-pura bodoh ketika
dihadapkan pasal-pasal yang bekal mementahkan argumentasi atau
menguntungkan pekerja.
Beranjak dari pengalaman saat berselisih dengan perusahaan media yang
pernah manafkahi saya, maka saya merasa perlu membuatkan “bekal” khusus
bagi para pekerja atau calon-calon pekerja media, yakni:
- Seperti duraikan di atas, skill, etos kerja, dan dedikasi terhadap profesi memang sangat perlu dimiliki, namun para pekerja juga harus memiliki lain skill lain yang tak kalah pentingnya: pengetahuan yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan, misalnya UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Harap diingat, kesemena-menaan pihak media terjadi karena mereka menilai bahwa pekerjanya tidak memahami dan mempedulikan aspek hukum ketenagakerjaan.
- Para pekerja perlu memperkuat jaringan dan pertemanan secara internal dengan menjadi bagian dari serikat pekerja di tempatnya bekerja. Harap diingat, kesemena-menaan pihak media terjadi karena mereka menilai bahwa pekerjanya sendiri dan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan, apalagi tekanan secara hukum ketenagakerjaan.
- Para pekerja juga perlu memperkuat jaringan dan pertemanan secara eksternal dengan menjadi bagian dari organisasi profesi. Harap diingat, sama seperti butir 2, kesemena-menaan pihak media terjadi karena mereka menilai bahwa pekerjanya sendiri dan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan, apalagi tekanan politis.
- Yang paling penting, pekerja tetap bekerja dengan menunjukkan keterampilan, etos kerja, dan dedikasinya secara maksimal sehingga tidak memberikan ruang atau celah bagi atasan atau perusahaan untuk menjadikannya target diskriminasi, intimidasi, dan pemaksaan PHK.[NAYUNDA LARASATI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar